Hukum waris pada jaman jahiliyyah
Pada jaman jahiliyyah, wanita dan anak-anak kecil tidak boleh mendapatkan harta warisan. Harta warisan hanya bagi laki-laki dewasa yang sudah mahir menunggang kuda dan memainkan senjata.
Lalu datanglah syariat Islam yang menghapus dan membatalkan hukum jahiliyyah tersebut. Allah Ta’ala berfirman,
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” (QS. An-Nisa’ [4]: 7)
Berbeda 180 derajat dari ketentuan hukum jahiliyyah jaman dahulu adalah hukum yang ditetapkan oleh orang-orang jaman sekarang. Yaitu mereka memberikan hak warisan bagi perempuan, namun dengan bagian yang sama dengan kaum lelaki. Dengan alasan kesetaraan gender, kesamaan hak asasi manusia, lalu mereka pun melampaui batas dengan melanggar ketentuan syariat dalam hukum waris.
Baca Juga: Hartaku Untuk Surgaku
Padahal, Allah Ta’ala dengan tegas menyatakan,
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ
“Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian waris untuk) anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.” (QS. An-Nisa’ [4]: 11)
Juga dalam firman-Nya,
وَإِنْ كَانُوا إِخْوَةً رِجَالًا وَنِسَاءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ
“Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. An-Nisa’ [4]: 176)
Oleh karena itu, ketentuan waris dalam Islam adalah sesuai dengan hak perempuan. Hak tersebut tidak dinihilkan sama sekali, sebagaimana hukum waris era jahiliyyah jaman dulu. Namun, tidak juga diberikan dengan melampaui batas dengan disamakan haknya dengan kaum lelaki, sebagaimana hukum waris yang dianut orang-orang yang bodoh pada jaman ini.
Baca Juga: Zakat Untuk Harta Yang Digadaikan
Pembagian hukum waris dalam Islam itu didasarkan atas ilmu dan hikmah
Sebagian orang melontarkan klaim-klaim dan tuduhan dusta terhadap hukum Allah yang berkaitan dengan masalah warisan. Mereka menuduh bahwa hukum waris dalam Islam itu tidak adil, mengkebiri hak-hak kaum perempuan, bias gender, dan tuduhan-tuduhan keji lainnya.
Kalau mereka mau membuka Al-Qur’an, Allah Ta’ala telah memberikan isyarat bahwa hukum waris dalam Islam itu ditetapkan berdasarkan ilmu dan hikmah Allah Ta’ala. Allah Ta’ala yang mengetahui apa yang maslahat untuk umatnya.
Hal ini bisa kita renungkan ketika Allah Ta’ala selesai menyebutkan tentang hukum waris dan bagian masing-masing ahli waris, Allah Ta’ala tutup dengan firman-Nya,
فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
”Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha bijaksana.” (QS. An-Nisa’ [4]: 11)
Dalam ayat di atas, terdapat faidah luar biasa ketika Allah menyebutkan dua sifat Allah yang mulia, setelah menyebutkan ketentuan hukum waris, yaitu sifat al-‘ilmu (Maha mengetahui) dan al-hikmah (Maha bijaksana).
Maksudnya, karena Allah Ta’ala Maha mengetahui dan Maha bijaksana, Allah Ta’ala mengetahui apa yang tidak diketahui oleh hamba-Nya, dan Allah Ta’ala pun meletakkan sesuatu sesuai dengan tempatnya. Oleh karena itu, patuhilah perintah Allah ketika membagi harta waris kepada orang-orang yang berhak mendapatkannya. Karena pembagian itu berdasarkan ilmu Allah Ta’ala dan hikmah-Nya.
Baca Juga: Sahkah Haji Dan Muamalah Yang Menggunakan Harta Haram?
Seandainya pembagian waris ini diserahkan kepada pemikiran dan ijtihad (logika atau hasil olah pikir) manusia sendiri, maka pembagian itu akan dilandasi dengan kebodohan dan hawa nafsu, serta tidak ada hikmah di dalamnya. Sehingga justru akan menimbulkan bahaya. Oleh karena itu, barangsiapa yang mencela hukum Allah Ta’ala, atau mengatakan, “Seandainya hukumnya begini atau begitu”, maka dia telah mencela ilmu dan hikmah Allah Ta’ala. Dan sebagaimana Allah menyebutkan ilmu dan hikmah setelah menyebutkan hukum syariat-Nya, Allah Ta’ala juga menyebutkannya dalam ayat-ayat yang berisi tentang ancaman. Hal ini untuk menjelaskan kepada hamba-Nya bahwa syariat dan balasan-Nya berkaitan dengan hikmah-Nya dan tidak keluar dari ilmu-Nya. (Lihat Al-Qawa’idul Hisaan, hal. 51-57)
Oleh karena itu, Allah Ta’ala mensifati bahwa hukum Allah itulah hukum yang paling baik. Dan Allah Ta’ala sifati hukum selain hukum Allah sebagai hukum jahiliyyah. Allah Ta’ala berfirman,
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al-Maidah [5]: 50)
Maka, renungkanlah wahai para pencari kebenaran.
Ancaman terhadap orang-orang yang mengubah-ubah ketentuan warisan
Melaksanakan ketentuan hukum waris sebagaimana yang telah Allah Ta’ala tetapkan adalah sebuah kewajiban. Sebagaimana firman Allah Ta’ala yang telah kami kutip sebelumnya,
فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
”Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha bijaksana.” (QS. An-Nisa’ [4]: 11)
Allah Ta’ala juga berfirman,
وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ
“(Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari’at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.” (QS. An-Nisa’ [4]: 12)
Oleh karena itu, tidak boleh mengubah-ubah ketentuan dalam pembagian harta warisan dari ketentuan yang telah ditetapkan oleh syariat. Allah Ta’ala berfirman,
تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ ؛ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُهِينٌ
“(Hukum-hukum tersebut) itu adalah batasan-batasan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya. Dan itulah kemenangan yang besar.
Baca Juga: Bolehkah Menjual Harta Wakaf?
Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka, sedang ia kekal di dalamnya. Dan baginya siksa yang menghinakan.” (QS. An-Nisa’ [4]: 13-14)
Asy-Syaukani rahimahullahu Ta’ala berkata menjelaskan tafsir ayat tersebut,
وَالْإِشَارَةُ بِقَوْلِهِ: تِلْكَ إِلَى الْأَحْكَامِ الْمُتَقَدِّمَةِ، وَسَمَّاهَا حُدُودًا: لِكَوْنِهَا لَا تَجُوزُ مُجَاوَزَتُهَا، وَلَا يَحِلُّ تَعَدِّيهَا وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فِي قِسْمَةِ الْمَوَارِيثِ وَغَيْرِهَا مِنَ الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ، كَمَا يُفِيدُهُ عُمُومُ اللَّفْظِ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهارُ
“Isyarat dalam firman Allah Ta’ala, (تِلْكَ) merujuk kepada hukum-hukum di ayat sebelumnya (yaitu, yang berkaitan dengan hukum waris). Dan Allah Ta’ala menyebutnya sebagai “batasan”, karena tidak boleh dilampaui atau tidak boleh dilewati. “Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-nya”, yaitu dalam pembagian harta waris dan aturan-aturan syariat lainnya -sebagaimana hal ini ditunjukkan oleh cakupan makna ayat yang bersifat umum-, “niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai.” (Fathul Qaadir, 1: 501)
Kemudian beliau mengutip hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah,
مَنْ فَرَّ مِنْ مِيرَاثِ وَارِثِهِ، قَطَعَ اللَّهُ مِيرَاثَهُ مِنَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa yang lari dengan membawa warisan ahli warisnya, Allah akan memutus warisannya dari surga pada hari kiamat.” (HR. Ibnu Majah no. 2703) [1]
Barangsiapa yang mengutak-atik pembagian waris sebagaimana yang telah ditentukan oleh syariat, sehingga dia mewariskan harta kepada orang yang seharusnya tidak berhak menerimanya; atau dia mencegah (menahan) pembagian sebagian atau seluruh harta waris kepada orang yang seharusnya berhak menerimanya; atau dia menyamakan antara laki-laki dan perempuan dalam pembagian harta waris, sebagaimana dijumpai dalam undang-undang sekuler buatan manusia yang bertentangan dengan hukum syariat bahwa bagian perempuan itu setengah dari bagian lelaki; maka orang tersebut telah kafir dan berhak berada di neraka selamanya, kecuali dia bertaubat kepada Allah Ta’ala sebelum meninggal dunia. (Lihat Al-Mulakhkhas Fiqhiy, hal. 335) [2]
Baca Juga:
[Selesai]
***
@Rumah Lendah, 1 Ramadhan 1440/6 Mei 2019
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel: Muslim.Or.Id
Catatan kaki:
[1] Dinilai dha’if oleh Syaikh Al-Albani.
[2] Hal ini tentunya jika syarat-syarat pengkafiran telah terpenuhi pada diri orang tersebut dan tidak ada penghalang kekafiran. Misalnya, dia telah mengetahui bagaimanakah hukum Allah Ta’ala terkait warisan, tapi dia ganti dengan hukum buatan sendiri, dan dia meyakini bolehnya hal itu (tidak ada rasa bersalah atau berdosa); atau dia meyakini bahwa sama saja antara hukum Allah dengan hukum dia; atau dia meyakini bahwa hukum dia itulah hukum yang lebih baik dan lebih bijaksana.
عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ ، فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِيْ إِلَى الْبِرِّ ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِيْ إِلَى الْجَنَّةِ
note : apakah pemilik nama asli rela, namanya disalahgunakan penulis lain ?
Sebaiknya mencantumkan nama penulis asli, ttp jika penulisnya itu ikhlas krn Alloh taala , in syaa Alloh pahala akan mengalir dgn dibaca dan diimplentasikan oleh pengguna walau di copas oleh penulis yg lain, Alloh itu maha segala-galanya maha melihat, maha mendengar.
Wallahu a’lam.
Saudara saya ada 6 bersaudara 3 laki laki dan 3 perempuan anak pertama perempuan kedua laki laki ke tiga dan ke empat perempuan ke lima dan ke enam laki laki saya ank ke lima …..dalam pembagian waris anak yang bungsu yang mengatur pembagian nya caranya di ratain semuanya……karna anak bungsu yang menjual nya dan keempat saudara saya setuju semuanya dengan di bagi rata …hanya saya yang tidak setuju…tapi akhirnya daripada saya di musuhin semua sama saudara saya .saya jadi ikut setuju walaupun sedikit terpaksa pertanyaan nya ….
Apa sikap saya dengan tidak setuju dengan pemabgian nya itu benar atau salah ?
Terus apa yang harus saya lakukan apakah diam atau menolak nya ….
Saya mohon pencerahan nya
Jika ada pertanyaan, bisa gabung grup tanya jawab
KHUSUS IKHWAN
https://t.me/tanyamuslimorid
KHUSUS AKHWAT
https://t.me/tanyamuslimahorid
Barakallahu fiikum
Bismillah…..
Ustadz…. Apakah harta warisan tidak dibagi bagi kepada ahli waris di perbolehkan? Maksudnya didiamkan saja atau tidak ada tindak lanjut keluarga untuk membagi warisan kepada ahli warisnya….
Bagai mana pandangan ustad tentang harta Soko suku/pusaka suku
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh…. Adakah disini yg paham benar akan hibah , waris dan hutang almarhum….
Permasalahan singkat : sy 3 bersaudara (perempuan pertama , sy laki2 kedua ,dan adik laki2 ).
Sebelum ayah mati beliau menghibahkan tanah dan bangunan kepada anak2nya (kami ber-3 dan 1 pada ponakan dari ibu) dan yg menjadi isi rumah menjadi bagian kami ber-3….
Saat ayah mati , kami tidak utak Atik karna ada ibu dan tetap menjadi hak ibu (tetapi TDK bagi adik kami) yg mn hak ibu tetap diusahakan didapatkannya walaupun ada beberapa yg kami nasehati sbgai KK.
Saat ibu mati beliau meninggalkan hutang (sebagai anak kami temui si pemilik hutang dari ibu kami / si piutang) , kami minta diberikan keringanan tuk mencicil dan Alhamdulillah boleh dicicil. Perdebatan terjadi saat pembagian hutang (cow 2x dari cewe) kami pun setuju , tetapi adik kami memaksa sy TDK boleh dicicil harus cash sedang kemampuan sy bisanya mencicil. Kemudian keluar ide dari KK perempuan tuk jual harta benda isi rumah kedua orangtua termasuk emas yg ada , tetapi tetap masih kurang (dan sy tetap bisanya mencicil walaupun sisanya itu telah menjadi kecil walaupun bagi sy besar). Terucap omongan adik (yaudah aa bayar aja semua hutang ibu dan ambil semua harta warisannya) sy sanggupi tapi dengan jalan tetap sy cicil dan harta isi rumah TDK dijual dulu, dan alhasil mereka tetap tidak mau kalau dicicil… Lalu sy ucap (yaudah adik kan orang mampu , bayarlah hutang ibu dan ambil sj hak waris sy tapi pake uang kamu 100% jgn menggunakan harta isi rumah) alhasil adik pun setuju. Tetapi permasalahan itu timbul setelah sy tau (KK dan adik sy patungan dibelakang sy dan menjual isi harta sampai ke emas ibu sy tuk bayar hutang ibu sy) , patungan mereka juga dlm arti “uang yg mereka keluarkan karna mengincar harta itu sendiri” contoh : KK mengeluarkan 15jt tuk dijadikan/diganti dgn beberapa emas ibu dan perabotan ruang tamu , adik ±5jt tuk dijadikan perabotan ruang makan dan sisanya emas ibu yg dijual ketoko emas.
Karna mereka patungan + jual emas ibu maka “Hilanglah hak waris sy akan harta yg ada”
Dan masih ada permasalahan yg lain yg menjadi warisan orangtua…. Dlm hal ini sy coba ikhlas walaupun sudah sy lontarkan nasehat k mereka (walaupun tidak ada respon baik) akan tetapi bahasa yg keluar dari mulut lebih mudah daripada hati yg berkata ikhlas.
Pertanyaan sy :
1. Apakah perbuatan sy akan menjadi masalah tuk sy tuk mempertanggungjawabkan perbuatan sy pd Allah ? Karna sebagai anak laki2 sy tdk tegas akan ilmu Allah pd KK perempuan sy dan adik laki2 sy…
2. Apakah sy salah dgn mempasrahkan semua pd Allah walaupun amanah yg ditinggalkan orangtua tidak dijalankan oleh adik serta KK sy ?? Padahal sy sudah memberitahukan kebenaran amanah tersebut pada mereka…
3. Adakah ahli bidang ini dlm bentuk yayasan/ustadz/ustadzah sekitar Depok yg dapat kami temui , dan apakah hal ini akan memberatkan almarhum bila diteruskan , karna sy pribadi ingin yg terbaik tuk saudara dan keluarga agar tidak menjadi hal yg memberatkan saat dihisab nanti.
Terimakasih wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh
Assallammuaikum…ustad
Mau tanya soal warisan
Kalo sudah dihadapi oleh harta warisan, apapun jadi lupa termasuk mengutak atik hukum Allah.