Diriwayatkan oleh Al Khallal dalam kitab Al Irsyad (119), Ar Rafi’i dalam Tadwin fil Akhbar Qairawan (2/228), juga oleh As Subki dalam Thabaqat Asy Syafi’iyyah Kubra (6) dengan sanad sebagai berikut:
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ ابْنُ أَبِي زِيَادٍ الشَّامِيُّ ، عَنْ يُونُسَ بْنِ يَزِيدَ ، عَنِ الزُّهْرِيِّ ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” كُلُّ كَلامٍ لا يُبْدَأُ فِيهِ بِحَمْدِ اللَّهِ وَالصَّلاةِ عَلَيَّ فَهُوَ أَقْطَعُ أَبْتَرُ مَمْحُوقٌ مِنْ كُلِّ بَرَكَةٍ “
Dari Ismail bin Abi Ziyad Asy Syami, dari Yunus bin Yazid, dari Az Zuhri, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Setiap perkataan yang tidak dimulai dengan hamdalah dan shalawat kepadaku, maka terputus dan terhalang dari semua keberkahan“.
Baca Juga: Hukum Shalawatan di antara Adzan dan Iqamah
Hadits ini lemah karena terdapat Ismail bin Abi Ziyad Asy Syami.
- Ad Daruquthni mengatakan, “ia perawi yang matruk, suka memalsukan hadits”.
- Al Mizzi mengatakan, “ia perawi yang lemah dan matruk”.
- Sibt bin Al ‘Ajami mengatakan, “ia matrukul hadits”.
Maka hadits ini statusnya dhaif jiddan (lemah sekali). Dalam kitab Nataij Al Afkar (3/281) Ibnu Hajar Al Asqalani mengomentari hadits ini: “terdapat perawi bernama Ismail, dhaif jiddan“. Hadits ini juga dinilai lemah oleh Syaikh Al Albani dalam Dha’if Al Jami’ (4218).
Shalawat itu sebagaimana dzikir-dzikir yang lain, dianjurkan diperbanyak secara mutlak. Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Sesungguhnya Allah dan para Malaikatnya bershalawat kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kepadanya dan doakanlah keselamatan atasnya.” (QS. Al Ahzab: 56)
Baca Juga: Inilah Keutamaan Membaca Shalawat
Juga keumuman sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
فإنه من صلى علي صلاة صلى الله عليه بها عشرا
“Karena setiap seseorang bershalawat kepadaku, Allah akan bershalawat kepadanya 10 kali.” (HR. Muslim, no. 384).
Shalawat tidak dikhususkan di suatu waktu atau tempat kecuali dengan dalil dan tidak diyakini memiliki fadhilah-fadhilah tertentu kecuali dengan dalil.
Dan secara umum dalam setiap majelis, setiap pembicaraan, hendaknya terdapat dzikir di sana agar tidak menjadi kesia-siaan. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
ما جَلسَ قومٌ مجلِسًا لم يذكُروا اللهَ فيهِ ولم يُصلُّوا على نبيِّهم إلَّا كان عليهم تِرةٌ فإنَّ شاءَ عذَّبَهم وإن شاءَ غفرَ لَهم
“Tidaklah suatu kamu membuat majlis, yang di dalamnya tidak terdapat dzikir kepada Allah dan orang-orang di sana tidak bershalawat kepada Nabi mereka, kecuali akan menjadi penyesalan bagi mereka. Jika Allah ingin, mereka akan diadzab dan jika Allah ingin, mereka akan diampuni.” (HR. At Tirmidzi no.3380, ia berkata: “hasan shahih”).
Namun dzikir dan shalawat di sini sifatnya umum dan mutlak serta tidak ditentukan waktunya. Maknanya, jangan sampai setiap waktu yang digunakan untuk bermajelis dan berbicara dengan orang lain itu menjadi waktu yang dibuang sia-sia, hendaknya diperbanyak dzikir kepada Allah agar terhindar dari kesia-siaan dan terhindar dari dosa.
Baca Juga:
Wallahu a’lam.
Penulis: Yulian Purnama
Artikel: Muslim.or.id