Berbicara tentang fikih tentunya erat kaitannya dengan suatu hukum. Sering kali diskusi tentang suatu hukum itu menjadi inti suatu pembahasan. Apakah hukumnya mubah, makruh, atau bahkan sampai haram. Pada pembahasan kali ini, akan lebih diperjelas terkait dengan hukum jual beli kredit. Termasuk juga pada pembahasan ini adalah hukum jual beli kredit yang terdapat dua opsi harga, lebih murah jika dibeli secara cash dan lebih mahal jika dibeli secara kredit. Apakah hal tersebut diperbolehkan?
Hukum jual beli kredit
Tidak ada perselisihan di antara para ulama tentang bolehnya jual beli kredit jika dalam keadaan satu harga (harga cash sama dengan harga kredit). Bagaimanapun bentuk kreditnya, baik dicicil sampai selesai, dibayar di akhir, atau dibayar secara tunai, dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama bahwa hukum jual belinya adalah sah.
Adapun jika pada suatu barang terdapat dua harga; jika dibeli dengan cara tunai, harga sekian dan jika dibeli secara kredit, harga sekian, maka di sinilah terjadi perselisihan pendapat di antara para ulama. Yaitu tentang “tambahan” (selisih harga) yang terdapat di antara dua harga tersebut. Apakah selisih harga itu termasuk riba?
Perbedaan pendapat tentang kredit dan tunai dengan dua harga yang berbeda
Yakni, jika ada dua pilihan antara tunai dengan harga sekian, dan kredit dengan harga yang lebih mahal. Pada masalah ini, terdapat dua pendapat di antara para ulama.
Pendapat pertama, bolehnya ada perbedaan harga antara tunai dan kredit.
Pendapat kedua, tidak boleh ada perbedaan harga antara tunai dan kredit.
Berikut ini penjelasan lengkapnya:
Pendapat pertama
Jumhur ulama dari kalangan madzhab Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah berpendapat akan bolehnya jual beli kredit walaupun harga kredit itu lebih mahal dibandingkan dengan harga tunainya.
قال الخطابي رحمه الله وحكي عن طاوس أنه قال: لا بأس أن يقول له: بعتك هذا الثوب بنقد بعشرة، وإلى أشهر بخمسة عشر، فيذهب به إلى أحدهما. قال الخطابي: هذا ما لاشك في فساده، أما إذا باته بأحد النقدين في مجلس العقد فهو صحيح لا خلاف فيه وما سواه لغو لاعبرة له
Al-Khattabi rahimahullah berkata, dan diriwayatkan dari Thawus bahwa ia berkata,
“Tidak mengapa seseorang mengatakan, ‘Aku menjual kepadamu pakaian ini secara tunai seharga sepuluh, dan dengan tempo (dengan cicilan) seharga lima belas’; lalu pembeli memilih salah satunya.”
Al-Khattabi berkata, “Hal ini (jika tidak ditentukan) tidak diragukan lagi kebatilannya. Namun, jika ia menetapkan salah satu dari dua harga itu di majelis akad, maka akadnya sah tanpa ada perbedaan pendapat. Adapun selain itu, dianggap tidak sah dan tidak dianggap.”
Akad itu sah apabila kedua belah pihak sepakat pada salah satu dari dua harga dalam majelis akad, mana pilihan harga yang disepakati. Namun, jika mereka berpisah tanpa menetapkan salah satu dari kedua harga tersebut, maka akad itu tidak sah karena mengandung unsur ketidakjelasan (gharar).
Dalil-dalil terkait dengan pendapat ini,
Dalil dari Al-Quran
Para ulama berdalil dari keumuman firman Allah Ta’ala,
وَاَ حَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰوا
“Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)
Nash ini adalah dalil umum yang mencakup segala macam bentuk jual beli. Karena hukum asal pada segala sesuatu adalah mubah, sampai datangnya dalil yang melarangnya. Dan kenyataannya, tidak terdapat dalil yang melarang jual beli dengan model seperti ini, yaitu harga lebih murah jika dengan cara tunai dan lebih mahal jika dengan cara kredit.
Dalil dari As-Sunnah
Para ulama yang membolehkan pun berdalil dengan riwayat dari sahabat Abdullah bin ‘Amr bin Al-Ash radiyallahu ‘anhuma,
أن النبي صلى الله عليه وسلم أمره أن يجهز جيشاً، فكان يأخذ البعير بالبعرين إلى إبل الصدقة
“Bahwa Nabi ﷺ memerintahkannya untuk mempersiapkan pasukan, maka ia pun mengambil unta dengan harga dua ekor unta (dibayar belakangan atau kredit) dari unta-unta zakat.”
Ini merupakan dalil yang jelas akan bolehnya tambahan dalam harga suatu barang ketika dalam bentuk kredit.
Dalil dari atsar
Terdapat atsar dari tabi’in tentang hal tersebut. Dari Az-Zuhri, Thawus, dan Ibnul Musayyab, mereka rahimahumullah berkata, “Tidak mengapa seseorang mengatakan, ‘Aku menjual baju ini seharga sepuluh dengan kredit selama sebulan, dan seharga dua puluh dengan kredit selama dua bulan, kemudian harga tersebut dipilih (salah satunya) sebelum berpisah.’”
Pendapat kedua
Pendapat kedua tidak memperbolehkan jual beli kredit dengan dua harga yang berbeda. Ini adalah pendapat dari sebagian ulama madzhab Hanafiyah, begitupun pendapat yang dipilih oleh madzhab Imamiyah (salah satu sekte Syi’ah yang meyakini adanya dua belas imam), dan pendapat ini adalah pendapat yang dinukilkan dari Zainal ‘Abidin bin Ali bin Al-Husain rahimahullah.
Dalil-dalil terkait dengan pendapat ini,
Dalil dari Al-Quran
Mereka berdalil dengan ayat yang sama dengan yang memperbolehkannya, yaitu firman Allah Ta’ala,
وَاَ حَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰوا
“Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)
Namun, terdapat perbedaan dalam memahami ayat di atas. Ulama yang memilih pendapat kedua ini memahami bahwa riba yang dimaksud adalah tambahan yang tidak ada timbal baliknya. Oleh karena itu, tambahan harga ketika kredit dari harga tunai adalah riba. Mengingat tambahan tersebut adalah tambahan yang tidak ada imbalannya. Dalam akad mu’awadhoh (jual beli), wajib hukumnya sama atau seimbang antara harga yang dibayarkan dengan barang yang ditransaksikan. Dan harga tunai harus seimbang dengan nominal barang tersebut. Jika ada tambahan yang tidak ada timbal baliknya, maka inilah riba.
Dalil dari As-Sunnah
عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه قال: “نهى النبي ﷺ عن صفقتين في صفقة”.
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi ﷺ melarang dua transaksi dalam satu transaksi.”
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: “نهى النبي ﷺ عن بيعتين في بيعة”.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi ﷺ melarang dua jual beli dalam satu jual beli.”
Dan dalam satu riwayat, “Barangsiapa melakukan dua jual beli dalam satu jual beli, maka ia mendapatkan harga yang paling rendah atau terjerumus ke dalam riba.”
Di antara kedua pendapat di atas, pendapat yang kuat, wallahu ‘alam, adalah pendapat yang membolehkan jual beli dengan harga yang berbeda antara tunai dan kredit. Hal ini berdasarkan dua alasan berikut ini:
Pertama, hukum asal pada masalah muamalah harta adalah mubah hukumnya. Kaidah ini adalah kaidah yang sangat kuat dalam masalah muamalah. Selama tidak ada dalil yang mengharamkannya, maka hukumnya adalah mubah.
Kedua, bentuk jual beli kredit merealisasikan kemaslahatan untuk masyarakat. Mengingat jual beli kredit itu mempermudah masyarakat untuk melakukan aktivitas jual beli dan membawa pergerakan ekonomi. Sehingga masyarakat pun bisa saling melakukan transaksi tanpa melakukan pelanggaran syariat.
Oleh karena itu, banyak dari para ulama di zaman ini memfatwakan akan bolehnya. Namun tentunya terdapat beberapa ketentuan yang harus diperhatikan akan perbedaan harga tersebut. Di antaranya,
Pertama, tambahan yang ada tidak boleh dalam bentuk yang menzalimi. Misalnya, memperdaya pembeli dikarenakan pembeli sangat butuh terhadap barang itu, dan akhirnya harga kredit pun ditinggikan (secara tidak wajar).
Kedua, tidak ada syarat yang mengikat berupa denda tambahan jika pembeli tidak dapat membayarnya. Karena hal tersebut termasuk riba yang diharamkan.
Semoga bermanfaat. Wallahu’alam.
[Bersambung]
***
Depok, 29 Syawal 1446/ 27 April 2025
Penulis: Zia Abdurrofi
Artikel Muslim.or.id
Referensi:
Secara umum, pembahasan ini diringkas dari kitab Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy, karya Dr. Abdunnur Farih Ali; dan beberapa referensi lainnya.