Donasi Muslim.or.id
Muslim.or.id
khutbah jumat
  • Aqidah
  • Manhaj
  • Landasan Agama
  • Penyejuk Hati
  • Fikih
  • Sejarah
  • Khotbah Jum’at
  • Kalkulator Waris
  • E-Book
No Result
View All Result
  • Aqidah
  • Manhaj
  • Landasan Agama
  • Penyejuk Hati
  • Fikih
  • Sejarah
  • Khotbah Jum’at
  • Kalkulator Waris
  • E-Book
No Result
View All Result
Muslim.or.id
No Result
View All Result
Donasi Muslim.or.id Donasi Muslim.or.id

Hukum Shalat dengan Menghadap Sutrah (Bag. 4)

dr. M Saifudin Hakim, M.Sc., Ph.D. oleh dr. M Saifudin Hakim, M.Sc., Ph.D.
14 Desember 2019
Waktu Baca: 5 menit
0
41
SHARES
227
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Baca pembahasan sebelumnya Hukum Shalat dengan Menghadap Sutrah (Bag. 3)

Daftar Isi sembunyikan
1. Adakah Ketentuan Tinggi dan Lebar Sutrah?
1.1. Ketentuan Lebar Sutrah
1.2. Ketentuan Tinggi Sutrah
2. Bolehkah Membuat Garis Sebagai Sutrah?

Adakah Ketentuan Tinggi dan Lebar Sutrah?

Sutrah itu bisa berupa tiang; tembok -meskipun pendek (pembatas)-; pelana; kendaraan; pohon; dipan tempat tidur; tongkat; batu dan sebagainya. [1]

Sebagian ulama membolehkan menjadikan sajadah sebagai sutrah dan menganggap ujung sajadah sebagai batas sutrah. Ash-Shan’ani rahimahullah berkata,

Majelis ilmu di bulan ramadan

وقاس الشافعية على ذلك بسط المصلي لنحو سجادة بجامع إشعار المار أنه في الصلاة، وهو صحيح.

“Ulama Syafi’iyyah meng-qiyas-kan hamparan sajadah orang shalat dengan hal itu –yaitu membuat garis sebagai sutrah-. Hal ini karena ada kesamaan dalam hal sebagai isyarat bagi orang-orang yang lewat bahwa dia sedang shalat. Qiyas ini shahih.” (Subulus Salaam, 1: 284)

Baca Juga: Pelajari Tata Cara Shalat Dengan Benar

Ketentuan Lebar Sutrah

Tidak ada batasan atau ketentuan untuk lebar sutrah, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat menghadap al-‘anazah, yaitu semacam tongkat yang ujung bawahnya lancip. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga shalat dengan menghadap tombak. Dalam hadits dari Sabrah yang telah kami sebutkan di seri sebelumnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ، فَلْيَسْتَتِرْ لِصَلَاتِهِ، وَلَوْ بِسَهْمٍ

“Jika salah seorang di antara kalian shalat, pasanglah sutrah, meskipun dengan ujung (pangkal) anak panah.” (HR. Ahmad 24: 57, dengan sanad yang hasan)

Baca Juga: Kiat-Kiat Meraih Shalat Khusyuk (Bag. 1)

Ketentuan Tinggi Sutrah

Adapun tinggi sutrah, maka telah kami sebutkan hadits Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu yang menunjukkan bawa tingginya itu semisal dengan pelana. Pelana adalah semacam kayu yang digunakan sebagai tempat bersandar orang yang naik hewan tunggangan, misalnya unta. Tingginya sekitar satu hasta, sebagaimana yang ditegaskan oleh ulama tabi’in, yaitu Atha’. 

Ibnu Juraij menceritakan, ‘Atha’ berkata,

كَانَ مَنْ مَضَى يَجْعَلُونَ مُؤَخِّرَةَ الرَّحْلِ إِذَا صَلُّوا ، قُلْتُ: وَكَمْ بَلَغَكَ؟ قَالَ: قَدْرُ مُؤَخِّرَةِ الرَّحْلِ قَالَ: ذِرَاعٌ قَالَ: وَسَمِعْتُ الثَّوْرِيَّ يُفْتِي بَقَوْلِ عَطَاءٍ

“Orang-orang terdahulu menjadikan pelana (sebagai sutrah) ketika mereka shalat. Aku (Ibnu Juraij) berkata, “Berapa tingginya?” ‘Atha’ berkata, “Setinggi pelana unta.” ‘Atha’ berkata (lagi), “(Setinggi) satu hasta.” Ibnu Juraij berkata, “Dan aku mendengar Ats-Tsauri berfatwa sebagaimana perkataan ‘Atha’.” (Riwayat ‘Abdur Razaq no. 2272 dan atsar ini shahih)

Adapun An-Nawawi rahimahullah menyebutkan bahwa tingginya sekitar dua pertiga hasta. (Syarh Shahih Muslim, 4: 463)

Sehingga dzahirnya, ketinggiannya bervariasi. Wallahu Ta’ala a’lam. 

Perlu diketahui bahwa dzahir dari dalil-dalil yang ada menunjukkan bahwa orang yang shalat itu menjadikan sutrah tepat di hadapannya, tidak menyimpang darinya. 

Baca Juga: Jangan Sembarang Maju Menjadi Imam Shalat

Bolehkah Membuat Garis Sebagai Sutrah?

Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ، فَلْيَجْعَلْ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ شَيْئًا، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ، فَلْيَنْصِبْ عَصًا، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ، فَلْيَخُطَّ خَطًّا، ثُمَّ لَا يَضُرُّهُ مَا مَرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ

“Jika salah seorang dari kalian shalat, hendaklah meletakkan sesuatu di depannya. Jika tidak mendapatkan sesuatu, hendaklah menancapkan tongkat. Dan jika tidak mendapatkan, hendaklah membuat garis. Setelah itu, tidak akan membahayakannya apa-apa yang melintas di depannya.” (HR. Ibnu Majah no. 943 dan Ahmad 12: 355)

Status hadits di atas diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian ulama menilai hadits di atas lemah (dha’if). Di antara yang menilai dha’if adalah Ibnu Shalah, Syaikh Al-Albani dan Syaikh Syu’aib Al-Arnauth. Sebagian yang lain menilai bahwa hadits ini derajatnya hasan. Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam Bulughul Maraam,

ولم يصب من زعم أنه مضطرب بل هو حسن

“Tidaklah tepat orang yang menganggap bahwa hadits ini mudhtharib (salah satu jenis hadits dha’if, pent.), bahkan hadits ini statusnya hasan.”

Berdasarakan hal ini, boleh menjadikan garis sebagai sutrah. Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa lantai rumah atau masjid pada jaman dahulu terbuat dari pasir dan kerikil. Sehingga ketika dibuat garis, akan muncul bekas yang nyata terlihat. Adapun lantai masjid hari ini dilapisi dengan tikar atau karpet. Garisnya hanyalah berupa warna saja, tidak ada bekas garis nyata yang terlihat sebagaimana membuat garis di lantai pasir.

Sebagian ulama menilai bahwa semua yang diyakini sebagai sutrah, maka mencukupi. Sisi pendalilannya adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Dan jika tidak mendapatkan, hendaklah membuat garis.” “Garis” yang Nabi sebutkan bersifat mutlak, atau tidak ada tambahan keterangan atau syarat apa pun, sehingga bersifat umum. Artinya, mencakup garis yang memang nyata terlihat bekas garis dan tidak terlihat nyata karena hanya berupa warna yang terlihat di karpet. 

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,

فالظاهر: أن هذه الخطوط الملونة لا تكفي، لكن لو فُرض أن فيه خيطاً بارزاً في طرف الحصير، أو في طرف الفراش لصحَّ أن يكون سُتْرة، لأنه بارز.

“Yang lebih mendekati, garis berupa warna tertentu (di karpet atau di lantai) ini tidaklah mencukupi. Akan tetapi, seandainya ada garis yang menonjol di ujung tikar atau di ujung karpet, niscaya hal itu sudah mencukupi karena ada bentuk yang menonjol.” (Asy-Syarhul Mumti’, 3: 280)

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah berkata,

فإن لم يجد وضع شيئا كعصا أو نحوها أو خط خطا إن كان في أرض يتضح فيها الخط مع العلم بأن السترة سنة وليست واجبة

“Jika dia tidak mendapatkan sesuatu sebagai sutrah, maka dia letakkan tongkat atau semacamnya. Atau membuat garis jika dia shalat di atas tanah yang garis itu tampak jelas. Hal ini disertai dengan ilmu (keyakinan) bahwa sutrah itu sunnah dan bukan wajib.” (Majmu’ Al-Fataawa Ibnu Baaz, 11: 105)

Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafidzahullah berkata,

والأفضل أن تكون السترة مرتفعة قدر مؤخرة الرحل، فإن لم يجد شيئًا شاخصًا؛ خط خطًّا

“Yang afdhal adalah sutrah itu sesuatu yang tegak berdiri setinggi pelana unta. Jika tidak menemukan sesuatu yang bisa ditegakkan, (dia boleh) membuat garis.” (Al-Muntaqa min Fataawa Al-Fauzan, 49: 12)

Baca Juga:

  • Fikih Shalat Dhuha
  • Keutamaan-Keutamaan Ibadah Shalat

[Bersambung]

***

@Rumah Lendah, 14 Shafar 1441/13 Oktober 2019

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki:

[1] Lihat Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim, 4: 463.

Tags: cara shalatfikihfikih shalathukum sutrahibadahibadah shalatpanduan shalatShalatshalat berjamaahshalat fardhushalat menghadap sutrahshalat sunnahshalat wajibsutrahtata cara shalattentang sutrahtuntunan shalat
SEMARAK RAMADHAN YPIA
dr. M Saifudin Hakim, M.Sc., Ph.D.

dr. M Saifudin Hakim, M.Sc., Ph.D.

Alumni Ma'had Al-'Ilmi Yogyakarta (2003-2005). Pendidikan Dokter FK UGM (2003-2009). S2 (MSc) dan S3 (PhD) Erasmus University Medical Center Rotterdam dalam bidang Virologi dan Imunologi (2011-2013 dan 2014-2018).

Artikel Terkait

Sengaja safar agar tidak berpuasa

Fatwa Ulama: Hukum Sengaja Melakukan Safar agar Tidak Berpuasa

oleh dr. M Saifudin Hakim, M.Sc., Ph.D.
25 Maret 2023
0

Fadhilatusy syaikh, bagaimanakah hukum orang yang sengaja safar (melakukan perjalanan jauh) di bulan Ramadan agar bisa tidak berpuasa? Bagaimanakah hukumnya?

Khiyar rukyah

Serial Fikih Muamalah (Bag. 17): Mengenal Khiyar Rukyah dan Pengaruhnya terhadap Akad Jual Beli

oleh Muhammad Idris, Lc.
14 Maret 2023
0

Pada kesempatan kali ini, insyaAllah akan kita bahas lebih mendalam hak khiyar rukyah dari sisi syariat Islam.

hukum haji anak kecil

Hukum Umrah atau Haji Anak Kecil

oleh Ahmad Anshori, Lc
14 Maret 2023
0

Ada perbedaan perndapat ahli fikih tentang keabsahan umrah atau haji anak kecil.

Artikel Selanjutnya
hukum shalat menghapat sutrah

Hukum Shalat dengan Menghadap Sutrah (Bag. 5)

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

donasi muslim.or.id donasi muslim.or.id donasi muslim.or.id
Muslim.or.id

Kantor Sekretariat Yayasan Pendidikan Islam Al-Atsari (YPIA).

Pogung Rejo RT 14 RW 51 no. 412
Sinduadi, Mlati, Sleman, D.I Yogyakarta, Indonesia, 55284.

Media Partner

YPIA | Muslimah.or.id | Radio Muslim | FKIM

Buletin At Tauhid | MUBK | Mahad Ilmi | FKKA

Kampus Tahfidz | Wisma Muslim | SDIT Yaa Bunayya

Wisma Muslimah | Rumah Tahfidz Ashabul Kahfi

Ikuti Kami

  • Tentang Kami
  • Donasi
  • Pasang Iklan
  • Kontak

© 2023 Muslim.or.id - Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

No Result
View All Result
  • Aqidah
  • Manhaj
  • Landasan Agama
  • Penyejuk Hati
  • Fikih
  • Sejarah
  • Khotbah Jum’at
  • Kalkulator Waris
  • E-Book

© 2023 Muslim.or.id - Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Donasi Muslim.or.id