Hendaknya kaum Muslimin memulai dan mengakhiri puasa Ramadhan bersama pemerintah. Sehingga tercapai persatuan dan kebersamaan dalam melaksanakan ibadah yang agung ini.
Dalam sebuah hadits,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : ” الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Hari puasa adalah hari ketika orang-orang berpuasa, Idul Fitri adalah hari ketika orang-orang berbuka, dan Idul Adha adalah hari ketika orang-orang menyembelih‘” (HR. Tirmidzi 632, Ad Daruquthni 385).
Dalam lafadz yang lain:
صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ , وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ
“Kalian berpuasa ketika kalian semuanya berpuasa, dan kalian berbuka ketika kalian semua berbuka” (HR Ad Daruquthni 385, Ishaq bin Rahawaih dalam Musnad-nya 238).
Derajat Hadits
At Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan gharib”. An Nawawi berkata: “Sanad hadits ini hasan” (Al Majmu’, 6/283). Syaikh Al Albani berkata: “Sanad hadits ini jayyid” (Silsilah Ahadits Shahihah, 1/440).
Faidah Hadits
Pertama: Puasa dan lebaran bersama pemerintah dan mayoritas orang setempat
At Tirmidzi setelah membawakan hadits ini ia berkata: “Hadits ini hasan gharib, sebagian ulama menafsirkan hadits ini, mereka berkata bahwa maknanya adalah puasa dan berlebaran itu bersama Al Jama’ah dan mayoritas manusia”.
Ash Shan’ani berkata: “Hadits ini dalil bahwa penetapan lebaran itu mengikuti mayoritas manusia. Orang yang melihat ru’yah sendirian wajib mengikuti orang lain dan mengikuti penetapan mereka dalam shalat Ied, lebaran dan idul adha” (Subulus Salam 2/72, dinukil dari Silsilah Ash Shahihah 1/443)
Al Munawi mengatakan: “Makna hadits ini, puasa dan berlebaran itu bersama Al Jama’ah dan mayoritas manusia” (At Taisiir Syarh Al Jami’ Ash Shaghir, 2/106)
Syaikh Al Albani menjelaskan, bahwa makna ini juga dikuatkan oleh hadits ‘Aisyah, ketika Masruq (seorang tabi’in) menyarankan beliau untuk tidak berpuasa ‘Arafah tanggal 9 Dzulhijjah karena khawatir hari tersebut adalah tanggal 10 Dzulhijjah yang terlarang untuk berpuasa. Lalu ‘Aisyah menjelaskan kepada Masruq bahwa yang benar adalah mengikuti Al Jama’ah. ‘Aisyah radhiallahu’anha berdalil dengan hadits:
النحر يوم ينحر الناس، والفطر يوم يفطر الناس
“An Nahr (Idul Adha) adalah hari ketika orang-orang menyembelih dan Idul Fitri adalah hari ketika orang-orang berlebaran” (Lihat Silsilah Ahadits Shahihah 1/444)
Perlu diketahui, bahwa istilah Al Jama’ah maknanya adalah umat Islam yang berkumpul bersama ulama dan penguasa muslim yang sah, mereka yang senantiasa meneladani ajaran Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dengan pemahaman para sahabat Nabi. Mengenai istilah ini silakan baca artikel Makna Al Jama’ah dan As Sawadul A’zham. Maka mengikuti Al Jama’ah dalam hal penentuan Ramadhan dan hari raya adalah mengikuti keputusan pemerintah muslim yang sah yang berkumpul bersama para ulamanya yang diputuskan melalui metode-metode yang sesuai dengan sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.
Hal ini juga dalam rangka mengikuti firman Allah Ta’ala :
أطِيعُوا الله وأطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولى الأمْرِ مِنْكُمْ
“Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya serta ulil amri kalian” (QS. An Nisa: 59)
Memang bisa jadi imam atau pemerintah berbuat kesalahan dalam penetapan waktu puasa, semisal melihat hilal yang salah, atau menolak persaksian yang adil dan banyak, atau juga menerima persaksian yang sebenarnya salah, atau kesalahan-kesalahan lain yang mungkin terjadi. Namun yang dibebankan kepada kita sebagai rakyat adalah hal ini adalah sekedar ta’at dan menasehati dengan baik jika ada kesalahan. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
اسمعوا وأطيعوا فإنما عليكم ما حملتم وعليهم ما حملوا
“Dengar dan taatlah (kepada penguasa). Karena yang jadi tanggungan kalian adalah yang wajib bagi kalian, dan yang jadi tanggungan mereka ada yang wajib bagi mereka” (HR. Muslim 1846)
Kedua: Urusan penetapan waktu puasa dan lebaran adalah urusan pemerintah
As Sindi menjelaskan, “Nampak dari hadits ini bahwa urusan waktu puasa, lebaran dan idul adha, bukanlah urusan masing-masing individu, dan tidak boleh bersendiri dalam hal ini. Namun ini adalah urusan imam (pemerintah) dan al jama’ah. Oleh karena itu wajib bagi setiap orang untuk tunduk kepada imam dan al jama’ah dalam urusan ini. Dari hadits ini juga, jika seseorang melihat hilal namun imam menolak persaksiannya, maka hendaknya orang itu tidak menetapkan sesuatu bagi dirinya sendiri, melainkan ia hendaknya mengikuti al jama’ah” (Hasyiah As Sindi, 1/509).
Hal ini juga didukung oleh dalil yang lain yang menunjukkan bahwa urusan penetapan puasa dan lebaran adalah urusan pemerintah. Sebagaimana yang dipraktekan di zaman Nabi. Sahabat Ibnu Umar berkata:
«تَرَائِى النَّاسُ الْهِلَالَ،» فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنِّي رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ، وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ
“Orang-orang melihat hilal, maka aku kabarkan kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bahwa aku melihatnya. Lalu beliau memerintahkan orang-orang untuk berpuasa” (HR. Abu Daud no. 2342, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud)
أَنَّ رَكْبًا جَاءُوا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَشْهَدُونَ أَنَّهُمْ رَأَوُا الْهِلَالَ بِالْأَمْسِ، فَأَمَرَهُمْ أَنْ يُفْطِرُوا، وَإِذَا أَصْبَحُوا أَنْ يَغْدُوا إِلَى مُصَلَّاهُمْ
“Ada seorang sambil menunggang kendaraan datang kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ia bersaksi bahwa telah melihat hilal di sore hari. Lalu Nabi memerintahkan orang-orang untuk berbuka dan memerintahkan besok paginya berangkat ke lapangan” (HR. At Tirmidzi no.1557, Abi Daud no.1157 dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud)
Hadits Ibnu Umar di atas menunjukkan bahwa urusan penetapan puasa diserahkan kepada pemerintah bukan diserahkan kepada masing-masing individu atau kelompok masyarakat.
Ketiga: Persatuan umat lebih diutamakan daripada pendapat individu atau kelompok
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah menuturkan:
Ketentuan seperti inilah yang layak bagi syariat yang samahah ini yang salah satu tujuannya adalah persatuan ummat dan bersatunya mereka dalam satu barisan, serta menjauhkan segala usaha untuk memecah belah umat dengan adanya pendapat-pendapat individu. Pendapat-pendapat individu (walaupun dianggap benar), dalam perkara ibadah jama’iyyah seperti puasa, shalat jama’ah, pendapat-pendapat itu tidak teranggap dalam syariat.
Tidakkah anda lihat para sahabat Nabi bermakmum kepada sahabat yang lain? Padahal diantara mereka ada yang berpendapat bahwa menyentuh wanita, menyentuh kemaluan, keluar darah adalah pembatal wudhu sedangkan sebagiannya tidak berpendapat demikian. Sebagian mereka ada yang shalat dengan rakaat sempurna ketika safar, dan ada yang meng-qashar. Namun ikhtilaf ini tidak membuat mereka enggan bersatu dalam satu shaf shalat dan menjadi makmum bagi yang lain dan tetap menganggap shalatnya sah. Itu karena mereka mengetahui bahwa berpecah-belah dalam masalah agama itu lebih buruk daripada kita menyelisihi sebagian pendapat.
Pernah terjadi di antara mereka, sebuah kasus adanya sahabat yang enggan mengikuti pendapat imam yang berkuasa dalam sebuah masyarakat yang besar di Mina. Bahkan sampai ia enggan beramal dengan pendapat sang imam secara mutlak karena khawatir terjadi keburukan jika beramal sesuai dengan pendapat sang imam. Abu Daud (1/307) meriwayatkan
أن عثمان رضي الله عنه صلى بمنى أربعا، فقال عبد الله بن مسعود منكرا عليه: صليت مع النبي صلى الله عليه وسلم ركعتين، ومع أبي بكر ركعتين، ومع عمر ركعتين، ومع عثمان صدرا من إمارته ثم أتمها، ثم تفرقت بكم الطرق فلوددت أن لي من أربع ركعات ركعتين متقبلتين، ثم إن ابن مسعود صلى أربعا! فقيل له: عبت على عثمان ثم صليت أربعا؟ ! قال: الخلاف شر
‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu’anhu shalat di Mina empat raka’at. Maka Ibnu Mas’ud pun mengingkari hal ini dan berkata: “Aku pernah shalat bersama Nabi Shallallahu’alahi Wasallam dua raka’at (diqashar), bersama Abu Bakar dua raka’at, bersama Umar dua rakaat, dan bersama ‘Utsman di awal pemerintahannya, beliau melakukannya dengan sempurna (empat raka’at, tidak diqashar). Setelah itu berbagai jalan (manhaj) telah memecah belah kamu semua. Dan aku ingin sekiranya empat raka’at itu tetap menjadi dua raka’at. Namun setelah itu Ibnu Mas’ud shalat empat raka’at. Ada yang bertanya: ‘Ibnu Mas’ud, engkau mengkritik Utsman namun tetap shalat empat raka’at?’. Ibnu Mas’ud menjawab: ‘Perselisihan itu buruk’”
Sanad hadits ini shahih, diriwayatkan juga oleh Ahmad (5/155) semisal ini dari sahabat Abu Dzar radhiallahu’anhu.
Renungkanlah hadits ini dan juga atsar yang kami sebutkan, khususnya bagi orang-orang yang selalu saja berselisih dalam shalat mereka, tidak mengikuti para imam masjid. Terutama dalam shalat witir di bulan Ramadhan, dengan alasan beda madzhab. Sebagian mereka juga ada yang menyerukan ilmu falak, lalu mereka berlebaran sendiri lebih dahulu atau lebih akhir daripada mayoritas kaum muslimin, karena menggunakan pendapat dan ilmu falak mereka. Dengan sikap acuh-tak-acuh mereka menyelisihi kaum muslimin. Hendaknya mereka ini merenungkan ilmu yang kami sampaikan, mudah-mudahan mereka bisa memahaminya. Sebagai obat dari kejahilan dan ketertipuan mereka. Sehingga akhirnya mereka bisa bersatu dalam barisan bersama kaum muslimin yang lain, karena tangan Allah bersama Al Jama’ah (Silsilah Ahadits Shahihah, 1/445)
Keempat: Isyarat tentang adanya perselisihan umat dalam masalah penetapan puasa
Hadits di atas juga merupakan isyarat dari Nabi bahwa akan ada orang dan kelompok-kelompok yang menyelisihi petunjuk Nabawi dalam penentuan waktu puasa. Al Mubarakfuri berkata: “Sebagian ulama menafsirkan hadits ini, maknanya adalah kabar bahwa manusia akan terpecah menjadi kelompok-kelompok dan menyelisihi petunjuk Nabawi. Ada kelompok yang menggunakan hisab, ada kelompok yang berpuasa atau berwukuf lebih dulu bahkan mereka menjadikan hal itu syi’ar kelompok mereka, merekalah bathiniyyah. Namun yang selain mereka adalah mengikuti petunjuk Nabawi, yaitu golongan orang-orang yang zhahir ‘alal haq, merekalah yang didalam hadits di atas disebut an naas, merekalah as sawaadul a’zham, walaupun jumlah mereka sedikit”. (Tuhfatul Ahwazi, 3/313)
Jika Pemerintah Menggunakan Metode Hisab?
Syaikh Dr. Saad asy Syatsri, mantan anggota Lajnah Daimah dan Haiah Kibar Ulama KSA, mengatakan, “Seandainya penguasa di sebuah negara menetapkan hari raya berdasarkan hisab maka apa yang seharusnya dilakukan oleh rakyat ketika itu?” Hal ini diperselisihkan oleh para ulama.
Mayoritas ulama mengatakan hendaknya rakyat mengikuti keputusan pemerintah. Dosa ditanggung pemerintah sedangkan rakyat bebas dari tanggung jawab terkait hal ini.
Alasan mayoritas ulama adalah karena dalil-dalil syariat memerintahkan dan mewajibkan rakyat untuk mentaati pemerintah. Dengan demikian, gugurlah kewajiban rakyat dengan mentaati keputusan pemerintah dan tanggung jawab di akhirat tentang hal ini dipikul oleh pemerintah.
Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa jika pemerintah menetapkan hari raya berdasarkan hisab maka keputusannya tidak ditaati sehingga rakyat berhari raya sebagaimana hasil rukyah yang benar. Rakyat tidak boleh beramal berdasarkan keputusan pemerintah tersebut.
Imam Malik mengatakan bahwa alasannya adalah adanya ijma ulama yang mengatakan bahwa hisab tidak boleh menjadi dasar dalam penetapan hari raya dan dalil-dalil syariat pun menunjukkan benarnya hal tersebut.
Dalam kondisi tidak taat kepada pemerintah tidaklah bertentangan dengan berbagai dalil yang memerintahkan rakyat untuk mentaati pemerintah dalam kebaikan semisal hadits
إنما الطاعة في المعروف
‘Ketaatan kepada makhluk itu hanya berlaku dalam kebaikan’
dan hadits:
لا طاعة لمخلوق في معصية الله
‘Tidak ada ketaatan kepada makhluk jika untuk durhaka kepada Allah’
Kesimpulannya, yang tepat pendapat mayoritas ulama dalam masalah ini itu lebih kuat dari pada pendapat Imam Malik. Sehingga wajib bagi rakyat untuk mengikuti keputusan pemerintah terkait penetapan hari raya sedangkan dosa menjadikan hisab sebagai landasan penetapan hari raya itu ditanggung oleh pemerintah yang memutuskan hari raya berdasarkan hisab” (Di kutip dari blog ustadz aris munandar)
—
Penulis: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id
bismillah… Bgmn seharusnya yg dilakukan istri jk suaminya sudah menetapkan akan memulai puasa dg mengikuti klmpok tertentu yg menggunakan hisab.istri hrs mengikuti suami atau ttp mengikuti pemerintah?
#ummu nawwaf
Tidak ada ketaatan pada suami dalam perkara yang tidak dibenarkan oleh syariat
bukankah artikel ini sendiri menyebutkan “mayoritas manusia”. Apakah itu tidak berarti berpuasa dan idul fitri bersama mayoritas kaum muslim dunia?
#Rani
Yang dimaksud adalah orang-orang setempat
Bagaimana dng DIY yg bisa dibilang 80-90% masyarakat muslimnya ikut ketetapan muhammadiyyah. Krn jika ikut pemerintah, syiar “berbuka bersama-sama” tidak tercapai di daerah ini.
Tetap ikut pemerintah, karena:
1. Ikut dalil
2. Yang bisa mempersatukan dan membersamakan itu pemerintah
apakah wajib bagi umat untuk mengikuti pemerintah jika kita sudah tahu bahwa apa yang diputuskan pemerintah tersebut keliru….seperti tahun lalu ada saksi yang telah melihat hilal tetapi tetap tidak diakui.
#citra
Pertama, belum tentu kesalahan selalu dari pihak pemerintah. Kesalahan bisa saja terjadi dari pihak saksi hilal. Maka kita harus tahu duduk perkara sebenarnya jangan cuma dari berita.
Kedua, alhamdulillah pemerintah kita di sini bekerja sama dengan ormas-ormas Islam besar dan pakar-pakar astronomi. Hal ini membuat keputusan pemerintah lebih kuat.
Ketiga, sudah kami bahas di atas, yang wajib bagi kita sebagai rakyat adalah ta’at kepada pemerintah. Kalau pemerintah salah dosa ditanggung pemerintah. Dan puasa kita tetap sah berdasarkan hadits yang dibahas di atas.
Assalamualaikum Warohmatulloh Wabarokatuh Ya Ustadz
saya mau bertanya. Lantas bagaimana hukumnya jika tidak mengikuti pemerintah?
karna saya lebih condong ke Muhammadiyah
Terima kasih sebelumnya :-)
#Taufik
Wa’alaikumussalam Warahmatullah Wabarakatuh, bertaqwalah kepada Allah, taati firman Allah Ta’ala :
أطِيعُوا الله وأطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولى الأمْرِ مِنْكُمْ
“Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya serta ulil amri kalian” (QS. An Nisa: 59)
Dan jangan menentang sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam :
اسمعوا وأطيعوا فإنما عليكم ما حملتم وعليهم ما حملوا
“Dengar dan taatlah (kepada penguasa). Karena yang jadi tanggungan kalian adalah yang wajib bagi kalian, dan yang jadi tanggungan mereka ada yang wajib bagi mereka” (HR. Muslim 1846)
ahsan…..ana setuju
Lihatlah apa yang dikatakan Ibnu Mas’ud -radhiyallahu ‘anhu- : ‘Perselisihan itu buruk’”
Semoga Kaum Muhammadiyah diberikan hidayah untuk mentaati pemerintah.. Aamiin.
Insyallah kita ikuti pemerintah,.. sambil tetp berfikir kritis sebagai wujud kontrol kita kepada pemerintah,..
perbedaan adalah rahmat selama perbedaan itu tidak memecahkan kita
Orang-orang setempat di tempat saya tinggal, Alhamdulillah Puasa mulai hari ini, Jum’at 20 Juli 2012, termasuk pemerintahnya.. Kompak semua, dari Sore sejak Matahari terbenam, semua sudah mempersiapkan diri untuk menyambut Sholat Tarawih pertama… sesuai pembahasan di-atas, saya memahaminya adalah Pemerintah Setempat (Pemerintah Daerah) bukan pemerintah Pusat.. karena kalau sekala Pusat, Mekkah dan sekitarnya juga mulai puasa hari ini 20 Juli 2012.
@ Sunoto
Itu pemahaman Anda, dan kami nyatakan keliru. Yg dimaksud dg pemahaman artikel adl ikut pemerintah pusat.
Tapi ane bener-bener bingung justru di lingkungan ane nih kebanyakan yang puasa hari sabtu tu yang pada , ngak peduli tentang agamanya pada tidak mau belajar, bahkan bukan sering meninggalkan sholat, ya pada kenyataan ya sampai subuh tadi pun tetep ngak sholoat hingga matahari sudah terang. padahal giliran acara maulid,nisfu, dan yang lain-nya gesit banget,, terus gimana tuh jadi mana yang harus diikutin, padahal yang puasa di hari ini di lingkungan ini kebanyakan orang-orang yang sholat nya istiqomah berjamaah di masjid lima waktu… saya jadi tambah bingung.
mohon penjelasannya yaaa..
Dari artikel Makna Al Jama’ah dan As Sawadul A’zham — Muslim.Or.Id by null
@ Arif
Artikel di atas tidak mengatakan Anda ikut masyarakat Anda yang giat maksiat, namun ikutilah pemerintah.
Betul. Sepakat. Kita hidup di Indonesia, jadi kita ikut pemerintah Indonesia.
Sayang sekali banyak yang lebih memilih kepentingan golongan sehingga walaupun sudah diberi tahu tentang ini, tetap saja mereka tak mau paham dan lebih memilih keputusan golongan mereka.
alhamdulillah saya hari ini, dan saya tak akan mendegradasi pendapat orang untuk berpuasa hari Sabtu. selamat Berpuasa
bagaimana hukumnya berhukum dengan hukum Indonesia, karena kita tahu hukum Indonesia adalah hukum sekuler, sementara dalam Islam yang berhak menetapkan hukum adalah Alloh dan Rasul-Nya? Apakah kita yang hidup dan bernaung di bawah hukum sekuler Indonesia digolongkan sebagai kafir ashgar?
#dika
Justru pemerintah ikut mengurusi penetapan hilal ini bukti bahwa tidak dalam semua hal pemerintah kita sekuler.
seperti #dika. yang namanya sekuler bukanlah tidak mengakui agama. tapi memisahkan agama dari urusan kemasyarakatan. jadi kalaupun pemerintah mengurusi penetapan 1 Romadhon bukan dalam rangka taat kepada Alloh dan Rosul-Nya, tetapi tuntutan kemasyarakatan dimana mayoritas adalah muslim. Pemerintah Sekuler tidak akan peduli dg aqidah rakyatnya. Dalam hal penetapan masuknya Romadhon dan Syawal pemerintah hanya basa-basi menggunakan hilal, karena pada dasarnya pemerintah sudah menghitung dg hisab dan astronomi dg ketetapan bila ketinggian bulan kurang dari 2 derajat…maka kesaksian hilal HARUS DITOLAK.
Mengenai taat kepada pemerintah, mohon maaf kenapa ayatnya dipotong: “Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya serta ulil amri kalian” (QS. An Nisa: 59).
Ulil Amri minkum apakah hanya diartikan Ulil Amri kalian?
Kemudian potongan selanjutnya dari ayat tersebut apakah mungkin berlaku bagi pemerintah: “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa: 59)
Barangkali ini yang banyak dipikirkan para ikhwan. Mohon penjelasannya.
Bismillah,Sebenarnya jika semua umat Muslim di negara kita memilih taat kepada Ulul Amri ( QS.An nisa:59)dari pada golongannya atau ormasnya (karena tidak ada perintah taat kepada golongan) maka persatuan umat akan terwujud,tapi ternyata beginilah negara kita yang tercinta,dan selalu ada dalil yang dibawakan untuk membenarkannya.maka Indonesia menjadi negara yang berIdul fitri 2 kali,mungkin bisa di daftarkan ke MURI.
tapi konsisten, kalo pemerintah mau naikin BBM jangan pada ribut, ikuti pemerintah !!!!!
#agung
Silakan simak: https://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/menyikapi-naiknya-bbm.html
Ini akibat kebanyakan organisasi, jadi masing2 lebih mementingkan ego organisasinya masing masing. Bahkan demi organisasinya ada yang rela merendahkan sesama muslim yang bukan dari organisasinya.
Saya memiliki masalah yang hampir mirip dengan Pak Sunoto. Tahun lalu hampir (mungkin juga semua) orang di daerah saya tidak mengikuti keputusan pemerintah pusat, bahkan pemerintah kelurahan seolah-olah juga tidak mengikutinya (di kampung tingkat kelurahan itu sangat luas sekali, tidak sesempit di kota). (Hampir) semua orang sepakat berhari raya di hari yang berbeda dengan keputusan pemerintah pusat. Apakah salah jika saya menyamakan dengan mayoritas masyarakat setempat, yakni tidak mengikuti pemerintah?
#Arif F
Sebagian ulama memfatwakan untuk kasus demikian, anda berpuasa dan berbuka mengikuti masyarakat setempat, namun shalat Id mengikuti pemerintah. Wallahu’alam.
#YulianPurnama
Afwan, saya tidak bermaksud meremehkan jawaban Anda. Tapi saya butuh dalil yang kuat dan hujjah yang mantap bahwa pemerintah masih layak disebut ulil amri minkum. saudara #doni sudah cukup baik dalam menangkap maksud saya.
Mohon penjelasannya
Syukron
#dika dan #doni
Silakan baca artikel-artikel berikut:
https://muslim.or.id/manhaj/taat-kepada-penguasa.html
https://muslim.or.id/manhaj/mengapa-mudah-mengkafirkan-pemerintah.html
http://kangaswad.wordpress.com/2012/07/16/pemimpin-pemimpin-yang-berkata-dan-beramal-tanpa-ilmu/
Beberapa hari yang lalu saya sempat baca berita bahwa menurut lembaga pemerintah yang terkait dengan ke-astronomi-an (yang mungkin juga ikut sebagai peserta rapat penentuan awal Ramadan), bahwa tanggal 2 Agustus (nanti malam) bulan akan sempurna (purnama)- topik beritanya tidak terkait dengan puasa Ramadan. Fakta lain adalah bahwa bulan memutari bumi sekitar 29,54 hari (makanya ada saatnya puasa Ramadan 29 dan juga 30 hari). Pemikiran saya: bagaimana nalarnya, jika hari pertama bulan Ramadan tahun ini ditetapkan jatuh pada tanggal 21 Juli dan bulan telah mencapai sempurna (pertengahan Ramadan) pada tanggal 2 Agustus malam nanti? Mohon sharingnya, terima kasih.
#Hamba Allah
Beragama itu tidak cukup dengan nalar, tapi didasari dalil. Awal Ramadhan itu ditentukan dengan penglihatan terhadap hilal, bukan oleh posisi sebenarnya dari bulan. Jadi tidak masalah mau purnama tanggal berapapun. Silakan baca: https://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/menyoal-metode-hisab.html
nice…. saya sangat sepakat dengan artikel diatas..
indahnya kebersamaan akan tercipta, jika ukhuwah dan keberagaman lebih diutamakan :)
Assalamualaikum .
dari artikel di atas terdapat tulisan “Dosa ditanggung pemerintah sedangkan rakyat bebas dari tanggung jawab terkait hal ini.”
sedangkan Al-qur’an berkata “(yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain” (Q.S. An-Najm 38).
Mohon Penjelasan nya .
Dari artikel ‘Puasa dan Berhari Raya Bersama Pemerintah — Muslim.Or.Id’
#ikhwan
Wa’alaikumussalam, karena itu dosa pemerintah jika pemerintah tidak memakai tuntunan syar’i dalam penentuan hari-hari tersebut. Karena penentuannya adalah tanggung jawab pemerintah.
namun, adakah dalil yang shohih bahwa ketika melihat bulan itu, posisi bulan di atas 2 derajat ?
beberapa tahun ke belakang, pemerintah menetapkan bahwa posisi bulan harus di atas 3 derajat . nah, apakah ini membuktikan bahwa keterbatasan alat yang ada .
mohon penjelasan nya .
#ikhwan
Kaidah mengatakan “amrul amiir yarfa’ul khilaaf”, ketetapan pemerintah menghapuskan khilaf. Ketika ada yang berselisih soal teknis ru’yah, maka keputusannya ditangan pemerintah mengenai mana teknis ru’yah yang digunakan.
Assalamualaikum ustadz, izin share artikelnya
apakah hisab itu bid’ah kok ditolak. itu bukan ramalan tapi perhitungan, bahkan beberapa tahun mendatang bisa diramal misal ada gerhana maka waktu n tempat bisa ditentukan secara presisi. kenapa kita harus mempertahankan naik unta klo sudah ada pesawat, mobil dsb. urun pendapat saja semoga bisa jadi renungan, jika salah mohon dimaafkan karena kefakiranku.
Di Indonesia, pemerintah dalam urusan ini adalah Kementerian agama/menteri agama, yg saat ini dari NU dengan metode Rukyat, dan suatu saat atau presiden mendatang, bisa saja menunjuk menteri agama dari Muhammadiyah dengan metode Hisab, jadi jika kita berpuasa dan berhari raya bersama Pemerintah, itu akan lebih baik karena kita tidak akan mempersoalkan lagi dan menerima penggunaan kedua metode tersebut baik Rukyat maupun Hisab oleh Pemerintah.
bagi saya ini sudah sangat mewakili apa yg terjadi saat ini.
“Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya serta ulil amri kalian” (QS. An Nisa: 59)
Yg di maksud di sini pemerintah (Ulil Amri) yg ber iman secara kafah bkn setengah²…
Ada dalil Al Qur’an QS Al baqoroh 166-167, yg menceritakan di akhirat, pemimpin akan lepas dari kesalahan yg dilakukan pengikutnya. Hingga saling tuntut Krn telah menyesatkan.
Jadi kalau kita bisa lepas dari kesalahan pimpinan Krn ikut2an pemimpin yg salah, lalu bagaimana dengan dalil Al Qur’an ini…?