Muslim.or.id
khutbah jumat
  • Aqidah
  • Manhaj
  • Landasan Agama
  • Penyejuk Hati
  • Fikih
  • Sejarah
  • Khotbah Jum’at
  • Kalkulator Waris
  • E-Book
No Result
View All Result
  • Aqidah
  • Manhaj
  • Landasan Agama
  • Penyejuk Hati
  • Fikih
  • Sejarah
  • Khotbah Jum’at
  • Kalkulator Waris
  • E-Book
No Result
View All Result
Muslim.or.id
No Result
View All Result
MUBK Februari 2023 MUBK Februari 2023

Kewajiban Puasa Ramadhan

Ari Wahyudi, S.Si. oleh Ari Wahyudi, S.Si.
21 April 2021
Waktu Baca: 5 menit
1
Kewajiban Puasa Ramadhan

Kewajiban Puasa Ramadhan

156
SHARES
859
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Allah Ta’ala berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan kepada kalian puasa, sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa” (QS. Al-Baqarah: 183).

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata,

“Melalui ayat ini, Allah Ta’ala berfirman kepada orang-orang yang beriman. Allah memerintahkan mereka untuk berpuasa, yaitu menahan diri dari menikmati makanan, minuman, dan hubungan badan, dengan niat yang ikhlas untuk Allah ‘azza wa jalla. Sebab di dalam ibadah puasa itu terkandung penyucian jiwa, pembersihan dan penjernihannya dari segala kotoran dosa dan akhlak yang rendah (buruk). Allah menyebutkan bahwa Allah mewajibkan puasa kepada mereka sebagaimana Allah juga mewajibkannya kepada orang-orang sebelum mereka. Sehingga mereka memiliki teladan dalam hal itu. Oleh sebab itu, hendaknya mereka bersungguh-sungguh dalam menunaikan kewajiban ini lebih sempurna daripada yang telah dilakukan oleh orang-orang sebelum mereka” (Lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 1: 277; cet. Maktabah at-Taufiqiyah).

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Di dalam ayat “Sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian” terkandung beberapa faidah.

Pertama: pentingnya puasa, karena Allah ‘azza wa jalla juga mewajibkannya kepada umat-umat sebelum kita. Hal ini menunjukkan kecintaan Allah ‘azza wa jalla terhadapnya, dan bahwasanya ibadah ini wajib bagi setiap umat.

Kedua: meringankan beban umat ini, karena mereka tidak sendirian dalam pembebanan ibadah puasa ini yang terkadang bisa menimbulkan kesulitan bagi jiwa (perasaan) dan badan.

Ketiga: isyarat yang menunjukkan bahwasanya Allah Ta’ala telah menyempurnakan agama bagi umat ini tatkala Allah sempurnakan untuk mereka berbagai keutamaan yang pernah ada pada umat-umat sebelum mereka” (Lihat Syarh Tsalatsah al-Ushul, hlm. 52).

Baca Juga:  Bertekad Kuat Mengkhatamkan Al-Quran Selama Ramadhan

Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata,

“Sesungguhnya puasa merupakan salah satu sebab paling utama untuk meraih ketakwaan. Karena di dalamnya terkandung penunaian perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Selain itu, kandungan takwa yang terdapat di dalam ibadah ini adalah: seorang yang berpuasa meninggalkan sesuatu yang diharamkan oleh Allah kepadanya yaitu makan, minum, jima’, dan lain sebagainya yang hawa nafsunya cenderung kepadanya. Dia melakukan hal itu demi mendekatkan diri kepada Allah. Dia mengharapkan pahala dari-Nya tatkala meninggalkan itu semua. Maka ini adalah termasuk bentuk ketakwaan.

Selain itu, kandungan takwa yang terdapat di dalam ibadah ini adalah seorang yang berpuasa menggembleng dirinya untuk merasa senantiasa diawasi oleh Allah Ta’ala. Sehingga dia akan meninggalkan apa yang diinginkan oleh hawa nafsunya walaupun sebenarnya dia mampu untuk melakukannya karena dia mengetahui bahwa Allah mengetahui apa yang dilakukannya.

Selain itu, dengan puasa akan menyempitkan jalan-jalan setan, karena sesungguhnya setan itu mengalir dalam tubuh manusia sebagaimana peredaran darah. Dengan puasa niscaya akan melemah kekuatannya dan mempersedikit kemaksiatan yang mungkin terjadi.

Selain itu, orang yang berpuasa biasanya lebih banyak berbuat ketaatan, sedangkan ketaatan merupakan bagian dari ketakwaan.

Selain itu, orang yang kaya apabila merasakan susahnya rasa lapar niscaya hal itu akan membuatnya peduli dan memiliki empati dengan orang-orang miskin papa, dan ini pun termasuk bagian dari ketakwaan” (Lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hlm. 86).

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata,

“Puasa Ramadhan adalah suatu bentuk ibadah (penghambaan) kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dengan meninggalkan makan, minum, dan jima’ (hubungan suami-istri) sejak terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Inilah hakikat puasa, yaitu seseorang beribadah kepada Allah dengan meninggalkan perkara-perkara ini, bukan meninggalkannya hanya sebagai sebuah kebiasaan atau karena ingin menjaga kesehatan badan. Akan tetapi, dia beribadah dengannya kepada Allah. Dia menahan dari menikmati makanan, minuman, dan berhubungan badan, demikian pula seluruh pembatal lainnya, dari sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari, dari sejak terlihatnya hilal Ramadhan hingga tampak hilal Syawwal” (Lihat Syarh Riyadhus Shalihin, 3: 380; cet. Dar al-Bashirah).

Imam Abu Ishaq asy-Syairazi rahimahullah berkata, “Puasa di bulan Ramadhan merupakan salah satu rukun Islam dan salah satu kewajiban agama yang harus ditunaikan. Dalilnya adalah hadis yang diriwayatkan Ibnu ‘Umar radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Islam dibangun di atas lima perkara; syahadat laa ilaha illallah wa anna Muhammadar Rasulullah, mendirikan salat, membayarkan zakat, haji, dan puasa Ramadhan” (HR. Bukhari no. 8 dan Muslim no. 16)” (Lihat al-Muhadzdzab fi Fiqhi al-Imam asy-Syafi’i, 1: 324).

Dari Thalhah bin ‘Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu, beliau menuturkan, ada seorang Arab badui yang datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan rambut yang acak-acakan. Dia berkata, “Wahai Rasulullah! Kabarkan kepadaku, salat apa yang diwajibkan kepadaku?” Beliau menjawab, “Salat lima waktu, kecuali kalau kamu mau menambah salat sunnah.” Lalu dia berkata, “Kabarkan kepadaku, puasa apa yang diwajibkan kepadaku?” Beliau menjawab, “Puasa di bulan Ramadhan, kecuali kamu mau menambah puasa sunnah” (HR. Bukhari dalam Kitab ash-Shaum no. 1891 dan Muslim dalam Kitab al-Iman no. 11).

Syaikh ‘Abdullah al-Bassam rahimahullah berkata, “Hadis-hadis yang menunjukkan kewajiban puasa cukup banyak. Kaum muslimin pun telah sepakat bahwa barangsiapa yang mengingkari kewajibannya, maka dia kafir” (Lihat Taudhih al-Ahkam, 3: 439).

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

“Tatkala mengekang hawa nafsu dari hal-hal yang disenangi dan diinginkan termasuk perkara yang paling berat dan sulit, maka kewajibannya pun diakhirkan hingga pertengahan masa Islam yaitu setelah hijrah; yaitu pada saat hawa nafsu mereka telah terdidik dengan tauhid dan salat serta terbiasa dengan perintah-perintah Al-Quran. Maka sesudah itu baru beralih kepada diwajibkannya puasa secara bertahap.

Puasa baru diwajibkan pada tahun kedua setelah hijrah. Tatkala wafat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjalani sembilan kali puasa Ramadhan. Pada awalnya, puasa diwajibkan dengan disertai pilihan; antara berpuasa atau memberikan makan kepada satu orang miskin sebagai ganti satu hari tidak puasa. Kemudian berpindah dari keadaan boleh memilih ini kepada diwajibkannya puasa. Pada saat itulah ditetapkan bahwa memberikan makan berlaku untuk kakek-nenek yang sudah tua renta apabila mereka tidak kuat berpuasa. Mereka boleh tidak puasa, dan sebagai gantinya mereka harus memberikan makan kepada satu orang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkannya.

Demikian pula, Allah memberikan keringanan bagi orang yang sakit dan musafir untuk tidak berpuasa dan meng-qodho’  (mengganti) di waktu yang lain. Ketentuan serupa juga berlaku bagi wanita hamil dan menyusui yang mengkhawatirkan kondisi tubuhnya. Namun, apabila mereka khawatir akan kondisi bayinya maka selain meng-qodho’ mereka juga harus memberikan makan kepada satu orang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkannya. Mereka itu berbuka bukan karena khawatir sakit, karena pada saat itu mereka dalam keadaan sehat-sehat saja. Maka sebagai penggantinya, mereka harus memberikan makan kepada orang miskin sebagaimana hukum orang sehat yang memilih tidak puasa di masa awal Islam.

Sehingga ada tiga tahapan (turunnya syariat pent.) diwajibkannya puasa, yaitu:

Pertama: diwajibkannya puasa dengan disertai pilihan lain (antara puasa atau memberikan makan, pent).

Kedua: diwajibkannya puasa saja; akan tetapi ketika itu orang yang berpuasa dan tertidur sebelum berbuka, maka dia tidak boleh makan dan minum hingga datang malam berikutnya.

Ketiga: kemudian hukum sebelumnya dihapus dengan tahapan ketiga, yaitu sebagaimana yang sudah menjadi aturan baku dalam syariat dan berlaku hingga hari kiamat” (Lihat adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir, 1: 331).

Semoga bermanfaat.

Baca Juga:

  • Perbanyak Baca Al-Quran Di Saat Wabah dan Bulan Ramadhan
  • Bolehkah Petugas Medis Covid19 yang Memakai APD Tidak Berpuasa Ramadhan?

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.

Artikel: Muslim.or.id

Tags: bulan ramadhanibadahibadah puasakeutamaan puasakewajiban puasa ramadhanPuasapuasa ramadhanRamadhan
kenali bahaya syiah kenali bahaya syiah kenali bahaya syiah
Ari Wahyudi, S.Si.

Ari Wahyudi, S.Si.

Alumni S1 Biologi UGM, Alumni Ma'had Al Ilmi Yogyakarta, penulis kitab "At Tashil Fi Ma'rifati Qawa'id Lughatit Tanzil".

Artikel Terkait

Mutiara idul fitri

Khotbah Salat Idul Fitri: Menggali Mutiara dari Idul Fitri

oleh Sa'id Abu Ukkasyah
3 Mei 2022
0

Di antara maksud berhari raya Idulfitri adalah bertahmid, memuji Allah, bertahlil, mengesakan Allah, dan bertakbir, mengagungkan Allah

Fidyah Ibu Hamil Menyusui

Wajibkah Fidyah bagi Wanita Hamil atau Menyusui jika Tidak Puasa Ramadhan? (Bag. 3)

oleh Sa'id Abu Ukkasyah
2 Mei 2021
0

Haidts shahih dan hasan yang menunjukkan bahwa pengguguran tuntutan qodho' dari wanita menyusui atau hamil dan tidak ada kewajiban mengulang...

Fidyah Ibu Hamil Menyusui

Wajibkah Fidyah bagi Wanita Hamil atau Menyusui jika Tidak Puasa Ramadhan? (Bag. 2)

oleh Sa'id Abu Ukkasyah
2 Mei 2021
0

Wanita hamil / menyusui jika tidak puasa karena udzur Syar'i hamil/menyusui, maka wajib menunaikan fidyah saja. Sebagaimana ini kami sebutkan...

Artikel Selanjutnya
Berbicara Dengan Orang Lain

Berbicara dengan Orang Lain Sesuai dengan Tingkat Pemahamannya

Komentar 1

  1. didik setyawan says:
    10 bulan yang lalu

    bismillah, mohon ijin kopas akh admin..

    Balas

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

donasi muslim.or.id donasi muslim.or.id donasi muslim.or.id
Muslim.or.id

Kantor Sekretariat Yayasan Pendidikan Islam Al-Atsari (YPIA).

Pogung Rejo RT 14 RW 51 no. 412
Sinduadi, Mlati, Sleman, D.I Yogyakarta, Indonesia, 55284.

Media Partner

YPIA | Muslimah.or.id | Radio Muslim | FKIM

Buletin At Tauhid | MUBK | Mahad Ilmi | FKKA

Kampus Tahfidz | Wisma Muslim | SDIT Yaa Bunayya

Wisma Muslimah | Rumah Tahfidz Ashabul Kahfi

Ikuti Kami

  • Tentang Kami
  • Donasi
  • Pasang Iklan
  • Kontak

© 2023 Muslim.or.id - Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

No Result
View All Result
  • Aqidah
  • Manhaj
  • Landasan Agama
  • Penyejuk Hati
  • Fikih
  • Sejarah
  • Khotbah Jum’at
  • Kalkulator Waris
  • E-Book

© 2023 Muslim.or.id - Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah