Fatwa Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah Al-Fauzan
Pertanyaan
Bolehkah menggunakan kata “jahiliyyah” secara mutlak (tanpa ada tambahan keterangan apa pun, pent.) yang ditujukan kepada masyarakat kaum muslimin saat ini?
Baca Juga: Perilaku Jahiliyah: Menganggap Para Ulama Itu Dangkal Pemahamannya
Jawaban
Jahiliyyah yang bersifat umum telah hilang dengan diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, kita tidak boleh menggunakan lafadz tersebut untuk ditujukan kepada masyarakat kaum muslimin secara umum (keseluruhan) tanpa ada tambahan catatan keterangan apapun. [1]
Adapun jika menggunakan kata tersebut untuk sebagian kasus tertentu, atau untuk sebagian firqah (golongan yang menyimpang), atau sebagian masyarakat tertentu, maka ini bisa saja dan diperbolehkan.
Contoh, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada sebagian sahabat,
إِنَّكَ امْرُؤٌ فِيكَ جَاهِلِيَّةٌ
“Sesungguhnya kamu masih memiliki sifat jahiliyyah.“ (HR. Bukhari no. 30) [2]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
أَرْبَعٌ فِي أُمَّتِي مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ، لَا يَتْرُكُونَهُنَّ: الْفَخْرُ فِي الْأَحْسَابِ، وَالطَّعْنُ فِي الْأَنْسَابِ، وَالْاسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ، وَالنِّيَاحَةُ
“Ada empat perkara khas jahiliyah [3] yang masih melekat pada umatku dan mereka belum meninggalkannya: membanggakan jasa (kelebihan atau kehebatan) nenek moyang; mencela nasab (garis keturunan); menisbatkan hujan disebabkan oleh bintang tertentu; dan niyahah (meratapi mayit).” (HR. Muslim no. 934) [4]
Baca Juga:
***
@Rumah Kasongan, 6 Muharram 1442/ 25 Agustus 2020
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel: Muslim.or.id
Catatan kaki:
[1] Penggunaan semacam ini banyak dipakai oleh Sayyid Quthb dalam beberapa kitabnya dengan maksud untuk mengkafirkan kaum muslimin secara umum. Bisa dilihat di kitab-kitab Sayyid Quth semisal Ma’aalim fi Ath-Thariiq (hal. 101); Al-‘Adaalah Al-Ijtimaa’iyyah (hal. 250); dan juga di kitab tafsir Fi Zhilaalil Qur’an (2: 1057).
[2] Redaksi lengkap hadits tersebut adalah:
Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Washil Al-Ahdab, dari Al-Ma’rur bin Suwaid, dia berkata, “Aku bertemu Abu Dzar di Rabdzah yang saat itu mengenakan pakaian dua lapis, begitu juga budaknya. Maka aku tanyakan kepadanya tentang itu, maka dia menjawab, “Aku telah menghina seseorang dengan cara menghina ibunya.”
Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegurku,
يَا أَبَا ذَرٍّ أَعَيَّرْتَهُ بِأُمِّهِ؟ إِنَّكَ امْرُؤٌ فِيكَ جَاهِلِيَّةٌ، إِخْوَانُكُمْ خَوَلُكُمْ، جَعَلَهُمُ اللَّهُ تَحْتَ أَيْدِيكُمْ، فَمَنْ كَانَ أَخُوهُ تَحْتَ يَدِهِ، فَلْيُطْعِمْهُ مِمَّا يَأْكُلُ، وَلْيُلْبِسْهُ مِمَّا يَلْبَسُ، وَلاَ تُكَلِّفُوهُمْ مَا يَغْلِبُهُمْ، فَإِنْ كَلَّفْتُمُوهُمْ فَأَعِينُوهُمْ
“Wahai Abu Dzar, apakah kamu menghina ibunya? Sesungguhnya kamu masih memiliki (sifat) jahiliyyah. Saudara-saudara kalian adalah tanggungan kalian, Allah telah menjadikan mereka di bawah tangan kalian. Siapa saja yang saudaranya berada di bawah tangannya (tanggungannya), maka jika dia makan, berilah makanan seperti yang dia makan. Apabila dia berpakaian, berilah seperti yang dia pakai. Janganlah kalian membebani mereka sesuatu yang di luar batas kemampuan mereka. Jika kalian membebani mereka, maka bantulah mereka.” (HR. Bukhari no. 30)
[3] Dan semua hal yang disebut sebagai perkara jahiliyyah adalah perkara yang tercela, meskipun belum tentu merupakan perbuatan kekafiran pembatal iman.
[4] Diterjemahkan dari kitab Al-Ajwibah Al-Mufiidah ‘an As-ilati Al-Manaahij Al-Jadiidah, hal. 92-94 (penerbit Maktabah Al-Hadyu Al-Muhammadi Kairo, cetakan pertama tahun 1429)