Allah Ta’ala berfirman,
لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الأرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ (٢٧٣)
(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengatahui. (Al Baqarah: 273).
Dari ayat ini kita dapat mengambil beberapa pelajaran, diantaranya adalah:
Pertama
Dalam ayat ini, Allah menyebutkan enam kriteria orang yang berhak memperoleh sedekah dari kaum muslimin. Keenam kriteria tersebut yaitu:
Fakir, yaitu orang yang tidak memiliki suatu apapun atau memiliki sedikit kecukupan namun tidak mencukupi kebutuhannya meski setengahnya. Termasuk dalam kriteria pertama ini adalah golongan yang miskin, yaitu mereka memiliki kecukupan yang dapat memenuhi setengah kebutuhannya atau lebih, namun tidak seluruhnya [Tafsir As Sa’di hlm. 341].
Terikat jihad di jalan Allah. Dari keterangan para ahli tafsir firman Allah الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ mencakup mereka yang mengabdikan diri untuk melakukan ketaatan kepada Allah baik itu berupa jihad maupun yang selainnya sehingga hal tersebut menghalangi mereka untuk bekerja agar dapat memenuhi kebutuhan hidup.
Tidak mampu berusaha di bumi, yaitu mereka yang tidak dapat pergi (bersafar) mencari sumber penghidupan entah dikarenakan minimnya harta, lemahnya kondisi fisik akibat luka dan cedera, atau alasan yang semisal [Tafsir Al Qur-anil Karim, Surat Al Baqarah 3/367].
Terlihat berkecukupan (kaya), -padahal miskin-, karena memelihara diri dari meminta-minta. Orang-orang yang tidak mengetahui kondisi mereka menduga bahwa mereka itu berkecukupan karena sikap ‘iffah-nya dalam hal pakaian, perilaku, dan perkataan.
Memiliki siimah, yaitu tanda-tanda yang menunjukkan bahwa mereka itu fakir dan sangat membutuhkan uluran tangan. Hal ini hanya dapat diketahui oleh orang yang jeli dalam mengenal kondisi mereka.
Syaikh Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Firman Allah تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ maksudnya adalah anda mengetahui kondisi mereka sebenarnya dengan tanda-tanda yang ada pada diri mereka. Apabila seseorang melihat kondisi mereka, maka dia akan menduga bahwa mereka itu berkecukupan, namun jika diperhatikan dengan lebih teliti, maka barulah diketahui bahasanya mereka itu fakir, namun mereka muta’affif (memelihara diri dari meminta-minta)… Hal ini hanya bisa diketahui oleh mereka yang dianugerahi Allah firasat sehingga dapat mengetahui kondisi manusia dengan hanya memperhatikan wajahnya secara sekilas [Tafsir Al Qur-anil Karim, Surat Al Baqarah 3/368].
Sebagian ulama mendefinisikan bahwa yang dimaksud siimah adalah tanda-tanda ketakwaan seperti bekas sujud, kekhusuyu’an dan ketawadhu’an [Tafsir Al Qurtubi 3/322; Asy Syamilah].
Tidak meminta-minta kepada orang secara mendesak. Hal ini bisa berarti bahwa mereka tidak meminta-minta secara mutlak karena pada redaksi sebelumnya disebutkan bahwa mereka memiliki sifat ‘iffah. Dengan demikian, mereka tidak meminta-minta kepada manusia sama sekali, baik dengan mendesak atau tidak mendesak. Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ahli tafsir. Bisa juga berarti mereka meminta kepada orang karena teramat butuh, namun tidak mendesak-desak orang agar memenuhi permintaan mereka [Tafsir Al Qurtubi 3/322; Asy Syamilah].
Inilah keenam sifat yang dapat menjadi panduan bagi kaum muslimin untuk memilih kepada siapa sedekah atau infak akan disalurkan.
Kedua
Tidak boleh memberikan sedekah kepada orang yang sanggup untuk bekerja karena Allah berfirman لا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الأرْضِ. Oleh karena itu, harus selektif dalam memberikan sedekah, karena sedekah tidak diberikan kepada mereka yang malas bekerja kemudian mencari jalan pintas dengan meminta-minta.
Anehnya, di negara kita ini banyak orang yang justru enjoy berprofesi sebagai peminta-minta karena malas dan ajaibnya hasil yang diperoleh dari hasil mengemis itu bisa lebih besar dari penghasilan seorang karyawan atau pegawai negeri. Anggaplah mereka fakir harta, tapi mereka bukanlah fakir dari segi fisik. Artinya, mereka itu pada dasarnya sanggup untuk bekerja namun lebih memilih menjadi peminta-minta.
Alhamdulillah, kami melihat sudah ada gerakan nyata untuk mengatasi hal tersebut di daerah seperti di Yogyakarta terdapat gerakan yang menyerukan kepada masyarakat bahwa peduli kepada peminta-minta bukanlah dengan cara memberikan uang kepada mereka.
Ketiga
Pada hakekatnya peminta-minta yang sering ditemui di jalanan tidak dapat dikatakan sebagai orang yang miskin karena nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ليس المسكين الذي ترده الأكلة والأكلتان ولكن المسكين الذي ليس له غنى ويستحيي أو لا يسأل الناس إلحافا
Orang miskin itu bukanlah orang yang meminta-minta satu dua kali makan, tapi orang miskin adalah orang yang tidak memiliki harta yang mencukupi dan malu untuk meminta-minta manusia secara mendesak [Shahih. HR. Al Bukhari: 1406].
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
يس المسكين الذي يطوف على الناس ترده اللقمة واللقمتان والتمرة والتمرتان ولكن المسكين الذي لا يجد غنى يغنيه ولا يفطن به فيتصدق عليه ولا يقوم فيسأل الناس
Orang miskin itu bukanlah orang yang berkeliling di tengah-tengah manusia untuk meminta-minta satu dua suap makanan, satu dua buah kurma, akan tetapi orang miskin itu adalah orang yang tidak memiliki kekayaan yang mencukupinya dan kemiskinannya tidak diketahui orang, maka sedekah diberikan kepadanya [Shahih. HR. Al Bukhari: 1409].
Keempat
Kapankah seorang bisa dikatakan meminta-minta dengan mendesak? Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan bahwa seorang yang meminta-minta sedangkan ia memiliki apa yang mencukupi kebutuhan dirinya sehingga tidak perlu meminta-minta, maka berarti dia telah meminta-minta dengan mendesak [Tafsir Ibn Katsir 1/432; Asy Syamilah] . Lebih jelas lagi nabi shallahu ‘alai wa sallam bersabda,
من سأل و له أربعون درهما فهو ملحف
Barangsiapa yang meminta-minta dan ternyata memiliki harta sebanyak 40 dirham maka dia telah meminta-minta dengan mendesak [Hasan Shahih. HR. Ibnu Khuzaimah: 2448].
Kelima
Keutamaan ta’affuf (memelihara diri dari meminta-minta) meski miskin, karena firman Allah يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari meminta-minta. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menjelaskan keutamaan bagi mereka yang memiliki sifat ta’affuf dalam sabda beliau,
ومن استعف أعفه الله عز وجل
Barangsiapa yang bersikap ‘iffah (menjaga kehormatan diri) niscaya Allah akan menjaga kesuciannya [Hasan Shahih. HR. An Nasaa-i: 2595].
Keenam
Ayat ini merupakan dalil bahwa label fakir boleh disematkan kepada orang yang memiliki pakaian yang cukup mewah karena firman-Nya يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ. Hal itu tidaklah menghalangi pemberian zakat kepada mereka karena dalam ayat ini Allah telah memerintahkan untuk memberi sedekah kepada mereka [Tafsir Al Qurtubi 3/322; Asy Syamilah].
Ketujuh
Seseorang hendaknya memiliki sifatjeli karena Allah ta’ala menyifati orang yang tidak tahu akan kondisi orang-orang yang disebutkan dalam ayat di atas dengan karakter jahil sebagaimana firman-Nya يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ .
Kedelapan
Isyarat akan adanya firasat berdasarkan firman-Nya تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ karena siimah merupakan tanda yang hanya diketahui oleh mereka yang berfirasat kuat [Tafsir Al Qur-anil Karim, Surat Al Baqarah 3/370].
Kesembilan
Pujian kepada orang yang tidak minta-minta kepada manusia berdasarkan firman Allah لا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا. Karakter ini merupakan salah satu poin perjanjian tatkala nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaiat para sahabat. Sehingga ketika pecut kuda salah seorang sahabat jatuh, dia tidak meminta tolong kepada rekannya untuk mengambilkan demi mengamalkan janji baiat yang telah diucapkannya. Bagaimana hukum meminta kepada orang lain khususnya terkait harta? Meminta harta kepada orang lain tanpa ada kebutuhan yang darurat merupakan perkara yang diharamkan kecuali kita tahu bahwa orang yang dimintai senang apabila ada yang meminta kepadanya. Jika demikian, maka tidak mengapa meminta kepada orang tersebut, bahkan meminta kepadanya dapat bernilai pahala dikarenakan hal itu termasuk perbuatan menyenangkan hati saudaranya [Tafsir Al Qur-anil Karim, Surat Al Baqarah 3/370].
Kesepuluh
Ayat ini menjelaskan keumuman sifat ilmu yang dimiliki Allah karena segala kebaikan yang dikerjakan hamba, Allah mengetahuinya [Tafsir Al Qur-anil Karim, Surat Al Baqarah 3/370].
Waffaqaniyallahu wa iyyakum.
Tangerang, 04 Shafar 1432 H.
Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim
Artikel www.muslim.or.id
izin copas ustad….
Alhamdulillah, walaupun sudah tau tentang kepada siapa aja kita boleh berinfak, tapi kurang tau banyak tentang dalil-dalilnya yang sahih..Terima kasih buat muslim.or.id buat ilmunya..(Izin share di fb ya?)
Ada satu pertanyaan, bagaimana kalau ada yang pengamen yang minta uang setelah menyanyi dengan paksaan? Kalau kita tidak memberikan, keselamatan kita diancam oleh pengamen tsb?
@ustadz Nur Ichwan Muslim,
Assalamu’alaikum,
Bagaimana bila saya selektif dalam berinfak yaitu saya berinfak lewat kotak2 amal untuk yatim piatu di masjid2/musholla2, setidaknya saya ingin menjaga agar uang infak saya tidak jatuh ke tangan org yg tidak tepat.
Assalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh,….
Pak Ustad,…
Saya mempunyai kakak kandung ( yg berarti kerabat dekat Saya ) namun memiliki perangai & aqidah yg buruk. tidak sholat berjama’ah di masjid, merokok, ghibah & banyak sekali membuang waktunya untuk melakukan hal yang tidak bermanfa’at setiap hari.
saudara yg lain & ayah saya menyarankan Saya untuk menyisihkan rizki untuk kakak saya tsb setiap bulan karena menurut islam dianjurkan mengutamakan kerabat dekat. tapi Saya lebih suka bersedekah kepada masjid, satpam dan orang lain yg sejenisnya diakibatkan perilaku buruk kakak saya.
kakak Saya tidak meminta namun tidak mau bekerja juga karena gengsi padahal sehat wal afiat. dan kakak saya tersebut tidak punya uang namun belum berkeluarga & masih hidup menumpang kepada orang tua Saya padahal usianya sudah 40 an. sehingga Saya kesal & tidak lagi mau memberinya uang sedikitpun.
Mohon nasihat & pandangan Pak Ustad untuk masalah ini….
Jazakallahu khoiron katsiron….
@ Al Haidar
Wa’alaikumus salam wa rahmatullah wa barakatuh
Terus doakan kakak Anda dalam kebaikan, dan nasehati dia untuk giat bekerja. Untuk mengajari dia, sebaiknya harta tersebut tdk disedekahkan untuknya agar ia tidak malas2an. Wallahu a’lam.
Bismillah ana izin copas
Pak Ustadz mau tanya, jadi apa boleh berinfaq kepada pengemis di pinggir jalan karena terkadang suka kasihan?
@arif
salurkan infak dan sedekah anda ke pihak yang memang jelas membutuhkan seperti yayasan-yayasan pendidikan yang menangani anak-anak yatim piatu dan semisalnya. Alhamdulillah di negara kita banyak yayasan-yayasan dan badan hukum lainnya yang bergerak di bidang sosial dan masih membutuhkan donasi.
Dalam Islam, para pengemis jalanan tidak layak disebut sebagai orang miskin (lihat hadits di atas), oleh karenanya tidak patut diberikan infak/sedekah.
Ustadz bagaimana kriteria orang-orang yang terikat jihad di Jalan Alloh, karena ana punya saudara yang tidak mau bekerja dengan alasan dia tidak bisa ikut pengajian dan untuk menafkahi anak istrinya dipenuhi dari pemberian saudara-saudaranya, jazakumulloh khairan katsiran
#Abu Ahmad
Saudara anda hendaknya membaca ini:
https://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/bagimu-pemuda-malas-nan-enggan-bekerja.html
@Abduh Tuasikal: Syukron atas nasihatnya Pak Ustadz…. sangat bermanfa’at……
Assalamu’alaikum wr.wb .
Syukron infonya pak, ummm . .
Tapi pak ustadz, kenapa pengemis2 dijalanan sampai dikatakan ‘tidak patut’?
jujur sampai sekarang saya masih ngeganjel disitu . .
kalau mereka memang membutuhkan kenapa mereka dikatakan ‘tidak patut diberikan sedekah’? padahal mereka mungkin memang membutuhkan?
rasa2nya cukup logis kalau yang meminta2 itu pengemis yang memang lanjut usia, karena kan tidak ada yang tahu riwayat hidup si pengemis tua tsb, mungkin saja dia memang tidak punya keturunan, pekerjaan, dsb. sehingga memang tidak mampu lagi untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sehingga dia memang sangat-sangat terpaksa untuk meminta2 demi menyambung hidup.
lagipula, bagaimana kita bisa ber-infak dengan orang yang memang benar2 masuk kriteria hadits diatas? kalau orang yang pantas tersebut saja menyembunyikan ketidakmampuannya? jikalau memang zaman sekarang harus lewat yayasan atau lembaga smacamnya, lalu bagaimana pada zaman rasul? apakah memang yayasan dsb sudah ada pada zaman Rasul? kalau belum ada, bagaimana Umat muslim berinfak pada zaman tersebut?
mohon penjelasannya pak ustadz . biar gak salah kaprah barangkali :)
assalamualaikum, ustadz kalo kita mengeluarkan sedekah kepada masjid yg sudah makmur bagaimana hukumnya?soalnya di masjid2 tersedia kotak infaq
@ Warin
Kalau ada masjid yg lain, yg lebih butuh, itu pilihan yg lebih baik.
Asslamualaikum warahmatulloh…
Saya ingin bertanya, sekarang banyak sekali yang menyebar infak dengan seorang petugas ada yang laki-laki atau ada pula yang perempuan berkerudung, berdiri di dekat atm atau didepan pintu minimarket membagikan amplop kosong atau pun kotak amal ada yang mengatasnamakan yayasan yatim piatu, pesantren, sekolah atau pun bantuan untuk orang sakit dan cacat dsb, bagaimana ya menyikapinya?? jikalau tidak memberi barang sedikit terkadang rasa tidak enak hati juga… jikalau memberi masih agak ragu apa benar yah ini penyalurannya??? Tepatkah jikalau berinfaq melalui mereka?
Jazakallah atas penjelasannya.
@puteri
wa’alaikumussalam. sebaiknya infak ibu disalurkan kepada lembaga-lembaga sosial yg memang jelas bertanggungjawab dan tidak usah diberikan kepada orang-orang tersebut.
@dharma anjarrahman
1. pada zaman rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memang belum ada yayasan atau yg semisal. namun disana ada baitul maal yang salah satu sasaran pengalokasiannya adalah kaum miskin.
2. penyaluran bantuan melalui bukanlah bersifat mutlak, namun lebih baik melalui jalur tersebut mengingat pada umumnya yayasan atau organisasi sosial semacamnya telah memiliki daftar orang-orang binaan untuk disantuni sehingga bisa meminimalisir pengalokasian sedekah yg kurang tepat.
3. cara untuk mengetahui kaum muslimin yg miskin namun menyembunyikan ketidakmampuannya menurut saya cukup mudah, yaitu dari pergaulan kita sehari-hari dengan kaum muslimin itu sendiri. oleh karena itu, sudah sepatutnya kita jeli dalam memperhatikan kaum muslimin yang ada di sekitar kita, saya yakin saudara-saudara kita yg kondisinya seperti itu masih sangat banyak apalagi di kota-kota besar seperti Jakarta. indikasi sederhananya adalah mereka dalam kondisi seadanya, namun mereka pantang meminta-minta dan justru memilih bekerja keras daripada alih profesi menjadi peminta-minta. sebagian pegawai di kantor saya rutin memberikan sedekah kepada OB yg memang terkenal sering berjama’ah di masjid, mungkin hal ini bisa menjadi contoh praktis yang bisa anda praktekkan.
4. kandungan dalam ayat dan hadits-hadits di atas jelas menunjukkan bhw sepatutnya kita selektif dlm berinfak. fenomena pengemis yg begitu menjamur saat ini sehingga dijadikan profesi oleh sebagian kaum muslimin adalah fenomena sosial yg menurut saya harus dipikirkan solusinya, karena Islam menuntun umatnya untuk bekerja keras dan pantang untuk meminta-minta tidak seperti fenomena pengemis yg nampak. unsur kasihan atau iba kpd kondisi mereka, jelas tdk saya pungkiri itu memang ada. namun, fenomena ini haruslah dicari jalan keluarnya bersama, baik itu oleh pemerintah krn mereka yang berwenang dlm hal ini, maupun kita minimal untuk merubah mindset bhw sepatutnya kita dlm berinfak harus selektif.
5. Para pengemis yg ada memiliki koordinator, biasanya seorang yg dikenal berpengaruh di suatu kawasan (preman) sehingga pada hakekatnya ketika kita memberi infak kpd para pengemis itu, kita juga memberikan penghasilan kpd para preman tsb.
6. jika kondisi pengemis tsb memang tua renta, cacat, dan memang tidak memungkinkan baginya untuk bekerja karena tidak memiliki sanak saudara yang mengurusnya, wallahu ta’ala a’lam, mungkin bersedekah kepadanya tidak mengapa, namun jika ada solusi yg lebih baik untuk itu semisal mengirimkan orang tua tersebut ke panti jompo atau yang semacamnya, maka hal itu lebih baik, insya Allah
wallahu ta’ala a’lam.
Ustadz bagaimana menyikapi teman atau kenalan kita, yang bermudah mudahan dalam meminta.
Misal saya atau kita, pas datang ke suatu tempat kemudian bertemu dengan dia, kemudian dia menanyakan apakah saya membawa jajanan, untuk dimintai, atau kalau misal tidak bawa, dia minta saya untuk mentraktir sesuatu, atau meminta saya membelikan makanan, minuman atau jajanan yang lain.
Dan orang yang bermudah mudahan untuk meminta, tidak hanya satu orang saja, dia meminta saya untuk mentraktir jajanan tertentu.
Sedangkan saya sendiri berusaha menjaga diri dari meminta minta, karena saya paham larangan dari meminta minta, sementara orang lain kenapa bermudah mudahan untuk meminta minta ke orang lain, sedangkan yang meminta minta kepada saya, saya lihat, mereka masih mampu bekerja dan masih punya penghasilan, masih bisa bawa kendaraan sendiri (entah milik sendiri atau milik orang tua), dan untuk membeli sesuatu juga saya rasa masih mampu, karena kadangpun mereka terlihat masih mampu membeli sesuatu sendiri(misal seperti jajanan).
Apakah saya wajib, memberikan apa yang mereka minta? Sementara saya juga membutuhkan uang atau harta saya juga untuk keperluan saya sendiri atau untuk kebutuhan saya nantinya.
ustadz ana mau tanya….?
jika kita memiliki uang haram(dr judi/korupsi…dll)..seandainya uang itu disedekahkan ke org lain/dibuat beli rumah/peralatan rumah,kursi(misalnya)…apakah org lain yg nempati/duduki itu mendapatkan dosa?
@choirul
orang yang memperoleh sedekah dari harta haram tidaklah menanggung dosa bila menggunakannya karena seseorang tidak menanggung beban dosa yang dilakukan oleh orang lain. wallahu a’lam.
ustad, apakah jika memberikan sedekah kepada ibu kandung dng harta saya sendiri (bukan harta suami), walaupun ibu termasuk orang yang berkecukupan termasuk sedekah?
#safa
Bukan sedekah namun hadiah
1. lalu bagaimana dengan kisah-kisah yang menyebutkan bahwa Rasulullah tidak pernah menolak permintaan seseorang dan kisah para sahabat lainnya yang langsung memberikan apa yang dimilikinya kepada para peminta, misalnya ‘aisyah memberikan roti yang hendak dipakai untuk berbuka kepada peminta?
2. sebaiknya zakat itu diberikan kepada seorang miskin atau beberapa orang, karena kalau diberikan kepada seorang barangkali bisa buat modal usaha, sehingga manfaatnya lebih besar?
jazaakumullahu khair.
@Anik Rahmawati
1. Dari poin pertama pertanyaan Mbak Anik, timbul satu pertanyaan, apakah peminta-minta di zaman rasulullah shallallahu alaihi wa sallam identik kondisinya dengan peminta-minta saat ini. Ahlu ash-shuffah adalah mereka yang kondisinya paling miskin di Madinah ketika itu, namun tidak ada keterangan mereka melakukan seperti yang dilakukan pengemis di saat ini.
Para pengemis yang ada saat ini memiliki penghasilan yang lebih besar daripada karyawan kantor atau PNS sekalipun. Dan ayat di atas pun merupakan dalil tegas agar kita tidak gegabah dalam menyalurkan infak kita. Oleh karenanya, harus selektif apalagi di zaman seperti saat ini, dimana penipuan marak dimana-mana.
2. Menurut kami, silahkan mbak Anik pertimbangkan seberapa besar maslahat yang akan timbul. Jika pemberian zakat kepada satu orang maslahatnya lebih besar, maka sebaiknya diberikan kepada satu orang saja.
asalamualaikum w.r.w.b ustadz mau tanya mana yang lebih baik infak pada sodara atau fakir miskin?…. sukron
@Iron.
wa’alaikumussalam. Sedekah kepada kerabat yang miskin lebih diutamakan berdasarkan sabda nabi,
إِنَّ الصَّدَقَةَ عَلَى الْمِسْكِينِ صَدَقَةٌ وَعَلَى ذِي الرَّحِمِ اثْنَتَانِ صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ
“Sesungguhnya sedekah kepada orang miskin pahalanya satu sedekah, sedangkan sedekah kepada kerabat pahalanya dua; pahala sedekah dan pahala menjalin hubungan kekerabatan [HR. An Nasai no. 2582, At Tirmidzi no. 658, Ibnu Majah no. 1844. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih].
Bismillah
Afwan ustadz bagaimana hukumnya apabila kita memberikan infaq atau sodaqoh ke pondok pesantren, tetapi pondok tersebut masih mengajarkan ke bid’ah an.