Orang sakit ketika sulit berpuasa
Yang dimaksudkan sakit adalah seseorang yang mengidap penyakit yang membuatnya tidak lagi dikatakan sehat. Para ulama telah sepakat mengenai bolehnya orang sakit untuk tidak berpuasa secara umum. Nanti ketika sembuh, dia diharuskan mengqada puasanya (menggantinya di hari lain). Dalil mengenai hal ini adalah firman Allah Ta’ala,
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185)
Untuk orang sakit ada tiga kondisi:[1]
Kondisi pertama adalah apabila sakitnya ringan dan tidak berpengaruh apa-apa jika tetap berpuasa. Contohnya adalah pilek, pusing atau sakit kepala yang ringan, dan perut keroncongan. Untuk kondisi pertama ini tetap diharuskan untuk berpuasa.
Kondisi kedua adalah apabila sakitnya bisa bertambah parah atau akan menjadi lama sembuhnya dan menjadi berat jika berpuasa, namun hal ini tidak membahayakan. Untuk kondisi ini dianjurkan untuk tidak berpuasa dan dimakruhkan jika tetap ingin berpuasa.
Kondisi ketiga adalah apabila tetap berpuasa akan menyusahkan dirinya bahkan bisa mengantarkan pada kematian. Untuk kondisi ini diharamkan untuk berpuasa. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu.” (QS. An Nisa’: 29)
Apakah orang yang dalam kondisi sehat boleh tidak berpuasa karena jika berpuasa dia ditakutkan sakit?
Boleh untuk tidak berpuasa bagi orang yang dalam kondisi sehat yang ditakutkan akan menderita sakit jika dia berpuasa. Karena orang ini dianggap seperti orang sakit yang jika berpuasa sakitnya akan bertambah parah atau akan bertambah lama sembuhnya. Allah Ta’ala berfirman,
وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu.” (QS. An Nisa’: 29)
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al Baqarah: 185)
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS. Al Hajj: 78)
وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Jika aku memerintahkan kalian untuk melakukan suatu perkara, maka lakukanlah semampu kalian.”[2]
Orang yang bersafar ketika sulit berpuasa
Musafir yang melakukan perjalanan jauh sehingga mendapatkan keringanan untuk mengqasar salat dibolehkan untuk tidak berpuasa.
Dalil dari hal ini adalah firman Allah Ta’ala,
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185)
Apakah jika seorang musafir berpuasa, puasanya dianggap sah?
Mayoritas sahabat, tabi’in dan empat imam mazhab berpendapat bahwa berpuasa ketika safar itu sah.
Ada riwayat dari Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar yang menyatakan bahwa berpuasa ketika safar tidaklah sah dan tetap wajib mengqada. Ada yang mengatakan bahwa seperti ini dimakruhkan.
Namun pendapat mayoritas ulama lebih kuat sebagaimana dapat dilihat dari dalil-dalil yang nanti akan kami sampaikan.
Manakah yang lebih utama bagi orang yang bersafar, berpuasa ataukah tidak?
Para ulama dalam hal ini berselisih pendapat. Setelah meneliti lebih jauh dan menggabungkan berbagai macam dalil, dapat kita katakan bahwa musafir ada tiga kondisi.
Kondisi pertama adalah jika berat untuk berpuasa atau sulit melakukan hal-hal yang baik ketika itu, maka lebih utama untuk tidak berpuasa. Dalil dari hal ini dapat kita lihat dalam hadis Jabir bin ‘Abdillah. Jabir mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فِى سَفَرٍ ، فَرَأَى زِحَامًا ، وَرَجُلاً قَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ ، فَقَالَ « مَا هَذَا » . فَقَالُوا صَائِمٌ . فَقَالَ « لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ الصَّوْمُ فِى السَّفَرِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersafar melihat orang yang berdesak-desakan. Lalu ada seseorang yang diberi naungan. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Siapa ini?” Orang-orang pun mengatakan, “Ini adalah orang yang sedang berpuasa.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukanlah suatu yang baik jika seseorang berpuasa ketika dia bersafar”.[3] Di sini dikatakan tidak baik berpuasa ketika safar karena ketika itu adalah kondisi yang menyulitkan.
Kondisi kedua adalah jika tidak memberatkan untuk berpuasa dan tidak menyulitkan untuk melakukan berbagai hal kebaikan, maka pada saat ini lebih utama untuk berpuasa. Hal ini sebagaimana dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, di mana beliau masih tetap berpuasa ketika safar.
Dari Abu Darda’, beliau berkata,
خَرَجْنَا مَعَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فِى بَعْضِ أَسْفَارِهِ فِى يَوْمٍ حَارٍّ حَتَّى يَضَعَ الرَّجُلُ يَدَهُ عَلَى رَأْسِهِ مِنْ شِدَّةِ الْحَرِّ ، وَمَا فِينَا صَائِمٌ إِلاَّ مَا كَانَ مِنَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – وَابْنِ رَوَاحَةَ
“Kami pernah keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di beberapa safarnya pada hari yang cukup terik. Sehingga ketika itu orang-orang meletakkan tangannya di kepalanya karena cuaca yang begitu panas. Di antara kami tidak ada yang berpuasa. Hanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja dan Ibnu Rawahah yang berpuasa ketika itu.”[4]
Apabila tidak terlalu menyulitkan ketika safar, maka puasa itu lebih baik karena lebih cepat terlepasnya kewajiban. Begitu pula hal ini lebih mudah dilakukan karena berpuasa dengan orang banyak itu lebih menyenangkan daripada mengqada puasa sendiri sedangkan orang-orang tidak berpuasa.
Kondisi ketiga adalah jika berpuasa akan mendapati kesulitan yang berat bahkan dapat mengantarkan pada kematian, maka pada saat ini wajib tidak berpuasa dan diharamkan untuk berpuasa. Dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- خَرَجَ عَامَ الْفَتْحِ إِلَى مَكَّةَ فِى رَمَضَانَ فَصَامَ حَتَّى بَلَغَ كُرَاعَ الْغَمِيمِ فَصَامَ النَّاسُ ثُمَّ دَعَا بِقَدَحٍ مِنْ مَاءٍ فَرَفَعَهُ حَتَّى نَظَرَ النَّاسُ إِلَيْهِ ثُمَّ شَرِبَ فَقِيلَ لَهُ بَعْدَ ذَلِكَ إِنَّ بَعْضَ النَّاسِ قَدْ صَامَ فَقَالَ « أُولَئِكَ الْعُصَاةُ أُولَئِكَ الْعُصَاةُ
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar pada tahun Fathul Makkah (8 H) menuju Makkah di bulan Ramadan. Beliau ketika itu berpuasa. Kemudian ketika sampai di Kuroo’ Al Ghomim (suatu lembah antara Makkah dan Madinah), orang-orang ketika itu masih berpuasa. Kemudian beliau meminta diambilkan segelas air. Lalu beliau mengangkatnya dan orang-orang pun memperhatikan beliau. Lantas beliau pun meminum air tersebut. Setelah beliau melakukan hal tadi, ada yang mengatakan, “Sesungguhnya sebagian orang ada yang tetap berpuasa.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan, “Mereka itu adalah orang yang durhaka. Mereka itu adalah orang yang durhaka”.”[5] Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela keras seperti ini karena berpuasa dalam kondisi sangat-sangat sulit seperti ini adalah sesuatu yang tercela.
Kapan waktu diperbolehkan tidak berpuasa bagi musafir?
Dalam hal ini, kita mesti melihat beberapa keadaan:
Pertama, jika safar dimulai sebelum terbit fajar atau ketika fajar sedang terbit dan dalam keadaan bersafar, lalu diniatkan untuk tidak berpuasa pada hari itu; untuk kondisi semacam ini diperbolehkan untuk tidak berpuasa berdasarkan kesepakatan para ulama. Alasannya, pada kondisi semacam ini sudah disebut musafir karena sudah adanya sebab yang memperbolehkan untuk tidak berpuasa.
Kedua, jika safar dilakukan setelah fajar (atau sudah di waktu siang), maka menurut pendapat Imam Ahmad yang lain, juga pendapat Ishaq dan Al Hasan Al Bashri, dan pendapat ini juga dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, boleh berbuka (tidak berpuasa) di hari itu. Inilah pendapat yang lebih kuat.
Dalil dari pendapat terakhir ini adalah keumuman firman Allah Ta’ala,
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185)
Dan juga hadis Jabir sebagaimana telah disebutkan di atas: “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar pada tahun Fathul Makkah (8 H) menuju Makkah di bulan Ramadan. Beliau ketika itu berpuasa. Kemudian ketika sampai di Kuroo’ Al Ghomim (suatu lembah antara Makkah dan Madinah), orang-orang ketika itu masih berpuasa. Kemudian beliau meminta diambilkan segelas air. Lalu beliau mengangkatnya dan orang-orang pun memperhatikan beliau. Lantas beliau pun meminum air tersebut. …
Begitu pula yang menguatkan hal ini adalah dari Muhammad bin Ka’ab. Dia mengatakan,
أَتَيْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ فِى رَمَضَانَ وَهُوَ يُرِيدُ سَفَرًا وَقَدْ رُحِلَتْ لَهُ رَاحِلَتُهُ وَلَبِسَ ثِيَابَ السَّفَرِ فَدَعَا بِطَعَامٍ فَأَكَلَ فَقُلْتُ لَهُ سُنَّةٌ قَالَ سُنَّةٌ. ثُمَّ رَكِبَ.
“Aku pernah mendatangi Anas bin Malik di bulan Ramadan. Saat ini itu Anas juga ingin melakukan safar. Dia pun sudah mempersiapkan kendaraan dan sudah mengenakan pakaian untuk bersafar. Kemudian beliau meminta makanan, lantas beliau pun memakannya. Kemudian aku mengatakan pada Anas, “Apakah ini termasuk sunah (ajaran Nabi)?” Beliau mengatakan, “Ini termasuk sunah.” Lantas beliau pun berangkat dengan kendaraannya.”[6] Hadis ini merupakan dalil bahwa musafir boleh berbuka sebelum dia pergi bersafar.
Ketiga, jika berniat puasa padahal sedang bersafar, kemudian karena suatu sebab di tengah perjalanan berbuka, maka hal ini diperbolehkan. Alasannya adalah dalil yang telah kami sebutkan pada kondisi kedua dari hadis Abu Darda: “Kami pernah keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di beberapa safarnya pada hari yang cukup terik. Sehingga ketika itu orang-orang meletakkan tangannya di kepalanya karena cuaca yang begitu panas. Di antara kami tidak ada yang berpuasa. Hanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja dan Ibnu Rawahah yang berpuasa ketika itu.”[7]
Kapan berakhirnya keringanan untuk tidak berpuasa bagi musafir?
Berakhirnya keringanan (rukhsah) bagi musafir untuk tidak berpuasa adalah dalam dua keadaan: (1) ketika berniat untuk bermukim, dan (2) jika telah kembali ke negerinya.
Jika orang yang bersafar tersebut kembali ke negerinya pada malam hari, maka keesokan harinya dia wajib berpuasa tanpa ada perselisihan ulama dalam hal ini.
Sedangkan apabila dia kembali pada siang hari, sedangkan sebelumnya tidak berpuasa, apakah ketika dia sampai di negerinya, dia jadi ikut berpuasa hingga berbuka?
Untuk kasus yang satu ini ada dua pendapat. Pendapat yang lebih tepat adalah dia tidak perlu menahan diri dari makan dan minum. Jadi boleh tidak berpuasa hingga waktu berbuka. Inilah pendapat Imam Asy Syafi’i dan Imam Malik. Terdapat perkataan yang sahih dari Ibnu Mas’ud,
مَنْ أَكَلَ أَوَّلَ النَّهَارِ فَلْيَأْكُلْ آخِرَهُ
“Barangsiapa yang makan di awal siang, maka makanlah pula di akhir siang.”[8] Jadi, jika di pagi harinya tidak berpuasa, maka di siang atau sore harinya pun tidak perlu berpuasa.[9]
Baca juga: Yang Dibolehkan Ketika Puasa
Orang yang sudah tua renta dan dalam keadaan lemah, juga orang sakit yang tidak kunjung sembuh
Para ulama sepakat bahwa orang tua yang tidak mampu berpuasa, boleh baginya untuk tidak berpuasa dan tidak ada qada baginya. Menurut mayoritas ulama, cukup bagi mereka untuk memberi fidyah yaitu memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan. Pendapat mayoritas ulama inilah yang lebih kuat. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS. Al Baqarah: 184)
Begitu pula orang sakit yang tidak kunjung sembuh, dia disamakan dengan orang tua renta yang tidak mampu melakukan puasa sehingga dia diharuskan mengeluarkan fidyah (memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan).
Ibnu Qudamah mengatakan, “Orang sakit yang tidak diharapkan lagi kesembuhannya, maka dia boleh tidak berpuasa dan diganti dengan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan. Karena orang seperti ini disamakan dengan orang yang sudah tua.”[10]
Wanita hamil dan menyusui
Di antara kemudahan dalam syar’at Islam adalah memberi keringanan kepada wanita hamil dan menyusui untuk tidak berpuasa. Jika wanita hamil takut terhadap janin yang berada dalam kandungannya dan wanita menyusui takut terhadap bayi yang dia sapih -misalnya takut kurangnya susu- karena sebab keduanya berpuasa, maka boleh baginya untuk tidak berpuasa, dan hal ini tidak ada perselisihan di antara para ulama. Dalil yang menunjukkan hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنِ الْمُسَافِرِ وَالْحَامِلِ وَالْمُرْضِعِ الصَّوْمَ أَوِ الصِّيَامَ
“Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla meringankan setengah salat untuk musafir dan meringankan puasa bagi musafir, wanita hamil dan menyusui.”[11]
Namun apa kewajiban wanita hamil dan menyusui jika tidak berpuasa, apakah ada qada ataukah mesti menunaikan fidyah? Inilah yang diperselisihkan oleh para ulama.
Al Jashshash rahimahullah mengatakan, “Para ulama salaf telah berselisih pendapat dalam masalah ini menjadi tiga pendapat. ‘Ali berpendapat bahwa wanita hamil dan menyusui wajib qada jika keduanya tidak berpuasa dan tidak ada fidyah ketika itu. Pendapat ini juga menjadi pendapat Ibrahim, Al Hasan dan ‘Atha’. Ibnu ‘Abbas berpendapat cukup keduanya membayar fidyah saja, tanpa ada qada. Sedangkan Ibnu ‘Umar dan Mujahid berpendapat bahwa keduanya harus menunaikan fidyah sekaligus qada.”[12]
Pendapat terkuat adalah pendapat yang menyatakan cukup mengqada saja. Ada dua alasan yang bisa diberikan,
Alasan pertama: dari hadis Anas bin Malik, ia berkata,
إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ الْمُسَافِرِ نِصْفَ الصَّلَاةِ وَالصَّوْمَ وَعَنْ الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ
“Sesungguhnya Allah meringankan separuh salat dari musafir, juga puasa dari wanita hamil dan menyusui.”[13]
Al Jashshash rahimahullah menjelaskan, “Keringanan separuh salat tentu saja khusus bagi musafir. Para ulama tidak ada beda pendapat mengenai wanita hamil dan menyusui bahwa mereka tidak dibolehkan mengqasar salat. … Keringanan puasa bagi wanita hamil dan menyusui sama halnya dengan keringanan puasa bagi musafir. … Dan telah diketahui bahwa keringanan puasa bagi musafir yang tidak berpuasa adalah mengqadanya, tanpa adanya fidyah. Maka berlaku pula yang demikian pada wanita hamil dan menyusui. Dari sini juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara wanita hamil dan menyusui jika keduanya khawatir membahayakan dirinya atau anaknya (ketika mereka berpuasa) karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak merinci hal ini.”[14]
Perkataan Al Jashshash ini sebagai sanggahan terhadap pendapat yang menyatakan wajib mengqada bagi yang hamil sedangkan bagi wanita menyusui adalah dengan mengqada dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.
Alasan kedua: Selain alasan di atas, ulama yang berpendapat cukup mengqada saja (tanpa fidyah) menganggap bahwa wanita hamil dan menyusui seperti orang sakit. Sebagaimana orang sakit boleh tidak puasa, ia pun harus mengqada di hari lain. Ini pula yang berlaku pada wanita hamil dan menyusui. Karena dianggap seperti orang sakit, maka mereka cukup mengqada sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 184)
Pendapat ini didukung pula oleh ulama belakangan semacam Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah. Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata, “Hukum wanita hamil dan menyusui jika keduanya merasa berat untuk berpuasa, maka keduanya boleh berbuka (tidak puasa). Namun mereka punya kewajiban untuk mengqada (mengganti puasa) di saat mampu karena mereka dianggap seperti orang yang sakit. Sebagian ulama berpendapat bahwa cukup baginya untuk menunaikan fidyah (memberi makan kepada orang miskin) untuk setiap hari yang ia tidak berpuasa. Namun pendapat ini adalah pendapat yang lemah. Yang benar, mereka berdua punya kewajiban qada (mengganti puasa) karena keadaan mereka seperti musafir atau orang yang sakit (yaitu diharuskan untuk mengqada ketika tidak berpuasa, -pen). Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 184)[15]
Kondisi ini berlaku bagi keadaan wanita hamil dan menyusui yang masih mampu menunaikan qada[16]. Dalam kondisi ini dia dianggap seperti orang sakit yang diharuskan untuk mengqada di hari lain ketika ia tidak berpuasa. Namun apabila mereka tidak mampu untukk mengqada puasa, karena setelah hamil atau menyusui dalam keadaan lemah dan tidak kuat lagi, maka kondisi mereka dianggap seperti orang sakit yang tidak kunjung sembuhnya. Pada kondisi ini, ia bisa pindah pada penggantinya yaitu menunaikan fidyah, dengan cara memberi makan pada satu orang miskin setiap harinya.[17]
Catatan penting yang perlu diperhatikan bahwa wanita hamil dan menyusui boleh tidak berpuasa jika memang ia merasa kepayahan, kesulitan, takut membahayakan dirinya atau anaknya. Al Jashshash rahimahullah mengatakan, “Jika wanita hamil dan menyusui berpuasa, lalu dapat membahayakan diri, anak atau keduanya, maka pada kondisi ini lebih baik bagi keduanya untuk tidak berpuasa dan terlarang bagi keduanya untuk berpuasa. Akan tetapi, jika tidak membawa dampak bahaya apa-apa pada diri dan anak, maka lebih baik ia berpuasa, dan pada kondisi ini tidak boleh ia tidak berpuasa.”[18]
Baca juga: Mari Mengamalkan Sunah Puasa
—
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.or.id
Catatan kaki:
[1] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/118-120.
[2] HR. Bukhari no. 7288 dan Muslim no. 1337, dari Abu Hurairah.
[3] HR. Bukhari no. 1946 dan Muslim no. 1115.
[4] HR. Bukhari no. 1945 dan Muslim no. 1122.
[5] HR. Muslim no. 1114.
[6] HR. Tirmidzi no. 799. Syekh Al Albani mengatakan bahwa hadis ini sahih
[7] HR. Bukhari no. 1945 dan Muslim no. 1122
[8] Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam mushonnaf-nya 2/286. Abu Malik mengatakan bahwa sanad hadis ini sahih.
[9] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/120-125.
[10] Al Mughni, 4/396.
[11] HR. An Nasai no. 2275, Ibnu Majah no. 1667, dan Ahmad 4/347. Syekh Al Albani mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih.
[12] Ahkamul Qur’an, 1/224. Lihat pula Bidayatul Mujtahid hal. 276 dan Shahih Fiqh Sunnah 2/125-126.
[13] HR. An Nasai no. 2274 dan Ahmad 5/29. Syaikh Al Albani dan Syekh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadis ini hasan.
[14] Ahkamul Qur’an, Ahmad bin ‘Ali Ar Rozi Al Jashshash, 1/224
[15] Majmu’ Al Fatawa Ibnu Baz, 15/225
[16] Wanita yang dalam kondisi semacam ini menunaikan qada di saat dia mampu. Jika sampai dua tahun ditunda karena masih butuh waktu untuk menyusui, maka tidak mengapa dia tunda qadanya sampai dia mampu.
[17] Lihat Panduan Ibadah Wanita Hamil, hal. 46.
[18] Ahkamul Qur’an, Al Jashshash, 1/223.
Afwan, mau menanyakan tentang kondisi wanita hamil dan menyusui.
Saya mendapatkan artikel terjemahan Sifat Puasa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang disalin dari Kitab
Sifat Shaum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, Oleh Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaaly dan
Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid
Terbitan: Pustaka Al-Haura
Penerjemah: Abdurrahman Mubarak Ata
Diambil dari: http://www.almanhaj.or.id
Di sana disebutkan bahwa wanita hamil dan menyusui boleh tidak berpuasa dan cukup membayar fidyah dan tidak menqadha jika ada kekhawatiran terhadap keduanya.
Berikut saya copy-kan kutipannya:
“Dari Malik dari Nafi’ bahwasanya Ibnu Umar ditanya tentang seorang wanita yang hamil jika mengkhawatirkan anaknya, beliau berkata : “Berbuka dan gantinya memberi makan satu mud gandum setiap harinya kepada seorang miskin” [Al-Baihaqi dalam As-Sunan 4/230 dari jalan Imam Syafi’i, sanadnya Shahih]
Daruquthni meriwayatkan I/207 dari Ibnu Umar dan beliau menshahihkannya, bahwa beliau (Ibnu Umar) berkata : “Seorang wanita hamil dan menyusui boleh berbuka dan tidak mengqadha”. Dari jalan lain beliau meriwayatkan : Seorang wanita yang hamil bertanya kepada Ibnu Umar, beliau menjawab : “Berbukalah, dan berilah makan orang miskin setiap harinya dan tidak perlu mengqadha” sanadnya jayyid, dari jalan yang ketiga : Anak perempuan Ibnu Umar adalah istri seorang Quraisy, dan hamil. Dan dia kehausan ketika puasa Ramadhan, Ibnu Umar pun menyuruhnya berbuka dan memberi makan seorang miskin.”
Mohon penjelasan ustadz. Jazaakallah khayr.
@ Ummu Syifa,
Untuk artikel almanhaj.or.id, silakan bandingkan dengan pendapat dalam artikel berikut: http://rumaysho.com/hukum-islam/puasa/3085-perselisihan-ulama-mengenai-puasa-wanita-hamil-dan-menyusui.html. Semoga bermanfaat.
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh
Berarti bagi wanita hamil yg selanjutnya menyusui dibolehkan mengqodho’ puasa pada tahun2 yg lain? dan tidak diharuskan pada tahun pertama, karena kemungkinan masih dalam keadaan menyusui setelah melahirkan.
@ Ica
Wa’alaikumus salam wa rahmatullah wa barakatuh.
Iya betul sekali.
Ada tambahan juga yang saya dapat dari sini, tepatnya di link https://muslim.or.id/ramadhan/permasalahan-qodho-puasa-ramadhan.html
Di sana ustadz menyebutkan dalam bagian wanita hamil dan menyusui, seperti di bawah ini:
“Sedangkan yang penulis pilih –wal ‘ilmu ‘indallah- adalah pendapat Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Ishaq dan ulama belakangan seperti Syaikh Al Albani yang mengatakan bahwa wanita hamil dan menyusui yang khawatir pada diri atau anaknya ketika berpuasa, cukup baginya mengeluarkan fidyah tanpa harus mengqodho’. Alasannya, pendapat ini adalah perkataan Ibnu ‘Abbas ketika menjelaskan sababun nuzul (sebab turunnya surat Al Baqarah ayat 185). Sehingga perkataan ini dinilai marfu’ (sabda Nabi) sebagaimana telah dikenal dalam ilmu ushul.”
Mohon penjelasannya. Jazaakallah khayr.
@ Ummu Syifa
Pendapat tsb sudah kami ralat, silakan lihat kembali link tersebut. Wallahu a’lam. Dan silakan baca pendapat penulis terbaru di sini:
http://rumaysho.com/hukum-islam/puasa/3085-perselisihan-ulama-mengenai-puasa-wanita-hamil-dan-menyusui.html
Assalaamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh,
Saya mau tanya nih, bagaimana dengan kondisi tempat saya sedang bekerja di dekat daerah kutub utara, yang saat musin panas ini, terbit fajar sekitar jam 1:30 pagi dan terbenam matahari sekitar jam 23:00? apakah waktu berpuasanya juga hampir sepanjang hari tsb? Apakah boleh kiranya saya tidak berpuasa? Insya Allah saya akan mengganti puasa setelah saya pulang ke Indonesia.
Mohon penjelasannya.
#achsanu
Wa’alaikumussalam Warahmatullah Wabarakatuh,
Silakan simak : http://www.almanhaj.or.id/content/2498/slash/0
ass
ane mo tanya:
soal yg safar tadi kalo itu untuk sopir/masinis/pilot/ nahkoda hukumya gimana y??
soalnya ditakutkan apabila mereka berpuasa akan sulit berkonsentrasi dan bisa berakibat fatal.
dan apabila meraka tidak berpuasa meraka akan kesulitan mencari hari ganti untuk berpuasa…
jazakallah atas jawabannya
#alifa
sopir/masinis/pilot/ nahkoda jika ber-safar maka boleh tidak berpuasa, namun wajib meng-qadha, bukan membayar fidyah.
jika si musaffir meninggal sebelum sempat mengqodho puasanya itu gimana ustadz..
#Eman
Silakan simak:
https://muslim.or.id/ramadhan/meninggal-dunia-masih-memiliki-utang-puasa.html
Bismillah.. sebagaimana kita ketahui bahwasanya agama kita yang lurus ini dibangun diatas dasar “taisir dan rahmah” sehingga di dalam agama kita terdapat kaidah syariah yang berbunyi “masyaqqoh tajlibul taisir” perkara yang memberatkan akan mendatangkan kemudahan, dan juga Allah berfirman yang artinya :Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesulitan bagi kalian” dari sinilah kenapa pendapat yang mengharuskan wanita yang hamil dan menyusui cukup bagi mereka membayar fidyah lebih rajih dan sesuai dengan kkeadaan yang sebenarnya, karena tabiat wanita yang sudah menikah dan normal biasanya antara hamil dan menyusui kecuali karena sebab yang lain terputus kebiasaan ini, seperti memakai kb dll. sehingga ditahun pertama biasanya hamil maka dia tidak mampu berpuasa kemudian tahun kedua menyusui juga tahun berikutnya, menyempurnakan 2 tahun persusuan sehingga 3 tahun berturut-turut tidak berpuasa kemudian tahun ke empatpun hamil lagi lalu menyusui kembali, demikian seterusnya, kira-kira kapan mereka hendak mengqodho’ puasanya ya ustadzana ? dan ini terjadi pada istri ana,selama hampir 8 tahun tidak berpuasa ! bahkan salah satu ummahat putranya 15 orang, selama 15 tahun juga tidak berpuasa dan sampai kapan hendak menyelesaikan utang puasanya ? dimana kemudahan dan rahmah dalam agama ini bagi wanita hamil dan menyusui kalau diharuskan mengqodo’ puasa yang mereka tinggalkan selama bertahun-tahun ? dan juga bagi wanita muslimah yang sedang hamil dan menyusui, jangan memaksakkan diri kalian untuk tetap berpuasa, karena janin dan bayi kalian juga akan kalian paksa untuk berpuasa, sementara mereka dalam keadaan lemah, saya kira tindakkan seperti ini tidak dibenarkan dalam agama kita dan sangat tidak bijaksana, wallahu a’lam