Hadis-Hadis tentang Disyariatkannya Puasa 6 Hari di Bulan Syawal
Dianjurkan bagi yang telah melaksanakan puasa Ramadan untuk mengiringinya dengan berpuasa 6 hari di bulan Syawal [1]. Di antara hadis yang menjelaskan tentang disyariatkannya puasa 6 hari di bulan Syawal antara lain:
Hadis pertama, dari Abu Ayyub Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa berpuasa Ramadan kemudian dilanjutkan dengan puasa 6 hari di bulan Syawal, maka dia seolah-olah berpuasa selama setahun.” (HR. Muslim no. 204)
Hadis ke dua, dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu –budak Rasulullah-, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَّنَةِ (مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا)
“Barangsiapa yang berpuasa 6 hari setelah hari raya Idul Fitri, maka seperti berpuasa setahun penuh. Barangsiapa mengerjakan satu kebaikan, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat.” (HR. Ibnu Majah no. 1715. Dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah. Lihat pula Al-Irwa’, 4/107)
Hadis ke tiga, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من صام رمضان وأتبعه بست من شوال فذلك صيام الدهر
“Barangsiapa berpuasa Ramadan kemudian dilanjutkan dengan puasa 6 hari di bulan Syawal, maka dia seolah-olah berpuasa selama setahun.” (HR. Abu ‘Awanah dalam Mustakhraj, no. 2180. Dinilai sahih oleh Al-Haitsami dalam Majma’ Zawaid, 3/183)
Puasa 6 hari di bulan Syawal hukumnya sunah dan inilah pendapat mayoritas (jumhur) ulama [2], sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, Thawus, Asy-Sya’bi, dan Maimun bin Mihran. Pendapat ini pula yang dinyatakan oleh Abdullah bin Mubarak, Imam Asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad [3].
An-Nawawi rahimahullah mengatakan ketika menjelaskan hadits pertama di atas,
فيه دلالة صريحة لمذهب الشافعي وأحمد وداود وموافقيهم في استحباب صوم هذه الستة
“Di dalam hadis ini terdapat dalil yang tegas bagi mazhab Asy-Syafi’i, Ahmad, Dawud, beserta para ulama yang sependapat dengannya tentang dianjurkannya puasa 6 hari (di bulan Syawal).” [4]
Adapun Imam Abu Hanifah dan Imam Malik bin Anas rahimahumallah berpendapat dibencinya puasa Syawal (tidak disunahkan) dengan alasan agar puasa Syawal ini tidak dianggap sebagai puasa wajib yang harus dikerjakan setelah bulan Ramadan usai karena waktu pelaksanaannya yang sangat dekat dengan puasa Ramadan [5].
Kekhawatiran ini tidaklah tepat karena bertentangan dengan dalil-dalil yang sahih dan tegas tentang dianjurkannya puasa Syawal [6].
Adapun keterangan yang paling baik tentang sebab pendapat Imam Malik bin Anas rahimahullah yang tidak tepat tersebut adalah sebagaimana penjelasan Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah –peneliti mazhab Maliki dan pensyarah kitab Muwaththa’ karya Imam Malik-, “Sesungguhnya hadis ini (hadis tentang anjuran puasa Syawal, pen.) belum sampai kepada Imam Malik. Seandainya hadis ini sampai kepada beliau, tentu beliau akan berpendapat sunahnya (puasa Syawal).” [7]
Tata Cara Puasa Syawal
Puasa 6 hari di bulan Syawal tidak ditentukan harus dikerjakan pada hari atau tanggal tertentu. Artinya, seseorang boleh melaksanakannya kapan saja selama masih berada di bulan Syawal. Seseorang boleh mengerjakannya di awal, tengah, atau akhir bulan Syawal. Demikian pula, seseorang boleh mengerjakannya selama 6 hari berturut-turut atau terpisah [8].
Namun, dianjurkan untuk bersegera mengerjakan puasa Syawal setelah hari raya ‘Idul Fitri (yaitu pada tanggal 2 Syawal) [9] dengan beberapa alasan berikut ini:
- Hal inilah yang lebih sesuai (lebih ittiba’) dengan dalil yang mengatakan “kemudian dilanjutkan dengan …”.
- Hal itu menunjukkan bahwa seseorang bersegera dalam mengerjakan kebaikan. Terdapat dalil-dalil yang mendorong seseorang untuk bersegera dalam kebaikan dan pujian kepada para pelakunya.
- Ketika dia bersegera mengerjakan kebaikan, maka hal itu menunjukkan semangatnya untuk berpuasa dan melaksanakan ketaatan, serta tidak bosan beribadah.
- Agar tidak disibukkan dengan urusan-urusan lain yang dapat menghalanginya untuk berpuasa. Hal ini karena seseorang tidak akan pernah tahu adanya faktor penghalang yang mungkin timbul di kemudian hari jika dia menundanya.
- Puasa Syawal setelah Ramadan itu seperti salat rawatib setelah salat wajib yang dikerjakan segera setelah salat wajib usai [10].
Selain itu, yang lebih utama adalah puasa 6 hari ini dikerjakan secara berturut-turut (6 hari sekaligus) karena pada umumnya inilah yang lebih mudah untuk dikerjakan. Oleh karena itu, dianjurkan untuk berpuasa pada hari ke-2 bulan Syawal dan dikerjakan berturut-turut sampai selesai [11].
Manakah yang Lebih Didahulukan: Puasa Syawal ataukah Qada’ Ramadan?
Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah ditanya mengenai masalah ini, “Bagaimana pendapat Syekh tentang seseorang yang berpuasa Syawal, padahal dia masih memiliki hutang puasa Ramadan?”
Syekh rahimahullah menjawab, “Jawaban masalah ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Barangsiapa berpuasa Ramadan kemudian dilanjutkan dengan puasa 6 hari di bulan Syawal, maka dia seolah-olah berpuasa selama setahun.’ Jika seseorang masih memiliki kewajiban qada’ (karena dia masih punya hutang puasa Ramadan, pen.), kemudian dia berpuasa Syawal, maka sesungguhnya dia berpuasa sebelum atau sesudah Ramadan?
Misalnya, orang itu berpuasa Ramadan sebanyak 24 hari, masih memiliki hutang puasa selama 6 hari. Jika dia berpuasa sunah 6 hari di bulan Syawal, maka tidak bisa dikatakan kepadanya, ‘Dia berpuasa Ramadan kemudian melanjutkan puasa Syawal.’ Karena tidaklah bisa dikatakan berpuasa Ramadan kecuali dia telah menyelesaikan atau menyempurnakannya. Oleh karena itu, orang yang berpuasa Syawal sebelum menunaikan qada’ Ramadhan tidaklah mendapatkan pahala puasa 6 hari di bulan Syawal.
Masalah ini tidaklah termasuk dalam perselisihan (ikhtilaf) para ulama tentang bolehnya berpuasa sunah bagi seseorang yang masih memiliki hutang puasa Ramadan. Karena perselisihan itu adalah untuk puasa sunah selain puasa Syawal. Adapun puasa Syawal, maka puasa ini mengikuti (mengiringi) puasa Ramadan. Tidak mungkin menetapkan pahalanya kecuali bagi orang yang telah menyelesaikan puasa Ramadan.” [12]
Baca juga: Puasa Syawal ketika Masih Memiliki Hutang Puasa Ramadan
Beberapa Faedah dan Keutamaan Puasa 6 Hari di Bulan Syawal
Di antara faedah dan keutamaan menjalankan puasa 6 hari bulan Syawal antara lain [13]:
1. Berpuasa 6 hari di bulan Syawal setelah menunaikan puasa Ramadan berarti meraih pahala berpuasa setahuan penuh, sebagaimana yang terdapat dalam kandungan hadis yang telah disebutkan sebelumnya.
Yang demikian itu karena satu kebaikan Allah Ta’ala lipat gandakan menjadi sepuluh kebaikan. Puasa Ramadan selama sebulan penuh senilai dengan puasa 10 bulan, sedangkan puasa 6 hari di bulan Syawal senilai dengan puasa selama dua bulan (60 hari). Apabila digabungkan, maka jadilah puasa selama satu tahun penuh. Sehingga seseorang bisa mendapatkan pahala puasa dahr [14] dalam kondisi yang tidak memberatkan dan menyulitkan diri sendiri, sebagai keutamaan dari Allah Ta’ala sekaligus nikmat bagi para hamba-Nya [15].
2. Berpuasa 6 hari di bulan Syawal dan puasa sunah di bulan Sya’ban bagaikan salat sunah rawatib sebelum dan sesudah salat fardu. Ibadah-ibadah sunah tersebut menyempurnakan ibadah wajib dari berbagai kekurangan di dalam pelaksanannya. Karena ibadah yang wajib akan sempurna di hari kiamat dengan ibadah yang hukumnya sunah.
Sebagian besar orang yang menjalankan puasa wajib tentu terdapat kekurangan dan kelalaian. Oleh karena itu, dia membutuhkan sesuatu yang dapat menyempurnakan puasa wajibnya tersebut.
‘Umar bin Abdul Aziz rahimahullah mengatakan,
من لم يجد ما يتصدق به فليصم
“Barangsiapa yang tidak dapat menunaikan zakat (fitri), hendaklah berpuasa.” [16]
Maksudnya, barangsiapa yang tidak memiliki makanan pokok untuk diberikan sebagai zakat fitri pada akhir bulan Ramadan, maka hendaklah berpuasa setelah hari raya ‘Idul Fitri. Karena puasa dapat menggantikan memberi makan (orang miskin) dalam hal menghapus dosa dan kesalahan.
3. Melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawal setelah melaksanakan puasa Ramadan merupakan tanda diterimanya amal puasa Ramadan yang telah dikerjakan sebelumnya. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala jika menerima amal saleh seorang hamba, maka Allah Ta’ala akan memberikan taufik kepada hamba tersebut untuk melaksanakan amal saleh lagi sesudahnya. Sebagaimana perkataan sebagian salaf,
ثواب الحسنة الحسنة بعدها
“Pahala kebaikan adalah kebaikan berikutnya.” [17]
Barangsiapa yang melaksanakan amal kebaikan, kemudian dilanjutkan dengan melaksanakan amal kebaikan berikutnya, maka hal itu merupakan tanda bahwa amal kebaikannya yang pertama itu diterima. Dan sebaliknya, barangsiapa yang melaksanakan suatu amal kebaikan, namun diikuti dengan mengerjakan amal keburukan, maka hal itu merupakan tanda bahwa amal kebaikannya tidak diterima.
4. Di antara keutamaan puasa Ramadan adalah sebagai penghapus dosa yang telah berlalu. Sehingga, melaksanakan puasa di bulan Syawal merupakan bentuk syukur atas nikmat Allah tersebut, karena tidak ada nikmat yang lebih besar dibandingkan dengan nikmat diampuninya dosa-dosa kita.
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menunaikan salat sampai kakinya bengkak, maka dikatakan kepada beliau, ”Apakah Engkau masih menunaikan salat, padahal sungguh Allah telah mengampuni dosa-dosamu yang telah lalu dan yang akan datang?”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَفَلاَ أَكُونُ عَبْدًا شَكُورًا
“Tidakkah aku ingin menjadi seorang hamba yang bersyukur?” (HR. Bukhari no. 1078, 4556, 6106 dan Muslim no. 79, 80, 81)
Allah Ta’ala telah memerintahkan hamba-Nya untuk mensyukuri nikmat puasa Ramadan. Allah Ta’ala berfirman,
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah: 185)
Termasuk di dalam bentuk bersyukur kepada Allah Ta’ala atas nikmat diberikan taufik sehingga dapat melaksanakan puasa Ramadan dan diampuni dosa-dosanya adalah berpuasa untuk-Nya (setelah melaksanakan puasa Ramadan) dalam rangka bersyukur atas nikmat-nikmat tersebut.
Sebagian salaf, apabila diberikan taufik oleh Allah Ta’ala sehingga dapat menunaikan salat malam, maka pada pagi harinya mereka berpuasa sebagai bentuk rasa syukurnya atas taufik yang telah Allah Ta’ala berikan (sehingga mereka dapat menunaikan salat malam). Wuhaib bin Al-Warad rahimahullah ditanya tentang pahala atas suatu amal yang telah dikerjakan seseorang, beliau rahimahullah menjawab,
لا تسألوا عن ثوابه و لكن اسألوا ما الذي على من وفق لهذا العمل من الشكر للتوفيق و الإعانة عليه
“Janganlah bertanya tentang pahalanya. Akan tetapi, bertanyalah apakah orang tersebut telah bersyukur atas taufik dan pertolongan (Allah) kepadanya?” [18]
Setiap nikmat bagi seorang hamba yang berasal dari Allah Ta’ala, baik terkait dengan dunia dan agamanya, haruslah disyukuri. Sedangkan taufik dari Allah Ta’ala sehingga dia dapat bersyukur, merupakan nikmat Allah Ta’ala berikutnya yang harus dia syukuri lagi. Kemudian, taufik sehingga dia dapat bersyukur lagi, merupakan nikmat Allah Ta’ala berikutnya yang harus disyukuri kembali, demikianlah seterusnya. Oleh karena itu, seorang hamba tidaklah mampu untuk mensyukuri nikmat-nikmat Allah Ta’ala kepadanya.
Dari sini jelaslah bahwa hakikat syukur adalah pengakuan bahwa seorang hamba tidak mampu untuk bersyukur kepada Allah Ta’ala. Sebagaimana yang dikatakan oleh seorang penyair,
إذا كان شكري نعمة الله نعمة
علي له في مثلها يجب الشكر
فكيف بلوغ الشكر إلا بفضله
و إن طالت الأيام و اتصل العمر
Jika syukurku atas nikmat Allah adalah sebuah nikmat
Maka wajib atasku untuk bersyukur pula atasnya
Maka bagaimana mungkin kita dapat bersyukur kecuali dengan kemurahan-Nya?
Meskipun hari dan umur terus bertambah
Oleh karena itulah, barangsiapa yang terjerumus ke dalam maksiat setelah Allah Ta’ala memberikan taufik kepadanya sehingga dapat melaksanakan puasa Ramadan, maka hal itu termasuk orang yang mengganti nikmat Allah Ta’ala dengan kekafiran. Jika dalam bulan Ramadan dia berniat untuk kembali bermaksiat setelah selesai berpuasa Ramadan, maka puasanya tertolak. Ka’ab rahimahullah berkata,
من صام رمضان و هو يحدث نفسه إذا أفطر من رمضان لم يعص الله دخل الجنة بغير مسألة و لا حساب و من صام رمضان و هو يحدث نفسه إذا أفطر عصى ربه فصيامه عليه مردود
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadan dan berniat dalam hatinya jika Ramadan berlalu dia tidak akan durhaka kepada Allah, maka dia masuk surga tanpa meminta dan tanpa hisab. Dan barangsiapa yang berpuasa Ramadan dan berniat dalam hatinya jika Ramadan berlalu dia akan durhaka kepada Allah, maka puasanya tertolak.” [19]
5. Berpuasa di bulan Syawal menunjukkan bahwa amal yang telah dikerjakan selama bulan Ramadan tidaklah terputus dengan berakhirnya bulan Ramadan. Dia terus konsisten beramal saleh sepanjang hayat meskipun Ramadan telah berlalu. Inilah makna hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الصائم بعد رمضان كالكار بعد الفار
“Orang yang berpuasa setelah bulan Ramadan, bagaikan orang yang kembali setelah melarikan diri.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman no. 3737. Dinilai dha’if oleh Ibnu Rajab dalam Latho’iful Ma’arif hal. 385)
Maksudnya, seperti orang yang melarikan diri dari peperangan kemudian kembali lagi berperang.
Yang demikian itu karena mayoritas manusia justru bergembira dengan berakhirnya bulan Ramadan karena merasa berat dan merasa bosan berpuasa. Apabila kondisi mereka seperti itu, maka tentu mereka tidak akan berkehendak untuk segera berpuasa lagi. Oleh karena itu, orang yang berpuasa kembali setelah berbuka pada hari raya menunjukkan semangatnya yang besar untuk melaksanakan kebaikan. Puasa sebulan penuh di bulan Ramadan tidaklah memberatkan dan membuatnya jenuh dan bosan.
Dikatakan kepada Bisyr rahimahullah bahwa sekelompok orang hanya sungguh-sungguh beribadah di bulan Ramadan saja. Maka beliau rahimahullah berkata,
بئس القوم لا يعرفون لله حقا إلا في شهر رمضان إن الصالح الذي يتعبد و يجتهد السنة كلها
“Sejelek-jelek kaum adalah yang tidak mengenal Allah dengan sebenar-benarnya kecuali di bulan Ramadan saja. Sesungguhnya yang disebut orang saleh adalah orang yang sungguh-sungguh beribadah sepanjang tahun.” [20]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu melaksanakan amal saleh di setiap waktu, tidak hanya mengkhususkan waktu tertentu saja. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ditanya, ”Apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhususkan hari-hari tertentu (untuk beramal)?”
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menjawab,
لاَ ، كَانَ عَمَلُهُ دِيمَةً
“Tidak, beliau senantiasa rajin beramal.” (HR. Bukhari no. 1886, 6101 dan Muslim no. 217)
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha juga menceritakan,
مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah menambah di bulan Ramadan dan di bulan-bulan lainnya lebih dari sebelas raka’at.” (HR. Bukhari no. 1096, 1909, 3376 dan Muslim no. 125)
Semoga Allah Ta’ala memberikan kita taufik dan hidayah untuk dapat menunaikah ibadah puasa 6 hari di bulan Syawal.
Baca juga: Fikih Puasa Syawal
***
Disempurnakan di pagi hari, Wageningen NL 2 Ramadhan 1438/28 Mei 2017
Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya,
Penulis: Muhammad Saifudin Hakim
Artikel: Muslim.or.id
Catatan kaki:
[1] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/134.
[2] Taudhiihul Ahkaam, 3/533.
[3] Latho’iful Ma’arif, hal. 383.
[4] Syarh Shahih Muslim, 8/56.
[5] Syarh Shahih Muslim, 8/56.
[6] Shahih Fiqh Sunnah, 2/134.
[7] Lihat Taudhiihul Ahkaam, 3/534.
[8] Fataawa Arkaanil Islaam, hal. 490; Taudhiihul Ahkaam, 3/534.
[9] Syarhul Mumti’, 3/100.
[10] Fataawa Arkaanil Islaam, hal. 489; Taudhiihul Ahkam, 3/534.
[11] Syarhul Mumti’, 3/100.
[12] Fataawa Arkaanil Islaam, hal. 487-489.
[13] Disarikan dari Latho’iful Ma’aarif karya Ibnu Rajab rahimahullah, hal. 387-391.
[14] Puasa dahr adalah puasa yang dilakukan setiap hari (sepanjang tahun) meskipun dia tetap berbuka (tidak berpuasa) pada hari yang dilarang berpuasa, seperti pada hari raya ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha. Puasa dahr termasuk jenis puasa yang terlarang. (Lihat Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz, hal. 210)
[15] Taudhiihul Ahkaam, 3/534.
[16] Latho’iful Ma’arif, hal. 388.
[17] Idem, hal. 388.
[18] Idem, hal. 388.
[19] Idem, hal. 389.
[20] Idem, hal. 390.