Shalat ini dinamakan tarawih yang artinya istirahat karena orang yang melakukan shalat tarawih beristirahat setelah melaksanakan shalat empat raka’at. Shalat tarawih termasuk qiyamul lail atau shalat malam. Akan tetapi shalat tarawih ini dikhususkan di bulan Ramadhan. Jadi, shalat tarawih ini adalah shalat malam yang dilakukan di bulan Ramadhan. (Lihat Al Jaami’ li Ahkamish Sholah, 3/63 dan Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9630)
Adapun shalat tarawih tidak disyariatkan untuk tidur terlebih dahulu dan shalat tarawih hanya khusus dikerjakan di bulan Ramadhan. Sedangkan shalat tahajjud menurut mayoritas pakar fiqih adalah shalat sunnah yang dilakukan setelah bangun tidur dan dilakukan di malam mana saja. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9630)
Para ulama sepakat bahwa shalat tarawih hukumnya adalah sunnah (dianjurkan). Bahkan menurut Ahnaf, Hanabilah, dan Malikiyyah, hukum shalat tarawih adalah sunnah mu’akkad (sangat dianjurkan). Shalat ini dianjurkan bagi laki-laki dan perempuan. Shalat tarawih merupakan salah satu syi’ar Islam. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9631)
Keutamaan Shalat Tarawih
Pertama, akan mendapatkan ampunan dosa yang telah lalu.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759). Yang dimaksud qiyam Ramadhan adalah shalat tarawih sebagaimana yang dituturkan oleh An Nawawi. (Syarh Muslim, 3/101)
Hadits ini memberitahukan bahwa shalat tarawih bisa menggugurkan dosa dengan syarat karena iman yaitu membenarkan pahala yang dijanjikan oleh Allah dan mencari pahala dari Allah, bukan karena riya’ atau alasan lainnya. (Fathul Bari, 6/290)
Yang dimaksud “pengampunan dosa” dalam hadits ini adalah bisa mencakup dosa besar dan dosa kecil berdasarkan tekstual hadits, sebagaimana ditegaskan oleh Ibnul Mundzir. Namun An Nawawi mengatakan bahwa yang dimaksudkan pengampunan dosa di sini adalah khusus untuk dosa kecil. (Lihat Fathul Bari, 6/290)
Kedua, shalat tarawih bersama imam seperti shalat semalam penuh.
Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengumpulkan keluarga dan para sahabatnya. Lalu beliau bersabda,
إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةً
“Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi. Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ 447 mengatakan bahwa hadits ini shahih). Hal ini sekaligus merupakan anjuran agar kaum muslimin mengerjakan shalat tarawih secara berjama’ah dan mengikuti imam hingga selesai.
Ketiga, shalat tarawih adalah seutama-utamanya shalat.
Ulama-ulama Hanabilah (madzhab Hambali) mengatakan bahwa seutama-utamanya shalat sunnah adalah shalat yang dianjurkan dilakukan secara berjama’ah. Karena shalat seperti ini hampir serupa dengan shalat fardhu. Kemudian shalat yang lebih utama lagi adalah shalat rawatib (shalat yang mengiringi shalat fardhu, sebelum atau sesudahnya). Shalat yang paling ditekankan dilakukan secara berjama’ah adalah shalat kusuf (shalat gerhana) kemudian shalat tarawih. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Quwaitiyyah, 2/9633)
Tarawih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Dari Abu Salamah bin ‘Abdirrahman, dia mengabarkan bahwa dia pernah bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Bagaimana shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan?” ‘Aisyah mengatakan,
مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah jumlah raka’at dalam shalat malam di bulan Ramadhan dan tidak pula dalam shalat lainnya lebih dari 11 raka’at.” (HR. Bukhari no. 1147 dan Muslim no. 738)
Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau menuturkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat bersama kami di bulan Ramadhan sebanyak 8 raka’at lalu beliau berwitir. Pada malam berikutnya, kami pun berkumpul di masjid sambil berharap beliau akan keluar. Kami terus menantikan beliau di situ hingga datang waktu fajar. Kemudian kami menemui beliau dan bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami menunggumu tadi malam, dengan harapan engkau akan shalat bersama kami.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sesungguhnya aku khawatir kalau akhirnya shalat tersebut menjadi wajib bagimu.” (HR. Ath Thabrani, Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa derajat hadits ini hasan. Lihat Shalat At Tarawih, hal. 21)
As Suyuthi mengatakan, “Telah ada beberapa hadits shahih dan juga hasan mengenai perintah untuk melaksanakan qiyamul lail di bulan Ramadhan dan ada pula dorongan untuk melakukannya tanpa dibatasi dengan jumlah raka’at tertentu. Dan tidak ada hadits shahih yang mengatakan bahwa jumlah raka’at tarawih yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah 20 raka’at. Yang dilakukan oleh beliau adalah beliau shalat beberapa malam namun tidak disebutkan batasan jumlah raka’atnya. Kemudian beliau pada malam keempat tidak melakukannya agar orang-orang tidak menyangka bahwa shalat tarawih adalah wajib.”
Ibnu Hajar Al Haitsamiy mengatakan, “Tidak ada satu hadits shahih pun yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat tarawih 20 raka’at. Adapun hadits yang mengatakan “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakan shalat (tarawih) 20 raka’at”, ini adalah hadits yang sangat-sangat lemah.” (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Quwaitiyyah, 2/9635)
Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Adapun yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari hadits Ibnu ‘Abbas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di bulan Ramadhan 20 raka’at ditambah witir, sanad hadits itu adalah dho’if. Hadits ‘Aisyah yang mengatakan bahwa shalat Nabi tidak lebih dari 11 raka’at juga bertentangan dengan hadits Ibnu Abi Syaibah ini. Padahal ‘Aisyah sendiri lebih mengetahui seluk-beluk kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada waktu malam daripada yang lainnya. Wallahu a’lam.” (Fathul Bari, 6/295)
Jumlah Raka’at Shalat Tarawih yang Dianjurkan
Jumlah raka’at shalat tarawih yang dianjurkan adalah tidak lebih dari 11 atau 13 raka’at. Inilah yang dipilih oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits yang telah lewat.
‘Aisyah mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah jumlah raka’at dalam shalat malam di bulan Ramadhan dan tidak pula dalam shalat lainnya lebih dari 11 raka’at.” (HR. Bukhari no. 1147 dan Muslim no. 738)
Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,
كَانَ صَلاَةُ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً . يَعْنِى بِاللَّيْلِ
“Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di malam hari adalah 13 raka’at.” (HR. Bukhari no. 1138 dan Muslim no. 764). Sebagian ulama mengatakan bahwa shalat malam yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah 11 raka’at. Adapun dua raka’at lainnya adalah dua raka’at ringan yang dikerjakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pembuka melaksanakan shalat malam, sebagaimana hal ini dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (4/123, Asy Syamilah)
Bolehkah Menambah Raka’at Shalat Tarawih Lebih Dari 11 Raka’at?
Mayoritas ulama terdahulu dan ulama belakangan, mengatakan bahwa boleh menambah raka’at dari yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan, “Sesungguhnya shalat malam tidak memiliki batasan jumlah raka’at tertentu. Shalat malam adalah shalat nafilah (yang dianjurkan), termasuk amalan dan perbuatan baik. Siapa saja boleh mengerjakan sedikit raka’at. Siapa yang mau juga boleh mengerjakan banyak.” (At Tamhid, 21/70)
Yang membenarkan pendapat ini adalah dalil-dalil berikut.
Pertama, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خِفْتَ الصُّبْحَ فَأَوْتِرْ بِوَاحِدَةٍ
“Shalat malam adalah dua raka’at dua raka’at. Jika engkau khawatir masuk waktu shubuh, lakukanlah shalat witir satu raka’at.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kedua, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَأَعِنِّى عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ
“Bantulah aku (untuk mewujudkan cita-citamu) dengan memperbanyak sujud (shalat).” (HR. Muslim no. 489)
Ketiga, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَإِنَّكَ لاَ تَسْجُدُ لِلَّهِ سَجْدَةً إِلاَّ رَفَعَكَ اللَّهُ بِهَا دَرَجَةً وَحَطَّ عَنْكَ بِهَا خَطِيئَةً
“Sesungguhnya engkau tidaklah melakukan sekali sujud kepada Allah melainkan Allah akan meninggikan satu derajat bagimu dan menghapus satu kesalahanmu.” (HR. Muslim no. 488)
Dari dalil-dalil di atas menunjukkan beberapa hal:
Keempat, Pilihan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memilih shalat tarawih dengan 11 atau 13 raka’at ini bukanlah pengkhususan dari tiga dalil di atas.
Alasan pertama, perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengkhususkan ucapan beliau sendiri, sebagaimana hal ini telah diketahui dalam ilmu ushul.
Alasan kedua, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah melarang menambah lebih dari 11 raka’at. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Shalat malam di bulan Ramadhan tidaklah dibatasi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan bilangan tertentu. Yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah beliau tidak menambah di bulan Ramadhan atau bulan lainnya lebih dari 13 raka’at, akan tetapi shalat tersebut dilakukan dengan raka’at yang panjang. …Barangsiapa yang mengira bahwa shalat malam di bulan Ramadhan memiliki bilangan raka’at tertentu yang ditetapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak boleh ditambahi atau dikurangi dari jumlah raka’at yang beliau lakukan, sungguh dia telah keliru.” (Majmu’ Al Fatawa, 22/272)
Alasan ketiga, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan para sahabat untuk melaksanakan shalat malam dengan 11 raka’at. Seandainya hal ini diperintahkan tentu saja beliau akan memerintahkan sahabat untuk melaksanakan shalat 11 raka’at, namun tidak ada satu orang pun yang mengatakan demikian. Oleh karena itu, tidaklah tepat mengkhususkan dalil yang bersifat umum yang telah disebutkan di atas. Dalam ushul telah diketahui bahwa dalil yang bersifat umum tidaklah dikhususkan dengan dalil yang bersifat khusus kecuali jika ada pertentangan.
Kelima, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukan shalat malam dengan bacaan yang panjang dalam setiap raka’at. Di zaman setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang-orang begitu berat jika melakukan satu raka’at begitu lama. Akhirnya, ‘Umar memiliki inisiatif agar shalat tarawih dikerjakan dua puluh raka’at agar bisa lebih lama menghidupkan malam Ramadhan, namun dengan bacaan yang ringan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tatkala ‘Umar mengumpulkan manusia dan Ubay bin Ka’ab sebagai imam, dia melakukan shalat sebanyak 20 raka’at kemudian melaksanakan witir sebanyak tiga raka’at. Namun ketika itu bacaan setiap raka’at lebih ringan dengan diganti raka’at yang ditambah. Karena melakukan semacam ini lebih ringan bagi makmum daripada melakukan satu raka’at dengan bacaan yang begitu panjang.” (Majmu’ Al Fatawa, 22/272)
Keenam, telah terdapat dalil yang shahih bahwa ‘Umar bin Al Khottob pernah mengumpulkan manusia untuk melaksanakan shalat tarawih, Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad Daari ditunjuk sebagai imam. Ketika itu mereka melakukan shalat tarawih sebanyak 21 raka’at. Mereka membaca dalam shalat tersebut ratusan ayat dan shalatnya berakhir ketika mendekati waktu shubuh. (Diriwayatkan oleh ‘Abdur Razaq no. 7730, Ibnul Ja’di no. 2926, Al Baihaqi 2/496. Sanad hadits ini shahih. Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/416)
Begitu juga terdapat dalil yang menunjukkan bahwa mereka melakukan shalat tarawih sebanyak 11 raka’at. Dari As Saa-ib bin Yazid, beliau mengatakan bahwa ‘Umar bin Al Khottob memerintah Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad Daariy untuk melaksanakan shalat tarawih sebanyak 11 raka’at. As Saa-ib mengatakan, “Imam membaca ratusan ayat, sampai-sampai kami bersandar pada tongkat karena saking lamanya. Kami selesai hampir shubuh.” (HR. Malik dalam Al Muqatho’, 1/137, no. 248. Sanadnya shahih. Lihat Shahih Fiqih Sunnah 1/418)
Berbagai Pendapat Mengenai Jumlah Raka’at Shalat Tarawih
Jadi, shalat tarawih 11 atau 13 raka’at yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah pembatasan. Sehingga para ulama dalam pembatasan jumlah raka’at shalat tarawih ada beberapa pendapat.
Pendapat pertama, yang membatasi hanya sebelas raka’at. Alasannya karena inilah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah pendapat Syaikh Al Albani dalam kitab beliau Shalatut Tarawaih.
Pendapat kedua, shalat tarawih adalah 20 raka’at (belum termasuk witir). Inilah pendapat mayoritas ulama semacam Ats Tsauri, Al Mubarok, Asy Syafi’i, Ash-haabur Ro’yi, juga diriwayatkan dari ‘Umar, ‘Ali dan sahabat lainnya. Bahkan pendapat ini adalah kesepakatan (ijma’) para sahabat.
Al Kasaani mengatakan, “‘Umar mengumpulkan para sahabat untuk melaksanakan qiyam Ramadhan lalu diimami oleh Ubay bin Ka’ab radhiyallahu Ta’ala ‘anhu. Lalu shalat tersebut dilaksanakan 20 raka’at. Tidak ada seorang pun yang mengingkarinya sehingga pendapat ini menjadi ijma’ atau kesepakatan para sahabat.”
Ad Dasuuqiy dan lainnya mengatakan, “Shalat tarawih dengan 20 raka’at inilah yang menjadi amalan para sahabat dan tabi’in.”
Ibnu ‘Abidin mengatakan, “Shalat tarawih dengan 20 raka’at inilah yang dilakukan di timur dan barat.”
‘Ali As Sanhuriy mengatakan, “Jumlah 20 raka’at inilah yang menjadi amalan manusia dan terus menerus dilakukan hingga sekarang ini di berbagai negeri.”
Al Hanabilah mengatakan, “Shalat tarawih 20 raka’at inilah yang dilakukan dan dihadiri banyak sahabat. Sehingga hal ini menjadi ijma’ atau kesepakatan sahabat. Dalil yang menunjukkan hal ini amatlah banyak.” (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9636)
Pendapat ketiga, shalat tarawih adalah 39 raka’at dan sudah termasuk witir. Inilah pendapat Imam Malik. Beliau memiliki dalil dari riwayat Daud bin Qois, dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan riwayatnya shahih. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/419)
Pendapat keempat, shalat tarawih adalah 40 raka’at dan belum termasuk witir. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh ‘Abdurrahman bin Al Aswad shalat malam sebanyak 40 raka’at dan beliau witir 7 raka’at. Bahkan Imam Ahmad bin Hambal melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan tanpa batasan bilangan sebagaimana dikatakan oleh ‘Abdullah. (Lihat Kasyaful Qona’ ‘an Matnil Iqna’, 3/267)
Kesimpulan dari pendapat-pendapat yang ada adalah sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Semua jumlah raka’at di atas boleh dilakukan. Melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan dengan berbagai macam cara tadi itu sangat bagus. Dan memang lebih utama adalah melaksanakan shalat malam sesuai dengan kondisi para jama’ah. Kalau jama’ah kemungkinan senang dengan raka’at-raka’at yang panjang, maka lebih bagus melakukan shalat malam dengan 10 raka’at ditambah dengan witir 3 raka’at, sebagaimana hal ini dipraktekkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri di bulan Ramdhan dan bulan lainnya. Dalam kondisi seperti itu, demikianlah yang terbaik.
Namun apabila para jama’ah tidak mampu melaksanakan raka’at-raka’at yang panjang, maka melaksanakan shalat malam dengan 20 raka’at itulah yang lebih utama. Seperti inilah yang banyak dipraktekkan oleh banyak ulama. Shalat malam dengan 20 raka’at adalah jalan pertengahan antara jumlah raka’at shalat malam yang sepuluh dan yang empat puluh. Kalaupun seseorang melaksanakan shalat malam dengan 40 raka’at atau lebih, itu juga diperbolehkan dan tidak dikatakan makruh sedikitpun. Bahkan para ulama juga telah menegaskan dibolehkannya hal ini semisal Imam Ahmad dan ulama lainnya.
Oleh karena itu, barangsiapa yang menyangka bahwa shalat malam di bulan Ramadhan memiliki batasan bilangan tertentu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga tidak boleh lebih atau kurang dari 11 raka’at, maka sungguh dia telah keliru.” (Majmu’ Al Fatawa, 22/272)
Dari penjelasan di atas kami katakan, hendaknya setiap muslim bersikap arif dan bijak dalam menyikapi permasalahan ini. Sungguh tidak tepatlah kelakuan sebagian saudara kami yang berpisah dari jama’ah shalat tarawih setelah melaksanakan shalat 8 atau 10 raka’at karena mungkin dia tidak mau mengikuti imam yang melaksanakan shalat 23 raka’at atau dia sendiri ingin melaksanakan shalat 23 raka’at di rumah.
Orang yang keluar dari jama’ah sebelum imam menutup shalatnya dengan witir juga telah meninggalkan pahala yang sangat besar. Karena jama’ah yang mengerjakan shalat bersama imam hingga imam selesai –baik imam melaksanakan 11 atau 23 raka’at- akan memperoleh pahala shalat seperti shalat semalam penuh. “Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi. Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ 447 mengatakan bahwa hadits ini shahih). Semoga Allah memafkan kami dan juga mereka.
Yang Paling Bagus adalah yang Panjang Bacaannya
Setelah penjelasan di atas, tidak ada masalah untuk mengerjakan shalat 11 atau 23 raka’at. Namun yang terbaik adalah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun berdirinya agak lama. Dan boleh juga melakukan shalat tarawih dengan 23 raka’at dengan berdiri yang lebih ringan sebagaimana banyak dipilih oleh mayoritas ulama.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ الصَّلاَةِ طُولُ الْقُنُوتِ
“Sebaik-baik shalat adalah yang lama berdirinya.” (HR. Muslim no. 756)
Dari Abu Hurairah, beliau berkata,
عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ نَهَى أَنْ يُصَلِّىَ الرَّجُلُ مُخْتَصِرًا
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang shalat mukhtashiron.” (HR. Bukhari dan Muslim). Ibnu Hajar –rahimahullah- membawakan hadits di atas dalam kitab beliau Bulughul Marom, Bab “Dorongan agar khusu’ dalam shalat.” Sebagian ulama menafsirkan ikhtishor (mukhtashiron) dalam hadits di atas adalah shalat yang ringkas (terburu-buru), tidak ada thuma’ninah ketika membaca surat, ruku’ dan sujud. (Lihat Syarh Bulughul Marom, Syaikh ‘Athiyah Muhammad Salim, 49/3, Asy Syamilah)
Oleh karena itu, tidak tepat jika shalat 23 raka’at dilakukan dengan kebut-kebutan, bacaan Al Fatihah pun kadang dibaca dengan satu nafas. Bahkan kadang pula shalat 23 raka’at yang dilakukan lebih cepat selesai dari yang 11 raka’at. Ini sungguh suatu kekeliruan. Seharusnya shalat tarawih dilakukan dengan penuh khusyu’ dan thuma’ninah, bukan dengan kebut-kebutan. Semoga Allah memberi taufik dan hidayah.
Salam Setiap Dua Raka’at
Para pakar fiqih berpendapat bahwa shalat tarawih dilakukan dengan salam setiap dua raka’at. Karena tarawih termasuk shalat malam. Sedangkan shalat malam dilakukan dengan dua raka’at salam dan dua raka’at salam. Dasarnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى
“Shalat malam adalah dua raka’at dua raka’at.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ulama-ulama Malikiyah mengatakan, “Dianjurkan bagi yang melaksanakan shalat tarawih untuk melakukan salam setiap dua raka’at dan dimakruhkan mengakhirkan salam hingga empat raka’at. … Yang lebih utama adalah salam setelah dua raka’at.” (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9640)
Istirahat Tiap Selesai Empat Raka’at
Para ulama sepakat tentang disyariatkannya istirahat setiap melaksanakan shalat tarawih empat raka’at. Inilah yang sudah turun temurun dilakukan oleh para salaf. Namun tidak mengapa kalau tidak istirahat ketika itu. Dan juga tidak disyariatkan untuk membaca do’a tertentu ketika melakukan istirahat. Inilah pendapat yang benar dalam madzhab Hambali. (Lihat Al Inshof, 3/117)
Dasar dari hal ini adalah perkataan ‘Aisyah yang menjelaskan tata cara shalat malam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يُصَلِّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat 4 raka’at, maka janganlah tanyakan mengenai bagus dan panjang raka’atnya. Kemudian beliau melaksanakan shalat 4 raka’at lagi, maka janganlah tanyakan mengenai bagus dan panjang raka’atnya.” (HR. Bukhari no. 3569 dan Muslim no. 738)
Sebagai catatan penting, tidaklah disyariatkan membaca dzikir-dzikir tertentu atau do’a tertentu ketika istirahat setiap melakukan empat raka’at shalat tarawih, sebagaimana hal ini dilakukan sebagian muslimin di tengah-tengah kita yang mungkin saja belum mengetahui bahwa hal ini tidak ada tuntunannya dalam ajaran Islam. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 1/420)
Ulama-ulama Hambali mengatakan, “Tidak mengapa jika istirahat setiap melaksanakan empat raka’at shalat tarawih ditinggalkan. Dan tidak dianjurkan membaca do’a-do’a tertentu ketika waktu istirahat tersebut karena tidak adanya dalil yang menunjukkan hal ini.” (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9639)
Surat yang Dibaca Ketika Shalat Tarawih
Tidak ada riwayat mengenai bacaan surat tertentu dalam shalat tarawih yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi, surat yang dibaca boleh berbeda-beda sesuai dengan keadaan. Imam dianjurkan membaca bacaan surat yang tidak sampai membuat jama’ah bubar meninggalkan shalat. Seandainya jama’ah senang dengan bacaan surat yang panjang-panjang, maka itu lebih baik berdasarkan riwayat-riwayat yang telah kami sebutkan.
Ada anjuran dari sebagian ulama semacam ulama Hanafiyah dan Hambali untuk mengkhatamkan Al Qur’an di bulan Ramadhan dengan tujuan agar manusia dapat mendengar seluruh Al Qur’an ketika melaksanakan shalat tarawih.
Kesalahan-Kesalahan Dalam Shalat Tarawih
- Menyeru Jama’ah dengan “Ash Sholaatul Jaami’ah”. Ulama-ulama hanabilah berpendapat bahwa tidak ada ucapan untuk memanggil jama’ah dengan ucapan “Ash Sholaatul Jaami’ah”. Menurut mereka, ini termasuk perkara yang diada-adakan (baca: bid’ah). (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 2/9634)
- Dzikir Jama’ah dengan Dikomandoi. Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah tatkala menjelaskan mengenai dzikir setelah shalat mengatakan, “Tidak diperbolehkan para jama’ah membaca dizkir secara berjama’ah. Akan tetapi yang tepat adalah setiap orang membaca dzikir sendiri-sendiri tanpa dikomandai oleh yang lain. Karena dzikir secara berjama’ah (bersama-sama) adalah sesuatu yang tidak ada tuntunannya dalam syari’at Islam yang suci ini.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 11/189).
- Bubar Sebelum Imam Selesai Shalat Malam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang shalat (malam) bersama imam hingga ia selesai, maka ditulis untuknya pahala melaksanakan shalat satu malam penuh.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi, Shahih). Jika seseorang bubar terlebih dahulu sebelum imam selesai, maka dia akan kehilangan pahala yang disebutkan dalam hadits ini. Jika imam melaksanakan shalat tarawih ditambah shalat witir, makmum pun seharusnya ikut menyelesaikan bersama imam. Itulah yang lebih tepat.
Demikian sedikit pembahasan kami seputar shalat tarawih. Semoga Allah memberi taufik kepada kita agar dapat menghidupkan malam Ramadhan dengan shalat tarawih dan amalan lainnya.
Wa shallaatu wa salaamu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in. Alhamdulillahi robbil ‘alamin.
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal (http://rumaysho.com)
Dipublikasikan oleh www.muslim.or.id
Di tempat saya, Masjid ada kuburannya juga jauh dari sunnah, kemudian ada musholah kecil juga jauh dari sunnah.
Bahkan saya tidak sanggup menyelesaikan bacaan2 sholat (ruku, sujud, dll), saking cepatnya.
Ada masjid yg lebih mendekati sunnah lokasinya jauh, mesti naik angkot atau motor.
Gimana ya?
muslim.or.id menulis : “Sedangkan shalat tahajjud menurut mayoritas pakar fiqih adalah shalat sunnah yang dilakukan setelah bangun tidur dan dilakukan di malam mana saja. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9630)”
apakah ada sedikit kontradiksi dg salah satu hadits tentang syari`at menyuruh sholat malam sebelum tidur jika tidak mampu bangun di pertigaan malam?
mohon faidahnya..
jazzakallah
mana yang lebih baik, ketika yang ada, di masjid tarawih berjamaah, dengan ada yang menuntun assholatu jami’ah, dzikir berjamaah, ceramah di antara tarawih dan witir, kemudian di akhir witir, melafadzkan niat bersama-sama,
atau lebih baik sholat sendiri di rumah?
Alllohu Akbar
sungguh ini merupakan penjelasan yang terang dan gamblang, semoga Alloh Azza wa Jalla senantiasa menjaga ustadz, dan memberikan keberkahan atas ilmu ustadz. semoga Alloh Jalla wa Alla memberikan kefahaman kepada ana.
Assalamu ‘alaikum,
saya ingin bertanya, apakah setelah mengikuti sholat tarawih hingga selesai (witir) di masjid, kemudian d sepertiga malam kita ingin melakukan sholat tahajud, apakah hal itu diperbolehkan? mengingat kita sudah melakukan sholat witir?
Jazakillah..
wassalamu ‘alaikum
Assalammu’alaikum wr.wb
Alhamdulillah kita masih diberikan ni’mat sehat,iman dan Islam sehingga masih diberikan kesempatan melaksanakan sholat tarawih dan yang masih ada perbedaan pendapat tentang malam 15 Ramadhan biasanya selalu ada tambahan do’a qunut pada saat rakaat ketiga shalat witir apakah hal ini ada tuntunan dari para ulama atau bid’ah ?
Wassalammualaikum wr.wb
Assalamu’alaikum
muslim menulis
jika tidak menyelesaikan sholat bersama Imam Maka akan kehilangan pahala besar yakni pahala qiyam semalam penuh.
tapi bagaimana jika kondisinya seperti Ini:
Seorang Imam (yang meyakini sholat tarawih 8 raka’at) memimpin sholat tarawih. Setelah mendapat 8 raka’at tanpa ada udzur Imam meninggalkan sholat jama’ah tsb. Selanjutnya Imam digantikan sama orang lain (yang meyakini tarawih 20 raka’at). Jama’ah pun sebagian ada yg meninggalkan sholat stlh 8 raka’at dan sebagian lain ada yg melanjutkan (dg imam yg baru) untuk melengkapi 20 raka’at dan 3 raka’at witir.
Keadaan ini berdasarkan hasil rapat pengurus DKM dan warga.
Bagaimana saya harus menyikapinya?
Mana yg harus saya ikuti karena sholat jama’ah digantikan imam yg baru tanpa ada udzur.
Mohon jawabannya kepada ustadz atau ikhwan2 lain yg sudah mempunyai ilmunya.
Jazakumullah khairan katsir..
@diandra dani : yang lebih baik adalah sholat berjamaah di masjid dan musholla dan melakukan semua amalan yang dituntunkan oleh Nabi Muhammad SAW.
untuk bilal dalam sholat terawih apa benar” ada pa hanya adat orang kita saja????
mohon bantuannya….
Assalammu’alaikum wrb
saya punya anak kecil di rumah yg mempunyai kelebihan energi, saya sholat tarawih di rumah saja sambil menunggu anak saya, kalo di mesjid takut ngeganggu orang.
Apakah sholat tarawih saya di rumah dgn sendiri tidak berjamaah, apakah salah ga? mohon..bantuannya memberikan penjelasan..
Wass
Aslm. Ustad ana mw Nax Knp Dzikir brjamaAH Dlarang ? tloNG DjLASKN Dg Dalil2x, af1 Ana Msh agak malas mMBcA. syukroN.WasSLM.
artikel ini penuh ilmu dan sangat berguna.. jazakalloh khoir..
tolong pembahasan mengenai sholat dua rokaat ringan sebelum sholat malam (sholat sunnah dua rokaat khofifataini) yang dilakukan sebagian golongan. jadi sebelum pelaksanaan tarawih melakasanakan sholat dua rokaat tersebut hanya membaca alfatifah. baik imam maupun makmum membaca sendiri sendiri (siir) tapi dilakukan secara berjamaah.
(itu berkaitan dengan hadis berikut
Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,
كَانَ صَلاَةُ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً . يَعْنِى بِاللَّيْلِ
“Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di malam hari adalah 13 raka’at.” (HR. Bukhari no. 1138 dan Muslim no. 764). Sebagian ulama mengatakan bahwa shalat malam yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah 11 raka’at. Adapun dua raka’at lainnya adalah dua raka’at ringan yang dikerjakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pembuka melaksanakan shalat malam, sebagaimana hal ini dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (4/123, Asy Syamilah))
ada yang mengatakan hal yersebut tidak sesuai sunnah, karena sunnahnya dilakukan bila sebelum sholat malam tidur terlebih dahulu. tolong pembahasannya. jazakummulloh khoir.
Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh,
Berikut jawaban kami untuk pertanyaan Mas Willy, juga ada yang menanyakan pada kami melalui Japri.
Setelah Shalat Witir, Bolehkah Shalat Sunnah Lagi?
Mengenai masalah ini, ada dua pendapat di antara para ulama.
Pendapat pertama, mengatakan bahwa boleh melakukan shalat sunnah lagi sesukanya, namun shalat witirnya tidak perlu diulangi.
Pendapat ini adalah yang dipilih oleh mayoritas ulama seperti ulama-ulama Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah, pendapat yang masyhur di kalangan ulama Syafi’iyah dan pendapat ini juga menjadi pendapat An Nakho’i, Al Auza’i dan ‘Alqomah.
Pertama, ‘Aisyah menceritakan mengenai shalat malam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
كَانَ يُصَلِّى ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّى ثَمَانَ رَكَعَاتٍ ثُمَّ يُوتِرُ ثُمَّ يُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ قَامَ فَرَكَعَ ثُمَّ يُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ بَيْنَ النِّدَاءِ وَالإِقَامَةِ مِنْ صَلاَةِ الصُّبْحِ.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakan shalat 13 raka’at (dalam semalam). Beliau melaksanakan shalat 8 raka’at kemudian beliau berwitir (dengan 1 raka’at). Kemudian setelah berwitir, beliau melaksanakan shalat dua raka’at sambil duduk. Jika ingin melakukan ruku’, beliau berdiri dari ruku’nya dan beliau membungkukkan badan untuk ruku’. Setelah itu di antara waktu adzan shubuh dan iqomahnya, beliau melakukan shalat dua raka’at.” (HR. Muslim no. 738)
Kedua, dari Ummu Salamah, beliau mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat dua raka’at sambil duduk setelah melakukan witir (HR. Tirmidzi no. 471. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Ketiga, dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ خَافَ مِنْكُمْ أَنْ لاَ يَسْتَيْقِظَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ ثُمَّ لْيَرْقُدْ …
“Barangsiapa di antara kalian yang khawatir tidak bangun di akhir malam, maka berwitirlah di awal malam lalu tidurlah, …” (HR. Tirmidzi no. 1187. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Dipahami dari hadits ini bahwa jika orang tersebut bangun di malam hari –sebelumnya sudah berwitiri sebelum tidur-, maka dia masih diperbolehkan untuk shalat.
Adapun dalil yang mengatakan bahwa shalat witirnya tidak perlu diulangi adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ وِتْرَانِ فِى لَيْلَةٍ
“Tidak boleh ada dua witir dalam satu malam.” (HR. Tirmidzi no. 470, Abu Daud no. 1439, An Nasa-i no. 1679. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Pendapat kedua, mengatakan bahwa tidak boleh melakukan shalat sunnah lagi sesudah melakukan shalat witir kecuali membatalkan shalat witirnya yang pertama, kemudian dia shalat dan witir kembali. Maksudnya di sini adalah jika sudah melakukan shalat witir kemudian punya keinginan untuk shalat sunnah lagi sesudah itu, maka shalat sunnah tersebut dibuka dengan mengerjakan shalat sunnah 1 raka’at untuk menggenapkan shalat witir yang pertama tadi. Kemudian setelah itu, dia boleh melakukan shalat sunnah (2 raka’at – 2 raka’at) sesuka dia, lalu dia berwitir kembali.
Inilah pendapat lainnya dari ulama-ulama Syafi’iyah. Dasar dari pendapat ini adalah diharuskannya shalat witir sebagai penutup shalat malam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اجْعَلُوا آخِرَ صَلاَتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا
“Jadikanlah penutup shalat malam kalian adalah shalat witir.” (HR. Bukhari no. 998 dan Muslim no. 751)
Pendapat yang Terkuat
Dari dua pendapat di atas, pendapat yang terkuat adalah pendapat pertama dengan beberapa alasan berikut.
Pertama, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat sunnah setelah beliau mengerjakan shalat witir. Perbuatan beliau ini menunjukkan bolehnya hal tersebut.
Kedua, pendapat kedua yang membatalkan witir pertama dengan shalat 1 raka’at untuk menggenapkan raka’at, ini adalah pendapat yang lemah ditinjau dari dua sisi.
1. Witir pertama sudah dianggap sah. Witir tersebut tidaklah perlu dibatalkan setelah melakukannya. Dan tidak perlu digenapkan untuk melaksanakan shalat genap setelahnya.
2. Shalat sunnah dengan 1 raka’at untuk menggenapkan shalat witir yang pertama tadi tidaklah dikenal dalam syari’at.
Dengan dua alasan inilah yang menunjukkan lemahnya pendapat kedua.
Kesimpulan
Dari pembahasan kali ini, ada beberapa pelajaran yang bisa kita ambil.
Pertama, bolehnya melakukan shalat sunnah lagi sesudah shalat witir.
Kedua, diperbolehkannya hal ini juga dengan alasan bahwa shalat malam tidak ada batasan raka’at sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Majmu’ Al Fatawa, 22/272). Jika kita telah melakukan shalat tarawih ditutup witir bersama imam masjid, maka di malam harinya kita masih bisa melaksanakan shalat sunnah lagi. Sehingga tidak ada alasan untuk meninggalkan imam masjid ketika imam baru melaksanakan shalat tarawih 8 raka’at dengan niatan ingin melaksanakan shalat witir di rumah sebagai penutup ibadah atau shalat malam. Ini tidaklah tepat karena dia sudah merugi karena meninggalkan imam sebelum imam selesai shalat malam. Padahal pahala shalat bersama imam hingga imam selesai shalat malam disebutkan dalam hadits, “Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi. Shahih).
Ketiga, adapun hadits Bukhari-Muslim yang mengatakan “Jadikanlah penutup shalat malam kalian adalah shalat witir”, maka menjadikan shalat witir sebagai penutup shalat malam di sini dihukumi sunnah (dianjurkan) dan bukanlah wajib karena terdapat dalil pemaling dari perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 395).
Demikian pembahasan kami dalam rangka menjawab pertanyaan seputar shalat tarawih yang kami bahas.
Semoga bermanfaat dan menjadi ilmu yang bermanfaat.
Rujukan:
Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Mawqi’ Al Islam, Asy Syamilah
Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik, 386-395, Al Maktabah At Taufiqiyah
Sekedar menambahkan keterangan diatas.
Saya mengambilnya dari kitab Taudhihul Ahkam Min Bulughil Maram (II/67), Jannatul Afkar, Kairo.
Barangsiapa yang menginginkan keutamaan-keutamaan berikut
1. Keutamaan sholat malam bersama imam sampai selesai
2. Keutamaan sholat witir di akhir malam
Maka ketika imam selesai salam, hendaknya dia berdiri menggenapkan rokaatnya baru kemudian salam.
Demikian semoga bermanfaat.
saya sagat pendapat dengan pendapan pendapat para ulama,saya yang ragu dalam pendapat masalah shalat witir,ada yang melakukan nya sekaligus 3 rakaat,ada yang 2,lalu satu rakaat lagi di lakukan sesudah 2 rakaat.tolong dalil shalat witir.komentar saya.tolong hadis dan ayat yang banyak,untuk memperkuatkan tentang shalat tarawih.
Ada komentar sebagai berikut dari Saudara Santoso: “… Bahkan saya tidak sanggup menyelesaikan bacaan2 sholat (ruku, sujud, dll), saking cepatnya.
Ada masjid yg lebih mendekati sunnah lokasinya jauh, mesti naik angkot atau motor.”
Artinya si penanya merasa imamnya terlalu kecepatan di dalam shalat tarawih sehingga dia tidak bisa menyelasaikan bacaan-bacaan dalam shalat. Berikut akan kami bawakan fatwa Al Lajnah Ad Da-imah.
Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah Lil Buhuts Ilmiyyah wal Ifta’ (Komisi Tetap dalam Riset Ilmiyyah dan Fatwa di Saudi Arabia), Soal Kelima dari Fatwa no. 6914
Soal:
Terkadang imam begitu cepat dalam membaca surat (atau bacaan dzikir lainnya) ketika shalat tarawih, sampai hampir-hampir orang yang shalat di belakangnya tidak mampu membaca surat (atau bacaan shalat) atau tidak mampu menyempurnakan bacaan Al Fatihah. Apakah shalat seperti ini sah?
Jawab:
Disyari’atkan untuk memilih imam lain agar bisa betul dalam membaca Al Qur’an secara tartil dan bisa lebih thuma’ninah dalam shalat. Namun jika hal ini tidak bisa dilakukan, maka orang tersebut lebih baik shalat di rumahnya. Dan sudah selayaknya bagi makmum yang pendapatnya bisa didengar oleh imam untuk menasehati imam tersebut agar membaca Al Qur’an secara tartil dan thuma’ninah dalam shalat. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Agama adalah nasehat (senantiasa mengharapkan kebaikan pada yang lain).”
Wa billahi taufik, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa alihi wa shohbihi wa sallam.
Yang menandatangani fatwa ini: Abdullah bin Qu’ud dan Abdullah bin Ghodyan sebagai anggota, ‘Abdur Rozaq ‘Afifi sebagai Wakil Ketua, dan ‘Abdul Aziz bin Baz sebagai Ketua.
Jadi nasehat kami:
Jika kita adalah orang yang terpandang dan bisa didengar pendapatnya oleh imam yang cepat bacaannya tadi, maka sudah sepatutnya kita menasehatinya agar lebih thuma’ninah dalam shalat dan lebih tartil dalam membaca surat.
Jika kita adalah orang yang bisa mengganti dan memilih imam lain, maka kita berusaha mencari penggantinya.
Namun, jika kita selaku jama’ah biasa dan pendapat kita tidak mungkin didengar, maka pendapat Lajnah di atas bisa kita ikuti selama tidak terjadi fitnah yang lebih besar di masyarakat atau kita berusaha cari masjid lainnya yang lebih thuma’ninah dalam shalat.
Akan tetapi jika bisa terjadi fitnah, mungkin kita tetap shalat di belakang imam tadi, namun setelah itu kita mengulangi shalat malam tadi di rumah. Wallahu a’lam.
Muhammad Abduh Tuasikal
@ Saudara Muslim
apakah ada sedikit kontradiksi dg salah satu hadits tentang syari`at menyuruh sholat malam sebelum tidur jika tidak mampu bangun di pertigaan malam?
Jawab:
Mungkin hadits yang antum maksudkan adalah ini.
Dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ خَافَ مِنْكُمْ أَنْ لاَ يَسْتَيْقِظَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ ثُمَّ لْيَرْقُدْ …
“Barangsiapa di antara kalian yang khawatir tidak bangun di akhir malam, maka berwitirlah di awal malam lalu tidurlah, …” (HR. Tirmidzi no. 1187. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Yang dimaksudkan dalam hadits ini adalah shalat witir dan bukan shalat tahajud. Sehingga tidak ada kontradiksi dalam hal ini.
Barakallahu fiikum. Semoga Allah senantiasa memberkahi antum dan keluarga.
Akhukum fillah, Muhammad Abduh Tuasikal
# Ibu Yane
Wa’alaikumussalam warahmatullah
Sejauh pengetahuan kami, jika ibu sholat tarawih dirumah justru itu lebih utama meskipun sendirian. Karena sebaik-baik sholat wanita adalah dirumahnya. Sebagaimana sabda Nabi shalallahu’alaihiwasallam,
“Rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka(HR Abu Daud No 567)”. Dengan sholat dirumah, seorang wanita akan mendapatkan manfaat, diantaranya
1. Sholat dirumah lebih mendekatkan kita kpd keikhlasan
2. Sholat dirumah termasuk amalan yang tersembunyi dan jauh dari riya
3. Memudahkan wanita mengurus rumah dan mengurus anak.
Demikian ibu, semoga bermanfaat.
Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh,
Kepada para pembaca website muslim.or.id, berikut tambahan penjelasan mengenai “Shalat Tarawih Bagi Wanita”.
Sumber: http://rumaysho.com/hukum-islam/shalat/2686-shalat-tarawih-bagi-wanita-lebih-baik-di-masjid-ataukah-di-rumah.html
Terlebih dahulu kita lihat bersama penjelasan para ulama mengenai shalat tarawih bagi wanita.
Fatwa Komisi Tetap dalam Riset Ilmiyyah dan Fatwa di Saudi Arabia
Soal: Apakah boleh bagi seseorang melaksanakan shalat tarawih sendirian jika dia luput dari shalat berjama’ah? Dan apakah shalat tarawih untuk wanita lebih baik di rumah ataukah di masjid?
Jawab: Disyariatkan untuk laki-laki –apabila luput dari shalat jama’ah tarawih-, maka dia menunaikannya sendirian. Adapun shalat tarawih untuk wanita lebih baik dilakukan di rumah daripada di masjid. Wa billahi taufiq, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa alihi wa shohbihi wa sallam.
Yang menandatangani fatwa ini: Abdullah bin Qu’ud dan Abdullah bin Ghodyan sebagai anggota, ‘Abdur Rozaq ‘Afifi sebagai Wakil Ketua, dan ‘Abdul Aziz bin Baz sebagai Ketua. [1]
Penjelasan Syaikh Musthofa Al ‘Adawiy (Ulama Mesir)
Jika menimbulkan godaan ketika keluar rumah (ketika melaksanakan shalat tarawih), maka shalat di rumah lebih utama bagi wanita daripada di masjid. Hal ini berdasarkan hadits dari Ummu Humaid, istri Abu Humaid As Saa’idiy. Ummu Humaid pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata bahwa dia sangat senang sekali bila dapat shalat bersama beliau. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّينَ الصَّلاَةَ … وَصَلاَتُكِ فِى دَارِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِى مَسْجِدِ قَوْمِكِ وَصَلاَتُكِ فِى مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِى مَسْجِدِى
”Aku telah mengetahui bahwa engkau senang sekali jika dapat shalat bersamaku. … Shalatmu di rumahmu lebih baik dari shalatmu di masjid kaummu. Dan shalatmu di masjid kaummu lebih baik daripada shalatmu di masjidku.” [2]
Namun jika wanita tersebut merasa tidak sempurna mengerjakan shalat tarawih tersebut di rumah atau malah malas-malasan, juga jika dia pergi ke masjid akan mendapat faedah lain bukan hanya shalat (seperti dapat mendengarkan nasehat-nasehat agama atau pelajaran dari orang yang berilmu atau dapat pula bertemu dengan wanita-wanita muslimah yang sholihah atau di masjid para wanita yang saling bersua bisa saling mengingatkan untuk banyak mendekatkan diri pada Allah, atau dapat menyimak Al Qur’an dari seorang qori’ yang bagus bacaannya), maka dalam kondisi seperti ini, wanita boleh saja keluar rumah menuju masjid. Hal ini diperbolehkan bagi wanita asalkan dia tetap menutup aurat dengan menggunakan hijab yang sempurna, keluar tanpa memakai harum-haruman (parfum), dan keluarnya pun dengan izin suami. Apabila wanita berkeinginan menunaikan shalat jama’ah di masjid (setelah memperhatikan syarat-syarat tadi), hendaklah suami tidak melarangnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ
“Janganlah kalian melarang istri-istri kalian untuk ke masjid, namun shalat di rumah mereka (para wanita) tentu lebih baik.” [3]
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إِذَا اسْتَأْذَنَكُمْ نِسَاؤُكُمْ إِلَى الْمَسَاجِدِ فَأْذَنُوا لَهُنَّ
“Jika istri kalian meminta izin pada kalian untuk ke masjid, maka izinkanlah mereka.” [4]. Inilah penjelasan Syaikh Musthofa Al Adawi hafizhohullah yang penulis sarikan. [5]
Menarik Pelajaran
Dari penjelasan para ulama di atas dapat kita simpulkan bahwa shalat tarawih untuk wanita lebih baik adalah di rumahnya apalagi jika dapat menimbulkan fitnah atau godaan. Lihatlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih mengatakan bahwa shalat bagi wanita di rumahnya lebih baik daripada di masjidnya yaitu Masjid Nabawi. Padahal kita telah mengetahui bahwa pahala yang diperoleh akan berlipat-lipat apabila seseorang melaksanakan shalat di masjid beliau yaitu Masjid Nabawi.
Namun apabila pergi ke masjid tidak menimbulkan fitnah (godaan) dan sudah berhijab dengan sempurna, juga di masjid bisa dapat faedah lain selain shalat seperti dapat mendengar nasehat-nasehat dari orang yang berilmu, maka shalat tarawih di masjid diperbolehkan dengan memperhatikan syarat-syarat ketika keluar rumah. Di antara syarat-syarat tersebut adalah:
Pertama, menggunakan hijab dengan sempurna ketika keluar rumah sebagaimana perintah Allah agar wanita memakai jilbab dan menutupi seluruh tubuhnya selain wajah dan telapak tangan.
Kedua, minta izin kepada suami atau mahrom terlebih dahulu dan hendaklah suami atau mahrom tidak melarangnya.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِذَا اسْتَأْذَنَكُمْ نِسَاؤُكُمْ إِلَى الْمَسَاجِدِ فَأْذَنُوا لَهُنَّ
“Jika istri kalian meminta izin pada kalian untuk ke masjid, maka izinkanlah mereka.” (HR. Muslim). An Nawawi membawakan hadits ini dalam Bab “Keluarnya wanita ke masjid, jika tidak menimbulkan fitnah dan selama tidak menggunakan harum-haruman.”
Ketiga, tidak menggunakan harum-haruman dan perhiasan yang dapat menimbulkan godaan.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ أَصَابَتْ بَخُورًا فَلاَ تَشْهَدْ مَعَنَا الْعِشَاءَ الآخِرَةَ
“Wanita mana saja yang memakai harum-haruman, maka janganlah dia menghadiri shalat Isya’ bersama kami.” (HR. Muslim)
Zainab -istri ‘Abdullah- mengatakan bahwa Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam mengatakan pada para wanita,
إِذَا شَهِدَتْ إِحْدَاكُنَّ الْمَسْجِدَ فَلاَ تَمَسَّ طِيبًا
“Jika salah seorang di antara kalian ingin mendatangi masjid, maka janganlah memakai harum-haruman.” (HR. Muslim)
Keempat, jangan sampai terjadi ikhtilath (campur baur yang terlarang antara pria dan wanita) ketika masuk dan keluar dari masjid.
Dalilnya adalah hadits dari Ummu Salamah:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا سَلَّمَ قَامَ النِّسَاءُ حِينَ يَقْضِى تَسْلِيمَهُ ، وَيَمْكُثُ هُوَ فِى مَقَامِهِ يَسِيرًا قَبْلَ أَنْ يَقُومَ . قَالَ نَرَى – وَاللَّهُ أَعْلَمُ – أَنَّ ذَلِكَ كَانَ لِكَىْ يَنْصَرِفَ النِّسَاءُ قَبْلَ أَنْ يُدْرِكَهُنَّ أَحَدٌ مِنَ الرِّجَالِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam salam dan ketika itu para wanita pun berdiri. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tetap berada di tempatnya beberapa saat sebelum dia berdiri. Kami menilai –wallahu a’lam- bahwa hal ini dilakukan agar wanita terlebih dahulu meninggalkan masjid supaya tidak berpapasan dengan kaum pria.” (HR. Bukhari)
Demikian penjelasan kami mengenai shalat tarawih bagi wanita. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat bagi kita sekalian.
Foot note:
[1] Soal Ketiga dari Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah no. 6505, Mawqi’ Al Ifta’
[2] HR. Ahmad no. 27135. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[3] HR. Abu Daud. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih
[4] HR. Muslim
[5] Periksa http://www.islamfeqh.com/News/NewsItem.aspx?NewsItemID=1914
Assalamu ‘alaikum
Ana mau tanya bukankah riwayat yang melebihi 11 rakaat merupakan dhaif mohon penjelasannya
Jazakumullah khoiron…Trim’s tlah berbagi ilmu.
bagaiman hhukum mendirikan masjid untuk melaksanakan shalat tarawih dan wajib selama bulan puasa saja setelah itu masjid/musholah tsb di hancurkan,di kampung kami tidak memiliki masjid/musholah kami bisa melaksanakan shalat dimasjid kampung tetangga yang jaraknya 100 M.saya mohion penjelasan karena jemaah menjadi pecah belah karena sebagian mereka ada yang mengatakan bidah.sukron
nak tanya soalan bagaimana kah solat witir yang 3 rakaat dengan memisahkan 2rakaat dan 1 rakaat…apakah saya perlu berpisah dengan imam disebabkan menyalahi sunnah atau saya ikut sahaja berjamaah…
berdasrkan keterangan diatas maka dapat disimpulkan bahwa shalat tarawih Nabi Dua dua tapi bagimana dengan formasi Empat empat tiga terima kasih
Mohon Petunjuk atas dalil yang melarang do’a atau dzikir pada waktu2 tertentu.
Pelarangan do’a atau dzikir yang dibatasi waktu sangat bertentangan anjuran Rosullulloh bahwa kita setiap saat agar ingat dan berdo’a kepada Alloh SWT,
Dan setahu sy tidak ada satu dalilpun yang menyebutkan bahwa berdo’a/dzikir saat istirahat sholat tarawih diharamkan.
sering orang bilang bahwa sholat tarawih 8 rakaat mengikuti Rosululloh dan yang 20 rakaat mengikuti sahabat. Seakan disitu antara Rosululloh dan sahabat berbeda.
Padahal yang tahu betul tentang Rosululloh adalah sahabat terutama yang “Kulafaurasyidin”
Kadang terasa aneh didengar saat ini, bahwa banyak tokoh2 modern yang berbicara hukum islam (syariat) seakan lebih tahu dan lebih pintar daripada sahabat. Padahal sebodoh-bodohnya sahabat masih lebih tahu tentang Rosululloh dari pada tokoh2 intelektual sekarang.
Padahal Rosululloh sendiri telah menjamin akan kebenaran sahabat terutama sahabat Kulafaurasyidin.
#Bapak Kian Anggara
Sebelum menjawab pertanyaan bapak, alangkah baiknya jika kita cermati hal2 berikut ini
1. Doa adalah ibadah
2. Asal hukum ibadah adalah haram sehingga ada dalil yang mensyari’atkannya
3. syarat diterimanya ibadah ada 2, ikhlas dan harus sesuai tuntunan Nabi.
Ketika kita sudah faham 3hal diatas, maka seharusnya yang menjadi pertanyaan adalah :
=>Apa dalil yang mensyari’atkan shg anda mengkhususkan doa pada waktu tertentu?
=>Apa dalil yang mensyari’atkan doa setelah terawih?
Inilah pertanyaan yang layak kita lontarkan, namun berhubung bapak menanyakan
1. Apa dalil yang mengharamkan do’a pada waktu tertentu?
Maka kami katakan: Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam terkadang mengkhususkan doa/dzikir pd waktu tertentu,spt doa dzikir setelah sholat fardhu,doa pagi petang,doa ketika ada angin, doa ketika ada halilintar dsbny, maka doa semacam ini disyariatkan dan berpahala bagi yang mengamalakn.
Namun terkadang beliau juga dzikir sepanjang waktu(tidak ada kehususan waktu),spt ketika beliau beristighfar, bertahmid dan bertasbih,mk hal ini jg blh kita amalkan, krn beliau memang mencontohkn demikian.
Berbeda halnya dg dzikir setelah sholat terawih, mk dzikir ini TIDAK PERNAH DILAKUKAN oleh Rasulullah shalallahu’alaihowasallam dan jg para sahabat. shg dzikir ini termasuk bid’ah dlm agama,krn Nabi shalallahu’alaihiwasallam bersabda
Barangsiapa beramal suatu amalan yang tidak kami peritahkan, maka amalannya tertolak (HR. Bukhari dan Muslim).
2. Apa dalil yang melarang dzikir setelah terawih
Kami katakan: justru kami yang berhak bertanya, Apa dalil yang mensyari’atkan dzikir setelah terawih?
Jawabnya: Tidak ada dalilnya.
perlu dingat kembali, bahwa niat baik saja tidaklah cukup dikatakan bhw ibadah tsb diterima. Betapa byk orang berniat baik dg amalnya namun malah mndapat murka, krn tidak sesuai tuntunan Nabi shalallahu’alaihiwasallam.
Demikian Pak, semoga bermanfaat bagi kita semua.
assalamu’alaikum
jadi kalau shalat 20 raka’at plus witir 3 raka’at boleh?
trus rasulullah shalat 13 raka’at? berarti melaksanakan tarawehnya 10 raka’at?
jika imam bacaannya sangat cepat dan gerakan shalatnyapun sangat cepat apa kita bleh keluar dari jama’ah shalat? kerena hal tersebut membuat ketidak khusyu’an.
jazakallah artikelnya sangat mebantu banget
wassalamu’alaikum
Assalamu’alaikum.
Minta izin copy paste artikelnya.
Sukron
Barangsiapa beramal suatu amalan yang tidak kami peritahkan, maka amalannya tertolak (HR. Bukhari dan Muslim).
KALO MEMBUAT WEBSITE TERMASUK BIDAH GA MAS??
@ Al Fajr
Yah tidak lah. Bid’ah kan dalam masaah agama. Anda salah paham.
Silakan baca artikel berikut:
https://muslim.or.id/manhaj/mengenal-seluk-beluk-bidah-3.html
Assalam`alaikum
Al-Fajr says:
5 August 2010 at 11:15 am
Barangsiapa beramal suatu amalan yang tidak kami peritahkan, maka amalannya tertolak (HR. Bukhari dan Muslim).
KALO MEMBUAT WEBSITE TERMASUK BIDAH GA MAS??
ABUL HASAN SAYS:
ANDA PERNAH MENDENGAR HADITS IMAM MUSLIM YAITU:
RASULULLAH BERSABDA KAMU LEBIH MENGETAHUI URUSAN DUNIAWIMU.
APAKAH MEMBUAT WEBSITE TEMASUK MASALAH IBADAH SEBAGAIMANA SHALAT,HAJI,UMRAH,DZIKIR,PUASA,ZAKAT. TENTU TIDAK,KARENA DIA JUGA TERMASUK URUSAN DUNIAWI DI MANA RASULULLAH SUDAH MEMBERIKAN IZIN KEPADA KITA UNTUK MENGELOLA DUNIAWI KITA SENIDRI SELAMA HALAL DAN MUBAH. MALAH BID’AH BILA ANDA MENGHARAMKANNYA. PAHAMILAH DAN RENUNGKAN MAKSUD SAYA INI.JAZAKALLAH.
assalamuálaikum..
mohon ijin share artikelnya..
jazakumullahukhoir..
Assalamu’alaikum..
saya mau bertanya…waktu shalat tarawih, gimana kalau tertinggal rakaatnya dari imam..apa yang harus dilakukan..?
(dalam 11 rakaat,misalnya imam sudah rakaat ke 2…tapi saya baru ikut berjamaah)
mohon bantuannya…
jazakumullah…
#edi
Wa’alaikumussalam, silakan simak: https://muslim.or.id/soal-jawab/ramadhan-9-ketinggalan-shalat-taraweh.html
jazzakallah…
mau tanya lg “…kalau memungkinkan menambah rakaat setelah salam imam…”
kalau tidak memungkinkan bagaimana ustadz?
mohon bantuannya…
#edi
Dengan mengikuti imam sampai selesai shalat witir, walau tidak shalat 11 rakaat, anda sudah mendapatkan pahala shalat semalam suntuk. Jika anda ingin, anda bisa menambah shalat malam lagi di rumah. Wallahu’alam.
assalamu’alaikum. “…barang siapa beriman kepada ALLOH, hendaklah berkata yang BAIK, atau DIAM.” semoga tidak ada lagi argumen yang tidak dilandasi ilmu.semoga ALLOH selalu memimbing kita.
Assalamualaikum….
izin share ya….
jazakallah khoir..
assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh?
minta izin copy dan pastenya.
terima kasih, semoga kita selalu diberikan rahmat dari allah subhana hu wata`ala
aamiiiin
assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh. mohon izin copy paste. terima kasih
saya sngt terharu dan gembira krn ada uraian dan penjelasan tentng sholat malam dan tarawih.tp saya sngt sedih krn d kmp saya ada segolngan masyarakat yg memisahkan diri dr masjid.krn di masjid terawihnya yg 11 rola’at.4_4_3..ni siapa yg salah?
artikel bermanfaat……salam kenal kang….