Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin –rahimahullah–
Soal:
Wahai Syaikh yang kami hormati, apakah setiap bisikan hati itu dimaafkan? Syaikh, semoga Allah senantiasa menjaga anda, lalu bagaimana mencari titik tengah antara hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
إن الله تجاوز عن أمتي ما حدثت به أنفسها ما لم تعمل أو تتكلم
“Sungguh Allah memaafkan bisikan hati dalam diri umatku, selama belum dilakukan atau diucapkan“
dengan firman Allah Ta’ala:
وَمَن يُرِدْ فِيهِ بِإِلْحَادٍ بِظُلْمٍ نُّذِقْهُ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ
“Barangsiapa berada di dalamnya lalu ia menginginkan untuk menyimpang bersama kezhaliman, Allah akan menimpakan kepadanya adzab yang pedih“
Jawab:
Pertama, hadiitsun nafs (bisikan hati) itu tidak dikatakan sebagai al hamm (keinginan) dan bukan juga ‘azimah (tekad). Ia hanyalah bisikan di dalam hati antara ingin melakukan atau tidak ingin melakukan. Dan sekedar bisikan hati itu dimaafkan. Karena setan tiada henti membisikkan kepada hati manusia untuk melakukan dosa besar dan kemurtadan. Andai bisikan hati itu teranggap, maka ini adalah bentuk pembebanan yang tidak mungkin bisa dipikul oleh manusia.
Sedangkan al hamm (keinginan) adalah tahap selanjutnya setelah bisikan hati. Yaitu setelah seseorang hatinya berbisik lalu ia menetapkan sebuah al hamm (keinginan) atau al azimah (tekad). Inilah yang bisa dikenai sanksi jika ia tidak meninggalkan keinginan untuk melakukan hal diharamkan oleh Allah. Jika seseorang mengurungkan keinginannya untuk melakukan hal yang diharamkan, ia pun diberi pahala yang sempurna. Sebab ia mengurungkan keinginannya itu karena takut dan ikhlash kepada Allah –Azza Wa Jalla-. Maka ia pun mendapat pahala yang sempurna. Oleh karena itu, sudah semestinya kita membedakan antara bisikan hati dan keinginan hati.
Adapun tentang firman Allah Ta’ala mengenai Masjidil Haram:
وَمَن يُرِدْ فِيهِ بِإِلْحَادٍ بِظُلْمٍ نُّذِقْهُ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ
“Barangsiapa berada di dalamnya lalu ia menginginkan untuk menyimpang bersama kezhaliman, Allah akan menimpakan kepadanya adzab yang pedih“
Maksudnya adalah, barangsiapa yang memiliki al hamm (keinginan) yang kuat untuk melakukan sebuah penyimpangan, yaitu berupa maksiat yang nyata, maka Allah akan menimpakan adzab yang pedih.
Sudah semestinya kita bedakan dua hal ini, karena Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن تَتَّقُوا اللَّهَ يَجْعَل لَّكُمْ فُرْقَانًا وَيكَفِّرْ عَنكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ
“Wahai orang yang beriman, jika kalian bertaqwa kepada Allah, Ia akan jadikan bagi kalian pembeda dan mengampuni dosa-dosa kalian“
Allah Ta’ala menamai Al Qur’an sebagai Al Furqan (Pembeda) karena Al Qur’an membedakan banyak hal, membedakan antara yang haq dengan yang batil, antara manfaat dan bahaya, antara mu’min dan kafir, antara hak Allah dan hak hamba, dan hal-hal yang lain yang terdapat perbedaan. Demikian.
Sumber: http://www.taimiah.org/index.aspx?function=item&id=3491
—
Penerjemah: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id
Assalamu’alaikum
Subhanallah, Izin Share ustadz… Syukron.
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh..
Terima kasih atas penjelasannya.. sangat mengedukasi..
Sejauh yg saya pelajari, manusia ibarat tanah, bisikan setan di dalam hati yg mengajak kepada berbuat jahat adalah api, jika ternyata yg kita lakukan adalah justru perbuatan baik maka ibaratnya tanah yg dibakar dan tidak hancur melainkan menjadi keramik atau bahkan berlian, semakin tinggi nilainya.
Terima kasih
Assalamualaikum Warahmatullohi Wabarakatuh
Saya ingin bertanya, pemikiran yang ingin berucap negatif/kotor tapi bukan kehendak kita, melaikan terucap dengan sendirinya, sedangkan kita tidak ingin mengucap sesuatu yang kotor tersebut. Apakah itu termasuk dosa