بسم الله الرحمن الرحيم
Kalau pertanyaan berikut diajukan kepada kita: mau jadi orang kaya atau miskin? Tentu mayoritas, atau bahkan semua akan memilih jadi orang kaya. Pilihan ini wajar karena kekayaan identik dengan kebahagiaan, kecukupan dan ketenangan hidup, sementara tentu tidak ada seorangpun yang ingin hidupnya sengsara.
Akan tetapi permasalahan yang sebenarnya adalah dengan apa orang menjadi kaya sehingga dia bisa hidup tenang dan berkecukupan? Apakah dengan harta benda atau pangkat dan jabatan duniawi semata?
Jawabannya pasti: tidak, karena kenyataan di lapangan membuktikan bahwa banyak orang yang memiliki harta berlimpah dan jabatan yang tinggi tapi hidupnya jauh dari kebahagiaan dan digerogoti berbagai macam penyakit kronis yang bersumber dari hati dan pikirannya yang tidak pernah tenang.
Kalau demikian, dengan apakah seorang manusia bisa meraih kekayaan, kecukupan dan kebahagiaan hidup sejati?
Temukan jawaban pertanyaan di atas dalam hadits berikut ini::
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta benda, tetapi kekayaan (yang hakiki) adalah kekayaan/kecukupan (dalam) jiwa (hati)” (HSR al-Bukhari (no. 6081) dan Muslim (no. 1051)).
Inilah jawaban dari hadits Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang merupakan wahyu Allah Ta’ala Pencipta alam semesta beserta isinya, termasuk jiwa dan raga manusia. Dialah Yang Maha Mengetahui tentang segala keadaan manusia, tidak terkecuali sebab yang bisa menjadikan mereka meraih kekayaan, kecukupan dan kebahagiaan hidup sejati.
Maha benar Allah Ta’ala yang berfirman:
أَلا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
“Bukankah Allah yang menciptakan (alam semesta beserta isinya) maha mengetahui (segala sesuatu)? Dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui” (QS al-Mulk:14).
Hadits ini merupakan argumentasi kuat, ditambah bukti nyata di lapangan, yang menunjukkan bahwa kekayaan dan kecukupan dalam hati merupakan sebab kebahagiaan hidup manusia lahir dan batin, meskipun orang tersebut tidak memiliki harta yang berlimpah.
Dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Ketahuilah, sesungguhnya dalam tubuh manusia ada segumpal daging, jika segumpal daging itu baik maka akan baik seluruh tubuh manusia, dan jika segumpal daging itu buruk maka akan buruk seluruh tubuh manusia, ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati manusia” (HSR al-Bukhari (no. 52) dan Muslim (no. 1599)).
Benar, kekayaan yang sejati adalah iman kepada Allah Ta’ala dan ridha terhadap segala ketentuan dan pemberian-Nya, ini akan melahirkan sifat qana’ah (selalu merasa cukup dengan rezki yang diberikan Allah Ta’ala).
Inilah sifat yang akan membawa keberuntungan besar bagi hamba di dunia dan akhirat. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Sungguh sangat beruntung seorang yang masuk Islam, kemudian mendapatkan rizki yang secukupnya dan Allah menganugrahkan kepadanya sifat qana’ah (merasa cukup dan puas) dengan rezki yang Allah Ta’ala berikan kepadanya” (HSR Muslim (no. 1054)).
Apa yang dijelaskan dalam hadits ini tidaklah mengherankan, karena arti “kaya” yang sesungguhnya adalah merasa cukup dan puas dengan apa yang dimiliki, adapun orang yang tidak pernah puas dan selalu rakus mencari tambahan, meskipun hartanya berlimpah, maka sungguh inilah kemiskinan yang sejati, karena kebutuhannya tidak pernah tercukupi.
Imam Ibnu Baththal berkata: “Makna hadits di atas: Bukanlah kekayaan yang hakiki (dirasakan) dengan banyaknya harta, karena banyak orang yang Allah jadikan hartanya berlimpah tidak merasa cukup dengan pemberian Allah tersebut, sehingga dia selalu bekerja keras untuk menambah hartanya dan dia tidak perduli dari manapun harta tersebut berasal (dari cara yang halal atau haram). Maka (dengan ini) dia seperti orang yang sangat miskin karena (sifatnya) yang sangat rakus. Kekayaan yang hakiki adalah kekayaan (dalam) jiwa (hati), yaitu orang yang merasa cukup, qana’ah dan ridha dengan rezki yang Allah limpahkan kepadanya, sehingga dia tidak (terlalu) berambisi untuk menambah harta (karena dia telah merasa cukup) dan tidak ngotot mengejarnya, maka dia seperti orang kaya” (Kitab “Tuhfatul ahwadzi” (7/35)).
Oleh karena itu, kemiskinan yang sebenarnya adalah sifat rakus dan ambisi yang berlebihan untuk menimbun harta serta tidak pernah merasa cukup dengan pemberian Allah Ta’ala.
Padahal kalau saja seorang manusia mau berpikir dengan jernih dan merenungkan, apakah kerakusan dan ketamakannya akan menjadikan rezki yang telah Allah Ta’ala tetapkan baginya bisa bertambah dan semakin luas? Tentu saja tidak, karena segala sesuatu yang telah ditetapkan-Nya tidak akan berubah, bertambah atau berkurang.
Bahkan lebih dari itu, justru kerakusan dan ambisi yang berlebihan mengejar perhiasan dunia, itulah yang akan menjadikannya semakin menderita dan sengsara. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Barangsiapa yang (menjadikan) dunia tujuan utamanya maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kemiskinan/tidak pernah merasa cukup (selalu ada) di hadapannya, padahal dia tidak akan mendapatkan (harta benda) duniawi melebihi dari apa yang Allah tetapkan baginya. Dan barangsiapa yang (menjadikan) akhirat niat (tujuan utama)nya maka Allah akan menghimpunkan urusannya, menjadikan kekayaan/selalu merasa cukup (ada) dalam hatinya, dan (harta benda) duniawi datang kepadanya dalam keadaan rendah (tidak bernilai di hadapannya)” (HR Ibnu Majah (no. 4105), Ahmad (5/183), ad-Daarimi (no. 229), Ibnu Hibban (no. 680) dan lain-lain dengan sanad yang shahih, dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban, al-Bushiri dan syaikh al-Albani).
Kesimpulannya, orang yang paling kaya adalah orang yang paling qana’ah (selalu merasa cukup dengan rezki yang diberikan Allah ) dan ridha dengan segala pembagian-Nya. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “…Ridhalah (terimalah) pembagian yang Allah tetapkan bagimu maka kamu akan menjadi orang yang paling kaya (merasa kecukupan)” (HR at-Tirmidzi (no. 2305) dan Ahmad (2/310), dinyatakan hasan oleh syaikh al-Albani).
Semoga tulisan ini bermanfaat untuk semua orang yang membaca dan merenungkannya.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Baca juga: Orang yang Paling Kaya
—
Kota Kendari, 29 Rabi’ul awal 1434 H
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA.
Artikel: Muslim.or.d
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Kaya itu bukan karena banyaknya/ berlimpah harta tetapi karena kita mampu mengoptimalkan setiap harta yang kita miliki untuk keselamatan diri dan keluarga, kemaslahatan umat dan kejayaan Agama sudah tentu dalam ridla Allah SWT. Jadi jangan suka numpuk kekayaan bisa-bisa ketimpuk…dan jangan suka pamer kekayaan entar bisa-bisa kececer! Tidak percaya …lihat sekitar kita. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Assalamu’alaikum.. barokallohu fiik… ustadz.. di tempat kami (alhamdulillah sudah banyak kajian sunnah) tapi yang ana rasakan (dan banyak dr ikhwah):
1). kaum yang lemah ekonominya kurang diperhatikan baik oleh asatidz. misal ada ustadz yang kurang bersemangat memberi kajian rutin di suatu daerah yang sangat awam bila “amplop”nya sedikit. Hanya beberapa kali pertemuan setelah itu berbagai macam alasan menghindar..
2). kalau saya perhatikan… ukhuwah & ta’awun diantara “ORKAY” lebih ada ketimbang “ORMIS”. kalau lintas strata.. ORKAY biasanya “memanfaatkan “ORMIS”. kasus yang terjadi sesama orkay saling tegur sapa, sedangkan ormis.. lewat berpapasan pasang wajah tidak kenal (walhasil “malas” beri salam), ikhwah lewat depan rumah.. pura2 ga da orang (slonong bae’).
Saya yakin.. ajaran islam itu indah.. tapi kenapa orang yang katanya ngaji sunnah.. malah sunnah terhadap sesama ditinggalkan…
Ustadz beri nasehat kpd kami…
bukankah sebelum Nabi shollallohu ‘alaihi salam berda’wah tauhid di kota Mekkah selama 13 tahun, beliau sudah dikenal sejak muda memiliki AKHLAQ YANG BAIK dengan masyarakat. Nabi berdakwah tauhid dengan akhlaq yang baik.
Jadi bukan seperti yang ada di sekitar kami… mereka baru ngaji.. baru kenal tauhid tapi akhlaqnya kurang baik. Kalau sesama ngaji saja begitu apalagi dengan orang awam… terkadang beberapa ustadz ada juga yang kurang pintar memilih kata2. ‘afwan & syukron Ustadz..
Wassalamu’alaikum..
Wassala
Assalamu’alaikum ustadz.
Dulu ada yang bilang ke ana kalau ana berusaha cari kerja tambahan supaya ana tdk meminta-minta kd orang lain. tapi, atasan ana mengetahui kalau ana kerja sampingan. Beliau beri komentar, “Apa lagi sih yang dicari?” Padahal mengandalkan gaji tidak cukup, karena kami memiliki anak & suami masih kuliah mengambil agama. Saya membantu suami menutup kekurangan ekonomi. Apakah sikap pasrah dengan gaji saja itu yang disebut qona’ah? Kenapa ikhwah ngaji yang kerja di perusahaan (sbg direktur) bekerja keras bila ada promosi jabatan atau memenangkan tender tidak ditegur dengan alasan tidak qona’ah?
Jujur ustadz ana bingung… atau ana hanya orang miskin yang harus mengenal qona’ah? Wassalamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuh
#tissa
Wa’alaikumussalam, cari sampingan boleh-boleh saja. Yang tidak boleh adalah sibuk mencari harta sampai melalaikan ibadah dan menuntut ilmu agama
Besarnya kekayaan seseorang tergantung seberapa besar rasa syukur kepada Allah SWT. Syukron Ustadz
Alhamdulillah sangat menyentuh hati…smoga bermanfaat bagi semuanya .. aamiin…dan semoga temen temen yang sudah ngaji tidak tertipu dengan setan yang kadang atas alasan sudah ngaji malah malas kerja dan membebani keluarga…naudzubillah….
sangat bermanfaat sekali, artikel ini sangat bagus
Subhanallah… jika semua orang membaca artikel ini, insya allah tumpang tindih gejolak sikap tamak akan harta akan mulai layu dan berganti sifat qona’ah yang menyejukan hati. Ilmu tanpa amal bukankah bagai pohon tanpa buah,, Yua, meskipun sedikit-sedikit ilmu tersebut sebaiknya segera dipraktekan. Terima kasih atas ilmunya… Saya izin mengcopy yua… Jazakallahu khoiron katsir…
asalamualaikum pak ustadz bagaimana cara nya menghadapi istri yang tak pernah merasa cukup dengan apa yang sudah suami berikan . mohon jawaban nya pak ustadz trimakasih
Wa’alaikumussalam. Ajarkan istri untuk hidup sederhana, tanamkan sifat tawakkal dan merasa cukup dg apa yang Allah beri. Butuh adanya pengajaran dan latihan.