Syubhat 2: Adakah Bid’ah Hasanah?
Sebagian orang menganggap bahwa bid’ah ada dua; bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah (dholalah). Mereka berhujjah dengan pendapat sebagian salaf seperti perkataan Umar bin Khatthab radhiyallahu ‘anhu:
نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ
Sebaik-baik bid’ah adalah ini[1])
Atau perkataan Imam Syafi’i –rahimahullah– yang menyebutkan:
الْبِدْعَة بِدْعَتَانِ : مَحْمُودَة وَمَذْمُومَة ، فَمَا وَافَقَ السُّنَّة فَهُوَ مَحْمُود وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوم
Bid’ah itu ada dua: terpuji dan tercela. Bid’ah yang sesuai dengan sunnah berarti terpuji, sedangkan yang menyelisihinya berarti tercela [2]).
Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berbagai khutbah beliau senantiasa mengatakan:
مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ, إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ… (رواه النسائي يرقم 1560, وابن ماجه في مقدمة السنن برقم 45)
“Barangsiapa diberi hidayah oleh Allah, maka tak seorang pun bisa menyesatkannya; dan barangsiapa dibiarkan sesat oleh Allah, maka tak seorang pun yang bisa memberinya hidayah. Sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk ialah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara ialah perkara yang diada-adakan (dalam agama), dan setiap perkara yang diada-adakan (dalam agama) ialah bid’ah, sedang setiap bid’ah itu sesat dan setiap yang sesat itu di Neraka…” (H.R. An Nasa’i dan Ibnu Majah dari Jabir bin Abdillah, dan dishahihkan oleh Al Albani, lihat Irwa’ul Ghalil 3/73)
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Muslim dari jalur yang sama, yaitu Ja’far bin Muhammad (Ash Shadiq) dari ayahnya (Muhammad bin ‘Ali Al Baqir) [3]), dari sahabat Jabir bin Abdillah, dengan lafazh:
وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ.
“Sejelek-jelek perkara ialah perkara yang diada-adakan (dalam agama), dan setiap bid’ah itu sesat” [4](
Dalam kedua hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tegas menyatakan bahwa setiap bid’ah adalah sesat, dan sabda beliau ini berkenaan dengan bid’ah menurut syari’at. Mengapa harus begitu? Karena dua hal; pertama: menurut kaidah ushul fiqih, dalam menafsirkan dalil-dalil syar’i, terlebih dahulu kita harus membawanya kepada pengertiannya secara syar’i, kalau tidak bisa, baru kita membawanya kepada pengertian yang lain, seperti pengertian bahasa atau adat setempat sesuai dengan qarinah (petunjuk) yang ada[5]). Kedua: jika ia ditafsirkan sebagai bid’ah lughawi, konsekuensinya semua hal yang baru dianggap bid’ah dan sesat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap penemuan baru dalam bidang IPTEK pun dianggap sesat…dan jelas tidak mungkin ada orang berakal yang mengatakan seperti itu, apalagi seorang Rasul yang ma’shum.
Mendudukkan maksud ucapan Umar bin Khatthab
Jika kita telah memahami makna bid’ah secara lughawi dan syar’i, maka ucapan Umar bin Khatthab yang berbunyi: “sebaik-baik bid’ah adalah ini…”, sama sekali tidak bisa dijadikan dalil akan adanya bid’ah hasanah dalam agama, karena makna ucapan tersebut ialah bid’ah secara bahasa yang sifatnya nisbi (relatif).
Alasannya: Lihatlah konteks ucapan Umar selengkapnya berikut:
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ, وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ. فَقَالَ عُمَرُ: وَاللَّهِ إِنِّي لَأَرَانِي لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ, فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ. قَالَ: ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ, فَقَالَ عُمَرُ: نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ, وَالَّتِي تَنَامُونَ عَنْهَا أَفْضَلُ مِنْ الَّتِي تَقُومُونَ, يَعْنِي آخِرَ اللَّيْلِ وَكَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ أَوَّلَهُ
Dari Abdurrahman bin Abdil Qaary katanya; aku keluar bersama Umar bin Khatthab t di bulan Ramadhan menuju masjid (Nabawi). Sesampainya di sana, ternyata orang-orang sedang shalat secara terpencar; ada orang yang shalat sendirian dan ada pula yang menjadi imam bagi sejumlah orang. Maka Umar berkata: “Menurutku kalau mereka kukumpulkan pada satu imam akan lebih baik…” maka ia pun mengumpulkan mereka –dalam satu jama’ah– dengan diimami oleh Ubay bin Ka’ab. Kemudian aku keluar lagi bersamanya di malam yang lain, dan ketika itu orang-orang sedang shalat bersama imam mereka, maka Umar berkata: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini, akan tetapi saat dimana mereka tidur lebih baik dari pada saat dimana mereka shalat”, maksudnya akhir malam lebih baik untuk shalat karena saat itu mereka shalatnya di awal malam. (H.R. Malik dalam Al Muwaththa’ bab: Ma jaa-a fi qiyami Ramadhan).
Kemudian sebagaimana kita ketahui, anjuran beliau untuk shalat tarawih berjama’ah itu bukanlah sesuatu yang sama sekali baru, namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah melakukannya beberapa kali, kemudian beliau hentikan karena khawatir kalau shalat tarawih diwajibkan atas umatnya[6]). Akan tetapi di masa Umar berkuasa, tidak semua warga Madinah tahu akan hal ini, karena banyak di antara mereka yang tidak pernah berjumpa dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, apalagi shalat dibelakang beliau. Karenanya, bagi mereka ini merupakan hal baru (bid’ah lughawi). Jadi, jelaslah bahwa bid’ah yang dimaksudkan Umar di sini bukanlah bid’ah syar’i maupun lughawi secara mutlak, akan tetapi bid’ah lughawi nisbi (hal yang baru bagi sebagian kalangan).
Lebih dari itu, ingatlah bahwa Umar termasuk salah seorang Khulafa’ Ar Rasyidin yang perbuatannya dianggap sebagai sunnah oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana sabda beliau:
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ (رواه أبو داود (4607) واللفظ له, وابن ماجه (42), وأحمد (16521,16522), والدارمي (95) وصححه الألباني)
Kuwasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah, mendengar dan menaati pemimpin kalian meski ia seorang budak habsyi (kulit hitam). Karena siapa yang hidup sepeninggalku nanti, pasti akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib baginya berpegang teguh dengan Sunnah (ajaran)-ku dan Sunnahnya Khulafa’ur Rasyidin sepeninggalku. Peganglah sunnah tadi erat-erat dan gigitlah dengan taringmu. Dan waspadailah setiap muhdatsaatul umuur [7]), karena itu semua adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat. (H.R Abu Dawud (no 4607) Ibnu Majah (42), Ahmad (16521,16522) dan Ad Darimi (95); ini adalah lafazh Abu Dawud dan dishahihkan oleh Al Albani, lihat: Shahih wa Dha’if Sunan Abi Dawud).
Demikian juga sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain:
عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ اقْتَدُوا بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِي أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ
(رواه الترمذي وقال: هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ).
Dari Hudzaifah katanya: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda; “Jadikanlah dua orang sepeninggalku sebagai qudwah (panutan/teladan) kalian: Abu Bakar dan Umar” (H.R. Tirmidzi dan beliau menghasankannya) [8]).
Kalaulah yang diperbuat oleh Umar tadi merupakan bid’ah dalam agama (bid’ah syar’i), maka mustahil Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan umatnya untuk meneladani seseorang yang mengatakan bahwa bid’ah syar’i itu ada yang baik, sedangkan Nabi sendiri mengatakan bahwa semua bid’ah itu sesat… Ini adalah sesuatu yang kontradiksi! Dan tidak pantas bagi sahabat sekaliber Umar bin Khatthab yang dijuluki al faruq (pembeda antara haq dan batil), untuk menyelisihi sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menganggap bahwa ada bid’ah yang baik dalam agama.
Karenanya, ucapan Umar bin Khatthab di atas tidak boleh diartikan sebagai bid’ah secara syar’i, namun yang beliau maksudkan ialah bahwa keputusannya untuk menyatukan kaum muslimin pada satu imam merupakan suatu hal baru dan baik setelah sekian lama ditinggalkan.
Perhatian:
Sekiranya kita menganggap ucapan ‘Umar bin Khatthab tadi sebagai bentuk pembenaran akan adanya bid’ah hasanah –meskipun ini mustahil–; maka sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ma’shum harus didahulukan dari perkataan Umar yang tidak ma’shum. Cobalah anda renungi kembali jawaban Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas yang kami cantumkan di mukaddimah buku ini (hal 12).
Mendudukkan ucapan Imam Syafi’i
Kalaulah Imam Syafi’i –rahimahullah– mengatakan bahwa bid’ah itu ada yang terpuji dan ada yang tercela, maka beliau jualah yang mengatakan berikut ini:
مَا مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ وَتَذْهَبُ عَلَيهِ سُنَّةٌ لِرَسُولِ اللهِ وَتَعْزُبُ عَنْهُ فَمَهْمَا قُلْتُ مِنْ قَوْلٍ أَوْ أَصَّلْتُ مِنْ أَصْلٍ, فِيْهِ عَنْ رَسُولِ اللهِ لِخِلاَفِ مَا قُلْتُ فَالْقَوْلُ مَا قَالَ رَسُولُ اللهِ وَهُوَ قَوْلِي ( تاريخ دمشق لابن عساكر 15 / 389 )
Tak ada seorang pun melainkan pasti ada sebagian sunnah Rasulullah yang luput dari pengetahuannya. Maka perkataan apa pun yang pernah kukatakan, atau kaidah apa pun yang kuletakkan, sedang di sana ada hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bertentangan dengan pendapatku, maka pendapat yang benar ialah apa yang dikatakan oleh Rasulullah, dan itulah pendapatku (lihat: Tarikh Dimasyq, 15/389 oleh Ibnu Asakir)
أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلىَ أَنَّ مَنِ اسْتَبَانَ لَهُ سُنَّةٌ عَنْ رَسُولِ اللهِ e لَمْ يَحِلَّ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ
(الفلاني ص 68)
Kaum muslimin sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya sebuah sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tak halal baginya untuk meninggalkan sunnah itu karena mengikuti pendapat siapa pun.(lihat Muqaddimah Shifatu Shalatin Nabii, oleh Al Albani).
إِذَا وَجَدْتُمْ فِي كِتَابِي خِلاَفَ سُنَّةِ رَسُولِ اللهِ فَقُولُوا بِسُنَّةِ رَسُولِ اللهِ وَدَعُوا مَا قُلْتُ -وفي رواية- فَاتَّبِعُوهَا وَلاَ تَلْتَفِتُوا إِلىَ قَوْلِ أَحَدٍ. ( النووي في المجموع 1 / 63 )
Jika kalian mendapati dalam kitabku sesuatu yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sampaikanlah sunnah tadi dan tinggalkanlah pendapatku –dan dalam riwayat lain Imam Syafi’i mengatakan– maka ikutilah sunnah tadi dan jangan pedulikan ucapan orang. (lihat Al Majmu’ syarh Al Muhadzdzab 1/63)
إِذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَهُوَ مَذْهَبِي وَإِذَا صَحَّ الْحَدِيْثُ فَاضْرِبُوا بِقَوْلِي الْحَائِطَ ( سير أعلام النبلاء 3/3284-3285)
Kalau ada hadits shahih, maka itulah mazhabku, dan kalau ada hadits shahih maka campakkanlah pendapatku ke (balik) tembok. (Siyar A’laamin Nubala’ 3/3284-3285).
كُلُّ مَسْأَلَةٍِ صَحَّ فِيْهَا الْخَبَرُ عَنْ رَسُولِ اللهِ e عِنْدَ أَهْلِ النَّقْلِ بِخِلاَفِ مَا قُلْتُ فَأَناَ رَاجِعٌ عَنْهَا فِي حَيَاتِي وَبَعْدَ مَوْتِي. ( أبو نعيم في الحلية 9 / 107 )
Setiap masalah yang di sana ada hadits shahihnya menurut para ahli hadits, lalu hadits tersebut bertentangan dengan pendapatku, maka aku menyatakan rujuk (meralat) dari pendapatku tadi baik semasa hidupku maupun sesudah matiku (Hilyatul Auliya’ 9/107)
إِذَا رَأَيْتُمُوْنِي أَقُوْلُ قَوْلاً وَقَدْ صَحَّ عَنِ النَّبِيِّ خِلاَفُهُ فَاعْلَمُوا أَنَّ عَقْلِي قَدْ ذَهَبَ. (تاريخ دمشق لابن عساكر بسند صحيح 15 / 10 / 1 )
Jika kalian mendapatiku mengatakan suatu perkataan, padahal di sana ada hadits shahih yang berseberangan dengan pendapatku, maka ketahuilah bahwa akalku telah hilang!! (Tarikh Dimasyq, oleh Ibnu ‘Asakir)
كُلُّ مَا قُلْتُ فَكَانَ عَنِ النَّبِيِّ خِلاَفُ قَوْلِي مِمَّا يَصِحُّ فَحَدِيثُ النَّبِيِّ أَوْلىَ فَلاَ تُقَلِّدُونِي. (تاريخ دمشق لابن عساكر بسند صحيح 15 / 9 / 2 )
Semua yang pernah kukatakan jika ternyata berseberangan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hadits Nabi lebih utama untuk diikuti dan janganlah kalian taqlid kepadaku.
كُلُّ حَدِيثٍ عَنِ النَّبِيِّ فَهُوَ قَوْلِي وَإِنْ لَمْ تَسْمَعُوهُ مِنيِّ. ( تاريخ دمشق, 51/389)
Setiap hadits yang diucapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka itulah pendapatku meski kalian tak mendengarnya dariku (Tarikh Dimasyq, 51/389).
قَالَ الرَّبِيْعُ: سَأَلَ رَجُلٌ الشَّافِعِيَّ عَنْ حَدِيْثِ النَّبِيِّ فَقَالَ لَهُ الرَّجُلُ: فَمَا تَقُوْلُ؟ فَارْتَعَدَ وَانْتَفَضَ وَقَالَ: أَيُّ سَمَاءٍ تُظِلُّنِي وَأَيُّ أَرْضٍ تُقِلُّنِي إِذَا رَوَيْتُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ وَقُلْتُ بِغَيْرِهِ. (حلية الأولياء 9/107)
Ar Rabie’ (murid Imam Syafi’i) bercerita: Ada seseorang yang bertanya kepada Asy Syafi’i tentang sebuah hadits, kemudian (setelah dijawab) orang itu bertanya: “Lalu bagaimana pendapatmu?”, maka gemetar dan beranglah Imam Syafi’i. Beliau berkata kepadanya: “Langit mana yang akan menaungiku, dan bumi mana yang akan kupijak kalau sampai kuriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian aku berpendapat lain…!?” (lihat: Hilyatul Auliya’ 9/107) [9]).
Setelah kita mengetahui pernyataan beliau bahwa perkataan Rasulullah wajib didahulukan dari ucapan beliau, maka semestinya kita berbaik sangka kepada beliau dengan mendudukkan ucapan beliau mengenai bid’ah tadi sebagai bid’ah secara bahasa, –yaitu setiap hal baru– yang tidak ada kaitannya dengan agama. Dengan demikian, antara ucapan Imam Syafi’i; “Bid’ah mahmudah dan madzmumah” dan sabda Rasulullah; “setiap bid’ah sesat” tidak akan bertabrakan.
-bersambung insya Allah-
Penulis: Ustadz Abu Hudzaifah Al Atsary, Lc
Mahasiswa Magister ‘Ulumul Hadits wad Dirosah Islamiyah Univ. Islam Madinah
Artikel www.muslim.or.id
[1]) H.R. Malik dalam Al Muwaththa’ bab Ma Jaa-a fi Qiyaami Ramadhan.
[2]) Lihat: Fathul Baari Syarh Shahihil Bukhari, penjelasan hadits no 7277.
[3]) Ja’far Ash Shadiq dan ayahnya: Muhammad Al Baqir (putera Ali Zainul ‘Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib) merupakan tokoh-tokoh Ahlussunnah wal Jama’ah dari kalangan Ahlul Bait Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka meriwayatkan hadits yang agung ini karena kecintaan mereka terhadap kemurnian ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan kebencian mereka terhadap bid’ah. Demikianlah profil Ahlul Bait sejati yang mengenyam ilmu dari sumbernya yang terpelihara, yaitu para salafus shaleh radhiyallaahu ‘anhum. Silakan saudara bandingkan sikap mereka terhadap bid’ah dengan sikap anak-cucu mereka (?) saat ini, yang dengan sekuat tenaga hendak menyimpangkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam –yang ma’shum– dengan mengatakan: “Oo, bukan begitu… tidak semua bid’ah itu sesat…!! Anda telah salah menafsirkan hadits di atas… Hadits di atas memang benar, tapi kita tidak boleh tergesa-gesa dalam memutuskan bahwa semua bid’ah sesat” (yang bercetak tebal ini adalah ucapan salah seorang ‘habib’ yang sedang produktif menulis buku-buku demi melegitimasi berbagai bid’ah, yang kalaulah tidak karena khawatir bukunya jadi terkenal, niscaya penulis cantumkan di sini). Subhaanallaah!! alangkah beraninya ia mengoreksi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam …!? Adakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu orang yang tak fasih berbicara, hingga sabdanya yang seterang matahari di siang bolong ini masih harus dipelintar-pelintir kesana kemari? Tak cukup sampai di sini, si ‘habib’ malah membikin kebohongan atas nama sahabat dengan mengatakan bahwa mereka memahami sabda Nabi tadi dengan menyisipkan kata: ‘yang bertentangan dengan syari’at’ antara kata ‘bid’ah’ dan ‘dholalah’, jadi menurutnya, pemahaman para sahabat ialah bahwa setiap bid’ah yang bertentangan dengan syari’at itu sesat. Ia hendak membentuk opini bahwa jika bid’ah itu tidak bertentangan dengan syari’at maka tidak sesat… ‘Audzubillah min hadza!
[4]) Lihat: Shahih Muslim, kitab: Al Jumu’ah, bab: Takhfiefus Shalati wal Khutbah, hadits no 867.
[5]) Lihat Raudhatun Nadhir 2/15, Irsyadul Fuhul 1/113.
[6]) Lihat H.R. Bukhari dalam Shahihnya no 7290, dan Muslim no 781, dari sahabat Zaid bin Tsabit.
[7]) As Sayyid Muhammad Murtadha Az Zabidy —rahimahullah— menjelaskan:
ومُحْدَثَاتُ الأُمُورِ : مَا ابتَدَعَهُ أَهْلُ الأَهْوَاءِ مِنَ الأَشْيَاءِ الَّتِي كَانَ السَّلَفُ الصَّالِحُ عَلىَ غَيْرِهَا (انظر: تاج العروس, مادة: بدع؛ وكذا في اللسان
9/158؛ وتهذيب اللغة)
Muhdatsaatul umuur ialah bid’ah-bid’ah yang dimunculkan oleh para pengikut hawa nafsu, yaitu berupa hal-hal yang para salaf tidak pernah melakukannya (Lihat:Taajul ‘Aruus; demikian juga dalam Lisaanul ‘Arab 9/158, dan Tahdziebul Lughah).
[8]) Lihat Sunan At Tirmidzi, kitab Al Manaqib, bab: fie manaqib Abi Bakr wa Umar, hadits nomor 3595. Hadits senada juga diriwayatkan oleh At Tirmidzi dari sahabat Abdullah bin Mas’ud dalam kitab yang sama, bab: manaqib Abdillah bin Mas’ud (no 3741). Demikian pula dalam Muqaddimah Sunan Ibnu Majah, bab: Fazhlu Abi Bakr wa Umar (no 94). Dari sekian jalur ini Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani menshahihkannya, lihat (Shahih wa Dha’if Sunan At Tirmidzi, hadits no 3662,3663).
[9]) Anda dapat merujuk sebagian besar dari perkataan Imam Syafi’i tadi dalam muqaddimah Shifatu Shalaatin Nabiy, tulisan Al ‘Allaamah Muhammad Nashieruddien Al Albani, rahimahullah.
Afwan, di halaman home, ketika saya mau melihat halaman artikel sebelumnya, kok gak bisa dibuka ya ?
#Konten Bisnis Online Instan
Syukran atas infonya. Sudah kami perbaiki.
Tp kenapa tahlil, maulid, dll dikatakan bid’ah ? padahal didalamnya terdapat dzikir dan pembacaan ayat2 alqur’an yang pernah dilakukan nabi.
Mohon penjelasannya …
@ Najib
Silakan baca tulisan ini, masih berseri. Insya Allah antum akan temukan jawabannya. Barakallahu fiikum.
ASSALAMUALAIKUM .,.AKHI ANA IZIN COPAST YA JAZZAKALLOHU KHOIRON
alhamdulillah… mudah mudahan kita semua diberi hidayah oleh allah.
jazakallahu khair..
terima kasih atas tambahan ilmunya..
Artikel yang bagus.. Ana ijin posting ulang di blog ana akh.. Semoga semakin menambah manfaat bg kaum muslimin, yang mana saat ini banyak kaum muslimin yg msh blm paham tentang bid’ah dan sunnah. Baarakallahu fiikum.
wah salafi nie…
wah salafi nih ye…
sukron
bagaimana dengan hadits ini? “Barangsiapa membuat tradisi baik dalam Islam maka akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang melakukannya, dan barangsiapa mewariskan tradisi jelek, maka dia akan mendapatkan ganjarannya dan ganjaran orang yang melakukannya.” (HR. Muslim)
#berry
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ
“Barang siapa yang membuat contoh dalam Islam contoh yang baik, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun” (HR. Muslim)
kalimat مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً sering diterjemahkan ‘barangsiapa membuat-buat hal baru yang baik dalam Islam’ sehingga mengesankan boleh berbuat bid’ah. Padahal hadits ini dijelaskan dalam riwayat yang lain:
من أحيا سنة من سنتي فعمل بها الناس كان له مثل أجر من عمل بها لا ينقص من أجورهم شيئًا
“Barangsiapa menghidupkan sebuah sunnah DARI SUNNAHKU, sehingga orang-orang mengamalkannya, ia akan mendapatkan pahala orang yang mengamalkannya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun” (HR. Ibnu Maajah 15, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Maajah 209)
Jadi yang dimaksud sunnah dalam hadits pertama adalah perbuatan yang sesuai dengan sunnah Nabi, bukan semua jenis perbuatan manusia, apalagi perkara ibadah yang diada-adakan.
“pada hari ini telah ku sempurnakan agamamu”
agam islam udh smpurna ngpain di tambah2????
saya sangat setuju dengan tulisan ini. izin copast ya. syukron.
intinyakan, beibadahlah sesuai al-quran dan sunnah.
sebenernya yang bikin syariat tuh siapa sih, ALLAH dan Rasul nya apa kita sih??
ko masih ada aja yang ikut2n perkara2 yang ga di syariatkan dalam islam
tapi saya bingung, dan kenapa orang yang menyerukan agar melakukan ajaran islam yang murni yang sesuai al-quran sunnah sering di sebut wahabiyah.
saya cuma bisa berdoa buat umat muslim yang menegakan syariat islam yang murni, agar selalu istikhomah di jalan yang diridhoi ALLAH sampai akhir hayat.
dan buat umat muslim yang masih mengikuti perkara yang TIDAK DI SYARIATKAN, semoga di beri hidayah oleh ALLAH, amiin
Silakan baca artikel-artikel berikut:
https://muslim.or.id/manhaj/mengenal-seluk-beluk-bidah-1.html
https://muslim.or.id/manhaj/mengenal-seluk-beluk-bidah-2.html
https://muslim.or.id/manhaj/mengenal-seluk-beluk-bidah-3.html
https://muslim.or.id/manhaj/mengenal-seluk-beluk-bidah-4.html
konsep ibabah itu, ikhlas n ittiba’
Lihatlah, dengarlah, rasakanlah, pikirkanlah, pertimbangkanlah dalil-dalil syariat, sehingga amal anda selamat.
Dan takutlah terhadap bid’ah
https://muslim.or.id/manhaj/apakah-anda-tidak-takut-berbuat-bidah.html
paham dah sekarang. terima kasih ustadz..
Jazakallahu khair.
Maaf, saya ingin meminta sedikit saran. Saya berdakwah kepada teman-teman saya tentang bid’ahnya maulid. Tetapi saya agak kesulitan karena sebagian besar di antara mereka menentang. Mohon sarannya, terima kasih…
Bersabarlah dalam berdakwah
Yang namanya berdakwah kesabaran adalah syarat utama, terus diulangi pelan-pelan. Bertutur katalah yang baik dan bersikaplah sopan. Normal memang kalau ditentang , yang mengerti agama saja banyak yang tersesat apalagi yang masih awam seperti saya. Itulah gunanya belajar. Apalagi kalau berdakwah mohon dibimbing dengan kesabaran, semoga teman teman anda dibimbing ke jalan yang benar
Maaf..kalau begitu Ibnu Taimiyah itu sesat Krn beliau pelaku Bid’ah Hasanah jg..
Beliau mngamalkan “ya Hayyu ya Qayyum, la ilaha illa anta” dgn menetapkan sndiri bilangannya, yaitu 40x setiap hari, di waktu antara shalat sunnah fajar dan shalat shubuh ..
Di hadits manapun tdk ada anjuran baca itu 40x, dan Nabi ga pernah mncontohkan nya..bukankah dgn begitu itu termasuk Bid’ah?dan Bid’ah tu dholalah?
Selain itu beliau ‘hanya’ mengulang membaca alfatihah mulai dr fajar sampai matahari meninggi di pagi hari..
Dimana nabi ga pernah mencontohkan itu dan ga ada dlm hadits manapun utk mengulang-ulang baca alfatihah dr fajar sampai matahari meninggi di pagi hari..
Jazakallah Khair
Itu amalan pribadi beliau, tidak mengajak orang lain
Semoga Allah memberikan kekuatan untuk Istiqamah, teruslah bermanhaj salafi jangan takut jangan bimbang dengan ucapan ucapan dai yang bicaranya kotor memfitnah salafi, mereka itu dai yang mengajak ke neraka.
terima kasih saya setuju dgn artikel ini, jelas sekali,
Imam syafi’i tidak akan bertentangan dengan Muhammad Rasulullah.
klwpun misalnya tidak sengaja beliau, maka Imam syafi’i sudah memberikan disclaimer, bahwa utamakan hadits shahih.
mengapa Imam Syafi’i memberikan pernyataan adanya pembagian bid’ah, menurut saya, karena beliau hidup sezaman dgn khalifah Harun Ar-Rasyid, dimana berdasarkan sejarah masa kepemimpinan Harun Ar Rasyid merupakan masa ke emasan perkembangan ilmu pengetahuan dan penelitian dalam islam, banyak hal2 inovasi yg dilakukan pada masa pemerintahan beliau dan inovasi ini jika ditranslate dalam bahasa arab adalah “bid’ah”
di masa khalifah Harun Ar Rasyid bnyak tokoh2 ilmuan muslim, pemikir muslim, kedokteran muslim, tokoh pendidikan, yg kesemuanya ini berinovasi dlm mengembangkan peradaban islam masa itu. Wallahu alam.