الحديث التاسع عشر: عن أبي العباس عبدالله بن عباس رضي الله عنهما قال: كنت خلف النبي صلى الله عليه وسلم يوماً، فقال لي: “يا غلام، إنّي أعلمك كلماتٍ: احفظ الله يحفظك، احفظ الله تجده تجاهك، إذا سألت فاسأل اللهَ، وإذا استعنت فاستعن بالله، واعلم أن الأمة لو اجتمعت على أن ينفعوك بشيء لم ينفعوك إلا بشيء قد كتبه الله لك، وإن اجتمعوا على أن يضرّوك بشيء لم يضروك إلا بشيء قد كتبه الله عليك، رفعت الأقلام وجفت الصحف”، رواه الترمذي وقال: حديث حسن صحيح. وفي رواية غير الترمذي: “احفظ الله تجده أمامك، تعرّف إلى الله في الرخاء يعرفك في الشدة، واعلم أن ما أخطأك لم يكن ليصيبَك، وما أصابك لم يكن ليخطئَك، واعلم أن النصر مع الصبر، وأن الفَرَج مع الكرب، وأنّ مع العسر يسراً”.
Dari Abul ‘Abbas ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu dia berkata: “Suatu hari (ketika) saya (dibonceng Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) di belakang (hewan tunggangan) Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda kepadaku: “Wahai anak kecil, sungguh aku akan mengajarkan beberapa kalimat (nasehat penting) kepadamu, (maka dengarkanlah baik-baik!): “Jagalah (batasan-batasan syariat) Allah, maka Allah akan menjagamu, jagalah (batasan-batasan syariat) Allah, maka kamu akan mendapati Allah di hadapanmu (selalu bersamamu dan menolongmu), jika kamu (ingin) meminta (sesuatu), maka mintalah (hanya) kepada Allah, dan jika kamu (ingin) memohon pertolongan, maka mohon pertolonganlah (hanya) kepada Allah, dan ketahuilah, bahwa seluruh makhluk (di dunia ini), seandainya pun mereka bersatu untuk memberikan manfaat (kebaikan) bagimu, maka mereka tidak mampu melakukannya, kecuali dengan suatu (kebaikan) yang telah Allah tuliskan (takdirkan) bagimu, dan seandainya pun mereka bersatu untuk mencelakakanmu, maka mereka tidak mampu melakukannya, kecuali dengan suatu (keburukan) yang telah Allah tuliskan (takdirkan) akan menimpamu, pena (penulisan takdir) telah diangkat dan lembaran-lembarannya telah kering.” HR At Tirmidzi (7/228-229 –Tuhfatul Ahwadzi), hadits no. 2516), disahihkan oleh Syaikh Al Albani), dan dia berkata: (hadits ini adalah) hadits hasan sahih.
Dan dalam riwayat lain selain At Tirmidzi (Diriwayatkan oleh ‘Abd bin Humaid dalam Musnadnya dan sanadnya lemah, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Rajab (hal. 460), akan tetapi Imam Ahmad meriwayatkan hadits ini dalam Musnad beliau (1/307) dengan sanad lain yang sahih): “Jagalah Allah, maka kamu akan mendapati Allah di hadapanmu (selalu bersamamu dan menolongmu), kenalkanlah/dekatkanlah (dirimu) pada Allah disaat (kamu dalam keadaan) lapang (senang), supaya Allah mengenali (menolong)mu disaat (kamu dalam keadaan) susah (sempit), dan ketahuilah, bahwa segala sesuatu (yang telah Allah ta’ala tetapkan) tidak akan menimpamu, maka semua itu (pasti) tidak akan menimpamu, dan segala sesuatu (yang telah Allah ta’ala tetapkan) akan menimpamu, maka semua itu (pasti) akan menimpamu, dan ketahuilah, sesungguhnya pertolongan (dari Allah ta’ala) itu selalu menyertai kesabaran,dan jalan keluar (dari kesulitan) selalu menyertai kesulitan, dan kemudahan selalu menyertai kesusahan.”
Biografi Perawi Hadits
Sahabat yang meriwayatkan hadits ini adalah ‘Abdullah bin ‘Abbas bin ‘Abdil Muththalib bin Hasyim bin ‘Abdi Manaf, anak paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang lahir tiga tahun sebelum hijrahnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berdo’a untuknya agar dipahamkan Al Qur’an dan ilmu agama, dan beliau digelari “Al bahr” (lautan) karena luasnya ilmu yang beliau miliki, beliau wafat di Thaif pada tahun 67 atau 68 H. (Lihat biografi beliau dalam Siyar Al A’lam An Nubala’, (4/409-428))
Kedudukan Hadits
Imam Ibnu Rajab berkata: “Hadits ini mengandung nasihat-nasihat yang agung dan kaidah-kaidah (umum yang bersifat) menyeluruh dalam masalah-masalah terpenting dalam agama ini, sampai-sampai salah seorang ulama (yaitu Imam ‘Abdurrahman ibnul Jauzi dalam kitab beliau Shaidul Khatir) berkata: “(Ketika) aku merenungkan dan menghayati (makna) hadits ini, aku tercengang (terpesona) dan nyaris kehilangan akal, duhai, alangkah ruginya (seorang yang) tidak mengetahui hadits ini dan kurang memahami maknanya” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 462). Dan Imam Ibnu Rajab telah menyusun satu kitab khusus untuk menjelaskan kandungan dan makna hadits ini, yang berjudul: “Nurul iqtibas fii misykaati washiyyatin Nabiyyi shallallahu ‘alaihi wa sallam libni ‘Abbas”.
Beberapa Masalah Penting yang Terkandung Dalam Hadits Ini
1. Penjagaan dari Allah ta’ala bagi seorang hamba yang menjaga batasan-batasan syariat-Nya, yang dalam hal ini berlaku ketentuan dari Allah ta’ala yang disebut,
الجزاء من جنس العمل
“Balasan yang sesuai dengan jenis perbuatan.”
seperti yang juga Allah ta’ala sebutkan dalam firman-Nya:
فاذكروني أذكركم
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu.” (QS. Al Baqarah: 152),
dan firman-Nya:
يا أيها الذين آمنوا إن تنصر الله ينصركم
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu.” (QS. Muhammad: 7). (Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam, 465)
2. Makna “Penjagaan hamba (terhadap batasan-batasan syariat Allah)” adalah menjaga hak-hak Allah dengan menunaikannya, menjaga batasan-batasan-Nya dengan tidak melanggarnya, dan menjaga perintah dan larangan-Nya dengan melaksanakan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Dan barang siapa yang melaksanakan hal-hal tersebut di atas, maka dia termasuk orang-orang yang menjaga batasan-batasan (syariat) Allah ta’ala yang dipuji oleh Allah ta’ala dalam Al Qur’an (dan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), Allah ta’ala berfirman:
هَذَا مَاتُوعَدُونَ لِكُلِّ أَوَّابٍ حَفِيظٍ . مَّنْ خَشِيَ الرَّحْمَنَ بِالْغَيْبِ وَجَآءَ بِقَلْبٍ مُّنِيبٍ
“Inilah yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) pada setiap hamba yang selalu kembali (kepada Allah) lagi menjaga (semua peraturan-peraturan-Nya). (Yaitu) orang yang takut kepada Rabb Yang Maha Pemurah sedang Dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertaubat.” (QS. Qaaf: 33)
Dan “Al hafiizh” dalam ayat ini ditafsirkan dengan orang yang menjaga perintah-perintah Allah, dan orang yang menjaga dosa-dosanya dengan (segara) bertaubat (kepada Allah ta’ala) dari dosa-dosa tersebut. (Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam, 462)
3. Adapun makna “penjagaan Allah ta’ala terhadap hamba (yang menjaga batasan-batasan syariat-Nya)”, maka hal ini meliputi dua macam penjagaan:
- Penjagaan Allah ta’ala terhadap hamba dalam urusan-urusan dunianya, seperti penjagaan Allah terhadap (kesehatan) badannya, juga terhadap istri, keturunan dan hartanya. Maka barangsiapa yang menjaga (batasan-batasan syariat)-Nya di masa kecilnya dan di kala (fisiknya masih) kuat, maka Allah ta’ala akan menjaganya di masa tuanya dan di kala (fisiknya telah) lemah, dan Allah akan menguatkan pendengaran, penglihatan, kesehatan dan akalnya. Salah seorang ulama salaf yang telah mencapai usia lebih dari seratus tahun, akan tetapi kondisi fisik dan akalnya tetap kuat, maka suatu hari dia melakukan suatu lompatan yang sangat kuat, sehingga orang-orang menegurnya, maka dia pun berkata: “(Seluruh) anggota badanku ini sejak kecil (selalu) aku jaga dari perbuatan maksiat, maka Allah ta’ala pun menjaganya ketika aku telah tua.”
- Penjagaan Allah ta’ala terhadap hamba dalam agama dan keimanannya, dan penjagaan ini adalah penjagaan yang paling utama. Allah ta’ala menjaga hamba ini dalam kehidupannya dari fitnah-fitnah syubhat (kerancuan dalam memahami agama/pengaburan yang benar dan yang batil) yang menyesatkan dan fitnah-fitnah syahwat (memperturutkan nafsu) yang diharamkan oleh Allah ta’ala, dan Allah ta’ala akan selalu menjaga dan meneguhkan imannya sampai di akhir hayatnya dan mewafatkannya dengan husnul khatimah (meninggal dunia di atas keimanan), semoga Allah ta’ala menganugrahkan kepada kita semua penjagaan ini. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu ketika menafsirkan firman Allah ta’ala:
Bahkan karena kesalehan seorang hamba Allah ta’ala akan menjaga keturunannya sepeninggalnya, sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah ta’ala: “sedang ayah mereka berdua adalah seorang yang saleh.” (Al Kahfi: 82), bahwa kedua anak yatim yang disebutkan dalam ayat ini dijaga (oleh Allah ta’ala) karena kesalehan ayah mereka berdua. Imam Sa’id bin Musayyib berkata kepada putranya: “Sungguh aku akan memperbanyak shalat (sunnah)ku karena kamu, dengan harapan (Allah ta’ala akan) menjagamu (sepeninggalku nanti)”, kemudian dia membaca ayat tersebut di atas. Dan Imam ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz berkata: “Tidak ada seorang mukmin pun yang meninggal dunia, kecuali Allah ta’ala akan menjaga keturunan dan anak cucunya.”
Dan barangsiapa yang menjaga (batasan-batasan syariat) Allah ta’ala, maka Allah ta’ala akan menjaganya dari semua gangguan, telah berkata salah seorang ulama salaf: “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah ta’ala, maka (berarti) dia telah menjaga dirinya, dan barangsiapa yang berpaling dari ketakwaan kepada Allah ta’ala, maka (berarti) dia telah menyia-nyiakan dirinya, dan Allah ta’ala tidak butuh kepadanya”.
واعلموا أن الله يحول بين المرء وقلبه
“Dan ketahuilah, bahwa sesungguhnya Allah menghalangi (membatasi) antara manusia dan hatinya.” (QS. Al Anfaal: 24), beliau berkata: “Allah ta’ala menghalangi orang yang beriman dari perbuatan maksiat yang akan menjerumuskannya ke dalam neraka”, dan Allah ta’ala berfirman tentang Nabi Yusuf ‘alaihis salam:
كذلك لنصرف عنه السوء والفحشاء إنه من عبادنا المخلصين
“Demikianlah, agar Kami memalingkan darinya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba kami yang terpilih.” (QS. Yusuf: 24). (Jami’ul ‘ulum wal hikam (hal. 465-470), dengan ringkas dan sedikit perubahan)
4. Dan dipahami dari hadits ini, bahwa barangsiapa yang tidak menjaga (batasan-batasan syariat) Allah ta’ala, dengan tidak mengindahkan perintah-Nya dan melanggar larangan-Nya, maka Allah ta’ala pun akan menyia-nyiakannya dan menjadikannya lupa akan (kemaslahatan) dirinya sendiri, Allah ta’ala berfirman:
نسوا الله فنسيهم
“Mereka (orang-orang munafik) lupa kepada Allah, maka Allah pun melupakan mereka.” (QS. At Taubah: 67),
Dalam ayat lain Allah ta’ala berfirman:
فلما زاغوا أزاغ الله قلوبهم والله لا يهدي القوم الفاسقين
“Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah pun memalingkan hati mereka; dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.” (QS. Ash Shaff: 5).
Bahkan sampai-sampai Allah ta’ala menimpakan padanya gangguan dan perlakuan buruk melalui orang-orang yang dekat dengannya, dan yang seharusnya berbuat baik padanya, yaitu keluarga dan kerabatnya. Berkata salah seorang ulama salaf: “Sungguh (setelah) aku berbuat maksiat kepada Allah, maka aku mengenali (dampak buruk) perbuatan maksiat itu ada pada tingkah laku pelayan dan hewan tungganganku.” (Lihat Jami’ul ‘ulum, hal. 468 dan Ad Durarus saniyyah, hal. 78)
5. Makna sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “… Maka kamu akan mendapati Allah di hadapanmu…” adalah: Allah ta’ala akan selalu bersamamu dalam semua keadaan, Dia akan selalu melindungimu, menolongmu dan menjagamu, dan inilah (yang disebut dengan) “Al Ma’iyyah al khaashshah” (kebersamaan Allah ta’ala dengan hambanya yang bersifat khusus) yang mengandung arti pertolongan, dukungan, penjagaan dan perlindungan (dari Allah ta’ala bagi hambanya) (Lihat Bahjatun nazhirin, 1/135), sebagaimana firman Allah ta’ala:
إن الله مع الذين اتقوا والذين هم محسنون
“Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. An Nahl: 128),
Qotadah mengatakan: “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah ta’ala, maka Allah akan selalu bersamanya, dan barangsiapa yang Allah ta’ala selalu bersamanya, maka bersamanya ada kelompok yang tidak terkalahkan, penjaga yang tidak pernah tidur dan pemberi petunjuk yang tidak pernah menyesatkan.” (Jami’ul ‘ulum, hal. 471)
6. Perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mentauhidkan (mengesakan) Allah ta’ala dalam meminta (berdoa) dan memohon pertolongan, dan untuk tidak meminta sesuatu pun kepada makhluk, yang ini sesuai dengan firman Allah ta’ala:
إياك نعبد وإياك نستعين
“Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.” (QS. Al Faatihah: 5)
Dan dalam hal ini ada dua tingkatan:
– tingkatan yang wajib, yaitu Tauhid, dengan meminta dan memohon pertolongan kepada Allah ta’ala semata-semata dan tidak kepada selain-Nya dalam perkara-perkara yang tidak mampu dilakukan kecuali oleh Allah ta’ala. Dan inilah yang kita kenal dalam pelajaran Tauhid, bahwa memalingkan do’a dan isti’anah (memohon pertolongan) kepada selain Allah ta’ala adalah perbuatan syirik.
– tingkatan yang mustahabb (sunnah/anjuran), yaitu jika seseorang mampu untuk mengerjakan (sendiri) suatu pekerjaan, maka janganlah dia meminta (pertolongan) kepada siapapun, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengambil perjanjian dari beberapa orang Sahabat radhiyallahu ‘anhu agar mereka tidak meminta apapun kepada manusia, (sampai-sampai) perawi hadits ini berkata: “maka salah seorang dari mereka ketika cemetinya terjatuh (dari hewan tunggangannya), dia tidak meminta orang lain untuk mengambilkan cemeti tersebut untuknya (yaitu dia turun dari hewan tunggangannya dan mengambilnya sendiri) (HR. Muslim, no. 1043), dan dalam hal ini kemampuan masing-masing orang untuk menunaikan tingkatan ini berbeda-beda (sesuai dengan tingkat keimanan mereka) (Syarh Al Arba’in, Syaikh Shaleh Alu Asy Syaikh hal. 107).
Dan banyak hadits yang sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan larangan meminta (sesuatu) kepada makhluk, di antaranya sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Senantiasa seseorang itu meminta (kepada makhluk) sampai dia bertemu Allah ta’ala (pada hari kiamat) dalam keadaan tidak ada sekerat daging pun pada wajahnya.” (HR. Al Bukhari, 3/338- Fathul Bari dan Muslim, no. 1040). Hal ini disebabkan karena meminta kepada makhluk mengharuskan seseorang untuk menunjukkan rasa butuh dan menghinakan (menundukkan) diri di hadapan makhluk, padahal semua ini tidak pantas ditujukan kecuali kepada Allah ta’ala semata-mata. Syaikhul islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Meminta kepada makhluk padanya ada tiga keburukan, keburukan (karena) menunjukkan rasa butuh kepada selain Allah ta’ala dan ini termasuk satu jenis kesyirikan, keburukan (karena) menyakiti orang yang kita meminta kepadanya dan ini termasuk satu jenis kezaliman terhadap makhluk, dan (keburukan karena) menundukkan diri kepada selain Allah ta’ala dan ini termasuk satu jenis kezaliman terhadap diri sendiri.” (Kitabul Iman, hal. 66)
Akan tetapi jika seseorang benar-benar terpaksa meminta sesuatu yang mampu dilakukan oleh makhluk, maka (dalam kondisi ini) diperbolehkan baginya, dengan tetap berusaha menghindarkan diri dari keburukan-keburukan yang tersebut di atas (Lihat Ad Durarus Saniyyah, hal. 79).
7. Segala sesuatu yang menimpa seorang hamba dalam kehidupan di dunia, yang baik maupun yang buruk, telah ditakdirkan (ditetapkan) oleh Allah ta’ala, maka tidak mungkin akan menimpanya kecuali sesuatu yang telah tetapkan akan menimpanya, dan sesuatu yang telah Allah ta’ala tetapkan akan menimpanya tidak akan luput darinya, dan upaya keras semua makhluk untuk melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan ketentuan Allah ta’ala tidak akan bermanfaat, maka ini semua seharusnya menjadikan seorang hamba senantiasa mentauhidkan (mengesakan) Allah ta’ala dalam meminta (berdo’a), memohon pertolongan, menghinakan dan merendahkan diri di hadapan Allah ta’ala, dan mengesakan-Nya dalam beribadah dan melaksanakan ketaatan kepada-Nya, Allah ta’ala berfirman:
قل لن يصيبنا إلا ما كتب الله لنا هو مولانا وعلى الله فليتوكل المؤمنون
“Katakanlah: ‘Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal’.” (QS. At Taubah: 51). (Lihat Ad Durarus Saniyyah, hal. 80-81)
8. Barangsiapa yang mengenal Allah ta’ala sewaktu dalam keadaan lapang dan sehat, dengan bertakwa dalam melaksanakan ketaatan kepadanya, maka Allah ta’ala akan mengenal (menolong)nya sewaktu dia dalam keadaan susah, Allah ta’ala berfirman tentang Nabi Yunus ‘alaihis sallam:
فلو لا أنه كان من المسبحين، للبث في بطنه إلى يوم يبعثون
“Maka kalau sekiranya dia (sebelumnya) tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah, niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit (kiamat).” (QS. Ash Shaaffaat: 144). Dan Allah ta’ala berfirman tentang Fir’aun:
وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَاءِيلَ الْبَحْرَ فَأَتْبَعَهُمْ فَرْعَوْنُ وَجُنُودُهُ بَغْيًا وَعَدْوًا حَتَّى إِذَا أَدْرَكَهُ الْغَرَقُ قَالَ ءَامَنتُ أَنَّهُ لآأِلَهَ إِلاَّ الَّذِي ءَامَنَتْ بِهِ بَنُوا إِسْرَاءِيلَ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ . ءَآلْئَانَ وَقَدْ عَصَيْتَ قَبْلُ وَكُنتَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ
“Dan Kami memungkinkan Bani Israil melintasi laut, lalu mereka diikuti oleh Fir’aun dan bala tentaranya, karena hendak menganiaya dan menindas (mereka); hingga ketika Fir’aun telah hampir tenggelam dia berkata:”Saya percaya bahwa tidak ada Ilah (sembahan yang benar) melainkan (Allah) yang diimani oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah), Apakah sekarang (baru kamu percaya), padahal sebelum ini sungguh kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Yunus: 90-91)
***
Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, Lc.
Artikel www.muslim.or.id
Karena ada kekurangan dalam pemahaman ilmu Alquran dan hadist tentang taqdir, ada dua pemahaman yang saling bertentangan yaitu qodariyah dan jabariyah.
Belakangan, yang dinyatakan benar adalah pemahaman di antara keduanya, pemahaman yang mengambil jalan tengah. Namun, Alloh tidak menjadikan manusia memiliki dua hati yang memilik dua jenis pemahanan yang saling bertentangan.
Pemahaman yang benar adalah pemahanan yang memiliki keterkaitan antara kedua pemahaman yang nampaknya saling bertentangan itu sesuai dengan yang tersirat dalam Alquran dan Hadist serta dilengkapi dengan sains sebagai ayat-ayat Alloh di alam semesta. Sehingga menjadi satu kesatuan yang saling menguatkan.
Semua mahluk yang Alloh ciptakan tunduk kepada aturan/hukum sebab akibat. Benda-benda/materi yang tidak memiliki ruh tunduk pada hukum alam (bagian dari sunattulah) yang pilihannya sudah ditetapkan dari Alloh sendiri sesuai hukum alam yang mempengaruhinya. Namun, mahluk yang berpikiran, khususnya manusia, bukanlah wayang, manusia merasakan sendiri senang dan susahnya,
manusia adalah subjek yang bisa melakukan pilihannya sendiri, merubah alam dengan memanfaatkan hukum alam yang berlaku.
Untuk poyek penciptaan alam semesta yang maha besar dan rumit ini, Alloh melakukan simulasi yang sangat rumit dan kompleks, jauh sangat jauh melebihi simulasi manusia sebelum terbang ke bulan, untuk mengetahui apa yang akan terjadi dan melakukan kontrol, sebelum mewujudkannya. Salah satu kontrol Nya agar manusia selamat adalah diberitakannya melalui Rosululloh akan adanya siksaan neraka.
“Dan ingatlah pada hari kiamat itu nanti orang yang gemar
melakukan kezaliman akan menggigit kedua tangannya dan mengatakan, ‘Aduhai alangkah baik seandainya dahulu aku mengambil jalan mengikuti rasul itu. Aduhai sungguh celaka diriku, andai saja dulu aku tidak menjadikan si fulan itu sebagai teman dekatku. Sungguh dia telah menyesatkanku dari peringatan itu (al-Qur’an) setelah peringatan itu datang kepadaku.’ Dan memang syaitan itu tidak mau memberikan pertolongan kepada manusia.” (QS. al-Furqan : 27-29)
Walaupun kejadian ini belum pernah terjadi, tetapi Alloh yang paling berkuasa di alam semesta, telah mengetahuinya (yang dalam istilah sains dan teknologi disebut sebagai “simulasi” sebelum realita terjadi) yang tertulis dalam Kitab Induk Lauful Mahfuz.
Sepenggal ayat dari simulasi ini menjadi feed back yang disisipkan kedalam ruas perjalanan waktu pada zaman Rosululloh SAW sampai akhir zaman sedemikian hingga yang tadinya ada orang yang sudah di tepi jurang neraka menjadi terselamatkan setelah mengingat ayat tersebut.
“…dan kamu dahulu telah berada di tepi jurang Neraka, lalu Allah selamatkan kamu dari Neraka itu…” Al Imran:3.
Diturunkannya pengetahuan adanya takdir ini adalah salah satu kontrol agar orang beriman tidak terlalu gembira atau sedih dengan apa yang diperolehnya.
Semuanya dari yang sangat kecil sampai sangat besar sudah tercatat dalam Kitab Lauful mahfuz, bahkan apa yang dicatat oleh para malaikat pencatat amal. Dan Alloh kini sedang mewujudkannya sehingga diketahui dengan fakta, realita, pembuktian. Salah satunya adalah agar Kami (Alloh dan mahluk tertentu) mengetahui dengan fakta mana orang yang beriman.
Komentar singkat ini (sebenarnya bisa panjang dengan hadist dan ayat-ayat pendukung) hanya untuk direnungkan.
kpn syariat bs dtegakan dgn baik
makacih penjelasannya :D
izin share. syukran.
I have been meaning to write about something like this on one of my blogs and you have given me an idea. Thanks.
bismillah, mumtaaz stadz mohon kirimi ana tulisan2 antum untuk ana sebarkan di samarinda dan sekitarnya insyaAlloh
alhamdulilah smg ini dpt bermanfaat untuk umat islam …
makasih buat penjelasannya !! ^_^