Bagaimana hukum belajar ilmu alat seperti bahasa Arab (nahwu, saraf, imla, balaghah, badi’, khat, dll.) atau ilmu Alquraan (tajwid, tahsin, qiraah, dll.) kepada ahlul bid’ah ketika yang ada hanya mereka?
Syekh ‘Ubaid Al-Jabiri Hafizhahullah menjelaskan, dalam keadaan tidak ada guru yang dari kalangan orang-orang yang berpegang pada manhaj salaf, dibolehkan belajar ilmu alat dari orang-orang yang tidak bermanhaj salaf dengan dua syarat:
Pertama, orang yang mau belajar tersebut harus sudah paham akidah yang benar dan ilmu syar’i secara umum.
Kedua, orang yang mau belajar tersebut haruslah orang yang cerdas dan tidak mudah terpengaruh.
(Fatwa lengkap: http://bit.ly/2LpXjJF)
Syekh Muhammad Nashiruddin Al-Albani Rahimahullah juga ketika ditanya perihal yang sama, beliau menjawab,
إذا كان هو متمكنا في العقيدة جاز ، وإلا فلا
“Kalau orang yang hendak belajar tersebut sudah mantap ilmu aqidahnya, maka boleh. Jika belum, maka tidak boleh” (Fatwa lengkap: http://bit.ly/35cX8s7).
Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin Rahimahullah menasihatkan untuk orang yang tinggal di daerah yang tidak ada guru dari kalangan ahlus sunnah, agar berusaha belajar dari guru dari kalangan ahlus sunnah melalui media komunikasi, atau berkunjung ke daerah yang ada guru di sana, atau upaya-upaya yang lain.
Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin Rahimahullah juga mengatakan,
وإذا كان يريد أن يتعلم منهم فلا يتعلم منهم، حتى لو كان في غير العقيدة، حتى لو كان يدرسهم في النحو أو البلاغة. لا تقربهم؛ لأنهم قد يدسون السم في الدسم
“Jika tujuan dari duduk di majelis ahlul bidah adalah untuk belajar, maka ini tidak diperbolehkan. Walaupun bukan untuk belajar akidah. Walaupun yang dipelajari adalah nahwu atau balaghah. Jangan dekati mereka. Karena dikhawatirkan akan mereka akan menyelipkan racun di dalam lemak” (Liqa Baabil Maftuh, rekaman nomor 162).
Kesimpulan, tidak boleh bermudah-mudahan belajar ilmu alat kepada ahlul bidah, kecuali tidak ada lagi orang yang bisa mengajarkan kecuali mereka dan sudah punya dasar akidah dan manhaj yang kuat.
Baca Juga:
Wallahu Ta’ala a’lam.
Penulis: Yulian Purnama, S.Kom.
Artikel: Muslim.or.id
Afwan Ustadz izin bertanya.
Jika saya sudah tahu kaidahnya bahwa sesuatu itu bertentangan dengan kaidah yang shahih, lalu saya ragu karena itu konsekuensi menggunakan kaidah itu sehingga merasa harus cek pemahaman kepada ustadz, apakah ini salah? Contoh: ada yang berdusta dan dia itu tidak diketahui manhajnya dan -berdusta atas nama bahasa (menurut saya)-, dia berkata bahwa mukmin berbeda dengan alladziina aamanuu, bahwa alladziina aamanuu itu sedang beriman sehingga sewaktu-waktu bisa kafir, sedangkan mukmkn tidak. Konsekuensi kalimat tersebut bagi saya adalah akidah murjiah, di sisi yang lain adalah saya tidak tahu apakah kaidah tersebut benar disebutkan oleh ulama ahlussunnah. Namun saya yakin itu adalah kebatilan, apakah saya harus tanya ustadz jika ada kasus seperti itu ataukah saya kembalikan kepada kaidah/ushulnya itu sudah cukup tanpa verifikasi/pemastian kebenaran pemahaman saya, Ustadz?
جزاك الله خيرا