Allah Ta’ala berfirman,
وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” (QS. An Najm: 39).
Dari ayat ini, sebagian ulama mengatakan bahwa usaha orang lain tidak akan bermanfaat bagi si mayit. Namun pendapat ini adalah pendapat yang kurang tepat. Syaikh As Sa’di mengatakan bahwa ayat ini hanya menunjukkan bahwa manusia tidaklah mendapatkan manfaat kecuali apa yang telah ia usahakan untuk dirinya sendiri. Ini benar dan tidak ada perselisihan di dalamnya. Namun ayat ini tidak menunjukkan bahwa amalan orang lain tidak bermanfaat untuk dirinya yaitu ketika orang melakukan amalan untuknya. Sebagaimana pula seseorang memiliki harta yang ia kuasai saat ini. Hal ini tidak melazimkan bahwa dia tidak bisa mendapatkan harta dari orang lain melalui hadiah yang nanti akan jadi miliknya.[1]
Jadi sebenarnya, amalan orang lain tetap bermanfaat bagi orang yang sudah meninggal sebagaimana ditunjukkan pada dalil-dalil yang akan kami bawakan, seperti amalan puasa dan pelunasan utang.
Namun perlu diperhatikan di sini, amalan yang bisa bermanfaat bagi si mayit itu juga harus ditunjukkan dengan dalil dan tidak bisa dikarang-karang sendiri. Jadi tidak boleh seseorang mengatakan bahwa amalan A atau amalan B bisa bermanfaat bagi si mayit, kecuali jika jelas ada dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah yang menunjukkan hal tersebut.
Amalan-amalan yang bisa bermanfaat bagi si mayit adalah sebagai berikut.
Pertama: Do’a kaum muslimin bagi si mayit
Setiap do’a kaum muslimin bagi setiap muslim akan bermanfaat bagi si mayit. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang“.” (QS. Al Hasyr: 10) Ayat ini menunjukkan bahwa di antara bentuk kemanfaatan yang dapat diberikan oleh orang yang masih hidup kepada orang yang sudah meninggal dunia adalah do’a karena ayat ini mencakup umum, yaitu orang yang masih hidup ataupun yang sudah meninggal dunia.
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di mengatakan, “Do’a dalam ayat ini mencakup semua kaum mukminin, baik para sahabat yang terdahulu dan orang-orang sesudah mereka. Inilah yang menunjukkan keutamaan iman, yaitu setiap mukmin diharapkan dapat memberi manfaat satu dan lainnya dan dapat saling mendoakan.”[2]
Begitu pula sebagai dalil dalam hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ
“Do’a seorang muslim kepada saudaranya di saat saudaranya tidak mengetahuinya adalah do’a yang mustajab (terkabulkan). Di sisi orang yang akan mendo’akan saudaranya ini ada malaikat yang bertugas mengaminkan do’anya. Tatkala dia mendo’akan saudaranya dengan kebaikan, malaikat tersebut akan berkata: “Amin. Engkau akan mendapatkan semisal dengan saudaramu tadi”.”[3] Do’a kepada saudara kita yang sudah meninggal dunia adalah di antara do’a kepada orang yang di kala ia tidak mengetahuinya.
Kedua: Siapa saja yang melunasi utang si mayit
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangkan seorang mayit yang masih memiliki utang, kemudian beliau bertanya, “Apakah orang ini memiliki uang untuk melunasi hutangnya?” Jika diberitahu bahwa dia bisa melunasinya, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menyolatkannya. Namun jika tidak, maka beliau pun memerintahkan, “Kalian shalatkan aja orang ini.”
Tatkala Allah memenangkan bagi beliau beberapa peperangan, beliau bersabda,
أَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ فَمَنْ تُوُفِّىَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ فَعَلَىَّ قَضَاؤُهُ وَمَنْ تَرَكَ مَالاً فَهُوَ لِوَرَثَتِهِ
“Aku lebih pantas bagi orang-orang beriman dari diri mereka sendiri. Barangsiapa yang mati, namun masih meninggalkan utang, maka aku lah yang akan melunasinya. Sedangkan barangsiapa yang mati dan meninggalkan harta, maka itu untuk ahli warisnya.”[4] Hadits ini menunjukkan bahwa pelunasan utang si mayit dapat bermanfaat bagi dirinya.
Sedangkan apakah pelunasan utang si mayit di sini wajib ataukah tidak, di sini ada dua pendapat di kalangan ulama Syafi’iyyah. Sebagian ulama mengatakan bahwa wajib dilunasi dari baitul maal. Sebagian lagi mengatakan tidak wajib.[5]
Ketiga: Menunaikan qodho’ puasa si mayit
Pembahasan ini telah kami jelaskan pada tulisan kami yang berjudul “Permasalahan Qodho’ Ramadhan”. Pendapat yang mengatakan bahwa qodho’ puasa bermanfaat bagi si mayit dipilih oleh Abu Tsaur, Imam Ahmad, Imam Asy Syafi’i, pendapat yang dipilih oleh An Nawawi, pendapat pakar hadits dan pendapat Ibnu Hazm.
Dalil dari pendapat ini adalah hadits ‘Aisyah,
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
“Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki kewajiban puasa, maka ahli warisnya yang nanti akan mempuasakannya. ”[6] Yang dimaksud “waliyyuhu” adalah ahli waris[7].
Keempat: Menunaikan qodho’ nadzar baik berupa puasa atau amalan lainnya
Sa’ad bin ‘Ubadah radhiyallahu ‘anhu pernah meminta nasehat pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia mengatakan,
إِنَّ أُمِّى مَاتَتْ وَعَلَيْهَا نَذْرٌ
“Sesungguhnya ibuku telah meninggalkan dunia namun dia memiliki nadzar (yang belum ditunaikan).” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan,
اقْضِهِ عَنْهَا
“Tunaikanlah nadzar ibumu.”[8]
Kelima: Segala amalan sholih yang dilakukan oleh anak yang sholih akan bermanfaat bagi orang tuanya yang sudah meninggal dunia
Allah Ta’ala berfirman,
وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. An Najm: 39). Di antara yang diusahakan oleh manusia adalah anak yang sholih.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ مِنْ أَطْيَبِ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ وَوَلَدُهُ مِنْ كَسْبِهِ
“Sesungguhnya yang paling baik dari makanan seseorang adalah hasil jerih payahnya sendiri. Dan anak merupakan hasil jerih payah orang tua.”[9] Ini berarti amalan dari anaknya yang sholih masih tetap bermanfaat bagi orang tuanya walaupun sudah berada di liang lahat karena anak adalah hasil jerih payah orang tua yang pantas mereka nikmati.
Namun sayang, orang tua saat ini melupakan modal yang satu ini. Mereka lebih ingin anaknya menjadi seorang penyanyi atau musisi –sehingga dari kecil sudah dididik les macam-macam-, dibanding anaknya menjadi seorang da’i atau orang yang dapat memberikan manfaat pada umat dalam masalah agama. Sehingga orang tua pun lupa dan lalai mendidik anaknya untuk mempelajari Iqro’ dan Al Qur’an. Sungguh amat merugi jika orang tua menyia-nyiakan anaknya padahal anak sholih adalah modal utama untuk mendapatkan aliran pahala walaupun sudah di liang lahat.
Keenam: Bekas-bekas amalan sholih (seperti ilmu yang bermanfaat) dan sedekah jariyah yang ditinggalkan oleh si mayit
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika manusia itu mati, maka akan putus amalannya kecuali dari tiga perkara: [1] sedekah jariyah, [2] ilmu yang diambil manfaatnya, [3] anak sholih yang mendo’akan orang tuanya.”[10]
Ketujuh: Sedekah atas nama si mayit
Sedekah untuk mayit akan bermanfaat baginya berdasarkan kesepakatan (ijma’) kaum muslimin.[11] Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ – رضى الله عنه – تُوُفِّيَتْ أُمُّهُ وَهْوَ غَائِبٌ عَنْهَا ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّى تُوُفِّيَتْ وَأَنَا غَائِبٌ عَنْهَا ، أَيَنْفَعُهَا شَىْءٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ » . قَالَ فَإِنِّى أُشْهِدُكَ أَنَّ حَائِطِى الْمِخْرَافَ صَدَقَةٌ عَلَيْهَا
“Sesungguhnya Ibu dari Sa’ad bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu meninggal dunia, sedangkan Sa’ad pada saat itu tidak berada di sampingnya. Kemudian Sa’ad mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal, sedangkan aku pada saat itu tidak berada di sampingnya. Apakah bermanfaat jika aku menyedekahkan sesuatu untuknya?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Iya, bermanfaat.’ Kemudian Sa’ad mengatakan pada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Kalau begitu aku bersaksi padamu bahwa kebun yang siap berbuah ini aku sedekahkan untuknya’.”[12]
Hukum Menghadiahkan Pahala Bacaan Al Qur’an untuk Si Mayit
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanyakan, “Bagaimana dengan orang yang membaca Al Qur’an Al ‘Azhim atau sebagian Al Qur’an, apakah lebih utama dia menghadiahkan pahala bacaan kepada kedua orang tuanya dan kaum muslimin yang sudah mati, ataukah lebih baik pahala tersebut untuk dirinya sendiri?”
Beliau rahimahullah menjawab:
Sebaik-baik ibadah adalah ibadah yang mencocoki petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyampaikan dalam khutbahnya,
خَيْرُ الْكَلَامِ كَلَامُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
”Sebaik-baik perkataan adalah kalamullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Sejelek-jelek perkara adalah perkara yang diada-adakan. Setiap bid’ah adalah sesat.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
خَيْرُ الْقُرُونِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian generasi setelah mereka.”
Ibnu Mas’ud mengatakan,
مَنْ كَانَ مِنْكُمْ مُسْتَنًّا فَلْيَسْتَنَّ بِمَنْ قَدْ مَاتَ ؛ فَإِنَّ الْحَيَّ لَا تُؤْمَنُ عَلَيْهِ الْفِتْنَةُ أُولَئِكَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ
“Siapa saja di antara kalian yang ingin mengikuti petunjuk, maka ambillah petunjuk dari orang-orang yang sudah mati. Karena orang yang masih hidup tidaklah aman dari fitnah. Mereka yang harus diikuti adalah para sahabat Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.”
Jika kita sudah mengenal beberapa landasan di atas, maka perkara yang telah ma’ruf di tengah-tengah kaum muslimin generasi utama umat ini (yaitu di masa para sahabat dan tabi’in, pen) bahwasanya mereka beribadah kepada Allah hanya dengan ibadah yang disyari’atkan, baik dalam ibadah yang wajib maupun sunnah; baik amalan shalat, puasa, atau membaca Al Qur’an, berdzikir dan amalan lainnya. Mereka pun selalu mendoakan mukminin dan mukminat yang masih hidup atau yang telah mati dalam shalat jenazah, ziarah kubur dan yang lainnya sebagaimana hal ini diperintahkan oleh Allah. Telah diriwayatkan pula dari sekelompok ulama salaf mengenai setiap penutup sesuatu ada do’a yang mustajab. Apabila seseorang di setiap ujung penutup mendoakan dirinya, kedua orang tuanya, guru-gurunya, dan kaum mukminin-mukminat yang lainnya, ini adalah ajaran yang disyari’atkan. Begitu pula doa mereka ketika shalat malam dan tempat-tempat mustajab lainnya.
Terdapat hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan sedekah pada mayit dan memerintahkan pula untuk menunaikan utang puasa si mayit. Jadi, sedekah untuk mayit merupakan amal sholeh. Begitu pula terdapat ajaran dalam agama ini untuk menunaikan utang puasa si mayit.
Oleh karena itu, sebagian ulama membolehkan mengirimkan pahala ibadah maliyah (yang terdapat pengorbanan harta, semacam sedekah) dan ibadah badaniyah kepada kaum muslimin yang sudah mati. Sebagaimana hal ini adalah pendapat Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah, sebagian ulama Malikiyah dan Syafi’iyah. Jika mereka menghadiahkan pahala puasa, shalat atau pahala bacaan Qur’an maka ini diperbolehkan menurut mereka. Namun, mayoritas ulama Malikiyah dan Syafi’iyah mengatakan bahwa yang disyari’atkan dalam masalah ini hanyalah untuk ibadah maliyah saja.
Oleh karena itu, tidak kita temui pada kebiasaan para ulama salaf, jika mereka melakukan shalat, puasa, haji, atau membaca Al Qur’an; mereka menghadiahkan pahala amalan mereka kepada kaum muslimin yang sudah mati atau kepada orang-orang yang istimewa dari kaum muslimin. Bahkan kebiasaan dari salaf adalah melakukan amalan yang disyari’atkan yang telah disebutkan di atas. Oleh karena itu, setiap orang tidak boleh melampaui jalan hidup para salaf karena mereka tentu lebih utama dan lebih sempurna dalam beramal. Wallahu a’lam.” –Demikian penjelasan Syaikhull Islam Ibnu Taimiyah–[13]
Catatan: Yang dimaksudkan kirim pahala dari amalan badaniyah ataupun maliyah sebagaimana yang dibolehkan oleh sebagian ulama bukanlah dengan mengumpulkan orang-orang lalu membacakan surat tertentu secara berjama’ah dan ditentukan pula pada hari tertentu (semisal hari ke-7, 40, 100, dst). Jadi tidaklah demikian yang dimaksudkan oleh para ulama tersebut. Apalagi kalau acara tersebut diadakan di kediaman si mayit, ini jelas suatu yang terlarang karena ini termasuk acara ma’tam (kumpul-kumpul) yang dilarang. Seharusnya keluarga mayit dihibur dengan diberi makan dan segala keperluan karena mereka saat itu dalam keadaan susah, bukan malah keluarga mayit yang repot-repot menyediakan makanan untuk acara semacam ini. Lihat penjelasan selanjutnya.
Apakah Mayit Mendengarkan Bacaan Al Qur’an?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Jika ada yang mengatakan bahwa bermanfaat bagi si mayit ketika dia diperdengarkan Al Qur’an dan dia akan mendapatkan pahala jika mendengarnya, maka pemahaman seperti ini sungguh keliru. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah bersabda,
إذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إلَّا مِنْ ثَلَاثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika manusia itu mati, amalannya akan terputus kecuali melalui tiga perkara: [1] sedekah jariyah, [2] ilmu yang dimanfaatkan, atau [3] anak sholeh yang mendo’akan dirinya. ”
Oleh karena itu, setelah kematian si mayit tidak akan mendapatkan pahala melalui bacaan Al Qur’an yang dia dengar dan amalan lainnya. Walaupun memang si mayit mendengar suara sandal orang lain dan juga mendengar salam orang yang mengucapkan salam padanya dan mendengar suara selainnya. Namun ingat, amalan orang lain (seperti amalan membaca Al Qur’an, pen) tidak akan berpengaruh padanya.”[14]
Seharusnya Keluarga Si Mayit yang Diberi Makan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Apabila keluarga mayit membuatkan makanan lalu mengundang orang-orang, maka ini bukanlah sesuatu yang disyari’atkan. Semacam ini termasuk ajaran yang tidak ada tuntunannya (baca: bid’ah). Bahkan Jarir bin ‘Abdillah mengatakan,
كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَتَهُمْ الطَّعَامَ لِلنَّاسِ مِنْ النِّيَاحَةِ
“Kami menganggap bahwa berkumpul-kumpul di kediaman si mayit, lalu keluarga si mayit membuatkan makanan, ini termasuk niyahah (meratapi mayit yang jelas terlarang).”
Bahkan yang dianjurkan ketika si mayit meninggal dunia adalah orang lain yang memberikan makanan pada keluarga si mayit (bukan sebaliknya). Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mendengar berita kematian Ja’far bin Abi Thalib, beliau mengatakan,
اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُمْ مَا يَشْغَلُهُمْ
“Berilah makan untuk keluarga Ja’far karena mereka saat ini begitu tersibukkan dengan kematian Ja’far.”[15]
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz –pernah menjawab sebagai ketua Al Lajnah Ad Daimah di Saudi Arabia- mengatakan, “Seharusnya yang dilakukan adalah melakukan ta’ziyah di rumah si mayit dan mendoakan mereka serta memberikan kasih sayang kepada mereka yang ditinggalkan si mayit. [Ta’ziyah memberi nasehat kepada keluarga si mayit untuk bersabar dalam musibah ini dan berusaha menghibur mereka, pen]
Adapun berkumpul-kumpul untuk menambah kesedihan (dikenal dengan istilah ma’tam) dengan membaca bacaan-bacaan tertentu (seperti membaca surat yasin ataupun bacaan tahlil), atau membaca do’a-do’a tertentu atau selainnya, ini termasuk bid’ah. Seandainya perkara ini termasuk kebaikan, tentu para sahabat (salafush sholeh) akan mendahului kita untuk melakukan hal semacam ini.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak pernah melakukan hal ini. Dulu di antara salaf yaitu Ja’far bin Abi Tholib, Abdullah bin Rowahah, Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhum, mereka semua terbunuh di medan perang. Kemudian berita mengenai kematian mereka sampai ke telinga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari wahyu. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumumkan kematian mereka pada para sahabat, para sahabat pun mendoakan mereka, namun mereka sama sekali tidak melakukan ma’tam (berkumpul-kumpul dalam rangka kesedihan dengan membaca Al Qur’an atau wirid tertentu).
Begitu pula para sahabat dahulu tidak pernah melakukan hal semacam ini. Ketika Abu Bakr meninggal dunia, para sahabat sama sekali tidak melakukan ma’tam.”[16]
Demikian pembahasan kami mengenai berbagai amalan yang dapat bermanfaat bagi si mayit. Semoga bermanfaat bagi kaum muslimin. Hanya Allah yang memberi taufik.
Segala puji bagi Allah yang dengan segala nikmat-Nya setiap kebaikan menjadi sempurna. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti beliau hingga akhir zaman.
***
Disusun di Pangukan, Sleman, Kamis, 3 Dzulqo’dah 1430 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
[1] Lihat Taisir Karimir Rahman, ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, hal. 821, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1420 H
[2] Taisir Al Karimir Rahman fi Tafsir Kalamil Mannan, hal. 851.
[3] HR. Muslim no. 2733, dari Ummu Ad Darda’.
[4] HR. Bukhari no. 2298 dan Muslim no. 1619
[5] Syarh Muslim, An Nawawi, 6/2, Mawqi’ Al Islam
[6] HR. Bukhari no. 1952 dan Muslim no. 1147
[7] Lihat Tawdhihul Ahkam, 3/525
[8] HR. Bukhari no. 2761 dan Muslim no. 1638
[9] HR. Abu Daud no. 3528 dan An Nasa-i no. 4451. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[10] HR. Muslim no. 1631
[11] Majmu’ Al Fatawa, 24/314, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H
[12] HR. Bukhari no. 2756
[13] Majmu’ Al Fatawa, 24/321-323.
[14] Majmu’ Al Fatawa, 24/317.
[15] Majmu’ Al Fatawa, 24/316-317.
[16] Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 13/211, Asy Syamilah
Alhamdulillah, artilel yang sarat dengan ilmu. Jazakallohu khoiron, ustadz.
Assalamualaikum ustadz,
mohon izin share
Ijin share, jaazakallahu khairan.
izin share
wajib ilmu tentang nayit bernaneaat buat yg ada dan tiada.izin share barokallah
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh..apa d bolehkn ust klu selesai baca Alquran bacaan tsb d hadiahkn kpd kedua org tua yg msh hidup..syukron
@ Wita
Wa’alaikumus salam wa rahmatullah wa barakatuh
Tanpa diniatkan untuk dihadiahkan sekali pun, bacaan tsb akan manfaat bg ortu krn anak adl hasil jerih payah ortu, apa sj ibadah yg ia lakukan maka pahalanya jg bermanfaat untuk ortu. Wallahu waliyyut taufiq.
Ustaz mohon izin untuk saya share
Assalamu’alaikum ilaih. Syukron ibrahnya, bergitu bermanfaat sekali. Mohon ijin share ya …! Syukron katsir …
Assalamu’allaikum..ustadz,bagaimana cara menyikapi tetangga yg mengundang tahlilan sedangkan kita mengetahui bahwa hukum tahlillan itu bid’ah? syuqron ustadz..
#andri.y
Wa’alaikumussalam. Tidak perlu datang namun tetap menjaga hubungan baik.
Alhamdulillah,
Tulisan ini lebih baik dan tepat sasaran kepada siapa saja ikhwan dan akhwat drpd berdebat dengan sesama.
syukron katsir.
Syukron artikelnya….Izin share
جزاك الله خيرا ممكن تسخها للفائدة
ijin copy paste
Assalamu Alaikum Wr.Wb. Pada artikel di atas di tuliskan bahwa ” Mereka pun selalu mendoakan mukminin dan mukminat yang masih hidup atau yang telah mati dalam shalat jenazah, ziarah kubur dan yang lainnya sebagaimana hal ini diperintahkan oleh Allah”. Yang ingin saya tanyakan adalah mengenai ziarah kubur. karena ada pendapat yang menyatakan bahwa ziarah kubur termasuk bi’dah. Mohon penjelasannya mengenai hal ini jika di kaitkan dengan artikel di atas bahwa hal ini (ziarah kubur termasuk hal yang diperintahkan oleh Allah SWT). Syukron
#azzahrah
Wa’alaikumussalam silakan baca:
http://kangaswad.wordpress.com/2011/05/18/keutamaan-ziarah-kubur/
ustad mohon penjelasannya…ana dpt dari FB saudara kita bernama yos ko yos…ikhwan and akhwat yg memiliki ilmunya silahkn ana tunggu bagi2 ilmunya….mohon krm k FB ana ya NADIN ARROFIQ Zls, SYUKRON…
izin copas..
Bagus artikelnya. Sayangnya di antara kaum muslimin masih banyak yang terjerat dalam 2 jenis kesalahan dalam masalah ini, yaitu:
1. Inkarus sunnah: mengingkari semua hadits tentang menghadiahkan pahala kepada mayit/orang lain dengan berdalil keumuman An-Najm 39, dapat dilihat di
http://kirimpahala.blogspot.com
2. Berbuat bid’ah: mengirimkan pahala kepada mayit tetapi dengan tata cara yang tidak sesuai tuntunan Nabi.
Assalaamu’alaikum
Jadi, semua amalan orang hidup pahalanya dapat dihadiahkan kepada si mayit?
Bagaimana dengan amalan baca Al-Qur’an?
Terima kasih.
@ Putra
Wa’alaikumussalam. Coba disimak lagi tulisan di atas, semua sdh ada jawabannya.
assalamualaikum
mohon ijin untuk dishare
Assalaamu’alaykum warohmatullaah.
Sebagaimana telah dijelaskan diatas sebagai berikut:
“Oleh karena itu, sebagian ulama membolehkan mengirimkan pahala ibadah maliyah (yang terdapat pengorbanan harta, semacam sedekah) dan ibadah badaniyah kepada kaum muslimin yang sudah mati. Sebagaimana hal ini adalah pendapat Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah, sebagian ulama Malikiyah dan Syafi’iyah. Jika mereka menghadiahkan pahala puasa, shalat atau pahala bacaan Qur’an maka ini diperbolehkan menurut mereka.”
bagaimana cara yang dilakukan para ulama tersebut dalam menghadiahkan pahala khususnya bacaan Qur’an….?????
Sedangkan yang banyak dilakukan oleh masyarakat sekarang adalah Bid’ah, dengan berkumpul dihari yang dikhususkan.
syukron…
@ Mustofa
Yang jelas caranya bukan dengan yasinan, selamatan kematian yang dilakukan pada hari ke 1, 3, 7, 40 , 100, dst. Karena penentuan spt ini tidak ada dalilnya. Juga tidak ada dalil dengan harus mengumpulkan jamaah. Bahkan mengumpulkan jamaah dan tuan rumah yang beri makan itu termasuk niyahah (meratapi mayit) yang terlarang.
Imam Syafi’i rahimahullah dalam kitabnya Al Umm berkata,
وأكره النياحة على الميت بعد موته وأن تندبه النائحة على الانفراد لكن يعزى بما أمر الله عزوجل من الصبر والاسترجاع وأكره المأتم وهى الجماعة وإن لم يكن لهم بكاء فإن ذلك يجدد الحزن
“Aku tidak suka niyahah (peratapan) pada mayit setelah kematiannya, begitu juga aku tidak suka jika bersedih tersebut dilakukan seorang diri. Seharusnya yang dilakukan adalah seperti yang Allah Ta’ala perintahkan yaitu dengan bersabar dan mengucapkan istirja’ (innalillahi wa inna ilaihi rooji’un). Aku pun tidak suka dengan acara ma’tam yaitu berkumpul di kediaman si mayit walau di sana tidak ada tangisan. Karena berkumpul seperti ini pun hanya membuat keluarga mayit mengungkitu kesedihan yang menimpa mereka. ” (Al Umm, 1: 318).
Imam Nawawi rahimahullah dalam Al Majmu’ menukil perkataan penulis Asy Syaamil dan ulama lainnya,
وأما اصلاح اهل الميت طعاما وجمع الناس عليه فلم ينقل فيه شئ وهو بدعة غير مستحبة
“Adapun yang dilakukan keluarga mayit dengan membuatkan makanan dan mengumpulkan orang-orang di kediaman mayit, maka tidak ada tuntunan dalam hal ini. Hal ini termasuk bid’ah yang tidak dianjurkan.” Demikian perkataan penyusun Asy Syaamil lantas Imam Nawawi pun menukilkan hadits Jarir bin ‘Abdillah di atas. (Lihat Al Majmu’, 5: 320).
Sama persis yang dinukilkan oleh Imam Nawawi, dikatakan pula oleh Ibnu Taimiyah,
وَأَمَّا صَنْعَةُ أَهْلِ الْمَيِّتِ طَعَامًا يَدْعُونَ النَّاسَ إلَيْهِ فَهَذَا غَيْرُ مَشْرُوعٍ وَإِنَّمَا هُوَ بِدْعَةٌ
“Adapun jika keluarga mayit yang membuatkan makanan dan mengundang jama’ah untuk datang, seperti ini tidak ada tuntunan dan termasuk bid’ah.” (Majmu’ Al Fatawa, 24: 316).
Silakan baca tulisan berikut: http://rumaysho.com/belajar-islam/jalan-kebenaran/4199-niyahah-dan-selamatan-kematian-.html
Assalamu alaykum warahmatullahi wabarakhatu,
Alhamdulillah kutemukan ilmu yg bermanfaat
izinkan saya mengcopy sebahagian Artikelnya
guna kepentingan DAKWAH
Jazakhallahu khairon…,,
terimakasih…pak ustadz…ijin copas
terimaksih ustadz.. ana ijin copas..
@ Ike
Islam itu dinilai shahih atau tidak, dilihat bercocokan ataukah tdk degan ajaran Rasul dan para sahabat. Jadi bukan dicocokkan dg ajaran wali.
Barakallahu fiikum.
Mohon izin copy paste. Jaza kumullah khair.
Nabi memiliki beberapa anak, yang anak laki2 semua
meninggal sewaktu masih kecil. Anak-anak perempuan
beliau ada 4 termasuk Fatimah, hidup sampai
dewasa.
Ketika Nabi masih hidup, putra-putri beliau yg
meninggal tidak satupun di TAHLIL i, kl di do’akan
sudah pasti, karena mendo’akan orang tua,
mendo’akan anak, mendo’akan sesama muslim amalan
yg sangat mulia.
Ketika NABI wafat, tdk satu sahabatpun yg TAHLILAN
untuk NABI,
padahal ABU BAKAR adalah mertua NABI,
UMAR bin KHOTOB mertua NABI,
UTSMAN bin AFFAN menantu NABI 2 kali malahan,
ALI bin ABI THOLIB menantu NABI.
Apakah para sahabat BODOH….,
Apakah para sahabat menganggap NABI hewan….
(menurut kalimat sdr sebelah)
Apakah Utsman menantu yg durhaka.., mertua
meninggal gk di TAHLIL kan…
Apakah Ali bin Abi Tholib durhaka.., mertua
meninggal gk di TAHLIL kan….
Apakah mereka LUPA ada amalan yg sangat baik,
yaitu TAHLIL an koq NABI wafat tdk di TAHLIL i..
Semua Sahabat Nabi SAW yg jumlahnya RIBUAN,
Tabi’in dan Tabiut Tabi’in yg jumlahnya jauh lebih
banyak, ketika meninggal, tdk ada 1 pun yg
meninggal kemudian di TAHLIL kan.
cara mengurus jenazah sdh jelas caranya dalam
ISLAM, seperti yg di ajarkan dalam buku2 pelajaran
wajib dr SD – Perguruan tinggi. Termasuk juga tata
cara mendo’akan Orang tua yg meninggal dan tata
cara mendo’akan orang2 yg sdh meninggal dr kaum
muslimin.
Saudaraku semua…, sesama MUSLIM…
saya dulu suka TAHLIL an, tetapi sekarang tdk
pernah sy lakukan. Tetapi sy tdk pernah mengatakan
mereka yg tahlilan berati begini.. begitu dll.
Para tetangga awalnya kaget, beberapa dr mereka
berkata:” sak niki koq mboten nate ngrawuhi
TAHLILAN Gus..”
sy jawab dengan baik:”Kanjeng Nabi soho putro
putrinipun sedo nggih mboten di TAHLILI, tapi di
dongak ne, pas bar sholat, pas nganggur leyeh2,
lan sakben wedal sak saget e…? Jenengan Tahlilan
monggo…, sing penting ikhlas.., pun ngarep2
daharan e…”
mereka menjawab: “nggih Gus…”.
sy pernah bincang-bincang dg kyai di kampung saya,
sy tanya, apa sebenarnya hukum TAHLIL an..?
Dia jawab Sunnah.., tdk wajib.
sy tanya lagi, apakah sdh pernah disampaikan
kepada msyarakat, bahwa TAHLILAN sunnah, tdk
wajib…??
dia jawab gk berani menyampaikan…, takut timbul
masalah…
setelah bincang2 lama, sy katakan.., Jenengan
tetap TAHLIl an silahkan, tp cobak saja
disampaikan hukum asli TAHLIL an…, sehingga
nanti kita di akhirat tdk dianggap menyembunyikan
ILMU, karena takut kehilangan anggota.., wibawa
dll.
Untuk para Kyai…, sy yg miskin ilmu ini,
berharap besar pada Jenengan semua…., TAHLIL an
silahkan kl menurut Jenengan itu baik, tp sholat
santri harus dinomor satukan..
sy sering kunjung2 ke MASJID yg ada pondoknya.
tentu sebagai musafir saja, rata2 sholat jama’ah
nya menyedihkan.
shaf nya gk rapat, antar jama’ah berjauhan, dan
Imam rata2 gk peduli.
selama sy kunjung2 ke Masjid2 yg ada pondoknya,
Imam datang langsung Takbir, gk peduli tentang
shaf…
Untuk saudara2 salafi…, jangan terlalu keras
dalam berpendapat…
dari kenyataan yg sy liat, saudara2 salfi memang
lebih konsisten.., terutama dalam sholat.., wabil
khusus sholat jama’ah…
tapi bukan berati kita meremehkan yg lain.., kita
do’akan saja yg baik…
siapa tau Alloh SWT memahamkan sudara2 kita kepada
sunnah shahihah dengan lantaran Do’a kita….
demikian uneg2 saya, mohon maaf kl ada yg tdk
berkenan…
semoga Alloh membawa Ummat Islam ini kembali ke
jaman kejayaan Islam di jaman Nabi…, jaman
Sahabat.., Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in
Amin ya Robbal Alamin
sesat ini blog……
Moga Allah berkahi Anda.
Izin cpas dan share
Perkara yang ke 3 doa anak yang sholeh
Apakah doa anak sholehah/anak perempuan tidak termasuk?