Baca pembahasan sebelumnya: Adab Berpakaian (Bag. 1)
[lwptoc]
Memilih Pakaian Warna Putih
Warna pakaian yang dianjurkan untuk laki-laki adalah warna putih. Tentang hal ini terdapat hadits dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kenakanlah pakaian yang berwarna putih, karena itu adalah sebaik-baik pakaian kalian dan jadikanlah kain berwarna putih sebagai kain kafan kalian.” (HR. Ahmad, Abu Daud dll, shahih)
Dari Samurah bin Jundab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kenakanlah pakaian berwarna putih karena itu lebih bersih dan lebih baik dan gunakanlah sebagai kain kafan kalian.” (HR . Ahmad, Nasa’I dan Ibnu Majah, shahih)
Tentang hadits di atas Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin berkomentar, “Benarlah apa yang Nabi katakan karena pakaian yang berwarna putih lebih baik dari warna selainnya dari dua aspek. Yang pertama warna putih lebih terang dan nampak bercahaya. Sedangkan aspek yang kedua jika kain tersebut terkena sedikit kotoran saja maka orang yang mengenakannya akan segera mencucinya. Sedangkan pakaian yang berwarna selain putih maka boleh jadi menjadi sarang berbagai kotoran dan orang yang memakainya tidak menyadarinya sehingga tidak segera mencucinya. Andai jika sudah dicuci orang tersebut belum tahu secara pasti apakah kain tersebut telah benar-benar bersih ataukah tidak. Dengan pertimbangan ini Nabi memerintahkan kita, kaum laki-laki untuk memakai kain berwarna putih.
Kain putih disini mencakup kemeja, sarung ataupun celana. Seluruhnya dianjurkan berwarna putih karena itulah yang lebih utama. Meskipun mengenakan warna yang lainnya juga tidak dilarang. Asalkan warna tersebut bukan warna khas pakaian perempuan. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan. Demikian pula dengan syarat bukan berwarna merah polos karena nabi melarang warna merah polos sebagai warna pakaian laki-laki.Namun jika warana merah tersebut bercampur warna putih maka tidaklah mengapa.” (Syarah Riyadus Shalihin, 7/287, Darul Wathon)
Pakaian Berwarna Merah?
Dari Abdullah bin ‘Amr bin al ‘Ash, Rasulullah pernah melihatku mengenakan pakaian yang dicelup dengan ‘ushfur maka Nabi menegurku dengan mengatakan, “Ini adalah pakaian orang-orang kafir jangan dikenakan”. Dalam lafazh yang lain, Nabi melihatku mengenakan kain yang dicelup dengan ‘usfur maka Nabi bersabda, “Apakah ibumu memerintahkanmu memakai ini?” Aku berkata, “Apakah kucuci saja?” Nabipun bersabda, “Bahkan bakar saja.” (HR Muslim)
Menurut penjelasan Ibnu Hajar mayoritas kain yang dicelup dengan ‘ushfur itu berwarna merah (Fathul Bari, 10/318)
Dalam hadits di atas Nabi mengatakan “Apakah ibumu memerintahkanmu untuk memakai ini” hal ini menunjukkan pakain berwarna merah adalah pakaian khas perempuan sehingga tidak boleh dipakai laki-laki. Sedangkan maksud dari perintah Nabi untuk membakarnya maka menurut Imam Nawawi adalah sebagai bentuk hukuman dan pelarangan keras terhadap palaku dan yang lainnya agar tidak melakukan hal yang sama.
Dari hadits di atas juga bisa kita simpulkan bahwa maksud pelarangan Nabi karena warna pakaian merah adalah ciri khas warna pakaian orang kafir. Dalam hadits di atas Nabi mengatakan “Sesungguhnya ini adalah pakaian orang-orang kafir. Jangan dikenakan”.
Terdapat hadits lain yang nampaknya tidak sejalan dengan penjelasan di atas itulah hadits dari al Barra’, beliau mengatakan, “Nabi adalah seorang yang berbadan tegap. Ketika Nabi mengenakan pakaian berwarna merah maka aku tidak pernah melihat seorang yang lebih tampan dibandingkan beliau”.(HR Bukhari dan Muslim).
Jawaban untuk permasalahan ini adalah dengan kita tegaskan bahwa yang terlarang adalah kain yang berwarna merah polos tanpa campuran warna selainnya. Sehingga jika kain berwarna merah tersebut bercampur dengan garis-garis yang tidak berwarna merah maka diperbolehkan.
Dalam Fathul Bari, Ibnu Hajar menyebutkan adanya tujuh pendapat ulama tentang hukum memakai kain berwarna merah. Pendapat ketujuh, kain yang terlarang adalah berlaku khusus untuk kain yang seluruhnya dicelup hanya dengan ‘ushfur. Sedangkan kain yang mengandung warna yang selain merah semisal putih dan hitam adalah tidak mengapa. Inilah makna yang tepat untuk hadits-hadits yang nampaknya membolehkan kain berwarna merah karena tenunan yaman yang biasa Nabi kenakan itu umumnya memiliki garis-garis berwarna merah dan selain merah.
Ibnul Qoyyim mengatakan, “Ada ulama yang mengenakan kain berwarna merah polos dengan anggapan bahwa itu mengikuti sunnah padahal itu sebuah kekeliruan karena kain merah yang Nabi kenakan itu tenunan yaman sedangkan tenunan yaman itu tidak berwarna merah polos.” (Fathul Bari, 10/319)
Di samping diplih oleh Ibnu Qayyim, pendapat di atas juga didukung oleh Ibnu Utsaimin. Beliau mengatakan, “Kain berwarna merah yang Nabi pakai tidaklah berwarna merah polos akan tetapi kain yang garis-garisnya berwarna merah. Semisal istilah kain sorban merah padahal tidaklah seluruhnya berwarna merah bahkan banyak warna putih bertebaran di sana. Namun disebut demikian karena titik dan coraknya didominasi warna merah. Demikian pula sebutan kain tenun berwarna merah maksudnya garis-garisnya berwarna merah. Adapun seorang laki-laki memakai kain berwarna merah polos tanpa ada warna putihnya maka itu adalah sesuatu yang dilarang oleh Nabi.” (Syarah Riyadhus Shalihin, 7/288, Darul Wathon)
Pendapat di atas juga disepakati oleh Syeikh Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam. Beliau mengatakan, “Terdapat banyak hadits yang melarang pakaian merah untuk laki-laki. Di antaranya adalah hadits yang diriwayarkan oleh Bukhari, ‘Sesungguhnya Nabi melarang kain berwarna merah’. Lalu bagaimana dengan hadits yang menyebutkan bahwa beliau memakai kain berwarna merah?
Dalam Zadul Ma’ad, Ibnul Qoyyim menyebutkan bahwa kain merah yang Nabi kenakan itu bukan merah polos tapi kain yang memiliki garis-garis berwarna merah dan hitam. Sehingga kelirulah orang yang memiliki praduga bahwa itu adalah kain berwarna merah polos dan tidak tercampur dengan warna selainnya. Karena kain yang mayoritas garis-garisnya berwarna merah itu disebut kain merah.
Kami dapatkan nukilan pendapat dari guru kami, Abdurrahman As Sa’di bahwa Nabi mengenakan kain berwarna merah untuk menjelaskan bahwa itu diperbolehkan.
Menurut hemat kami penggabungan yang diajukan oleh Ibnul Qoyyim itu lebih bagus karena larangan mengenakan kain berwarna merah polos itu keras lalu bagaimana mungkin beliau mengenakannya dengan maksud menjelaskan bahwa itu adalah suatu yang dibolehkan.” (Taisirul ‘Allam, 1/147)
Sedangkan tentang hal ini, Syaikh Salim Al Hilali memberikan uraian sebagai berikut. “Tentang memakai pakaian berwarna merah terdapat beberapa pendapat ulama’. Yang pertama membolehkan secara mutlak. Inilah pendapat dari ‘Ali, Tholhah, Abdullah bin Ja’far, Al Barra’ dan para shahabat yang lain. Sedangkan diantara tabiin adalah Sa’id bin Al Musayyib, An Nakha’I, Asy sya’bi, Abul Qilabah dan Abu Wa’il. Yang kedua melarang secara mutlak. Yang ketiga, hukum makruh berlaku untuk kain berwarna merah membara dan tidak untuk warna merah yang reduh. Pendapat ini dinukil dari atho’, Thowus dan Mujahid. Pendapat keempat, hukum makruh berlaku untuk semua kain berwarna merah jika dipakai dengan maksud semata berhias atau mencari populeritas namun diperbolehkan jika dipakai di rumah dan untuk pakaian kerja. Pendapat ini dinukil dari ibnu Abbas. Yang kelima, diperbolehkan jika dicelup dengan warna merah saat berupa kain baru kemudian ditenun dan terlarang jika dicelup setelah berupa tenunan. Inilah pendapat yang dicenderungi oleh Al Khathabi. Yang keenam, larangan hanya berlaku untuk kain yang dicelup dengan menggunakan bahan ‘ushfur karena itulah yang dilarang dalam hadits sedangkan bahan pencelup selainnya tidaklah terlarang. Pendapat ketujuh, yang terlarang adalah warna merah membara bukan semua warna merah dan pakaian tersebut digunakan sebagai pakaian luar karena demikian itu adalah gaya berpakaian orang yang tidak tahu malu. Sedangkan pendapat terakhir, yang terlarang adalah jika kain tersebut seluruhnya dicelup dengan warna merah. Tapi jika ada warna selainnya, semisal putih dan merah maka tidak mengapa.
Aku (Syaikh Salim al Hilali) katakan, “Pendapat yang paling layak untuk diterima adalah pendapat terakhir. Dengannya hadits-hadits tentang pakaian Nabi yang berwarna merah bisa disinkronkan karena kain yang dikenakan Nabi itu tenunan Yaman yang pada umumnya memiliki garis-garis merah dan selainnya…… Sedangkan pendapat-pendapat yang lain itu kurang tepat. Pendapat pertama bisa dibantah dengan penjelasan bahwa kain berwarna merah yang dimaksudkan itu tidak polos. Pendapat kedua juga keliru karena jelas nabi memiki kain berwarna merah. Sedangkan pendapat ketiga, keempat, kelima, keenam dan ketujuh adalah pendapat-pendapat yang memberikan rincian tanpa dalil dan menghukumi dalil tanpa dalil.” (Bahjatun Nazhirin, 2/81-82)
Berdasarkan uraian panjang lebar di atas jelaslah bahwa kain sorban merah yang biasa dikenakan orang-orang saudi bukan termasuk ke dalam hadits larangan berpakaian merah.
Simak pembahasan selanjutnya: Adab Berpakaian (Bag. 3)
***
Penulis: Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id
Assalamu’alaykum. Aku punya baju warnah merah darah. Aku baru tahu kalo itu terlarang. Bagaimana kalo aku kasih ke sodaraku, bolehkah?
بسم الله الرحمن الرحيم
Al Hafizh Ibnu Hajar meceritakan sebuah riwayat dari Asyhab tentang seseorang yang sholat hanya dengan menggunakan celana panjang (tanpa ditutupi sarung atau jubah atau gamis), beliau berkata, “Hendaknya ia mengulangi sholatnya ketika itu juga kecuali bila celananya tebal.” Sedangkan sebagian ulama Hanafiyah memakruhkan hal itu. Padahal saat itu keadaan celana panjang mereka sangat longgar, lalu bagaimana dengan celana pantalon yang sangat sempit?!
Syaikh Al Albani berkata, “Celana pantalon mengandung dua cela.”
Pertama, orang yang menggunakannya berarti bertasyabuh dengan kaum kafir. Pada mulanya kaum muslimin mengenakan celana panjang yang luas dan longgar yang sekarang masih digunakan oleh sebagian orang di Suriah dan Libanon. Mereka sama sekali tidak mengenal celana pantalon, kecuali setelah mereka ditaklukkan dan dijajah. Kemudian setelah kaum penjajah takluk dan mengundurkan diri mereka meninggalkan jejak yang buruk, lalu dengan kebodohan dan kejahilan kaum muslimin melestarikan peninggalan mereka tadi.
Kedua, celana pantalon dapat membentuk aurat, sedangkan aurat laki-laki adalah dari lutut hingga pusar. Ketika sholat seorang muslim seharusnya amat jauh dari keadaan bermaksiat kepada RabbNya, namun bagi mereka yang menggunakan celana pantalon, anda akan melihat kedua belahan pantatnya terbentuk, bahkan dapat membentuk apa yang ada di antara kedua pantatnya tersebut. Bagaimana muungkin orang yang dalam keadaannya semacam ini dikatakan sholat dan berdiri di hadapan Rabbul ‘Alamin?!
Anehnya banyak di antara pemuda muslim yang mengingkari wanita-wanita berpakaian ketat atau sempit karena membentuk bodinya sementara mereka sendiri lupa akan diri mereka. Mereka sendiri terjatuh pada hal yang diingkari, sebab tidak ada perbedaan antara wanita yang berpakaian sempit dan membentuk tubuhnya dengan pria yang memakai celana pantalon yang juga membentuk pantatnya. Pantat pria dan pantat wanita keduanya sama-sama aurat. Karena itu wajib bagi para pemuda untuk segera menyadari musibah yang telah melanda mereka kecuali orang yang dipelihara Allah, namun mereka sedikit [3].
Adapun bila celana pantalon tersebut luas, maka sah sholat dengannya. Namun akan lebih utama bila di atasnya ada gamis yang menutup antara pusar hingga lutut atau lebih rendah hingga pertengahan betis atau mata kaki. Yang demikian lebih sempurna dalam menutup aurat [4]. (Al Fatawa 1/69 oleh Syaikh bin Baz).
Ibnu Abdil Barr dalam At Tahmid 6/369 mengatakan, “Sesungguuhnya ahli ilmu menganggap mustahab bagi seseorang yang mampu dalam pakaian agar berhias dengan pakaian, minyak wangi dan siwaknya, ketika sholat sesuai dengan kemampuannya.”
Allah ta’ala berfirman,
يَا بَنِيْْ آدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ
“Wahai anak Adam! Pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid.” (Al A’raf: 31).
Yang dimaksud dengan zinah (perhiasan) pada ayat di atas yaitu pakaian, sedangkan yang dimaksud dengan masjid yaitu sholat. Artinya, “Pakailah pakaian yang menutup aurat kalian ketika sholat.”
Berkata Imam Syafi’i rahimahullah, “Bila seseorang sholat dengan gamis yang transparan[8], maka sholatnya tidak sah.”[9]
Kata As Safarini dalam Gidza`ul Albab, “Bila pakaian itu tipis hingga tampak aurat si pemakainya, baik lelaki maupun wanita, maka dilarang dan haram mengenakannya. Sebab secara syariat dianggap tidak menutup aurat sebagaimana diperintahkan. Hal ini tidak diperselisihkan lagi.” [13]
Mereka yang mengenakan celana panjang pantalon yang membentuk aurat atau mengesankannya atau transparan dengan kemeja pendek. Ketika ruku’ dan sujud, kemeja tertarik ke atas sedang celana tertarik ke bawah. Dengan demikian punggung dan sebagian auratnya tampak. Hal ini kadangkala terjadi bila tidak bisa dikatakan sering. Perhatikanlah, aurat mughalladhah (alat vital)nya tampak ketika ia ruku’ atau sujud di hadapan Rabbnya. Na’udzubillah! Kita berlindung kepada Allah dari kebodohan, sebab bila dalam keadaan demikian sedang aurat terbuka, jelas mengantarkan pada batalnya sholat. Lantas siapa kambing hitamnya? Celana pantalon dan memang celana pantalon asalnya dari negeri kafir.[14]
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al Jibrin dalam menanggapi beberapa kesalahan yang dilakukan sebagian kaum muslimin di dalam sholat, beliau berkata, “Banyak di antara manunsia tidak lagi mengenakan pakaian yang luas dan lapang, mereka hanya mengenakan celana panjang dan kemeja pendek yang menutupi dada dan punggung. Bila mereka ruku’, kemeja tertarik hingga tampak sebagian punggung dan ekornya yang merupakan aurat dan dilihat oleh orang yang ada di belakangnya. Padahal terbukanya aurat merupakan sebab batalnya sholat.” [15]
assalamualaikum. kalau jilbab atau pakaian putih untuk wanita bagaimana? apa itu sunnah berdasarkan keumuman hadits?
Kalau warna putih saya belum siap karena amal saya belum sempurna dan masih URDU ( URUSAN DUNIA ) terlalu banyak
assalamu’alaikum
akhi Abdullah, apa yang dimaksud dengan celana “pantalon”? maaf saya kurang mengerti, apakah maksudnya adalah celana panjang (celana kain) yang biasa kita gunakan sebagai pasangan kemeja?
Saya pernah baca sebuah riwayat yang menyebutkan Rasulullah shalallahu alaihi wassalam memakai jubah merah pada hari ied, dan disebutkan beliau terlihat gagah sekali. Apa riwayat ini shahih?
akhy fauzi..
kita jujur saja,bila kita pakai celana panjang dgn kemeja yang biasa,bukankah benar kemeja akan tertarik dan menyingkap dan plg sedikit membentuk aurat kita? kecuali kemeja kita cukup panjang spt gamis..nasihat masyaikh diatas oleh akhy abdullah sdh benar..jgnlah kita alihkan ke permasalahan defiinisi pantalon..aturan syariat untuk menutup aurat saat sholat sdh jelas..kita hanya sami’na wa atho’na semampu kita..Alloh tidak membebani kita diluar kemampuan..laksanakan yg terbaik untuk Alloh dan sebisa mungkin menghindari hal yang meragukan krn hal itu lbh dkt dgn keharaman.
Barokallohu fiykum.
@ Al Akh Fauzi,
Celana pantalon itu ya celana yang banyak beredar di antara kita dan juga sering kita pakai sehari-hari, yang biasanya ukurannya pas-pasan, gak besar atau lebar/lapang. Bahkan ada yang “ngapret” (istilah jawa-nya) sampai-sampai pantatnya keliatan benar-benar menonjol kalau pas sujud. Heran, orang mau sholat atau mau pamer pantat?
Lebih heran lagi kalau yang seperti ini juga banyak terjadi dikalangan ikhwah2 yang ngajinya sudah cukup lama. Bahkan dalam suatu pengajian, 60% atau lebih, ikhwahnya pakai celana pantalon.
Bismillah…
Akhi Abdullah, Abu Abdillah dan Akh Yanto, Baarakallahu fiikum jami’an.
Nukilan-nukilan yang dibawakan akh Abdullah benar dan merupakan nasehat yang baik bagi kaum muslimin.
Namun ada satu hal yang ingin ana tambahkan, bahwa sebagian orang ada yang berlebihan menyikapi hal ini. Nukilan-nukilan tersebut ini menunjukkan bahwa hukum memakai pantalon bagi pria terdapat perbedaan diantara para ulama. Dan ini termasuk permasalahan khilafiyah ijtihadiyah.
Sebagian ulama seperti Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahullah mengharamkan secara mutlak karena menurut beliau memakai pantalon termasuk tasyabbuh bil kuffar dan membentuk aurat. Dan sholat dengannya tidak sah karena menutup aurat adalah syarat sah shalat. Fatwa dapat disimak di sini. Sebagaimana juga fatwa Syaikh Rabi Al Madkholi serta Syaikh Muqbil Al Wadi’i, Rahimahumallah.
Sedangkan sebagian ulama merinci, jika pantalon tersebut ketat atau transparan, maka haram hukumnya. Namun jika tidak ketat, tidak transparan, tidak memperlihatkan siluet tubuh yang termasuk aurat, maka kembali ke hukum asal pakaian yaitu mubah. Dan hukum shalat dengannya adalah Sah. Sebagaimana fatwa Lajnah Daimah saat masih diketuai Syaikh Bin Baz, juga fatwa Syaikh Bin Baz sendiri (yang juga dibawakan oleh Akh Abdullah), juga fatwa Syaikh Ibnu Al Utsaimin Rahimahumullah.
Bahkan Lajnah Daimah menyatakan bahwa pantalon saat ini bukanlah ciri khas orang kafir. Namun telah menjadi pakaian orang pada umumnya baik kafir maupun muslim [Fatwa Lajnah Daimah no. 1620]. Dan nampaknya Lajnah Daimah berpegang pada pendapat bahwa dhawabit Tasyabbuh adalah Al ‘Urf . Dan Insya Allah inilah yang rajih. Sehingga memakai pantalon tidak termasuk Tasyabbuh.
Kesimpulannya, kalau seseorang memakai pantalon ketat, dia salah, oleh karena itu perlu diberitahu atau dinasehati (bukan di tahdzir). Kalau ia pakai pantalon yang tidak ketat, maka boleh saja. Kalau ia memakai pakaian yang lebih selamat, seperti memakai sarung, sirwal, gamis atau pakaian yang lebar lainnya maka ia telah memilih yang afdhal.
Kemudian yang disampaikan akhi Yanto, ada pengajian yang 60% pesertanya memakai pantalon.
Pertama, pantalonnya ketat atau tidak?
Kedua, angka 60% perlu dibuktikan.
Ketiga, jika benar 60% memakai pantalon ketat apakah pasti mereka ini pantas dikenakan tahdzir atau tabdi’. Ataukah perlu dinasehati?
Keempat, jika benar 60% memakai pantalon ketat apakah berarti 100% peserta pengajian beserta ustadz-ustadznya semuanya salah dan menganggap bolehnya pantalon?
Kelima, jika 100% darinya mengambil pendapat bolehnya pantalon apakah juga salah? Padahal “Laa Inkaro Fi Masail Ijtihadiyyah”.
Keenam, apakah pakaian secara mutlak dijadikan tolak ukur manhaj seseorang?
Wabillahit Taufiq..
untuk akhy aswad
pendapat akhy abdulloh lebih pada pakaian ketika sholat. dan memang ketika sholat kita diperintahkan berpakaian sebaik-baiknya. sholat dengan pantalon memang sah dengan syarat-syarat yang antum sebutkan diatas. namun yang jadi masalah ketika hal ini dianggap biasa sehingga melupakan nasihat yang seharusnya diberikan. kita di perintah untuk belajar dan mengambil pendapat berdasarkan dalil tidak berdasarkan khilaf. bukan berarti kita mentahdzir dan menghajr yang tidak sepakat dengan kita apabila terjadi khilaf tanawwu’, namun nasihat senantiasa diberikan. adapun bagi kalangan pengajar atau asatidzah hendaknya memberikan contoh yang baik.jika hal yang kecil seperti ini para masyaikh yang berpendapat bolehnya dan sahnya pantalon seperti lajnah daimah saja mereka tetap tidak memakainya maka seharusnya ini menjadi pelajaran bahwa itu adalah sebuah keringanan bagi yang tidak mampu dengan tetap menjaga syarat2nya. jika mutlak berpendapat bahwa dhowabit tasyabbuh adalah urf maka demokrasi yang sekarang menjadi urf pun tidak dianggap tasyabbuh.
demikian hendaknya kita dapat mengambil ilmu tidak hanya sebagian tapi seluruhnya karena manhaj salaf meliputi perkara ushul dan furu’.
Barokallohu fiyk
Akhi Abu Abdillah, semoga Allah menjaga antum dalam kebaikan..
Jazakumullahu Ahsanal Jaza’ atas nasehat yang antum sampaikan dan ana setuju dengan antum. Ketahuilah, ana pun tidak memakai pantalon.
Ana telah menyampaikan wajhud dilalalah dari ulama yang mengharamkan dan yang membolehkan. Sedangkan yang dimaksud berhujjah dengan khilafiyah adalah seseorang membolehkan sesuatu dengan alasan sekedar tahu adanya khilafiyah tanpa peduli pada dalil dan cara pendalilan yang digunakan. Imam Abu Hanifah berkata:
لا يحل لأحد أن يأخذ بقولنا ما لم يعلم من أين أخذناه
“Tidak halal bagi seseorang mengambil pendapat kami tanpa tahu dari mana kami mengambilnya”.
Jika antum setuju bahwa pantalon yang tidak ketat hukumnya mubah dalam shalat atau di luar shalat, maka bagaimana mungkin dimasukkan dalam bab rukhshoh (keringanan)?
Adapun bahwa seorang da’i hendaknya memberi contoh yang lebih baik dalam pengamalan sunnah, ana sepakat.
ومن أحسن قولا ممن دعى إلى الله
“Siapa yang paling baik perkataannya selain dari da’i ilallah?”
Namun bila ada ustadz yang tidak mengambil yang menurut antum afdhal dalam hal pakaian, tidak menunjukkan bahwa ia orang yang muqoshshir (suka meremehkan sunnah) dan mutalayyin (tidak kokoh memegangi sunnah). Patut bagi kita untuk berprasangka baik kepada sesama muslim, lebih lagi jika kita tahu bahwa ia beraqidah dan bermanhaj ahlus sunnah. Lebih lagi ini hanya perkara mubah bukan bid’ah atau maksiat!!
Lebih lagi dalam hal ini ada beberapa kemungkinan yang syar’i, misalnya ustadz tersebut berusaha tidak tampil beda dengan masyarakat selama tidak melanggar syariat. Sebagaimana di jelaskan An Nawawi dalam Syarh Riyadushalihin, juga Syaikh Ibnu Shalih Al Utsaimin dan Syaikh Bark Abu Zaid. Berdalil dengan dalil-dalil larangan memakai libas syuhroh yang menunjukkan keharaman. Sedangkan dalil-dalil tentang Rasulullah Shallallah’alaihi Wasallam menyukai pakaian tertentu hanya merupakan perbuatan Nabi atau bahkan min bab sunnah jibillah. Maka larangan didahulukan.
Atau sebab-sebab lain yang bisa memalingkan kita dari su’uzhan terhadap sesama ahlussunnah.
Sedangkan pembahasan mengenai demokrasi tentu kurang pas jika dianalogikan terhadap hal ini. Demorasi bathil karena beberapa poin, tidak hanya karena tasyabbuh. Namun dhawabit tasyabbuh memang terdapat beberapa perbedaan pendapat.
Dalam hal pantalon ini nampaknya Lajnah Daimah memegangi pendapat bhw dhawabit tasyabbuh adalah Al Urf. Sebagaimana Ibnu Hajar Al Asqolani ketika ditanya tentang Thayalisah. Dan ana sendiri memandang ini lebih pas untuk masalah pantalon ini. Sebagaimana baju koko, yang mungkin antum juga pakai, yang berasal dari China dan telah masuk dalam ‘urf kaum muslimin di Indonesia bahkan menjadi ciri khas kaum muslimin di Indonesia. Atau antum mengatakan baju koko juga mutasyabbih bil kuffar?
Wabillahit Taufiq.
Ana menyebutkan angka tersebut hanya sebagai gambaran, bahwa disana ada sebuah pengajian yang sebagian pesertanya, bahkan terkadang sebagian besarnya memakai pantalon. Jujur saja, bagaimanakah bentuk pantalon yang banyak beredar di masyarakat kita? Apakah pantalon yang lebar, luas dan lapang, ataukah yang pas-pasan, atau bahkan terkadang ketat? Bagi ana, pantalon yang lebar, luas dan lapang, itulah yang seharusnya kita pakai. Dan ana pun berusaha untuk membuat sendiri celana yang lebar dengan memesan ke penjahit.
Lantas, apakah pantas bagi seorang penuntut ilmu yang sunniy salafy membiasakan diri dalam kesehariannya memakai pantalon? Tidak menampakkan syiar-syiar Islam dengan memakai pakaian yang syar’i yang ma’ruf dikalangan para ulama dan penuntut ilmu. Ana yakin, bahwa tidak ada seorang ulama pun yang suka pakai pantalon. Dan ana lihat, ustadz-ustadz juga pakai gamis, jubah atau sarung ketika mereka mengajar atau ketika sholat.
Untuk al akh Aswad, antum bisa mereview lagi apa yang dibawakan oleh al akh Abdullah sebagai berikut:
{Adapun bila celana pantalon tersebut luas, maka sah sholat dengannya. Namun akan lebih utama bila di atasnya ada gamis yang menutup antara pusar hingga lutut atau lebih rendah hingga pertengahan betis atau mata kaki. Yang demikian lebih sempurna dalam menutup aurat [4]. (Al Fatawa 1/69 oleh Syaikh bin Baz). }
Dan ana pun sependapat dengan hal ini. Ana tidak bermaksud mentahdzir, apalagi mentabdi. Ana pun pernah menasehati satu dua orang agar tidak membiasakan diri sholat pakai pantalon. Baarokallaahu fiikum
agar tidak terjadi debat kusir, alangkah bagusnya jika muslim.or.id atau ikhwan yang mempunyai kemampuan menelaah agar mengkaji pantolun, sirwal dan sebagainya.
Namun satu catatan penting yang kami perlu sampaikan:
Bahwa memakai gamis ataukah pantolun bukanlah standar seseorang ahlus sunnah atau salafi ataukah bukan. Mohon memperhatikan hal ini.
klo baju, kaos dll yg ada gambar MIRIP salib boleh dipake gak ya?misal ada bendera Inggrisnya.
assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatu….
teriring puji syukur kehadirat ilaihi robby…dan salawat serta salam bagi baginda rasullah..
mau nanya ni…
bila seorang lelaki memakai baju/kemeja yang kainnya itu mengkilat atau bercampur warna keemasan yang kalau diliat dri sorotan lampu tau matahari mengkilat… itu apakah boleh di pakai atau tidak? wajib atau kah sunnah hukumnya.. krna dlarng laki-laki memakai sutrs dan berwarna keemasan.. trimkash.. mohon dikirim jawabannya melalui email sy… dan tolong dengan alasan yg logis secara harafiah
@ Irawan:
Wa’alaikumus salam wa rahmatullah wa barakatuh.
Yg dilarang adalah memakai emas bukan memakai warna keemasan.
Assalamualaikum Wa’rahmatullahi Wa’barakatuh
assalamualaikum wbr wbt