Bencana letusan Gunung Merapi baru saja menimpa sebagian bumi Yogyakarta. Luncuran awan panas telah menelan korban tewas dan luka-luka. Penduduk mengungsi demi menyelamatkan diri. Sementara itu, keadaan rumah, perabot dan ternak mereka sudah tidak jelas lagi.
Tentu saja musibah semacam ini menuntut kepedulian kaum muslimin untuk mendoakan kebaikan bagi saudara mereka yang tertimpa musibah dan berupaya untuk meringankan musibah yang dialami. Di sisi lain, ada sesuatu yang tidak kalah pentingnya bagi kita semua yaitu memetik pelajaran dari musibah yang telah melanda.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh mengagumkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya semua urusannya adalah baik. Dan hal itu tidak akan diperoleh kecuali oleh seorang mukmin. Apabila dia mendapatkan kesenangan, maka dia bersyukur. Maka hal itu merupakan kebaikan baginya. Dan apabila dia tertimpa kesusahan maka dia bersabar. Maka itu juga merupakan kebaikan baginya.” (HR. Muslim). al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Allah memiliki hak untuk diibadahi oleh hamba di saat tertimpa musibah, sebagaimana –Allah juga harus diibadahi- ketika dia mendapatkan kenikmatan.” (Fath al-Bari [11/344]).
Ibnu ‘Atha’ rahimahullah berkata, “Sabar adalah menyikapi musibah dengan adab/cara yang baik.” (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim [3/7]). Abu Ali ad-Daqqaq rahimahullah berkata, “Hakekat sabar adalah tidak memprotes sesuatu yang sudah ditetapkan dalam takdir. Adapun menampakkan musibah yang menimpa selama bukan untuk berkeluh-kesah -kepada makhluk- maka hal itu tidak meniadakan kesabaran.” (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim [3/7]). Sabar adalah menahan diri dari marah kepada Allah, menahan lisan agar tidak mengeluh dan murka kepada takdir, serta menahan anggota badan agar tidak melakukan perkara-perkara yang dilarang seperti menampar-nampar pipi, merobek-robek pakaian, dsb (lihat Hasyiyah Kitab at-Tauhid).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seseorang mendapatkan pemberian yang lebih baik dan lebih lapang daripada kesabaran.” (HR. Bukhari dan Muslim). Sesungguhnya dengan adanya musibah, maka seorang hamba akan mendapatkan pengampunan dari Allah ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah ada suatu musibah yang menimpa seorang muslim melainkan Allah akan menghapuskan dosa dengannya sampai pun duri yang menusuk badannya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Sesungguhnya pahala yang besar itu bersama dengan cobaan yang besar pula. Dan apabila Allah mencintai suatu kaum maka Allah akan menimpakan musibah kepada mereka. Barangsiapa yang ridha maka Allah akan ridha kepadanya. Dan barangsiapa yang murka maka murka pula yang akan didapatkannya.” (HR. Tirmidzi, dihasankan al-Albani dalam as-Shahihah [146]).
Namun, yang menjadi keprihatinan kita sekarang ini adalah tatkala musibah dunia ini juga dibumbui dengan musibah agama. Bukankah, kepercayaan mengenai adanya roh/jin penunggu Gunung Merapi yang menentukan keselamatan dan bahaya masih saja bercokol di tengah-tengah umat ini? Sehingga berbagai macam sesaji dan persembahan pun diberikan kepada Sang Penunggu Gunung Merapi agar ancaman bencana menjadi sirna. Namun, kenyataan telah membuktikan bahwa Gunung Merapi ini –dan alam semesta ini seluruhnya- memang hanya berada di bawah kekuasaan Allah Yang Maha Tinggi!
Sementara Allah tidak tidak ridha, bahkan murka sekali apabila diri-Nya dipersekutukan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya, dan masih akan mengampuni dosa lain yang berada di bawah tingkatannya bagi siapa saja yang Dia kehendaki.” (QS. an-Nisaa’: 48). Apabila kita merasa sedih dengan nyawa dan harta yang pergi, tentunya kita lebih merasa sedih tatkala aqidah dan keimanan yang suci ini ternodai kemusyrikan yang akan menyeret pelakunya ke dalam siksa neraka yang abadi. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh Allah haramkan atasnya surga dan tempat kembalinya adalah neraka, dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim itu seorang penolong sama sekali.” (QS. al-Ma’idah: 72).
Semoga Allah ta’ala melimpahkan kesabaran kepada saudara-saudara kita yang sertimpa musibah, menambahkan keteguhan iman kepada mereka agar tidak goyah dan bersandar kepada selain-Nya, dan semoga Allah mencurahkan pahala dan ampunan atas musibah yang menimpa mereka. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
Semoga Allah Ta’ala menerima amal ibadah mereka yg tewas, mengampuni dosa2 mereka semasa hidup baik yg disengaja maupun yg tidak disengaja. Amin.
“Cukuplah kematian sebagai peringatan.”
Assalamu`alaikum
Saya mewakili orangtua saya ingin menanyakan sebagian ustadz ada yang mengatakan bahwa sebagian bencana alam seperti gempa bumi adalah akibat perbuatan syirik dan maksiat hamba-Nya,tapi dalam pikiran orangtua bagaimana mungkin bisa padahal saat ini sudah banyak tuh yang sudah dipetakan dan diprediksi tentang bencana alam oleh para ahli misalnya di Pulau Jawa atau negara Jepang sudah diprediksi tempat ini dilewati lava yang sewaktu-waktu bisa gempa tektonik tuh jadi artinya bukan akibat maksiat tapi sekedar gejala alam jadi sangat dungu para ustadz tersebut sekian dari orangtua. Mohon penjelasan ustadz tentang hal ini.
@ Fahrul
Wa’alaikumus salam. Prediksi hanyalah prediksi, tdk selamanya terjadi. Yg telah terjadilah yg mnunjukkan akibat buruk tngkah laku manusia spt syirik dan maksiat.
Apakah mendoakan secara umum seperti yang dilakukan akhi tommi ( diatas ) dibenarkan ?
Karena tidaklah semua korban tersebut orang muslim , banyak diantara mereka yang kafir ( baik dari kalangan ahlu kitab maupun musyrikin ) selama hidupnya di dunia.
Sukron , atas tanggapannya
@ Anang
Doakan dg niatan pd yg muslim. Jadi tergantung pd niatan.
@akhi anang,
Syukron, terima kasih atas koreksinya. Mengenai doa yg saya ucapkan itu umum bagi kaum muslimin yg tewas pada bencana merapi (sesuai dengan judul dan isi artikel). Adapun mengenai kondisi bagaimana agama mereka, wallohu a’lam.
Barokallohu fiik.