Donasi Muslim.or.id
Muslim.or.id
khutbah jumat
  • Aqidah
  • Manhaj
  • Landasan Agama
  • Penyejuk Hati
  • Fikih
  • Sejarah
  • Khotbah Jum’at
  • Kalkulator Waris
  • E-Book
No Result
View All Result
  • Aqidah
  • Manhaj
  • Landasan Agama
  • Penyejuk Hati
  • Fikih
  • Sejarah
  • Khotbah Jum’at
  • Kalkulator Waris
  • E-Book
No Result
View All Result
Muslim.or.id
No Result
View All Result
Donasi Muslim.or.id Donasi Muslim.or.id

Hukum Mencela Waktu (Masa)

dr. M Saifudin Hakim, M.Sc., Ph.D. oleh dr. M Saifudin Hakim, M.Sc., Ph.D.
23 Juli 2019
Waktu Baca: 5 menit
4
576
SHARES
3.2k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Hukum mencela atau mencaci maki waktu (masa)

Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: يُؤْذِينِي ابْنُ آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ، بِيَدِي الأَمْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ

“Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Anak Adam telah menyakiti-Ku (karena) dia suka mencela waktu (masa). Padahal Aku-lah pencipta (pengatur) masa. Aku-lah yang menggilir antara siang dan malam”.” (HR. Bukhari no. 4826 dan Muslim no. 2246)

Majelis ilmu di bulan ramadan

Baca Juga: Mencela Penyakit Demam

3 Rincian hukum mencela masa

Pertama

Jika maksud atau niatnya semata-mata mengabarkan, tidak dimaksudkan untuk mencela. Hal ini diperbolehkan, karena setiap amal itu tergantung pada niatnya. Misalnya perkataan seseorang, “Cuaca hari ini sangat panas sehingga membuat kita sangat lelah.” Atau, “Hari ini suhunya sangat dingin.”

Semisal dengan jenis pertama ini adalah ucapan Nabi Luth ‘alaihis salaam,

هَذَا يَوْمٌ عَصِيبٌ

“Ini adalah hari yang amat sulit.” (QS. Huud [11]: 77)

Kedua

Mencela masa karena adanya keyakinan bahwa dia-lah yang menjadi pelaku kebaikan dan keburukan di dunia ini. Seperti keyakinan bahwa masa-lah yang membolak-balik perkara antara kebaikan dan keburukan.

Perbuatan ini termasuk dalam kemusyrikan syirik akbar, karena berarti bahwa orang tersebut meyakini adanya sang Pencipta selain Allah Ta’ala. Siapa saja yang meyakini adanya pencipta yang lain di samping Allah Ta’ala, maka dia telah kafir.

Baca Juga: Mencela dan Mencaci Orang Tua

Ketiga

Mencela masa bukan karena meyakini bahwa masa-lah pelaku atau penciptanya. Dia meyakini bahwa yang mentakdirkan adalah Allah Ta’ala (bukan karena poin ke dua). Akan tetapi, dia mencela masa karena masa itulah yang berkaitan langsung dengan kejadian, peristiwa, atau keburukan yang dia alami.

Perbuatan semacam ini diharamkan, meskipun tidak sampai kepada derajat kemusyrikan. Hal ini karena pada hakikatnya, celaan tersebut kembali kepada Allah Ta’ala yang telah menetapkan dan mentakdirkannya. Karena Allah-lah yang mengatur masa, mempergilirkan antara siang dan malam, dan mengisinya dengan kebaikan dan keburukan (menurut makhluk) sesuai dengan apa yang Allah Ta’ala kehendaki. Sehingga perbuatan ini tidak termasuk dalam kekafiran karena dia tidaklah mencela Allah Ta’ala secara langsung. (Al-Qaulul Mufiid, 2: 240)

Juga terdapat hadits yang tegas melarang perbuatan mencela masa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا تَسُبُّوا الدَّهْرَ، فَإِنَّ اللهَ هُوَ الدَّهْرُ

“Janganlah mencela masa, karena sesungguhnya Allah Ta’ala adalah (pengatur) masa.” (HR. Muslim no. 2246)

Sebagaimana kaidah dalam ilmu ushul bahwa larangan menunjukkan haramnya perbuatan yang dilarang tersebut.

Baca Juga: Saudaraku, Sampai Kapan Kita saling Mencela dan Mengolok-olok?

Pelajaran lain dari hadits di atas

Dua pelajaran (faidah) lain dari hadits pertama di atas adalah:

Pertama, makhluk itu mungkin menyakiti Allah Ta’ala. Akan tetapi, makhluk tidak mungkin menimbulkan bahaya (dharar) kepada Allah Ta’ala. Dalam hadits di atas, Allah Ta’ala mengabarkan bahwa Dia tersakiti dengan perbuatan sebagian makhluk-Nya yang suka mencela masa. Hal ini juga sebagaimana firman Allah Ta’ala,

إِنَّ الَّذِينَ يُؤْذُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَأَعَدَّ لَهُمْ عَذَاباً مُهِيناً

“Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah akan melaknatnya di dunia dan di akhirat, dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan.” (QS. Al-Ahzab [33]: 57)

Adapun dalil bahwa makhluk tidak mungkin (mustahil) menimbulkan bahaya (mudharat) kepada Allah Ta’ala adalah firman Allah Ta’ala,

إِنَّهُمْ لَنْ يَضُرُّوا اللَّهَ شَيْئاً

“Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak dapat memberi mudharat kepada Allah sedikit pun.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 176)

Juga dalam hadits qudsi, Allah Ta’ala berfirman,

يَا عِبَادِي إِنَّكُمْ لَنْ تَبْلُغُوا ضَرِّي فَتَضُرُّونِي

“Wahai hamba-Ku, kamu sekalian tidak akan mampu menimpakan mara bahaya sedikit pun kepada-Ku, sehingga Engkau bisa membahayakan-Ku.” (HR. Muslim no. 2557)

Baca Juga: Larangan Mencela Hujan dan Angin

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,

لا يلزم من الأذية الضرر; فالإنسان يتأذى بسماع القبيح أو مشاهدته، ولكنه لا يتضرر بذلك، ويتأذى بالرائحة الكريهة كالبصل والثوم ولا يتضرر بذلك

“Menyakiti (mengganggu) belum tentu menimbulkan bahaya (dharar). Manusia terganggu dengan suara yang jelek atau menyaksikan sesuatu, namun dia tidak tertimpa bahaya karenanya. Manusia juga terganggu dengan bau yang tidak enak seperti bawang merah atau bawang putih, namun tidak tertimpa bahaya karenanya.” (Al-Qaulul Mufiid, 2: 241)

Oleh karena itu, kita menetapkan dan meyakini bahwa Allah Ta’ala bisa saja tersakiti (terganggu). Hal ini karena Allah Ta’ala sendiri yang telah mengabarkannya. Dan Allah Ta’ala adalah Dzat yang paling mengetahui tentang diri-Nya sendiri. Akan tetapi, kita wajib meyakini bahwa tersakitinya Allah Ta’ala itu tidak sama dengan makhluk-Nya, namun sesuai dengan keagungan dan kebesaran Allah Ta’ala. Sehingga tidak berarti bahwa “menyakiti” tersebut berarti makhluk mampu menimpakan keburukan kepada Allah Ta’ala. Maha suci Allah Ta’ala dari anggapan-anggapan semacam itu.

Allah Ta’ala berfirman,

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Tidak ada satu pun yang semisal dengan Allah, dan Dia Maha mendengar dan Maha melihat.” (QS. Asy-Syuura [42]: 11)

Ke dua, ad-dahr (waktu atau masa) bukanlah nama Allah Ta’ala. Karena nama Allah Ta’ala itu pasti mengandung pujian berupa sifat-sifat mulia dan sempurna yang terkandung di dalamnya. Adapun ad-dahr itu bersifat netral, tidak mengandung pujian ataupun celaan.

Baca Juga: Syi’ah Mencela Ummul Mukminin, ‘Aisyah

Adapun firman Allah Ta’ala,

وَأَنَا الدَّهْرُ

“Aku adalah masa”, dijelaskan dalam lanjutan kaliamt berikutnya, yaitu:

أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ

“Aku-lah yang menggilir antara siang dan malam.”

Sehingga kalimat, “Aku adalah masa”; maksudnya adalah “Aku adalah pencipta atu pengatur masa”. Dan tidak menunjukkan bahwa ad-dahr adalah di antara nama-nama Allah Ta’ala.

Baca Juga:

  • Taat kepada Penguasa karena Pamrih Duniawi
  • Haruskah Berdakwah dengan Lemah Lembut di Zaman Ini?

[Selesai]

***

@Rumah Lendah, 11 Syawwal 1440/15 Juni 2019

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.Or.Id

Tags: Akhlakakhlak ahlussunnahakhlak islamakhlak muslimdosadosa lisanhukum mencela masahukum mencela waktulisanmasamencelamencela masamencela waktumenjaga lisanmulianya waktuwaktu
SEMARAK RAMADHAN YPIA
dr. M Saifudin Hakim, M.Sc., Ph.D.

dr. M Saifudin Hakim, M.Sc., Ph.D.

Alumni Ma'had Al-'Ilmi Yogyakarta (2003-2005). Pendidikan Dokter FK UGM (2003-2009). S2 (MSc) dan S3 (PhD) Erasmus University Medical Center Rotterdam dalam bidang Virologi dan Imunologi (2011-2013 dan 2014-2018).

Artikel Terkait

Pertemuan dan perpisahan

Bertemu untuk Berpisah

oleh Arif Muhammad Nurwijaya, S.Pd
24 Maret 2023
0

Mereka yang bertemu di dunia, namun tidak berjumpa di akhirat

Tidak Bersemangat Menyambut Ramadan

Tidak Bersemangat Menyambut Ramadan

oleh Ari Wahyudi, S.Si.
23 Maret 2023
0

Ramadhan tinggal hitungan hari. Meskipun demikian tidak sedikit kita jumpai orang-orang yang notabene mengaku muslim

Puasa tapi tetap maksiat

Puasa, tetapi Tetap Bermaksiat

oleh Muhammad Idris, Lc.
22 Maret 2023
0

“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183).

Artikel Selanjutnya
Macam-Macam Ibadah Syirik (Bag.11): Istighatsah yang Dibolehkan

Macam-Macam Ibadah Syirik (Bag.11): Istighatsah yang Dibolehkan

Komentar 4

  1. Novi says:
    2 tahun yang lalu

    Izin share ustadz

    Balas
  2. Angga says:
    2 tahun yang lalu

    Itu termasuk takwil bukan ustadz?

    Balas
  3. Agung says:
    2 tahun yang lalu

    Kalau misalnya ; ikan² saya pada mati, mungkin karena musim hujan. Apakah itu termasuk mencela masa ust?

    Balas
    • Yulian Purnama, S.Kom. says:
      2 tahun yang lalu

      Tidak termasuk

      Balas

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

donasi muslim.or.id donasi muslim.or.id donasi muslim.or.id
Muslim.or.id

Kantor Sekretariat Yayasan Pendidikan Islam Al-Atsari (YPIA).

Pogung Rejo RT 14 RW 51 no. 412
Sinduadi, Mlati, Sleman, D.I Yogyakarta, Indonesia, 55284.

Media Partner

YPIA | Muslimah.or.id | Radio Muslim | FKIM

Buletin At Tauhid | MUBK | Mahad Ilmi | FKKA

Kampus Tahfidz | Wisma Muslim | SDIT Yaa Bunayya

Wisma Muslimah | Rumah Tahfidz Ashabul Kahfi

Ikuti Kami

  • Tentang Kami
  • Donasi
  • Pasang Iklan
  • Kontak

© 2023 Muslim.or.id - Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

No Result
View All Result
  • Aqidah
  • Manhaj
  • Landasan Agama
  • Penyejuk Hati
  • Fikih
  • Sejarah
  • Khotbah Jum’at
  • Kalkulator Waris
  • E-Book

© 2023 Muslim.or.id - Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Donasi Muslim.or.id