Bolehkah Menambah Raka’at Shalat Tarawih Lebih dari 11 Raka’at?
Mayoritas ulama terdahulu dan ulama belakangan, mengatakan bahwa boleh menambah raka’at dari yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan, “Sesungguhnya shalat malam tidak memiliki batasan jumlah raka’at tertentu. Shalat malam adalah shalat nafilah (yang dianjurkan), termasuk amalan dan perbuatan baik. Siapa saja boleh mengerjakan sedikit raka’at. Siapa yang mau juga boleh mengerjakan banyak.”[1]
Yang membenarkan pendapat ini adalah dalil-dalil berikut.
Pertama, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai shalat malam, beliau menjawab,
صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى ، فَإِذَا خَشِىَ أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً ، تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى
“Shalat malam itu dua raka’at-dua raka’at. Jika salah seorang di antara kalian takut masuk waktu shubuh, maka kerjakanlah satu raka’at. Dengan itu berarti kalian menutup shalat tadi dengan witir.”[2] Padahal ini dalam konteks pertanyaan. Seandainya shalat malam itu ada batasannya, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskannya.
Kedua, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَأَعِنِّى عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ
“Bantulah aku (untuk mewujudkan cita-citamu) dengan memperbanyak sujud (shalat).”[3]
Ketiga, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَإِنَّكَ لاَ تَسْجُدُ لِلَّهِ سَجْدَةً إِلاَّ رَفَعَكَ اللَّهُ بِهَا دَرَجَةً وَحَطَّ عَنْكَ بِهَا خَطِيئَةً
“Sesungguhnya engkau tidaklah melakukan sekali sujud kepada Allah melainkan Allah akan meninggikan satu derajat bagimu dan menghapus satu kesalahanmu.”[4] Dalil-dalil ini dengan sangat jelas menunjukkan bahwa kita dibolehkan memperbanyak sujud (artinya: memperbanyak raka’at shalat) dan sama sekali tidak diberi batasan.
Keempat, pilihan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memilih shalat tarawih dengan 11 atau 13 raka’at ini bukanlah pengkhususan dari tiga dalil di atas.
Alasan pertama, perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengkhususkan ucapan beliau sendiri, sebagaimana kaedah yang diterapkan dalam ilmu ushul.
Alasan kedua, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah melarang menambah lebih dari 11 raka’at. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Shalat malam di bulan Ramadhan tidaklah dibatasi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan bilangan tertentu. Yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah beliau tidak menambah di bulan Ramadhan atau bulan lainnya lebih dari 13 raka’at, akan tetapi shalat tersebut dilakukan dengan raka’at yang panjang. … Barangsiapa yang mengira bahwa shalat malam di bulan Ramadhan memiliki bilangan raka’at tertentu yang ditetapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak boleh ditambahi atau dikurangi dari jumlah raka’at yang beliau lakukan, sungguh dia telah keliru.”[5]
Alasan ketiga, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan para sahabat untuk melaksanakan shalat malam dengan 11 raka’at. Seandainya hal ini diperintahkan tentu saja beliau akan memerintahkan sahabat untuk melaksanakan shalat 11 raka’at, namun tidak ada satu orang pun yang mengatakan demikian. Oleh karena itu, tidaklah tepat mengkhususkan dalil yang bersifat umum yang telah disebutkan di atas. Dalam ushul telah diketahui bahwa dalil yang bersifat umum tidaklah dikhususkan dengan dalil yang bersifat khusus kecuali jika ada dalil yang bertentangan.
Kelima, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukan shalat malam dengan bacaan yang panjang dalam setiap raka’at. Di zaman setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang-orang begitu berat jika melakukan satu raka’at begitu lama. Akhirnya, ‘Umar memiliki inisiatif agar shalat tarawih dikerjakan dua puluh raka’at agar bisa lebih lama menghidupkan malam Ramadhan, namun dengan bacaan yang ringan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tatkala ‘Umar mengumpulkan manusia dan Ubay bin Ka’ab sebagai imam, dia melakukan shalat sebanyak 20 raka’at kemudian melaksanakan witir sebanyak tiga raka’at. Namun ketika itu bacaan setiap raka’at lebih ringan dengan diganti raka’at yang ditambah. Karena melakukan semacam ini lebih ringan bagi makmum daripada melakukan satu raka’at dengan bacaan yang begitu panjang.”[6]
Keenam, manakah yang lebih utama melakukan shalat malam 11 raka’at dalam waktu 1 jam ataukah shalat malam 23 raka’at yang dilakukan dalam waktu dua jam atau tiga jam?
Yang satu mendekati perbuatan Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam dari segi jumlah raka’at. Namun yang satu mendekati ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari segi lamanya. Manakah di antara kedua cara ini yang lebih baik?
Jawabannya, tentu yang kedua yaitu yang shalatnya lebih lama dengan raka’at yang lebih banyak. Alasannya, karena pujian Allah terhadap orang yang waktu malamnya digunakan untuk shalat malam dan sedikit tidurnya. Allah Ta’ala berfirman,
كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ
“Di dunia mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam.” (QS. Adz Dzariyat: 17)
وَمِنَ اللَّيْلِ فَاسْجُدْ لَهُ وَسَبِّحْهُ لَيْلًا طَوِيلًا
“Dan pada sebagian dari malam, maka sujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya pada bagian yang panjang dimalam hari.” (QS. Al Insan: 26)
Oleh karena itu, para ulama ada yang melakukan shalat malam hanya dengan 11 raka’at namun dengan raka’at yang panjang. Ada pula yang melakukannya dengan 20 raka’at atau 36 raka’at. Ada pula yang kurang atau lebih dari itu. Mereka di sini bukan bermaksud menyelisihi ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun yang mereka inginkan adalah mengikuti maksud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu dengan mengerjakan shalat malam dengan thulul qunut (berdiri yang lama).
Sampai-sampai sebagian ulama memiliki perkataan yang bagus, “Barangsiapa yang ingin memperlama berdiri dan membaca surat dalam shalat malam, maka ia boleh mengerjakannya dengan raka’at yang sedikit. Namun jika ia ingin tidak terlalu berdiri dan membaca surat, hendaklah ia menambah raka’atnya.”
Mengapa ulama ini bisa mengatakan demikian? Karena yang jadi patokan adalah lama berdiri di hadapan Allah ketika shalat malam.[7]
Berbagai Pendapat Mengenai Jumlah Raka’at Shalat Tarawih
Jadi, shalat tarawih 11 atau 13 raka’at yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah pembatasan. Sehingga para ulama dalam pembatasan jumlah raka’at shalat tarawih ada beberapa pendapat.
Pendapat pertama, yang membatasi hanya sebelas raka’at. Alasannya karena inilah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah pendapat Syaikh Al Albani dalam kitab beliau Shalatut Tarawaih.
Pendapat kedua, shalat tarawih adalah 20 raka’at (belum termasuk witir). Inilah pendapat mayoritas ulama semacam Ats Tsauri, Al Mubarok, Asy Syafi’i, Ash-haabur Ro’yi, juga diriwayatkan dari ‘Umar, ‘Ali dan sahabat lainnya. Bahkan pendapat ini adalah kesepakatan (ijma’) para sahabat.
Al Kasaani mengatakan, “’Umar mengumpulkan para sahabat untuk melaksanakan qiyam Ramadhan lalu diimami oleh Ubay bin Ka’ab radhiyallahu Ta’ala ‘anhu. Lalu shalat tersebut dilaksanakan 20 raka’at. Tidak ada seorang pun yang mengingkarinya sehingga pendapat ini menjadi ijma’ atau kesepakatan para sahabat.”
Ad Dasuuqiy dan lainnya mengatakan, “Shalat tarawih dengan 20 raka’at inilah yang menjadi amalan para sahabat dan tabi’in.”
Ibnu ‘Abidin mengatakan, “Shalat tarawih dengan 20 raka’at inilah yang dilakukan di timur dan barat.”
‘Ali As Sanhuriy mengatakan, “Jumlah 20 raka’at inilah yang menjadi amalan manusia dan terus menerus dilakukan hingga sekarang ini di berbagai negeri.”
Al Hanabilah mengatakan, “Shalat tarawih 20 raka’at inilah yang dilakukan dan dihadiri banyak sahabat. Sehingga hal ini menjadi ijma’ atau kesepakatan sahabat. Dalil yang menunjukkan hal ini amatlah banyak.”[8]
Pendapat ketiga, shalat tarawih adalah 39 raka’at dan sudah termasuk witir. Inilah pendapat Imam Malik. Beliau memiliki dalil dari riwayat Daud bin Qois, dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan riwayatnya shahih.
Pendapat keempat, shalat tarawih adalah 40 raka’at dan belum termasuk witir. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh ‘Abdurrahman bin Al Aswad shalat malam sebanyak 40 raka’at dan beliau witir 7 raka’at. Bahkan Imam Ahmad bin Hambal melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan dengan jumlah raka’at yang tak terhitung sebagaimana dikatakan oleh ‘Abdullah, anaknya[9].[10]
Kesimpulan dari pendapat-pendapat yang ada sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Semua jumlah raka’at di atas boleh dilakukan. Melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan dengan berbagai macam cara tadi itu sangat bagus. Dan memang lebih utama adalah melaksanakan shalat malam sesuai dengan kondisi para jama’ah. Kalau jama’ah kemungkinan senang dengan raka’at-raka’at yang panjang, maka lebih bagus melakukan shalat malam dengan 10 raka’at ditambah dengan witir 3 raka’at, sebagaimana hal ini dipraktekkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri di bulan Ramdhan dan bulan lainnya. Dalam kondisi seperti itu, demikianlah yang terbaik.
Namun apabila para jama’ah tidak mampu melaksanakan raka’at-raka’at yang panjang, maka melaksanakan shalat malam dengan 20 raka’at itulah yang lebih utama. Seperti inilah yang banyak dipraktekkan oleh banyak ulama. Shalat malam dengan 20 raka’at adalah jalan pertengahan antara jumlah raka’at shalat malam yang sepuluh dan yang empat puluh. Kalaupun seseorang melaksanakan shalat malam dengan 40 raka’at atau lebih, itu juga diperbolehkan dan tidak dikatakan makruh sedikitpun. Bahkan para ulama juga telah menegaskan dibolehkannya hal ini semisal Imam Ahmad dan ulama lainnya.
Oleh karena itu, barangsiapa yang menyangka bahwa shalat malam di bulan Ramadhan memiliki batasan bilangan tertentu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga tidak boleh lebih atau kurang dari 11 raka’at, maka sungguh dia telah keliru.”[11]
Dari penjelasan di atas kami katakan, hendaknya setiap muslim bersikap arif dan bijak dalam menyikapi permasalahan ini. Sungguh tidak tepatlah kelakuan sebagian saudara kami yang berpisah dari jama’ah shalat tarawih setelah melaksanakan shalat 8 atau 10 raka’at karena mungkin dia tidak mau mengikuti imam yang melaksanakan shalat 23 raka’at atau dia sendiri ingin melaksanakan shalat 23 raka’at di rumah.
Yang Paling Bagus adalah Yang Panjang Bacaannya
Setelah penjelasan di atas, tidak ada masalah untuk mengerjakan shalat 11 atau 23 raka’at. Namun yang terbaik adalah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun berdirinya agak lama. Dan boleh juga melakukan shalat tarawih dengan 23 raka’at dengan berdiri yang lebih ringan sebagaimana banyak dipilih oleh mayoritas ulama.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ الصَّلاَةِ طُولُ الْقُنُوتِ
“Sebaik-baik shalat adalah yang lama berdirinya.”[12]
Dari Abu Hurairah, beliau berkata,
عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ نَهَى أَنْ يُصَلِّىَ الرَّجُلُ مُخْتَصِرًا
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang shalat mukhtashiron.”[13] Ibnu Hajar –rahimahullah- membawakan hadits di atas dalam kitab beliau Bulughul Marom, Bab “Dorongan agar khusu’ dalam shalat.” Sebagian ulama menafsirkan ikhtishor (mukhtashiron) dalam hadits di atas adalah shalat yang ringkas (terburu-buru), tidak ada thuma’ninah ketika membaca surat, ruku’ dan sujud.[14]
Oleh karena itu, tidak tepat jika shalat 23 raka’at dilakukan dengan kebut-kebutan, bacaan Al Fatihah pun kadang dibaca dengan satu nafas. Bahkan kadang pula shalat 23 raka’at yang dilakukan lebih cepat selesai dari yang 11 raka’at. Ini sungguh suatu kekeliruan. Seharusnya shalat tarawih dilakukan dengan penuh thuma’ninah, bukan dengan kebut-kebutan. Karena ingatlah bahwa thuma’ninah (bersikap tenang) adalah bagian dari rukun shalat.
-Bersambung insya Allah-
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
[1] At Tamhid, 21/70.
[2] HR. Bukhari no. 990 dan Muslim no. 749, dari Ibnu ‘Umar.
[3] HR. Muslim no. 489
[4] HR. Muslim no. 488
[5] Majmu’ Al Fatawa, 22/272.
[6] Majmu’ Al Fatawa, 22/272
[7] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/414-416 dan At Tarsyid, hal. 146-149.
[8] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 2/9636
[9] Lihat Kasyaful Qona’ ‘an Matnil Iqna’, 3/267
[10] Lihat perselisihan pendapat ini di Shahih Fiqh Sunnah, 1/418-419.
[11] Majmu’ Al Fatawa, 22/272
[12] HR. Muslim no. 756
[13] HR. Bukhari no. 1220 dan Muslim no. 545.
[14] Lihat Syarh Bulughul Marom, Syaikh ‘Athiyah Muhammad Salim, 49/3.
assalamualaikum ustad.terima kasih atas artikelnya.ana mau tanya,klo hanya mengerjakan yang 11 roka’at bagaimana ustad?jazakumullah khoiron.
@ Rahmat
Wa’alaikumus salam. 11 roka’at itu bagus jika memang thuma’ninah begitu pula 23 raka’at.
assalamu’alaikum. ustadz, saya mo tanya apakah boleh kita sholat malam lagi/tahajjud di waktu sepertiga malam, tapi sebelumnya saya sudah sholat tarawih dan witir di masjid? bagaimana pula dengan hukumnya sholat tarawih dulu berjama’ah tapi belum sholat witir kemudian pada malam harinya sholat tahajuud lagi dan witir? tolong jawabannya ustadz, karena sangat membutuhkan jawaban ini…terima kasih
@ Remon
Wa’alaikumussalam.
1. Sebenarnya mencukupkan dg shalat tarawih sj sudah boleh.
2. Jika ingin tambah shalat malam lagi, silakan. Asalkan jangan ditutupkan lagi dg witir karena tdk boleh ada dua witir dalam satu malam.
Assalamu`alaikum
Di masjid dekat rumah ana tinggal pelaksanaan shalat tarawih dilaksanakan 4 rakaat 1 salam,4 rakaat 1 salam,dan witir 3 rakaat 1 salam(semuanya tanpa tasyahud awal dan semuanya pula Al-Fatihah dan bacaan Qur’an lainnya dikeraskan oleh imam shalat tarawih dan witir). Pertanyaannya apakah ana harus mengikuti imam shalat atau shalat di rumah(maaf, bacaan Qur’an ana masih kurang bagus)? Mohon penjelasan Ustadz di muslim.or.id
@ Fahrul
Wa’alaikumus salam.
Bermakmum di belakang imam semacam itu tetap sah. Silakan lihat pembahasan di sini: https://muslim.or.id/ramadhan/shalat-tarawih-3-aturan-shalat-tarawih.html. Lalu baca comment kami terhadap pertanyaan yang sama.
Assalamu`alaikum
Ustadz Abu Rumaysho,apabilah sah bagaimana pelaksanaan shalat tarawih 4 rakaat 1 salam itu denagan tasyahud awal atau tidak,serta apakah semua rakaat bacaan Al Fatihah dan surah Al Qur’an lainnya juga dikeraskan imam untuk semua rakaat dalam 4 rakaat 1 salam maksud saya adalah rakaat pertama,kedua,ketiga,dan keempat bacaan Al-Fatihah dan Qur`an lainnya dikeraskan oleh imam? Mohon penjelasan Pak Ustadz Abu Rumaysho.Jazakallah Khairan Katsiran.
@Fahrul
Wa’alaikumus salam.
1. Jika dilaksakan empat raka’at sekaligus, cukup sekali salam pada rakaat terakhir tanpa tasyahud awwal.
2. Semua bacaan Al Fatihah dan surat lain di setiap rakaat dijaherkan.
Assalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh…
Afwan Ustadz… berikut ini ada tambahan info tentang hadits yg 11 dan 20 rakaat(tanpa witir)… semoga bermanfaat sebagai tambahan pertimbangan….
…………
Oleh
Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaaly
Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid
……
[2]. Jumlah Raka’atnya
Manusia berbeda pendapat tentang batasan raka’atnya, pendapat yang mencocoki petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah delapan raka’at tanpa witir berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha.
“Artinya : Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah shalat malam di bulan Ramadhan atau selainnya lebih dari sebelas raka’at” [Dikeluarkan oleh Bukhari 3/16 dan Muslim 736 Al-Hafidz berkata (Fath 4/54)]
Yang telah mencocoki Aisyah adalah Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, beliau menyebutkan, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghidupkan malam Ramadhan bersama manusia delapan raka’at kemudian witir[3]
Ketika Umar bin Al-Khaththab menghidupkan sunnah ini beliau mengumpulkan manusia dengan sebelas raka’at sesuai dengan sunnah shahihah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Malik 1/115 dengan sanad yang shahih dari jalan Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid, ia berkata : “Umar bin Al-Khaththab menyuruh Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad-Daari untuk mengimami manusia dengan sebelas raka’at”. Ia berkata : “Ketika itu imam membaca dua ratus ayat hingga kami bersandar/bertelekan pada tongkat karena lamanya berdiri, kami tidak pulang kecuali ketika furu’ fajar” [4]
Riwayat beliau ini diselisihi oleh Yazid bin Khashifah, beliau berkata : “Dua puluh raka’at”
Riwayat Yazid ini syadz (ganjil/menyelisihi yang lebih shahih), karena Muhammad bin Yusuf lebih tsiqah dari Yazid bin Khashifah. Riwayat Yazid tidak bisa dikatakan ziyadah tsiqah kalau kasusnya seperti ini, karena ziyadah tsiqah itu tidak ada perselisihan, tapi hanya sekedar tambahan ilmu saja dari riwayat tsiqah yang pertama sebagaimana (yang disebutkan) dalam Fathul Mughit (1/199), Muhashinul Istilah hal. 185, Al-Kifayah hal 424-425. Kalaulah sendainya riwayat Yazid tersebut shahih, itu adalah perbuatan, sedangkan riwayat Muhammad bin Yusuf adalah perkataan, dan perkataan lebih diutamakan dari perbuatan sebagaimana telah ditetapkan dalam ilmu ushul fiqh.
Abdur Razaq meriwayatkan dalam Al-Mushannaf 7730 dari Daud bin Qais dan lainnya dari Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid : “Bahwa Umar mengumpulkan manusia di bulan Ramadhan, dengan dua puluh satu raka’at, membaca dua ratus ayat, selesai ketika awal fajar”
Riwayat ini menyelisihi yang diriwayatkan oleh Malik dari Muhamad bin Yusuf dari Saib bin Yazid, dhahir sanad Abdur Razaq shahih seluruh rawinya tsiqah.
Sebagian orang-orang yang berhujjah dengan riwayat ini, mereka menyangka riwayat Muhammad bin Yusuf mudhtharib, hingga selamatlah pendapat mereka dua puluh raka’at yang terdapat dalam hadits Yazid bin Khashifah.
Sedangkan mereka ini tertolak, karena hadits mudhtarib adalah hadits yang diriwayatkan dari seorang rawi satu kali atau lebih, atau diriwayatkan oleh dua orang atau lebih dengan lafadz yang berbeda-beda, mirip dan sama, tapi tidak ada yang bisa menguatkan (mana yang lebih kuat). [Tadribur Rawi 1/262]
Namun syarat seperti ini tidak terdapat dalam hadits Muhammad bin Yusuf karena riwayat Malik lebih kuat dari riwayat Abdur Razaq dari segi hapalan.
Kami ketengahkan hal ini kalau kita anggap sanad Abdur Razaq selamat dari illat (cacat), akan tetapi kenyatannya tidak demikian (karena hadits tersebut mempunyai cacat, pent) kita jelaskan sebagai berikut.
[1]. Yang meriwayatkan Mushannaf dari Abdur Razaq lebih dari seorang, diantaranya adalah Ishaq bin Ibrahim bin Ubbad Ad-Dabari
[2]. Hadits ini dari riwayat Ad-Dabari dari Abdur Razaq, dia pula yang meriwayatkan Kitabus Shaum [Al-Mushannaf 4/153]
[3]. Ad-Dabari mendengar dari Abdur Razaq karangan-karangannya ketika berumur tujuh tahun [Mizanul I’tidal 1/181]
[4]. Ad-Dabari bukan perawi hadits yang dianggap shahih haditsnya, juga bukan seorang yang membidangi ilmu ini [Mizanul I’tidal 1/181]
[5] Oleh karena itu dia banyak keliru dalam meriwayatkan dari Abdur Razaq, dia banyak meriwayatkan dari Abdur Razaq hadits-hadits yang mungkar, sebagian ahlul ilmi telah mengumpulkan kesalahan-kesalahan Ad-Dabari dan tashif-tashifnya dalam Mushannaf Abdur Razaq, dalam Mushannaf [Mizanul I’tidal 1/181]
Dari keterangan di atas maka jelaslah bahwa riwayat ini mungkar, Ad-Dabari dalam meriwayatkan hadits diselisihi oleh orang yang lebih tsiqah darinya, yang menentramkan hadits ini kalau kita nyatakan kalau hadits inipun termasuk tashifnya Ad-Dabari, dia mentashifkan dari sebelas raka’at (menggantinya menjadi dua puluh satu rakaat), dan engkau telah mengetahui bahwa dia banyak berbuat tashif [Lihat Tahdzibut Tahdzib 6310 dan Mizanul I’tidal 1/181]
Oleh karena itu riwayat ini mungkar dan mushahaf (hasil tashif), sehingga tidak bisa dijadikan hujjah, dan menjadi tetaplah sunnah yang shahih yang diriwayatkan di dalam Al-Muwatha’ 1/115 dengan sanad Shahih dari Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid. Perhatikanlah.[5]
[Disalin dari Kitab Sifat Shaum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, edisi Indonesia Sipat Puasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid, terbitan Pustaka Al-Haura, penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata]
Wassalamu’alaikum ….
Ya aba Zahra..
jazakallahu khoira..
ana penasaran tentang kebiasaan shalat tarawih di masjidil haram, setahu ana di sana melazimkan 23 rakaat termasuk witir,
padahal ulama di sana sangat banyak.
Ma ra’yuka fi hadzihil musykilah??
assalamualaikum ….
ya ukhti wa akhi…
disini saya dewi, mau meminta ijin kepada pengurus website muslimah.or.id dan juga muslim.or.id untuk mengcopy artikel anda untuk dibagikan kepada saudara2 muslim atau muslimah yang tergabung dalam grup facebook..
disini tujuan saya hanya semata untuk menebarkan pesan yang bisa menjadi pencerah ataupun nasehat untuk mereka…
semoga pesan saya agar bisa disetujui oleh redaksi website islam ini….
sukron kashiron…
wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh…
assalamualaikum wr.wb
salam kenal untuk moderator, nama saya bukhari. saya cmn mo tanya ttg sholat taraweh ama sholat tahajjud di bulan ramadhan.
bebrapa hari yang lalu, saya ikut sebuah kajian islam, disana dijelaskan si ustadz klo sholat taraweh dan tahajjud sebernya sama2 sholat malam(qiyamullail), artinya klo kita udh sholat taraweh, kemudian menutup sholat malam dengan witir seperti kebiasan abis sholat taraweh, maka kita tidak perlu untuk sholat tahajjud saat bangun sahur nanti.
tapi bbrp hari yang lalu juga saya dapet kajian sblm sholat taraweh, si ustadz yang laen berpesan: “sholatlah tahajjud kalian semua nanti malam, waktu kalian bangun sahur, manfaatkan sebaik mungkin momen ramadhan dengan memperbanyak ibadah, karena nilai pahala yang dijanjikan oleh Allah di bulan yang penuh berkah ini berlipat ganda”
nah dari kedua ustadz tersebut, mana pendapat yang benar? dan hadits untuk qiyammul lail seperti apa aja?
wallahu’alam…
wassalamualaikum wrbwb.
@ Boo
Wa’alaikumus salam.
Pendapat yg tepat shalat malam, shalat tahajud, atau shalat tarawih (ini tiga istilah yg sama) tidak ada batasan raka’at. Jadi boleh sj seseorang menambah lagi di tengah malam setelah di awal malam ia melakukan shalat tarawih. Seperti itu tdk masalah. Renungkan pula artikel berikut: http://rumaysho.com/hukum-islam/shalat/2683-setelah-shalat-witir-bolehkah-shalat-sunnah-lagi.html
assalamu’alaikum
sy mau izin share artikelnya ustadz…..
uustadz bagaimana jika melaksanakan tarawih 11 rokat tidak 4rokaat salam,4 rokaat, 3witir tetapi tiap 2 rokaat salam sebanyak 4 kali lalu 3 witir mohon dalilnya apakah boleh
#dprabawa
Demikian yang lebih afdhal. Silakan simak:
https://muslim.or.id/ramadhan/shalat-tarawih-3-aturan-shalat-tarawih.html
Ustadz bagaimana jika Shalat tarawih sebanyak 11 rakaat dengan perincian sebagai berikut:
1. Melakukan shalat 8 rakaat dengan sekali salam setiap 2 rakaat.
2. Kemudian shalat witir langsung 3 rakaat dengan sekali salam.mohon penjelasannya
ALLAO Hanya memilih yg terbaik amal ibadada seorang hamba ..bukan yg ter banyak atau yg sedikit..dinilai dari ke khusuan dan ke ihlasan hambaNYA..DAN IHLAS DI seartakan pada hamba 2 yang di rahasiakan TUHAN ..
Asalamu’anlakum….saya ingin tau bagaimana hukumnya kalau qita tidak mengerjakan salat teraweh secara lengkap 23 rakat.. tapi cuma setegah nya saja.! Apa dibolehka,?
#Mar
Wa’alaikumussalam, boleh saja namun jika ikut sampai selesai akan mendapatkan pahala shalat semalam suntuk.
Assalamu “alaikum..ustadz t4 sy ada imam sholat tarawih 4 rakat tetapi memakaitasyahud awal dan akhir/seperti sholat isya,,dan sebaiknya membaca qunut sblm rukuk atau seblm sujud,dan apakah sama bacaan qunut witir pd bln ramadhan dgn qunut subuh diluar ramadahan,,Jazakallahu katsiran
#Abu Zahra’ (Putussibau)
Wa’alaikumussalam.
– Shalat tarawih dengan tasyahud akhir adalah perkara yang diada-adakan.
– Qunut witir pada asalnya sebelum rukuk, namun setelah pertengahan ramadhan, setelah rukuk. Demikianlah yang diamalkan para salaf.
– Yang benar, qunut shubuh adalah bid’ah.
Alhamdulillah…tidak ada yang menuduh bid’ah meskipun setelah sholat tarawih pasti ada kultum yang memang tidak pernah dikerjakan Nabi, bagi saudara kita yang mudah menuduh saudaranya bid’ah semoga Allah mengampuni mereka. Jangan memperolok suatu kaum boleh jadi kaum tersebut lebih baik dari pada kita.
#mas didik
Mengenai kultum tarawih, silakan simak:
http://kangaswad.wordpress.com/2009/08/19/tinjauan-kritis-tentang-ceramah-tarawih
Kalau setiap orang yang menasehati itu dikatakan merasa lebih benar atau lebih baik maka tidak akan ada lagi budaya saling menasehati
afwan ustaz, kalau qunut subuh itu bid’ah, apakah imam syafi’i telah melakukan bid’ah? (semoga Allah mengampuni ana) karena ustaz udah tahu bahwa qunut dalam mazhab syafi’i termasuk sunnah ab’ad. syukron
#abu faiz
Imam Asy Syafi’i itu tidak ma’shum, ia manusia yang bisa saja salah sebagaimana kita. Adapun mengenai qunut subuh silakan simak:
https://muslim.or.id/manhaj/tidak-semua-pendapat-dalam-khilafiyah-ditoleransi.html
saya hanya memahami hadits nabi, SHALLI KAMA RAAITUMU USHALLI, SHALATLAH KAMU SEBAGAIMANA MELIHAT AKU SHALAT, tidak ada hadits lain yg lebih shahih dari hadits ini, dan tidak ada tambahan hadits SEBAGAIMANA KAMU MELIHAT UMAR,ALI,USMAN DLL….kalau dengan cerdas kita membaca berbagai riwayat pada Masa Nabi masih hidup shalat tarawih atau qiyamullaill di kerjakan NABI SAW adalah 11 rakaat, TIDAK PERNAH 23 RAKAAT, apa kah kita pengikut nabi, maka ikutlah nAbi. maka di jamin masuk surga. perlu diketahui Nabi itu mengerjakan qiyamullail/tarawih di mesjid hanya 3 malam berturut turut saja setelah itu di rumah, karena beliau takut nantinya tharawih menjadi wajib.dan satu lagi perlu di ingat kutipan hadits di buku imam safii BAHWA SEGALA SESUATU IBADAH YG TIDAK ADA AMALAN NYA DARI NABI ITU TERTOLAK.
#ahmad zaki
Kalau begitu anda juga harus memahami bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
من قام مع الإمام حتى ينصرف كتب الله له قيام ليلة
“Orang yang shalat tarawih mengikuti imam sampai selesai, ditulis baginya pahala shalat semalam suntuk” (HR. At Tirmidzi, no. 734, Ibnu Majah, no. 1317, Ahmad, no. 20450)
Assalamu a’laikum Wr.Wb.
Tuk Ikhwan dan Akhwat, biar tidak Pusing Mikir Sebaiknya Bertanyalah Kalian pada guru kalian yang telah diyakini Keilmuannya oleh Kalian. Itulah mungkin Fadilahnya kita harus mempunyai guru jika ingin Selamat dunia dan akhirat. Amien…