Baca pembahasan sebelumnya: Mengenal Seluk Beluk BID’AH (1): Pengertian Bid’ah
[Bagian Kedua dari 4 Tulisan]
Setiap bid’ah adalah tercela. Inilah yang masih diragukan oleh sebagian orang. Ada yang mengatakan bahwa tidak semua bid’ah itu sesat, ada pula bid’ah yang baik (bid’ah hasanah). Untuk menjawab sedikit kerancuan ini, marilah kita menyimak berbagai dalil yang menjelaskan hal ini.
[Dalil dari As Sunnah]
Diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah matanya memerah, suaranya begitu keras, dan kelihatan begitu marah, seolah-olah beliau adalah seorang panglima yang meneriaki pasukan ‘Hati-hati dengan serangan musuh di waktu pagi dan waktu sore’. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jarak antara pengutusanku dan hari kiamat adalah bagaikan dua jari ini. [Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berisyarat dengan jari tengah dan jari telunjuknya]. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim no. 867)
Dalam riwayat An Nasa’i dikatakan,
وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ
“Setiap kesesatan tempatnya di neraka.” (HR. An Nasa’i no. 1578. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani di Shohih wa Dho’if Sunan An Nasa’i)
Diriwayatkan dari Al ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Kami shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari. Kemudian beliau mendatangi kami lalu memberi nasehat yang begitu menyentuh, yang membuat air mata ini bercucuran, dan membuat hati ini bergemetar (takut).” Lalu ada yang mengatakan,
يَا رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا
“Wahai Rasulullah, sepertinya ini adalah nasehat perpisahan. Lalu apa yang engkau akan wasiatkan pada kami?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap mendengar dan ta’at walaupun yang memimpin kalian adalah budak Habsyi. Karena barangsiapa yang hidup di antara kalian setelahku, maka dia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, kalian wajib berpegang pada sunnahku dan sunnah Khulafa’ur Rosyidin yang mendapatkan petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Hati-hatilah dengan perkara yang diada-adakan karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Daud no. 4607 dan Tirmidzi no. 2676. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abu Daud dan Shohih wa Dho’if Sunan Tirmidzi)
[Dalil dari Perkataan Sahabat]
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,
مَا أَتَى عَلَى النَّاسِ عَامٌ إِلا أَحْدَثُوا فِيهِ بِدْعَةً، وَأَمَاتُوا فِيهِ سُنَّةً، حَتَّى تَحْيَى الْبِدَعُ، وَتَمُوتَ السُّنَنُ
“Setiap tahun ada saja orang yang membuat bid’ah dan mematikan sunnah, sehingga yang hidup adalah bid’ah dan sunnah pun mati.” (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 10610. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya tsiqoh/terpercaya)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
اتَّبِعُوا، وَلا تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيتُمْ، كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ
“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen), janganlah membuat bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat.” (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 8770. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya adalah perawi yang dipakai dalam kitab shohih)
Itulah berbagai dalil yang menyatakan bahwa setiap bid’ah itu sesat.
KERANCUAN: BID’AH ADA YANG TERPUJI ?
Inilah kerancuan yang sering didengung-dengungkan oleh sebagian orang bahwa tidak semua bid’ah itu sesat namun ada sebagian yang terpuji yaitu bid’ah hasanah.
Memang kami akui bahwa sebagian ulama ada yang mendefinisikan bid’ah (secara istilah) dengan mengatakan bahwa bid’ah itu ada yang tercela dan ada yang terpuji karena bid’ah menurut beliau-beliau adalah segala sesuatu yang tidak ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebagaimana hal ini dikatakan oleh Imam Asy Syafi’i dari Harmalah bin Yahya. Beliau rahimahullah berkata,
الْبِدْعَة بِدْعَتَانِ : مَحْمُودَة وَمَذْمُومَة
“Bid’ah itu ada dua macam yaitu bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela.” (Lihat Hilyatul Awliya’, 9/113, Darul Kitab Al ‘Arobiy Beirut-Asy Syamilah dan lihat Fathul Bari, 20/330, Asy Syamilah)
Beliau rahimahullah berdalil dengan perkataan Umar bin Al Khothob tatkala mengumpulkan orang-orang untuk melaksanakan shalat Tarawih. Umar berkata,
نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ
“Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” (HR. Bukhari no. 2010)
Pembagian bid’ah semacam ini membuat sebagian orang rancu dan salah paham. Akhirnya sebagian orang mengatakan bahwa bid’ah itu ada yang baik (bid’ah hasanah) dan ada yang tercela (bid’ah sayyi’ah). Sehingga untuk sebagian perkara bid’ah seperti merayakan maulid Nabi atau shalat nisfu Sya’ban yang tidak ada dalilnya atau pendalilannya kurang tepat, mereka membela bid’ah mereka ini dengan mengatakan ‘Ini kan bid’ah yang baik (bid’ah hasanah)’. Padahal kalau kita melihat kembali dalil-dalil yang telah disebutkan di atas baik dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun perkataan sahabat, semua riwayat yang ada menunjukkan bahwa bid’ah itu tercela dan sesat. Oleh karena itu, perlu sekali pembaca sekalian mengetahui sedikit kerancuan ini dan jawabannya agar dapat mengetahui hakikat bid’ah yang sebenarnya.
SANGGAHAN TERHADAP KERANCUAN:
KETAHUILAH SEMUA BID’AH ITU SESAT
Perlu diketahui bersama bahwa sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘sesungguhnya sejelek-jeleknya perkara adalah perkara yang diada-adakan (dalam agama, pen)’, ‘setiap bid’ah adalah sesat’, dan ‘setiap kesesatan adalah di neraka’ serta peringatan beliau terhadap perkara yang diada-adakan dalam agama, semua ini adalah dalil tegas dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka tidak boleh seorang pun menolak kandungan makna berbagai hadits yang mencela setiap bid’ah. Barangsiapa menentang kandungan makna hadits tersebut maka dia adalah orang yang hina. (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/88, Ta’liq Dr. Nashir Abdul Karim Al ‘Aql)
Tidak boleh bagi seorang pun menolak sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersifat umum yang menyatakan bahwa setiap bid’ah adalah sesat, lalu mengatakan ‘tidak semua bid’ah itu sesat’. (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/93)
Perlu pembaca sekalian pahami bahwa lafazh ‘kullu’ (artinya: semua) pada hadits,
وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Setiap bid’ah adalah sesat”, dan hadits semacamnya dalam bahasa Arab dikenal dengan lafazh umum.
Asy Syatibhi mengatakan, “Para ulama memaknai hadits di atas sesuai dengan keumumannya, tidak boleh dibuat pengecualian sama sekali. Oleh karena itu, tidak ada dalam hadits tersebut yang menunjukkan ada bid’ah yang baik.” (Dinukil dari Ilmu Ushul Bida’, hal. 91, Darul Ar Royah)
Inilah pula yang dipahami oleh para sahabat generasi terbaik umat ini. Mereka menganggap bahwa setiap bid’ah itu sesat walaupun sebagian orang menganggapnya baik. Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً
“Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.” (Lihat Al Ibanah Al Kubro li Ibni Baththoh, 1/219, Asy Syamilah)
Juga terdapat kisah yang telah masyhur dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ketika beliau melewati suatu masjid yang di dalamnya terdapat orang-orang yang sedang duduk membentuk lingkaran. Mereka bertakbir, bertahlil, bertasbih dengan cara yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Ibnu Mas’ud mengingkari mereka dengan mengatakan,
فَعُدُّوا سَيِّئَاتِكُمْ فَأَنَا ضَامِنٌ أَنْ لاَ يَضِيعَ مِنْ حَسَنَاتِكُمْ شَىْءٌ ، وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَسْرَعَ هَلَكَتَكُمْ ، هَؤُلاَءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ -صلى الله عليه وسلم- مُتَوَافِرُونَ وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ ، وَالَّذِى نَفْسِى فِى يَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِىَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ ، أَوْ مُفْتَتِحِى بَابِ ضَلاَلَةٍ
“Hitunglah dosa-dosa kalian. Aku adalah penjamin bahwa sedikit pun dari amalan kebaikan kalian tidak akan hilang. Celakalah kalian, wahai umat Muhammad! Begitu cepat kebinasaan kalian! Mereka sahabat nabi kalian masih ada. Pakaian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga belum rusak. Bejananya pun belum pecah. Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, apakah kalian berada dalam agama yang lebih baik dari agamanya Muhammad? Ataukah kalian ingin membuka pintu kesesatan (bid’ah)?”
قَالُوا : وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ. قَالَ : وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ
Mereka menjawab, “Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.”
Ibnu Mas’ud berkata, “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya.” (HR. Ad Darimi. Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayid)
Lihatlah kedua sahabat ini -yaitu Ibnu Umar dan Ibnu Mas’ud- memaknai bid’ah dengan keumumannya tanpa membedakan adanya bid’ah yang baik (hasanah) dan bid’ah yang jelek (sayyi’ah).
BERALASAN DENGAN SHALAT TARAWIH YANG DILAKUKAN OLEH UMAR
[Sanggahan pertama]
Adapun shalat tarawih (yang dihidupkan kembali oleh Umar) maka dia bukanlah bid’ah secara syar’i. Bahkan shalat tarawih adalah sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dilihat dari perkataan dan perbuatan beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat tarawih secara berjama’ah pada awal Ramadhan selama dua atau tiga malam. Beliau juga pernah shalat secara berjama’ah pada sepuluh hari terakhir selama beberapa kali. Jadi shalat tarawih bukanlah bid’ah secara syar’i. Sehingga yang dimaksudkan bid’ah dari perkataan Umar bahwa ‘sebaik-baik bid’ah adalah ini’ yaitu bid’ah secara bahasa dan bukan bid’ah secara syar’i. Bid’ah secara bahasa itu lebih umum (termasuk kebaikan dan kejelekan) karena mencakup segala yang ada contoh sebelumnya.
Perlu diperhatikan, apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan dianjurkan atau diwajibkannya suatu perbuatan setelah beliau wafat, atau menunjukkannya secara mutlak, namun hal ini tidak dilakukan kecuali setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat (maksudnya dilakukan oleh orang sesudah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen), maka boleh kita menyebut hal-hal semacam ini sebagai bid’ah secara bahasa. Begitu pula agama Islam ini disebut dengan muhdats/bid’ah (sesuatu yang baru yang diada-adakan) –sebagaimana perkataan utusan Quraisy kepada raja An Najasiy mengenai orang-orang Muhajirin-. Namun yang dimaksudkan dengan muhdats/bid’ah di sini adalah muhdats secara bahasa karena setiap agama yang dibawa oleh para Rasul adalah agama baru. (Disarikan dari Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/93-96)
[Sanggahan Kedua]
Baiklah kalau kita mau menerima perkataan Umar bahwa ada bid’ah yang baik. Maka kami sanggah bahwa perkataan sahabat jika menyelisihi hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bisa menjadi hujah (pembela). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa setiap bid’ah adalah sesat sedangkan Umar menyatakan bahwa ada bid’ah yang baik. Sikap yang tepat adalah kita tidak boleh mempertentangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan perkataan sahabat. Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mencela bid’ah secara umum tetap harus didahulukan dari perkataan yang lainnya. (Faedah dari Iqtidho’ Shirotil Mustaqim)
[Sanggahan Ketiga]
Anggap saja kita katakan bahwa perbuatan Umar adalah pengkhususan dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersifat umum yang menyatakan bahwa setiap bid’ah itu sesat. Jadi perbuatan Umar dengan mengerjakan shalat tarawih terus menerus adalah bid’ah yang baik (hasanah). Namun, ingat bahwa untuk menyatakan bahwa suatu amalan adalah bid’ah hasanah harus ada dalil lagi baik dari Al Qur’an, As Sunnah atau ijma’ kaum muslimin. Karena ingatlah –berdasarkan kaedah ushul fiqih- bahwa sesuatu yang tidak termasuk dalam pengkhususan dalil tetap kembali pada dalil yang bersifat umum.
Misalnya mengenai acara selamatan kematian. Jika kita ingin memasukkan amalan ini dalam bid’ah hasanah maka harus ada dalil dari Al Qur’an, As Sunnah atau ijma’. Kalau tidak ada dalil yang menunjukkan benarnya amalan ini, maka dikembalikan ke keumuman dalil bahwa setiap perkara yang diada-adakan dalam masalah agama (baca : setiap bid’ah) adalah sesat dan tertolak.
Namun yang lebih tepat, lafazh umum yang dimaksudkan dalam hadits ‘setiap bid’ah adalah sesat’ adalah termasuk lafazh umum yang tetap dalam keumumannya (‘aam baqiya ‘ala umumiyatihi) dan tidak memerlukan takhsis (pengkhususan). Inilah yang tepat berdasarkan berbagai hadits dan pemahaman sahabat mengenai bid’ah.
Lalu pantaskah kita orang-orang saat ini memakai istilah sebagaimana yang dipakai oleh sahabat Umar?
Ingatlah bahwa umat Islam saat ini tidaklah seperti umat Islam di zaman Umar radhiyallahu ‘anhu. Umat Islam saat ini tidak seperti umat Islam di generasi awal dahulu yang memahami maksud perkataan Umar. Maka tidak sepantasnya kita saat ini menggunakan istilah bid’ah (tanpa memahamkan apa bid’ah yang dimaksudkan) sehingga menimbulkan kerancuan di tengah-tengah umat. Jika memang kita mau menggunakan istilah bid’ah namun yang dimaksudkan adalah definisi secara bahasa, maka selayaknya kita menyebutkan maksud dari perkataan tersebut.
Misalnya HP ini termasuk bid’ah secara bahasa. Tidaklah boleh kita hanya menyebut bahwa HP ini termasuk bid’ah karena hal ini bisa menimbulkan kerancuan di tengah-tengah umat.
Kesimpulan: Berdasarkan berbagai dalil dari As Sunnah maupun perkataan sahabat, setiap bid’ah itu sesat. Tidak ada bid’ah yang baik (hasanah). Tidak tepat pula membagi bid’ah menjadi lima: wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram karena pembagian semacam ini dapat menimbulkan kerancuan di tengah-tengah umat.
HUKUM BID’AH DALAM ISLAM
Hukum semua bid’ah adalah terlarang. Namun, hukum tersebut bertingkat-tingkat.
Tingkatan Pertama: Bid’ah yang menyebabkan kekafiran sebagaimana bid’ah orang-orang Jahiliyah yang telah diperingatkan oleh Al Qur’an. Contohnya adalah pada ayat,
وَجَعَلُوا لِلَّهِ مِمَّا ذَرَأَ مِنَ الْحَرْثِ وَالْأَنْعَامِ نَصِيبًا فَقَالُوا هَذَا لِلَّهِ بِزَعْمِهِمْ وَهَذَا لِشُرَكَائِنَا
“Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka: “Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami”.” (QS. Al An’am [6]: 136)
Tingkatan Kedua : Bid’ah yang termasuk maksiat yang tidak menyebabkan kafir atau dipersilisihkan kekafirannya. Seperti bid’ah yang dilakukan oleh orang-orang Khowarij, Qodariyah (penolak takdir) dan Murji’ah (yang tidak memasukkan amal dalam definisi iman secara istilah).
Tingkatan Ketiga: Bid’ah yang termasuk maksiat seperti bid’ah hidup membujang (kerahiban) dan berpuasa diterik matahari.
Tingkatan Keempat: Bid’ah yang makruh seperti berkumpulnya manusia di masjid-masjid untuk berdo’a pada sore hari saat hari Arofah.
Jadi setiap bid’ah tidak berada dalam satu tingkatan. Ada bid’ah yang besar dan ada bid’ah yang kecil (ringan).
Namun bid’ah itu dikatakan bid’ah yang ringan jika memenuhi beberapa syarat sebagaimana disebutkan oleh Asy Syatibi, yaitu:
- Tidak dilakukan terus menerus.
- Orang yang berbuat bid’ah (mubtadi’) tidak mengajak pada bid’ahnya.
- Tidak dilakukan di tempat yang dilihat oleh orang banyak sehingga orang awam mengikutinya.
- Tidak menganggap remeh bid’ah yang dilakukan.
Apabila syarat di atas terpenuhi, maka bid’ah yang semula disangka ringan lama kelamaan akan menumpuk sedikit demi sedikit sehingga jadilah bid’ah yang besar. Sebagaimana maksiat juga demikian. (Pembahasan pada point ini disarikan dari Al Bida’ Al Hawliyah, Abdullah At Tuwaijiri, www.islamspirit.com)
Pembahasan berikut adalah jawaban dari beberapa alasan dalam membela bid’ah. Semoga kita selalu mendapatkan petunjuk Allah.
***
Disusun oleh: Muhammad Abduh Tuasikal, S.T.
Dimuroja’ah oleh: Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id
bagaimana dengan titik dan harokat dalam Al-Qur’an, apakah ini bisa dikatakan bid’ah ?, yang keberadaannya jauh lebih lama dari masa Rasulullah SAW hidup, atau bisa dikatakan pada masa Tabi’u Tabi’in.
ijin menjawab, namun jangan jadikan jawaban saya sebagai patokan. karena sejujurnya saya juga masih awam. namun setahu saya, ini bukan termasuk kedalam bid’ah syar’i. namun bid’ah yang secara bahasa saja. memang betul ini tidak ada dijaman rasul ketika masih hidup. namun penambahan titik dan harokat bukan (1.) sebagai bentuk ibadah/ritual/sebuah syariat. namun sebagai sarana ummat dapat membaca Al Qur’an lebih mudah. terlebih dapat diketahui bahwa ummat islam tidak hanya berasal dari arab saja yang lebih mudah memahami bahasa arab. sehingga dengan ditambahkannya harokat bukan dijadikan suatu bentuk ibadah/ritual/sebuah syariat ataupun ketentuan/asas ketika ingin menulis/membaca mushaf Al Quran(selama memang kita menguasai Al Quran secara hafalan, makna, serta pemahaman). sekali lagi, saya juga memohon bimbingannya atas pendapat saya. juga mengarahkan jika salah, atau kurang tepat. dan jangan jadikan pendapat saya sebagai patokan.
Kepada saudara nurul dan pembaca lainnya -semoga Allah selalu merahmati kalian- :
kami harap dpt membaca tlsn ttg bidah ini scr sempurna,jgn sepotong2.
Pemberian titik dan harokat dalam Al Qur’an, begitu pula penulisan hadits, pendirian pondok pesantren; semua ini memang tidak ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun ada maslahat di balik itu semua untuk menjaga agama ini. Misalnya pemberian titik dan harokat Al Qur’an. Kita tahu tidak semua kaum muslimin terutama non Arab bisa membaca Arab gundul atau memahami ilmu Nahwu dan shorof. Maka ada maslahat untuk mengharokatu Al Qur’an.
Kenapa hal ini tidak dilakukan di zaman Nabi? Alasannya adalah karena Nabi dan para sahabat dahulu telah memahami bahasa Arab sehingga tidak perlu bantuan harokat dan titik. Jadi faktor penorong ketika itu tidak ada. Sedangkan pada masa sesudah Nabi dan para sahabat, ada faktor pendorong untuk melakukan hal ini.
Bandingkan dengan amalan bid’ah saat ini. Semacam selamatan kematian. Adakah faktor pendorong di zaman Nabi untuk melakukan hal ini? Jawabannya : Ada. Lalu kenapa mereka tidak melakukannya? Karena memang tidak ada tuntunan dari Nabi ketika itu untuk melakukan hal ini.
Untuk lebih memperjelas hal ini, perhatikanlah penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tentang maslahat mursalah dalam tulisan ini pada bagian ke-3 : https://muslim.or.id/manhaj-salaf/mengenal-seluk-beluk-bidah-3.html
Catatan yang penting yang sekali lagi perlu diperhatikan :
Ingatlah bahwa bid’ah bukanlah hanya sesuatu yang tidak ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bisa saja suatu amalan itu tidak ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan baru dilakukan setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, dan ini tidak termasuk bid’ah karena memang ada perintah atau anjuran dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam atau ada maslahat untuk menjaga agama.
Demikian penjelasan kami, semoga dipahami.
Dr saudaramu,smoga engkau slalu mendapatkan taufik Allah
Abu Rumaysho [Muh Abduh T]
Saudaraku, kami menyinggung masalah bid’ah ini bukanlah maksud kami untuk memecah belah kaum muslimin sebagaimana disangka oleh sebagian orang jika kami menyinggung masalah ini. Yang hanya kami inginkan adalah bagaimana umat ini bisa bersatu di atas kebenaran dan di atas ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang benar.
Apakah kaum muslimin yang saat ini masih melakukan tahlilan dan maulidan dll yang dianggap bid’ah, sudah tidak benar ? belum tentu kan ? masalah bid’ah itu khilafiyah dari dulu yang tak habis-habis di bahas, mungkin pembahasan ihwan kali pembahasan yang kesejuta kali atau lebih, begitu seterusnya, mungkin sampe yaumil qiyamah.
kalau ihwan punya kapasitas undanglah para ulama (yang pro dan kontra mengenai masalah yang dianggap bid’ah) lakukan musyawarah besar untuk melahirkan kesepakatan (ijma ulama).
Ihwan, memang saya sering dengar bid’ah sayyiah dan hasanah tapi baru dengar ada bid’ah secara bahasa dan bid’ah secara syar’i, apa itu sumbernya dari hadis nabi ?
Mas Anggun, dalam Islam ada istilah dalam bahasa arab yang sudah menjadi bahasa syari’at, seperti: Shalat, wudhu, haid, nifas, puasa. Nah, kita ambil contoh 1 istilah, yaitu “Shalat”, dalam bahasa arab, “shalat” artinya adalah “do’a”, kemudian istilah “Shalat” diambil menjadi istilah syariat dalam Islam. Dalam Islam, arti istilah “Shalat” menjadi lebih spesifik lagi, yaitu: Suatu ibadah tertentu yang dimulai takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Jadi, sebelum ada Islam yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, istilah “Shalat” sudah dipakai oleh orang-orang arab.
Itu hanya satu istilah saja. Masih banyak istilah-istilah lainnya yang digunakan oleh orang-orang arab (istilah secara BAHASA) dan juga digunakan oleh Islam sebagai istilah SYARI’AT. Dan masing-masingnya memiliki makna dan konteks yang berbeda (diantaranya ada juga yang memiliki arti yang sama). Kalo kita belajar ilmu fiqh atau ushul fiqh, insya Allah nanti akan menemukan bertaburan istilah secara bahasa (lughotan) dan istilah secara syari’at (istilaahan).
Dan satu lagi, istilah bid’ah sudah didefinisikan artinya oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau pun sudah menegaskan sesatnya bid’ah, jadi tidak perlulah kita capek capek mengumpulkan ulama yang pro bid’ah dengan para ulama yang pro dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sangat sangat membenci bid’ah.
Kepada pembaca sekalian -yang semoga selalu mendapatkan taufik Allah-
Mengenai perkataan ‘masalah bid’ah itu khilafiyah dari dulu yang tak habis-habis di bahas’
Perkataan seperti ini perlu kami sanggah.
Tidak semua pendapat dari khilaf para ulam yang ada itu benar. Pasti ada yang benar dan ada yang keliru. Kami akui memang sebagian ulama membagi bid’ah secara istilah menjadi bid’ah hasanah dan sayyi’ah. Namun, apakah pembagian seperti ini benar jika kita kembalikan pada dalil.
Mengenai hal ini sudah kami singgung dalam pembahasan kami ini bahwa pembagian adanya bid’ah hasanah itu kurang tepat berdasarkan keumuman dalil bahwa SETIAP BID’AH ADALAH SESAT.
Dan ingatlah saudaraku, tidak selamanya kita boleh mengatakan : ini kan masih ada khilaf. Ingatlah saudaraku, bahwa yang menjadi dalil adalah Al Qu’ran dan Hadits. Jadi memang perbedaan pendapat itu pasti ada, namun di antara pendapat yang ada pasti cuma satu yang benar. Dan kembalikanlah perbedaan pendapat tersebut pada Al Qur’an dan As Sunnah sebagai firman Allah yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa’ : 59)
Perhatikanlah beberapa penjelasan ulama berikut yang mengatakan bahwa pendapat yang benar itu cuma satu dari berbagai perbedaan pendapat yang ada.
Ibnul Qoyyim mengatakan, “Saya mendengar Malik dan Al Laitsi mengatakan tentang perbedaan pendapat di kalangan sahabat : Ingatlah, perbedaan di sini bukanlah seperti perkataan kebanyakan orang bahwa perbedaan pendapat ada kelapangan. Ingatlah,dalam perbedaan pendapat tersebut pasti ada yang benar dan ada yang salah.”
Imam Malik juga mengatakan, “Kebenaran itu hanyalah satu. Jika ada dua pendapat yang berselisih, maka tidak semua pendapat itu benar. Tidak ada kebenaran yang benar kecuali hanya satu.” (Dinukil dari Shohih Fiqh Sunnah, 1/64)
Dan ingatlah bahwa setiap ijtihad ulama, jika benar akan mendapatkan dua pahala. Dan jika mereka keliru, maka kekeliruan mereka dimaafkan sekaligus mereka akan diberi ganjaran satu pahala. (Sebagaimana dalam hadits riwayat Bukhari Muslim)
Oleh karena itu -saudaraku yang kami sangat merindukan engkau bisa bersama kami di surga kelak- bahwa kami menjelaskan definisi bid’ah di sini untuk menjelaskan kekeliruan ulama yang mendefinisikannya kurang tepat. Pendapat mereka jika keliru akan dimaafkan, namun ingat kita tidak boleh mengikuti pendapat tersebut karena kita bukanlah seorang mujtahid.
Kemudian apakah pembagian bid’ah menurut bahasa dan istilah termasuk bid’ah?
Saudaraku -yang kami mencintaimu karena Allah-. Ingatlah akhi pembagian semacam ini sering dipakai oleh para ulama. Setiap mereka mendefinisikan sesuatu pasti mereka akan membawakan definisi secara bahasa dan istilah. Cobalah perhatikan contoh yang disampaikan oleh saudara kami Abdul Jabbar -semoga Allah senantiasa menjaga beliau-. Jadi, pembagian semacam ini bukanlah bid’ah, namun untuk memahamkan pembaca bahwa kadang definisi secara bahasa dan istilah berbeda, kadang semakin meluas atau menyempit.
Dari saudaramu seislam yang sangat menginginkan kita dapat bersama di surga nanti
Al Faqir Ilallah : Abu Rumaysho (Muh Abduh T)
Pembaca sekalian yang semoga selalu mendapatkan taufik Allah Ta’ala
Ada yang berkomentar seperti ini : “Sudahlah masalah yasinan dan acara keselamatan tidak perlu dibahas. Ini kan masalah khilafiyah. Ada ulama yang membolehkan dan ada yang melarang”.
Saudaraku yang semoga kita semua dapat merasakan haudh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di akhirat nanti
Suatu pertanyaan yang mesti kita munculkan kembali :
[1] Apakah betul bahwa masalah yasinan dan acara keselamatan ada khilaf di antara para ulama?
[2] Apakah para Imam Madzhab -Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, dan Imam Syafi’i menganjurkan acara semacam ini yaitu -selamatan kematian atau pun tahlilan-
[3] Apakah betul Imam Madzhab (seperti Imam Syafi’i -semoga Allah selalu merahmati dan memberi berbagai kenikmatan di kuburnya) memasukkan acara-acara ini dalam bid’ah hasanah?
Sudahkah kita bisa menjawab ketiga pertanyaan ini. Terutama kami menujukan pertanyaan ini kepada -saudaraku yang semoga selalu mendapat taufik Allah- yang masih melakukan (tradisi) yasinan atau acara keselamatan. Atau kami tujukan juga pertanyaan ini kepada para rujukan umat dalam masalah agama.
Sebagai sedikit bantuan dari kami.
[1] Ketahuilah bahwa pensyariatan ibadah sudah selesai di zaman sahabat. Jadi tidak boleh ada pensyariatan baru lagi sesudah itu. Jika memang acara selamatan kematian disyariatkan, manakah riwayat dari para sahabat yang menunjukkan hal ini? Atau kalau kita tidak dapatkan dari mereka, minimal Imam Madzhab lah. Manakah perkataan ulama madzhab misalnya Syafi’iyah yang menganjurkan selamatan kematian? Kalau tidak kita temui, berarti acara semacam ini dapat kita curigai bahwa ini termasuk perkara agama yang diada-adakan.Kalau memang acara semacam ini tidak dianjurkan oleh sahabat atau Imam Madzhab, apakah pantas ini dikatakan khilafiyah?
[2] Setahu kami, menurut Imam Syafi’i acara kumpul-kumpul setelah kematian di rumah si mayit malah akan menambah kesedihan sehingga perbuatan semacam ini tidak beliau sukai. Imam Syafi’i mengatakan dalam Al Umm,
“Aku tidak menyukai ma’tam yaitu berkumpul di rumah keluarga mayit setelah dimakamkan, meskipun di situ tidak ada tangisan karena hal itu malah akan menimbulkan kesedihan baru.”
Adapun mengirimkan pahala untuk mayit dengan mengirim bacaan Al Qur’an, maka menurut Imam Syafi’i pahala dari amalan ini tidak sampai kepada mayit. (lihat perkataan An Nawawi dalam Syarh Muslim). Alasan gampangnya karena tidak ada dalil yang menunjukkan amalan tersebut sampai pada mayit. Berbeda dengan do’a anak dari si mayit atau do’a muslim secara umum, maka ini ada dalil yang menunjukkan sampainya pahala amalan ini.
[3] Bagaimana mungkin Imam Syafi’i memasukkan acara yasinan atau selamatan kematian sebagai bid’ah hasanah padahal beliau melarang berkumpul-kumpul setelah kematian di tempat si mayit karena itu malah akan menambah kesedihan. Dan lebih tepat, acara semacam ini -dari pendapat beliau di atas- masuk pada bid’ah sayyi’ah (yang jelek dan tercela dan bukan bid’ah yang baik).
Renungkanlah saudaraku pertanyaan-pertanyaan ini. Semoga kita semua selalu mendapatkan taufik Allah. Semoga Allah mengumpulkan kita semua bersama para Nabi, para shidiqin, para syuhada’ dan orang-orang sholih. Amin Ya Mujibas Sa’ilin
Dari Saudaramu yang mencintaimu karena Allah
Semoga kecintaan ini bermanfaat pada hari yang tidak bermanfaat kecintaan kecuali atas dasar taqwa.
Sesungguhnya masalah ttg bid’ah ini mudah dicerna dgn akal sehat , kalau bid’ah (perkara baru) dlm agama adalah sesat dan menyesatkan. Kalau ada bilang mobil,listrik,dan motor ialah bid’ah dalam agama ,orang tsb gila. Karena agama telah mengatur bahwa perkara duniawi dihukumi mubah sebelum ada dalil yg megharamkannya,sedangkan ibadah ilah haram sebelum ada dalil yg memerintahnya. Bukankah mobil,listrik ,motor termasuk perkara duniawi di mana belum ada dalil mengharamkannya, sedangkan mencuri, merampok atau makan babi dihukumi haram walaupun perkara dunia krn ada dalil yg mengharamkannya. Itulah pemaparan saya jadi klo masih membela bid’ah dlm agama artinya orang itu tolol dan gila
Assalamu’alaikum saya ingin bertanya kpd redaksi muslim.or.id apakah produk2 yahudi termasuk haram utk dipakai sebagaimana dikemukakan oleh kelompok2 Islam dgn alasan telah membantu Yahudi dlm memerangi bangsa Palestina ? Bukankah ada kaidah tidak boleh tolong-menolong dlm dosa dan permusuhan? Dan apakah perkara ini termasuk dlm kaidah yg saya sebutkan? Mohon penjelasannya dari pihak redaksi, bisa memberikan jawabannya ke emal saya [email protected] saya tunggu jawabannya
Akhi, produk-produk buatan orang kafir akan tetapi bisa dimanfaatkan oleh kaum muslimin maka tidak apa-apa untuk digunakan, apalagi kalau produk tersbut tidak ada yang memproduksi kecuali orang kafir.
Jadi jika ada suatu produk yang dibutuhkan oleh kaum muslimin akan tetapi tidak ada yang memproduksinya kecuali Yahudi maka kita tidak apa-apa untuk menggunakannya, toh alasan membantu memerangi palestina itu juga belum PASTI, apa mereka yang mengklaim demikian sudah bisa memastikan setiap produk yahudi sebagiannya akan disumbangkan untk memerangi bangsa palestina? Jadi jgan sampai kita berlebihan menganggap produk2 mereka haram, kalau memang kita butuhkan maka kita tidak apa2 menggunakannya, sebagaimana Rasulullah juga bermuamalah dengan yahudi, beliau berinteraksi dengan mereka, berjual beli dll.
Akan tetapi kalau kita bisa memastikan kalau sebgian keuntungan akan digunakan untuk memerangi palestina, dan ada produk lain yang bisa kita dapatkan selain dari produk yahudi tersebut maka hendaknya kita menjauhi produk yahudi tersebut.
Bid’ah Hasanah dan sayyi’ah paendapat imam siapa?
terus kibarkan da’wah salafiyyah di indonesia…
Dahulu saya memiliki pemahaman yang sama seperti bapak, namun dengan berbagai proses pembelajaran dan pencarian kebenaran yang saya lalui, saya memiliki kesimpulan baru bahwa koridor bid’ah adalah pada masalah hukum, artinya kalau Allah dan rosulnya telah menyatakan bahwa sesuatu wajib, maka wajiblah jangan dirubah menjadi sunah begitu juga sebaliknya. Dan kalau disimpulkan bahwa koridor bid’ah adalah dalam masalah syariat dan ibadah, maka apasih yang kita lakukan dari bangun tidur sampai tidur lagi kalau bukan ibadah???!!!.
assalamu’alaikum
sebagai seorang yang awam,
saya berfikir simpel.
yang jelas,”…setiap bid’ah adalah SESAT” potongan terjemahan HR. Muslim no. 867.
ya kalau ada bid’ah dengan definisi yang sama dengan definisi bid’ah dalam hadits tersebut kok tidak sesat, itu bukan salah hadits bro…
tapi salah pemahaman kita aja…
salah otak kita, kita yang salah mikir…
kebanyakan mikir yang salah2 si…jadi salah mikir deh jadinya.
lagaknya kyk pernah blajar hadits aja, dah berani koment banyak2 ttg bid’ah dlm hadits…
…
so,
aplikasinya dikembalikan pada pemahaman yang bener2 benar ttg DEFINISI bid’ah dlm hadits tersebut!
…
so,
belajar ilmu hadits! sblm koment…
…
lagaknya yg nulis dah prnah bljr ilmu hadits…^_^
…
so,
selamat belajar Islam yang bener2 benar…
…
oya,ada tips ni…
berdoa aja terus (yang khusyu’ ya…)
ihdinash shirotol mustaqim…dihayati, dipahamai yg bener dan dimintakan lgsg kpd Allah tu hidayah jalan yg LURUS…Sirothol mustaqim…dalam solat.
…
smg sukses mencari jalan yg LURUS lgsg dpt hidayah dr Allah ‘Azza wa Jalla
aaamiin…
…
dr saudaramu yg ingin selalu bersegera meninggalkan maksiat menuju ampunan Robbnya yg luasya seluas langit dan bumi,
Anda sendiri ngaku orang awam lalu anda sendiri bukan ahli ilmu ataupun orang yang mengerti kok anda berani berkata seperti itu ?apalagi perkatan anda itu salah
Dahulu saya memiliki pemahaman yang sama seperti DONI, namun dengan berbagai proses pembelajaran dan pencarian kebenaran yang saya lalui, saya memiliki kesimpulan baru bahwa koridor bid’ah adalah pada masalah agama (syari’at), artinya kalau Allah dan rosulnya telah menetapkan tatacara ibadah baik waktu, tempat, jumlah dan kaifiatnya, baik yang mutlak maupun yang mukayyad, maka membuat cara baru yang Allah dan rosulnya tidak menetapkan, memberikan contoh, menyetujuinya, itulah BID’AH dan SETIAP BID’AH ADALAH SESAT.
Bagi yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, coba sebutkan satu contoh saja yang termasuk bid’ah sayyi’ah. Saya kira mereka tidak mampu menjawab karena batasan bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah masih samar-samar. Bid’ah ya bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat. Wallohu a’lam.
Saya sedikit bingung dengan masalah Bid’ah,karna pada dasarnya ulama2nya tidak bersatu membuat pernyataan yang tentang hal ini…kalau buat orang yang ahli (ulama) masalah ini tidak masalah tapi bagaimana orang yang tidak paham(awam) pasti dibuat bingung….
kalo yang di maksudkan semua bid’ah adalah sesat….
berarti segala bentuk kebid’ahan adalah sesat…
berarti apapun itu jenis dan tujuannya adalah sesat…
n ngga ada penjelasan baik secara tulisan maupun bahasa..
yang mengatakan tidak sesat… berarti sesat dong..
kalau hadits ini bagaimana kedudukannya..
“Barangsiapa membuat
buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang
mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat
buat hal baru yang buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang
mengikutinya dan tak dikurangkan sedikitpun dari dosanya” (Shahih Muslim hadits
no.1017, demikian pula diriwayatkan pada Shahih Ibn Khuzaimah, Sunan Baihaqi
Alkubra, Sunan Addarimiy, Shahih Ibn Hibban dan banyak lagi).
terima kasihh..
apakah menurut anda ini termasuk sesat….
Utk HR. Muslim No.1017 ada cantumkan itu, harap di cek di kitabnya ya atau sumber valid lain. Itu yg antum cantumkan sdh di edit, bkn hal baru yg baik, tp hal yg baik. Maksudnya mencontohkan/pelopor hal baik dpt pahala spt orang yg melakukan. Waspada hadits2 palsu ya
Untuk aa,
Coba Anda baca lagi artikel di atas dan komentar-komentar dalam forum di sini dengan teliti dan seksama. Jangan lupa lihatlah kitab-kitab penjelasan mengenai hadits tersebut. Hadits tersebut tidak memaksudkan kita untuk membuat-buat hal baru dalam Islam yang tidak pernah dipraktekkan dan dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Akan tetapi adalah agar kita (umat Islam) menghidupkan sunnah Rasul (ajaran Rasulullah) yang telah banyak ditinggalkan oleh umat Islam, atau banyak diantara umat Islam yang tidak mengetahui sunnah Rasul tersebut.
Dan dalam hadits ini menjelaskan agar kita berusaha menjadi pelopor kebaikan, dan janganlah kita menjadi pelopor dan penggerak keburukan. Allahu ‘alam
Marilah kita beribadah dengan benar dan sesuai tuntunan semoga ibadah kita diterima Allah SWT
untuk dona betul klo begitu tapi meraka tanpa batas dalam membidakan contoh orang keluar mencariilmu atau dakwah 40 hari kok bidah bagaimana para sahabat yang waktunya lebih banyak dakwah berbulan2 bagaimana dgn pesantren apadibubarkansaja krn bida.
Mari kita belajar agama Islam pemahaman yang benar, sebagaimana pemahamannya para sahabat, tabiin, dan tabiut tabiin. Mereka adalah tiga generasi awal yang digaransi langsung oleh Nabi SAW sebagai generasi terbaik umat ini. Amat berat bagi siapapun yang berkata-kata tentang agama ini sesuatu yang tidak dia ketahui ilmunya. Komentar tanpa ilmu hanya akan menunjukkan kebodohan kita terhadap agama ini.
Sudah jelas bahwa sabda Rasulullah bahwa semua bid’ah itu sesat. Maka marilah kita berbadah sesuai tuntunan atau yang sicontohkan Rasulullah, tidak usah kita mencari celah celah untuk apa yang tidak boleh menjadi boleh atau yang haram menjadi halal. Kalau kita berpegang tegung dengan Kitabullah dan Sunah Rasul insyaallah kita akan selamat dunia akhirat.
amin
9th February 2009 pada waktu 3:12 pm
kalo misal ada ulama/ustadz sama2 ahlu sunnah dan bermanhaj salafy beda dalam penentuan detail suatu ibadah itu bid’ah ato bukan, dan masing2 punya dalil yg menurut kita kuat (maksudnya kita tidak mampu buat menentukan mana yg lebih kuat karena keterbatasan ilmu kita) gimana sikap kita thd hal tsb?kalo untuk jangka panjang memang kita ya harus menuntut ilmu secara mendalam tentang hal2 seperti itu, cuma untuk jangka pendek bagaimana sikap kita? mohon penjelasannya. Terimakasih.
Assalamu’alaikum wr. wb.
ada Hadist riwayat Ibnu Khuzaimah yang isinya Rosulullah melarang kita beribadah dengan melepas alas kaki karena itu sama dengan beribadah orang yahudi(lihat sifat sholat nabi – al albani).
sekarang mana yang mengikuti beliau ????
kalau memang bid’ah itu sangat tercela
lebih tercela mana dengan tidak mengikuti perintah beliau bahwa beribadah itu seharusnya menggunakan alas kaki!!
mohon tanggapan saudara2
Sadari Indriasari, semoga Allah menjaga anda dalam kebaikan…
Mungkin hadits yang anda maksud adalah:
خالفوا اليهود ؛ فإنهم لا يصلون في نعالهم ولا خِفافهم
“Bedakan diri dengan Yahudi, mereka tidak shalat dengan mengenakan sandal dan tidak memakai khuf mereka” (HR. Abu Dawud, Al Hakim)
Jika anda membaca kitab Syaikh Al Albani tentang shalat, yang lebih lengkap, yaitu kitab Ashlu Sifatis Shalatin Nabi, beliau berkata:
“Hadits ini menunjukkan danjurkannya shalat memakai sandal. Karena ada perintah disana, dan tujuan diperintahkannya adalah untuk membedakan diri dengan Yahudi. Minimal hukumnya mustahab (dianjurkan). Walaupun zhahir hadits menunjukkan hukumnya wajib, namun bukanlah demikian, karena ada hadits lain:
إذا صلى أحدكم ؛ فليلبس نعليه ، أو ليخلعهما
‘Apabila salah seorang dari kalian shalat, maka hendaknya ia memakai kedua sandalnya atau ia lepaskan keduanya’ (HR. Abu Daud, Ibnu Majah. Ath Thahawi mengatakan hadits ini mutawatir)
Maka hadits ini menunjukkan adanya pilihan antara mengenakan sandal atau tidak mengenakan sandal. Namun tanpa menafikan anjuran untuk memakainya” (Lihat Ashlu Sifatis Shalatin Nabi, jilid 1 hal 109-110).
Intinya shalat, tanpa memakai sandal tidak tercela. Bahkan shalat dengan memakai sandal bisa tercela jika menimbulkan keributan di antara jama’ah masjid. Padahal hukumnya mustahab saja.
Maka berbeda dengan bid’ah. Adapun bid’ah semuanya tercela, tanpa perlu di andaikan! Semua dalil yang membahas bid’ah, semuanya mencela perbuatan bid’ah.
Wallahu’alam.
seandainya tahlilan di anggap bid’ah,bagaimana hukumnya kita mendoakan orang tua yang sdh meninggal? bukankah tahlilan itu diisi dengan doa.apakah salah seorang anak bersidqoh.bukankah anak soleh itu,anak yang suka mendoakan orang tuanya?
@syarifuddin
Mendoakan kedua orang tua itu salah satu ibadah yang mulia dan menunjukkan bakti anak kepada orang tuanya. Mendoakan kan banyak momen dan kesempatannya..bahkan ketika di dalam sujud atau di duduk tahiyyat akhir sebelum salam..justru saat dimana kita paling dekat dengan allah..kenapa tidak berdoa disitu. kenapa harus pake acara2 bid’iyyah untuk mendoakan kedua orang tua. alangkah sayangnya ibadah yang agung ini dicampur dengan perbuatan maksiat kepada allah (baca: melakukan bid’ah).
Assalamu’alaikum.Wr.Wb
Yth. Pengasuh Web site muslim.or.id/Ustadz yg terhormat yg bisa menjawab…
Saya mau bertanya apakah ada hadist shahih yang memuat
1 dalil tentang keutamaan pemakaian sorban dalam sholat?
2.dalil tentang adanya kemakmuran yang sangat sebelum kiamat tiba?
3.apakah shalawatan smthud duror adalah bentuk bid’ah?
Jazakallahu Khaira atas penjelasannya….
Ketika sujud adalah saat2 kita paling dekat dengan Allah Subhanahu wa ta’ala, oleh karena itu kita bisa berdoa dikala sujud untuk memohon pada Allah agar diampuni dosa kedua orgtua kita. Dan ketika duduk tahiyyat akhir setelah sampai pada innaka hamidum majid…sebelum salam, dianjurkan untuk meminta perlindungan pada Allah dari azab neraka, azab kubur, fitnah hidup mati, dan fitnah Dajjal.
Agama ini sudah punya waktu2 dan saat2 mustajab untuk berdoa, dan insya Allah, akan membawa berkah dan manfaat bila kita mengikutinya. Jadi, berdoa bukan cuma di tahlilan aja lagipula udh jelas itu ga ada tuntunannya.
Untuk: aa
Tentang hadits tersebut berikut terjemahannya yang lebih lengkap:
“Dari Munzir bin Jarir dari ayahnya, ia berkata: Pada suatu pagi, kami berada di sisi Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam, kemudian datanglah segerombol orang yang tidak beralaskan kaki, telanjang dada, hanya mengenakan selembar kain wol atau baju yang mereka lubangi tengahnya (sebagai penutup aurat mereka) dan dengan menenteng sebilah pedang, kebanyakan mereka dari kabilah Mudhar, bahkan semuanya dari Mudhar. Melihat yang demikian itu, raut wajah Nabi shollallahu’alaihiwasallam berubah, karena beliau menyaksikan kemiskinan yang mereka alami. Kemudian beliau masuk rumah lalu keluar lagi, dan memerintahkan Bilal agar segera mengumandangkan Azan dan Iqamat, lalu beliau shalat, kemudian berkhutbah dan berkata: ………Hendaknya kamu bersedekah dengan sebagian dinarnya, sebagian dirhamnya, sebagian bajunya, seberapa takar gandumnya, seberapa takar kurmanya, hingga beliau bersabda: walau dengan setengah buah kurmanya. Kemudian datanglah seorang Anshar dengan membawa seikat korma, yang tangannya hampir-hampir tidak kuasa membawanya, bahkan benar-benar tidak kuasa membawanya, (karena keberatan). Kemudian para sahabat berbondong-bondong dengan sedekahnya, hingga akhirnya terkumpullah dua onggok makanan dan pakaian, sehingga saya melihat wajah Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam berseri-seri seakan-akan berkilau bak berlapiskan emas. Lalu Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda: Barang siapa yang memulai mengamalkan suatu amalan baik dalam agama Islam, maka baginya pahala amalannya itu, dan pahala seluruh orang yang menirunya, tanpa sedikitpun mengurangi pahala mereka. Dan barang siapa memulai mengajarkan/ mengamalkan amalan buruk dalam agama Islam, maka baginya dosa amalannya itu dan amalan seluruh orang yang menirunya, tanpa sedikitpun mengurangi dosa mereka”. (Riwayat Muslim, 2/704, hadits no: 1017).
Al Mubarakfuri, seorang ulama’ yang mensyarah kitab Sunan At Tirmizi menafsirkan kata “sunnah hasanah” dalam hadits ini dengan berkata: “thariqah/ metode/ jalan yang selaras dengan prinsip-prinsip agama”, dan menafsirkan kata “sunnah sayyi’ah” dengan berkata: “suatu thariqah/metode/jalan yag tidak diridhoi, dan tidak selaras dengan prinsip-prinsip agama”. [Tuhfah Al Ahwazi Bi Syarah Jami’ At Tirmizi, oleh Muhammad bin Abdurrahman Al Mubarokfuri 7/438].
Diantara yang menguatkan penafsiran Al Mubarakfuri ialah sabab wurud/sebab disabdakannya hadits ini, yaitu kisah seorang lelaki Anshar yang bersedekah dengan seikat kurma. Dalam kisah ini yaitu mencontohkan pelaksanaan sebuah perbuatan (yaitu sedekah), bukan membuat amalan baru yang tidak ada dalam syariat. Sehingga pada kisah ini tidak ada satu amalan yang tidak pernah diajarkan oleh syari’at, apalagi sampai dikatakan bahwa sahabat ini mengajarkan amalan baru atau sesuatu yang belum pernah diajarkan oleh Nabi shollallahu’alaihiwasallam, yang ia lakukan pada kejadian itu hanyalah bersegera dalam bersedekah.
Jadi sudah jelas yang dimaksud Sunnah Hasanah adalah metode /cara yang sesuai dengan syari’at, dalam hadits tersebut Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam menyuruh orang segera bersedekah dan itu adalah amalan yang disyari’atkan. Sedangkan Sunnah Sayi’ah adalah metode/cara yang tidak sesuia dengan syari’at, dan setiap cara ibadah yang tidak sesuai dengan syari’at adalah bid’ah. Maka dalam hadits ini tidak mengandung makna adanya bid’ah hasanah.
Berikut ini adalah keterangan Syaikh Sholeh al Utsaimin seorang ulama anggota Khibar Ulama Kerajaan Saudi Arabia:
“Yang menyatakan barang siapa yang memberi contoh yang baik dalam Islam adalah Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam, dan yang menyatakan setiap bid’ah adalah sesat juga Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam. Mustahil beliau mengatakan sesuatau yang mendustakan pernyataannya sendiri sehingga informasi Islam ini berbenturan.” (Al-Ibda’ Ibnu Utsaimin hal:19).
Wallahu’alam.
saudaraku sesama muslim
betapa indahnya menyikapi setiap perbedaan dengan saling menghormati, selagi masih dalam koridor syar’i
Betapa indahnya jika umat ini bersatu
kita akan menjadi umat yang kuat dan di takuti
asslmkm…
bid’ah subur dan banyak penggemarnya di muka bumi = karena mereka para pelaku bid’ah itu menganggap itu adalah suatu ibadah ,dan yang lumrah bila ditanyakan pada mereka,kenapa kau kerjakan ini dan itu….”ini sudah tradisi “….dengan dalil…guru saya mengajarkan dan mengerjakan dan sudah menjadi rutinitas keluarga dan warga disini.
… wassalam
Membahas masalah bid’ah nampaknya tdk cukup hanya ‘memperdebatkan’dalil sesat atau tdk, halal atau haramnya saja. Mungkin akan lebih bisa diharapkan adanya kesamaan pandang jika dalam diskusi juga dibahas, mengapa atau apa latar belakang bagi yg pro bid’ah begitu ‘ngotot’ mempertahankan pendapatnya, demikian pula bagi yg ‘anti’ bid’ah. Apakah masing2 pihak benar ikhlas dg tujuan utk memurnikan ajaran Islam sesuai dg tuntunan Al Qur’an dan Sunah Nabi? Hal itu perlu dklirkan dulu utk memastikan jangan sampai pertentangan/perbedaan pendapat yg semakin tajam ini memberi kesempatan bagi kepentingan ‘musuh2’ Islam utk menunggangi dan mengobok2 Islam dari dalam.
Mohon izin untuk disebarkan difacebook y..
mnurt saya yg org awam ini,yg dmaksud Umar.ra. nikmatnya bid’ah yg baik:..ktika beliau mlaksanakan tarawaih brjamaah,jamaahnya lbh banyk dan tdk pernah sbnyk itu ktka Rasul masih hidup
Q mau tau contoh2 dan bgmana bisa dzikir bersama di anggap bidah,lalu yg benar gmn?
@ Barik Maulana
Dzikir itu memang disyariatkan, namun cukup sendiri2 tidak perlu berjama’ah.
semua punya dalil,, jangan dibesr-besrkan ah….
@ Asep
Semua punya dalil, bahkan orang sesat dan orang kafir pun punya. Mereka punya dalil namun keliru memahaminya.
Semoga Allah beri taufik.
saudaraku asep,
memang semua punya dalil, memang tidaklah perlu dibesar2kan, akan tetapi ingatlah kewajiban kita akan amar ma’ruf nahi munkar sesama saudara muslim. Ingatlah bahwa saudara2 kita masih banyak yg belum mengetahui bahaya bid’ah dan masih banyak yg belum mengetahui sunnah Nabinya.
Memang, tidak perlu dibesar2kan…akan tetapi jika kita diamkan berlarut2 tentu akan menjadi besar…
Dari saudaramu yg sangat dho’if
Menurut kaidah ushul, yg umum itu tetap umum sampai ada yg membatasinya. Bukankah batas utk hadits “tiap2 bid’ah itu sesat” adalah hadits “kamu terlebih mengerti di tentang perkara duniamu”. Jadi ada bid’ah hasanah dan adanya hanya di perkara duniawi saja.
Assalamu alaikum wr wb. Sy msh blm paham spnuhnya mengenai bid’ah. Tlong dijelaskn contoh2 kegiatan yg dianggap bid’ah yg trjdi pd khdpan sehari-hari. Terima kasih, smg Alloh Swt mlimpahkn RahmatNYA untk kt semua.
Wassalamu alaikum wr wb.
Agus sunanto
Mar 26, 2010, 11:13
Assalamu alaikum wr wb. Sy msh blm paham spnuhnya mengenai bid’ah. Tlong dijelaskn contoh2 kegiatan yg dianggap bid’ah yg trjdi pd khdpan sehari-hari. Terima kasih, smg Alloh Swt mlimpahkn RahmatNYA untk kt semua.
Wassalamu alaikum wr wb.
Wa ‘alaikum salam
Bid’ah terjadi dlm kehidupan sehari2 contohnya merayakan maulid nabi,membuat lafadz dzikir tanpa dasar dalil,berdzikir berjamaah setelah shalat fardhu,mengkhususkan ibadah yang umum misal membaca surat Yunus dan Maryam dg maksud agar si bayi yang dikandung tampan atau cantik.
askum
napa se mesti ributkan bid’ah lawong dah jelas dalilnya.napa juga ambil resiko demi bid’ah kecuali dibalik pembenaran bid’ah ada kepentingan.coba bayangkan jika tahlilan/selaatan/dll itu dinyatakan bid’ah dlolalah, bakal sangat merugikan para ulama.so udahlah gasah ambil resiko untuk yg sdh jelas dalilnya.
waskum
bagimu amalmu bagiku amalku gak usah mencampuri urusan amalku, amalku urusannya dengan TUHAN,kita buktikan siapa nanti diakhirat yang masuk surganya Allaah, orang yang dituduh ahli bid’ah atau orang yang menganggap dirinya sendiri paling ahlussunnah
#muttaqin
Semoga Allah merahmati anda. Perkataan anda yang demikian hanya ditujukan kepada orang kafir. Coba lihat surat Al Kaafirun. Amal ibadah kita urusannya dengan Allah, maka itu kita beramal berdasarkan ketentuan Allah, yaitu dalil Qur’an dan hadits.
Setiap muslim selama masih ada iman, tidak mati dalam keadaan syirik, pada akhirnya semua akan berkumpul di Jannah-Nya. Namun bukan berarti kita enggan menerima nasehat bukan? Semoga kami dan anda kelak berkumpul di Jannah-Nya, amin.
@ Muttaqin,
tulisan antum seperti yg disebutkan dalam AL QUr’an yg artinya : Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul.” Mereka menjawab: “Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya.” Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?. (Al Maidah : 104)….
Sesungguhnya para ulama menjelaskan bahayanya bid’ah adalah wujud kecintaan mereka kepada kita agar tidak tertipu oleh syaithon (krn bid’ah lebih dicintai iblis daripada maksiat) dan wujud mencintai Nabi shollollohu’alaihi wa sallam karena Nabi shollollohu ‘alaihi wasallam sangat menekankan bahayanya Bid’ah yg beliau shollollohu’alaihi wasallam selalu ulang-ulang disetiap khutbah jum’atnya yg menunjukkan ini bukan masalah kecil bahkan merupakan dosa terbesar (berbicara tanpa ilmu)..
Kenapa Antum berkata seperti itu dan bukannya berkata : Marilah kita mencocoki amalan kita dengan yg Nabi perintahkan dan contohkan?
Karena perkataan antum di atas mirip dg perkataan mereka saat diajak kepada kebenaran Islam ini yg tidak ada satupun terleatkan telah disampaikan oleh Nabi…
Orang kafirpun berkata : Mari kita lihat nanti diapa yg benar dan siapa yg masuk surga, apakah kalian yg mengaku Islam atau kami yg mengikuti agama kami….
Seharusnya kita berprinsip seperti yg Alloh firmankan yg artinya : Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. ( ALi Imron : 31)
.
Inilah bukti kecintaan sejati kepada Nabi yakni mengikuti ajarannya dna mencukupinya tanpa menambah-nambah….
Biasanya kalo para pelaku bid’ah udah mentok gak punya dalil keluarlah perkataan2 seperti perkataan saudara muttaqin. Percayalah, ana sering dengar perkataan seperti dia.
semuanya saling tuduh …ane jadi bingung di sini (Indonesia) orang senang merayakan Maulid Nabi itu Bid’ah dan di sana (Arab Saudi) senang merayakan Al usbu imam Abdul Wahab itu Bid’ah juga ….jadi semua ummmat Islam senang dengan Bid’ah lalu yg benar yg mana ini…??
#Tofik
Tidak semua orang di Indonesia merayakan Maulid Nabi, dan tidak semua orang saudi merayakan Usbu’ Muhammad bin Abdil Wahhab dengan keyakinan yang salah. Jadi jangan anda katakan semua ummat Islam berbuat bid’ah. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab belum tentu benar, orang Saudi belum tentu benar, Muslim.Or.Id belum tentu benar, saya belum tentu benar, yang pasti benar adalah Al Qur’an dan Hadits dengan pemahaman para sahabat.
@ Tofik Opik
Kenapa antum bingung… bukankah Nabi telah mewasiatkan kita AL Qur’an dan SUnnah beliau? Maka cukupkanlah dg keduanya… Dan Nabi juga mewasiatkan kita mengikuti sunnahnya Khulafaur Rasyidin mk ikutilah manhaj mereka para sahabat yg diwakili oleh Khulafaur Rasyidin… Dan bukankah Nabi mewasiatkan bhw yg selamat itu adalah yang aku dan sahabatku berada di atasnya… mk inilah sunnah Saudaraku…. cukupilah dg ini dan sibukkanlah dg sunnah2 beliau yg shohihah mk antum tidak akan bingung lagi bhkn yakin dg amalan-malan antum… bukankah antum mencintai Nabi… mk mencintai beliau adalah dg mengikuti sunnahnya bukan sekedar seremonial setahun sekali…
Satuju pisan…
admin afwan…..bukankah para ulama juga mengikuti sunah Rasul dan khulafa rasyidin bukankah Imam syafi’i, Imam Nawawi , Imam ibnu Hajar dan para ulama yg lainnya yg memahami Bid’ah terbagi dua ( Hasanah dan Syaiah )itu mereka berdalil atas pemahaman mereka terhadp Quran dan Sunah yg menghasilkan Ijtihad mereka semata – mata untuk menjaga Islam. lalu pantaskah kita menyalahkan pendapat mereka..??
#Tofik
Ulama jika berijtihad, jika salah dapat 1 pahala, jika benar dapat 2 pahala. Ini menunjukkan ijtihad ulama belum tentu benar. Oleh karena itu, orang yang mengikuti ulama tersebut tetap menimbang dengan dalil, ijtihad ulama yang tidak sesuai dalil tidak boleh diikuti walau kita tetap meyakini -insya Allah- ulama tersebut dapat 1 pahala.
Anggapan bahwa Imam Asy Syafi’i membagi bid’ah menjadi hasanah dan sayyi’ah adalah salah kaprah dan tidak benar. Bahkan beliau sangat keras terhadap bid’ah sampai2 mengatakan perkataan yang terkenal: man istahsana faqod syaro’a (Siapa yang menganggap baik sesuatu dalam agama, berarti ia telah membuat ajaran baru)
@saudaraku tofik,
Klo anda pernah membaca kitab Al-Umm, kitab Ar-Risalah lalu Manhaj Aqidah Imam Asy-Syafi’i karya Muhammad bin Abdul Wahab Al-Aqil, anda akan dapati Imam Syafi’i adalah org yg paling keras menentang bid’ah, beliau tidak menyelisihi para sahabat, tabi’in lalu gurunya yaitu Al Imam Malik yg berpandangan sesuai hadits Nabi yaitu semua bid’ah itu sesat. Jika anda membaca ar-Risalah, beliau mengatakan : “Sesungguhnya anggapan baik (istihsan) hanyalah menuruti selera hawa nafsu” (Ar-Risalah hal. 507), lalu kalau anda membuka kitab Al-Umm (7/293-304), anda akan mendapati judul bab “Pembatal Istihsaan/Menganggap Baik Menurut Akal”. Nah skrg bagaimana mungkin jika org2 pada zaman ini beranggapan Imam Syafi’i menetapkan bid’ah hasanah padahal di dalam kitab2nya dengan jelas dan gamblang beliau membatalkan prinsip istihsan padahal istihsan inilah yg bnyk menjadi latar belakang org2 yg melakukan bid’ah.
Ya akhi tofik, ijtihad benar dpt 2 pahala, salah dpt 1 pahala, memang benar ya akhi, itulah kebesaran Allah dan kemudahan Islam. Lantas, saya bertanya pada akhi. Wajibkah kita mengikuti hasil ijtihad yg salah?? Apakah dengan mengetahui kaidah tersebut lantas kita bermudah2an dengan mengikuti ijtihad yg salah dengan dalih mereka jg kan para ulama besar yg telah meneliti Qur’an dan Sunnah. Ingat2lah perkataan Imam Malik, “siapapun bisa diterima dan ditolak perkataannya kecuali Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam”. Siapapun ulama bisa saja berpendapat, namun jika pendapatnya menyelisihi dengan Qur’an dan Sunnah maka kita tidak mengambil pendapatnya tersebut. Ketahuilah, tidak mengambil pendapat ulama bukan berarti kita membenci ulama tersebut. Justru inilah bentuk ittiba kita terhadap Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.
Akhi, camkanlah perkataan Imam Syafi’i berikut ini :
“Jika kalian menemukan hadits shohih, maka itulah pendapatku”.
“Jika kalian menemukan pendapatku bertentangan dengan hadits Rasulullah, maka ambillah hadits dan buanglah pendapatku.”
Semoga Allah Ta’ala beri kepahaman pada akhi tofik dan kepada kita semua.
Kita ikuti sunnah Rosululloh shallallahu alaihi wasallam yg sdh dicontohkan dr mau tidur smp tidur lg ,baik hub. dg keluarga,tetangga,ibadah dll saya yakin kita tak akan mampu melaksanakan 100%.Koq kaya sdh lebih ma’sum dr Rosululloh membuat ibadah ibadah kreasi baru,sedang yang sdh ada contoh/perintah ditinggalkan.
Sdr,anda menulis :KETAHUILAH SEMUA BID’AH ITU SESAT ….kalau sesat, berati berdosa.Bid’ah menurut yang anda tulis bahwa seluruh perbuatan yang tidak dilakukan Rosulullah.Lantas yang saya tanyakan saat ini.:Orang2 Idonesia yang menunaikan ibadah haji dengan naik pesawat terbang dan bus, itu bid’ah atau tidak, karena Rosulullah tidak pernah naik pesawat dan bus. itu hanyalah satu contoh yang tidak pernah dilakukan oleh Rosulullah.Masih banyak contoh lain.Jadi menurut saya, bid’ah itu ada 2 jenis.
terima kasih dan mohon maaf atas comment saya.
#Muhammad Qosim
Semoga Allah merahmati anda. Coba baca dengan cermat, siapa yang berkata semua bid’ah itu sesat? Siapa yang berkata bid’ah itu tempatnya di neraka?
Yang berkata demikian adalah Nabi kita tercinta yang kita harapkan syafa’atnya, Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam.
Naik pesawat dan bus bukan bid’ah, silakan baca penjelasannya di sini:
https://muslim.or.id/manhaj/mengenal-seluk-beluk-bidah-3.html
bid’ah itu dlm hal beragama
Semua bid’ah itu sesat, ini datang dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan ulama bahasa telah ijma’ bahwa kata kullu disini sifatnya umum (‘aam), jadi semua perkara baru dalam agama yang diciptakan dalam rangka menandingi syariat maka terhukum bid’ah . Namun bukan bid’ah dalam arti bahasa, karena konteks hadits ketika diucapkan oleh Rasulullah berkaitan dengan perkara ibadah. Sebagaimana dikuatkan oleh hadits lain dari jalan ‘Aisyah, “Barangsiapa yang mengada-adakan perkara baru dalam urusan kami (agama) yang tidak ada padanya perintah dari kami, maka tertolak,” Hadits shahih di kitab Shahih Bukhori. Di situ dijelaskan “dalam urusan kami” yakni agama. Sedangkan perkara dunia, seperi haji naik pesawat, pengeras suara, kendaraan dll adalah perkara dunia. Yang sudah dijelaskan pula oleh Rasulullah dalam hadits penyerbukan pohon kurma, “Antum a’lamu bi umuriduniyakum” yang artinya “Kalian lebih mengetahui tentang urusan dunia kalian”. Jadi sudahlah sangat jelas perbedaan keduannya yang tidak mungkin mengakibatkan kerancuan bagi yang mau sungguh-sungguh memahami hadits tentang bid’ah ini. Tidak ada lagi alasan bagi mereka yang mengatakan bid’ah itu ada dua, yakni hasanah dan dholalah. Karena hakikatnya perkataan ini menentang sabda Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam.
Ada kaedah dalam bid’ah :
Segala perbuatan ibadah yang tidak dilakukan oleh Nabi SAW, padahal di zaman Beliau tidak ada yang menghalangi untuk melakukan dan dapat dilakukan oleh Beliau, Tapiii…tidak dilakukan oleh Beliau itu membuktikan bahwa perbuatan itu bukan bagian dari syariat.
Seperti Ibadah Tahlilan dan Maulid Nabi SAW, itu sebuah ibadah yang tidak adanya penghalang untuk dilakukan oleh Nabi SAW di zaman beliau, Tapi itu tidak dilakukan!
Seandainya itu baik, PASTI!!… Nabi SAW akan melakukannya, karena tidak mungkin Beliau menyembunyikan kebaikan kepada umatnya.
mas, kalau anda memang rakus dalam ibadah dan selalu merasa kurang itu baik. tapi lampiaskan dengan ibadah yang benar2 sesuai dengan sunnah Rasululloh SAW. saya yakin masih banyak ibadah sunnah yang belum sempat anda lakukan. maka marilah kita pelajari jenis2 ibadah sunnah, trus kita amalkan dengan ikhlas karena Alloh SWT. Insya Alloh tentram dunia dan akhirat….
Maaf, saya balik bertanya, dizaman Nabi Tulisan ayat-ayat Al-Qur’an masih tersimpan di pelepah kurma, tulang-belulang. maka saat di zaman Khalifah Umar disusunlah dalam bentuk mushaf dan di perbanyak dalam bentuk cetakan Mushaf2 dizaman Khalifah Ustman. hal ini tidak terjadi di zaman Rosulullah dan tidak ada dalil yg memerintahkan pembukuan al-Qur’an. Jadi inipun termasuk Bid’ah tetapi Bid’ah Hasanah. Kalo antum konsisten semua Bid’ah adalah sesat. maka antum jgn membaca kitab Al-Qur’an dari mushaf yg tercetak sekarang tapi melalui pelepah kurma atau tulang belulang. Bila tidak bisa maka antum fahami bid’ah yg antum maksudnya sekarang harus dipertanyakan lagi. itu baru satu contoh, masaih banyak lagi bid’ah hasanah yg pernah sahabat nabi lakukan.
#Fuad
Jawabannya ada pada kelanjutan dari artikel ini: https://muslim.or.id/manhaj/mengenal-seluk-beluk-bidah-3.html
semoga qt semua termasuk orang yg senantiasa diberi ilmu manfaat oleh alloh swt.nih doanya qs.26;83.
Kt allah jika trjd beda pendapat kmbl ke alquran qs.4;59.Menyikapi kebiasaan yg dilakukan manusia yg dirasa bidah qt mesti bijaksana ,kenapa ini mesti trjd.klo dirasa itu memang bidah , qtlah yg berdakwah.
qs.2;151. Bagaimana dg hadist ini?Nabi saw memperbolehkan kita melakukan Bid’ah hasanah selama hal itu baik dan tidak menentang syariah, sebagaimana sabda beliau saw : “Barangsiapa membuat buat hal baru yg baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yg mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yg buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yg mengikutinya dan tak dikurangkan sedikitpun dari dosanya” (Shahih Muslim hadits no.1017
#key salamah
Yang dimaksud ‘sunnah hasanah’ dalam hadits tersebut bukanlah ‘hal baru yang baik’ sebagaimana yang anda terjemahkan. Yang dimaksud sunnah hasanah adalah semua perbuatan yang disebutkan oleh dalil Qur’an dan Sunnah bahwa itu baik. Dengan demikian bid’ah justru termasuk sunnah sayyiah, karena dalil Qur’an dan sunnah menyebutkan bahwa bid’ah itu buruk.
Simak lebih lengkap pada: https://muslim.or.id/manhaj/mengenal-seluk-beluk-bidah-4.html
assalamu ‘alaikum..mohon lebih jelas tentang makna hadits “sebaik baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad”…bukankah Al Hady itu hanyalah Allah
#hasonangan nasution
Wa’alaikumussalam. Tidak ada pertentangan antara sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad dengan bahwa Allah-lah Al Hady, Allah mensifati Nabi-Nya dengan
وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Sungguh engkau wahai Nabi Muhammad benar-benar memberi hidayah ke jalan yang lurus” (QS. Asy Syura: 52)
Tentunya maksud hidayah dalam ayat ini adalah hidayah irsyad dan bayan, bukan hidayah taufiq, karena hidayah taufiq hanya milik Allah. Sehingga orang yang mengikuti petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam maka berarti dia telah mengikuti petunjuk Allah, sebagaimana orang yang taat kepada Nabi berarti dia juga telah taat kepada Allah
من يطع الرسول فقد أطاع الله ,
“Orang yang taat kepada ajaran Rasulullah, ia telah taat kepada Allah” (QS. An Nisa: 80)
Wallahu’alam
assalaamu’alikum,
lafazh ‘kullu bid’atin’ pada hadits Rasulillaahi SAW ada yang membandingkannya dengan lafazh ‘kulla safinatin’ pada Al Kahfi ayat 79.
Karena bahasa Arab saya masih sangat terbatas. Apakah ada yang berkenan menjelaskannya?
Terima kasih
Semoga Allah SWT memberikan petunjuk kepada kita. Dan menjadikan hati kita tetap tawadhu’
#abianisa
Perbandingannya dalam hal apa?
assalamu’alaikum ustadz
menurut ana yang berhak menghukumi suatu amalan itu hanyalah rosululloh nanti di akherat,kecuali kalo anyum dah bisa jamin manusia lain yang tak sepaham dengan antum tentang bid’ah.apakah antum dah hapal satu juta hadits belum shg anta bisa punya kesimpulan seperti tulisan anta di atas, maaf tadz saya mau nanya sebenarnya apa makna dari dua kalimat syahadat
#abimanyu
Wa’alaikumussalam,
Benar, biarlah Allah dan Rasul-Nya yang menghakimi setiap amalan kita. Oleh karena itu marilah kita berhukum dengan Al Qur’an dan hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, dengan pemahaman para sahabat. Jika anda mengatakan “Kita tunggu saja hukumnya nanti di hari kiamat, halal ataukan haram?”, niscaya semua amalan di dunia ini jadi halal semua.
@abimanyu,
hapal satu juta hadits tp tidak bisa membeda2kan mana hadits shohih mana hadits dho’if/palsu sama saja akh, ibadahnya akan tercampur2.
oleh karena itu, setuju apa kata akh Yulian, berhukum dengan Al Qur’an dan hadits Nabi yg shohih dengan pemahaman para sahabat adalah yg paling baik.
@Yulian Purnama
Assalaamu’alaikum, maaf baru bisa shilaturrahim lagi.
Perbandingan yang saya maksud kira-kira demikian:
Dalam QS Al-Kahfi ayat 79, digunakan kata ‘kulla sifinatin’ yang arti harfiyahnya kira-kira ‘setiap kapal’.
Tapi secara implisit makna yang terkandung di situ kira-kira ‘setiap kapal yang tidak cacat’.
Jadi meskipun disebutkan bahwa, raja itu merampas ‘kulla safinatin’, tetapi masih ada juga safinah yang tidak dirampas, yaitu safinah yang cacat.
Begitu juga dengan ‘kullu bid’atin’.
meskipun secara harfiyah disebutkan ‘setiap bid’ah’, maka masih ada kemungkinan adanya bid’ah yang tidak dholalah, yaitu bid’ah yang hasanah.
Dengan demikian tidak kita tidak merasa aneh ketika mendengar perkataan Shahabat Umar r.a. ketika menyaksikan shalat tarawih berjama’ah.
‘Sebaik-baik bid’ah adalah ini’ (tidak perlu berkelit dengan istilah bid’ah secara bahasa)
Demikian kira-kira perbandingannya (mohon maaf saya lupa judul buku yang membahas tentang ini).
#abianisa
Kullu artinya semua, seluruh. Ini adalah ijma’ ahli bahasa dan orang yang berakal. Aneh sekali kalau ada orang memperjuangkan agar salah satu makna ‘kullu’ itu adalah sebagian.
Jika ada penggunaan kullu lalu ditemukan ada yang satu-dua yang menyelisihi kullu, itu dinamakan pengecualian. Jadi silakan tanyakan kepada mereka, adakah dalil yang memperkecualikan bid’ah?
#Yulian Purnama.
Terima kasih penjelasannya.
Yang saya tangkap dari penjelasan Antum, kata ‘kullu’ pada ‘kulla safinatin’ (Al-Kahfi : 79), juga ‘kullu’ pada ‘kulla syai’in hayyun’ (Al-Anbiya : 30), dan ayat lainnya masih memungkinkan adanya pengecualian.
Tetapi khusus ‘kullu’ pada ‘kullu bid’atin’ tidak boleh ada pengecualian.
Begitukah kesimpulannya?
#abianisa
‘kullu’ pada ayat tersebut harus kita maknai ‘semua’ selama tidak ada dalil atau pertanda tegas bahwa maknanya bukan demikian. Demikian juga kullu pada ‘kullu bid’atin dhalalah’.
Seandinya kita mau mlaksanakan amalan2 yg shahih saja dari nabi,ana yakin kita sudah dibuat sibuk,dan stahu ana orang2 yg mati2an membela amalan2 bidah adalah mereka saudara kita yg taklid dngan tradisinya(kebodohannya)dan tidak jauh pula dr urusan perut.
@al-faqir fuad, bidah itu bukan hal2 baru yang tidak dilakukan oleh rosululloh..
karena hal2 baru yang tidak dilakukan oleh rosululloh pada zaman sekarang belum tentu bidah. karena cara membedakan sperti yang di tahqiq oleh para ulama bahwa pembukuan al-Qur’an bukanlah bidah, tidak dilakukan pada zaman rosulluloh sebab :
1. tidak adanya pendorong, alasannya para sahabat telah terhujam dalam sanubari mereka al quran dan kebanyakan mereka hafal quran dan juga
2. adanya penghalang, yaitu adanya wahyu yang terus menerus turun.
begitu pula ilmu hadist, ilmu fiqh, dakwah lewat internet, radio, buku yang pada hakekatnya semua perbuatan baru tersebut tidak ada dalil syari yang menyatakan akan tetapi, pebuatan tersebut justru akan menjaga islam yang sifatnya urgent bagi umat islam agar terjaganya syariat yang mulia ini, dan yang demikian ini berbeda dengan bidah2 yang berkembang di kaum muslimin..
coba kita perhatikan perbuatan ini yaitu adzan sebelum sholat ied, kemudian sholat tahiyatul masjid secara berjamaah, sholat khusus milad, puasa hari rebo. perbuatan2 tersebut adalah bidah dan kita sepakat. kenapa, coba kita tarik ulur kebelakang, sekiranya perbuatan tersebut untuk ditegakkan pada zaman nabi apakah.. bisa dilakukan, kita katakan.. Ya bisa..alasannya,
tidak adanya penghalang, karena bisa saja rosululloh menyuruh atao melakukan perbuatan yang dilakukan diatas, berbeda dakwah dengan internet dan radio, buku dll.. zamannya nabi gak adalah yang namanya teknologi baru ini..
Betul kata ahki daksa, kalau akhi faqir fuad mengatakan tentang bid’ah hasanah itu masih banyak contohnya, ana pengin tau apa contohnya (dalam permasalahan ibadah)…
assalamu’alikum warohmatulloh..
wis cetho sunnah beda klawan bid’ah… nggopo tho kok dadak ana bid’ah hasanah? marahi ngruwetke Islam. Kullu bid’atin dholalah, kullu nafsin dzaiqotul maut, kullu mauluddin ‘alal fitroh… apa ana makhluq sing duwe nyawa ora mati?… apa ana bayi sing lagi lahir ora fitroh? kulo nyuwun jawaban . matur nuwun
Berkata Abu Dzar: Beliau salallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :”Tidak tinggal sesuatupun yang mendekatkan (kamu) ke surga dan menjauhkan (kamu) dari neraka, melainkan sesungguhnya telah dijelaskan kepadamu.”
Dari Salman al Faarisiy, ia berkata : Orang2 musyrikin telah berkata kepada kami : “Sesungguhnya Nabi kamu itu telah mengajarkan kepadamu segala sesuatu,sampai2 buang air besar.”
Jawab Salman :”Benar”
Dari hadits yg pertama bisa kita ambil pelajaran bahwa semua hal yg mendekatkan bisa diri kita ke surga dan menjauhkan diri kita dari neraka, tidak tertinggal sedikitpun melainkan sudah dijelaskan oleh beliau salallahu ‘alaihi wa sallam.
Petanyaannya : Kenapa kita masih mencari jalan2 yg lain yg tidak dijelaskan oleh rasuluullah?
Dari riwayat yg ke dua kita bisa ambil pelajaran bahwa rasuluullah telah mengajarkan segala sesuatu (ttg agama) bahkan sampai cara/adab buang air besar. Sedangkan dalam hal buang air saja rasuluullah telah mengajari kita, apalagi hal2 yg lebih besar dari itu. Pertanyaannya, Pernahkan rasuluullah mengajarkan/menyuruh kita untuk melakukan perayaan Mauludan, Tahlilan, Isra’ Mi’raj dan hal2 lain yg dianggap sebagai suatu ritual utk mendekatkan diri kepada Allah Ta’alaa?
Wahai saudaraku, kalau seandainya apa yg sdr lakukan itu baik niscaya rasuluullah adn para sahabat sudah melaksanakannya, karena mereka orang2 yg paling tahu mana yg baik menurut Islam.
akhi izim untuk mengcopy ya… jazakumullahu khairan …
assalamu’alaikum akhi izin copy y..?? jazakumullahu khairan
Masalah bid’ah tentunya berhubungan dengan niat–>Niat yang baik tidak memutlakkan suatu amal dihukumi baik karena niatnya yang baik. Justru niat yang baik memutlakkan untuk dilakukan dengan cara yang baik pula. Permasalahan ini diantaranya ditunjukkan dengan firman Allah dalam surat az Zumar:3
“…Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”.
Taqarrub (mendekatkan diri pada Allah) adalah ibadah yang sangat mulia, akan tetapi niatan yang baik tersebut ternyata justru
mengantarkannya pada perbuatan syirik, dan ternyata niat yang baik ini dibantah oleh Allah. Ayat ini menjadi bukti bahwa niat yang baik jika tidak
sesuai dengan tuntunan Rasulullah tidak akan diterima, bahkan dapat menjerumuskannya dalam dosa besar.Tentang masalah perdebatan tidak usah diperpanjang, barangsiapa menginginkan keselamatan hendaklah segala macam ibadahnya ia sandarkan pada Al Qur’an dan Sunnah…
Ijin copy… Jazakallahu khoiron…
ASSALAMU’ALAIKUM
ijin copas,..jazakallahu khoiron
assalamu’alaikum..ijin copas, dan trimakasih atas ilmunya
Assalaamu’alaikum.
akh,,,saya ijin copy ya….syukron.
jazaakumullahu khoir
Assalaamu’alaikum.
akh,,,ana ijin mw copy ya….syukron.
jazaakumullahu khoir
Assalamu alaikum Wr wb
sy sbagai org yg awam masalah agama benar – benar dibuat kebingungan. Dalam Islam sungguh2 banyak permaslahan yg diperdebatkan, sehingga org2 awam lain di luar sana pasti merasakan kebingungan yg sama dengan saya. Semua golongan2 mengaku klo ajaran yg diikutinya paling benar. semoga Allah memberikan Rahmat, Taufiq, dan Hidayahnya kepada kami2 smua dalam beribadah sehingga selamat dunia lebih – lebih akhirat.
amin
akh aswar,barakallahufiq..antum jangan bingung (krn dulu ana juga bingung :) )
Kuncinyanya antum ikuti sabda Rasulullah ttg siapakah golongan yg selamat masuk surga yaitu “Mereka yg aku dan para Sahabatku berada DIATAS JALANNYA” Setiap org bisa ngaku Ahlussunnah,tp ketika kt cocokkan dengan dalil..belum tentu mrk yg ngaku2 itu benar.Bgini akhi,antum bersifat kritis saja supaya antum selalu bearada di track yg benar.Misalnya ntum kritisi ibadah2 yg antum lakukan selama ini…adakah Rasulullah mencontohkan,lalu antum cocokkan dengan dalil yg Shahih (tentunya antum harus juga membaca dari kitab2 yg shahih),perlahan2 kita akan memahami mana yg haq mana yg batil..
Ana ada rujukan buat ikhwah sekalian sebagai dasar memahami jalan yg haq,silahkan antum sekalian baca buku kecil yg sangat bagus yg berjudul “Jalan Golongan Yang Selamat” karya Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu.
Saya sering mendengar ada yg berteori seperti ini : ibadah dibagi dalam 2 macam, yaitu ibadah mahdhoh & ghoiru mahdhoh, seperti salah satunya yg dijelaskan oleh link ini: http://umayonline.wordpress.com/2008/09/15/ibadah-mahdhah-ghairu-mhadhah/ . Seringkali jika kita ingatkan bahwa ibadahnya bid’ah mereka hampir2 selalu ngeles pake alasan/teori tsb.
Sebenarnya bagaimana teori tsb? Dan kalau memang teori tsb tidak valid bagaimana menyanggah argumen mereka?
#dino
Mahdhah artinya murni. Ibadah memang ada yang murni ibadah dan ada yang memiliki unsur lain selain ibadah. Namun bid’ah bisa terjadi dalam ibadah mahdhah dan ghayr mahdhah, bahkan bisa terjadi dalam perkara non-ibadah jika dianggap ibadah.
Katakanlah suatu ibadah masuk ke kategori ghayr mahdhah, lalu bagaimanakah menerapkan parameter bid’ah-nya? maksud saya, sejauh mana ibadah yg masuk kategori tsb belum bisa dikatakan bid’ah ? trims.
#dino
Ada beberapa kaidah dalam menentukan bid’ah, diantaranya:
Jika perbuatan tersebut mungkin dilakukan oleh Nabi padahal ide dan pendorong untuk melakukannya itu ada, namun tidak beliau lakukan, maka jika dilakukan di zaman ini dan dianggap berpahala maka bid’ah.
Misal, Maulid Nabi adalah ibadah ghayr mahdhah. Acara ini sangat memungkinkan dilakukan oleh Nabi dan sahabatnya, dalam artian mereka punya biaya, kemampuan, kesempatan, fasiltas untuk mengadakannya. Ide dan pendorongnya adalah semangat mencintai Nabi, itu sudah ada pada diri Nabi dan Nabi juga kerap kali menanamkan hal itu pada diri mereka. Namun nyatanya tidak pernah diadakan maka djika sekarang diadakan maka termasuk bid’ah.
Satu lagi pertanyaan saya, mohon jelaskan, contoh2 ibadah syar’i yg termasuk ghayr mahdhah. Trims sebelumnya.
#dino
Contoh: ta’lim.
prinsip dalam melaksanakan ibadah kepada Allah menurut imam ghazali salah satunya adalah HARUS SESUAI DENGAN TUNTUNAN/CONTOH DARI NABI SAW
Apa ta’lim disini adalah majelis ta’lim.
Dan apakah itu termasuk bid’ah?
Mohon pencerahannya.
#Yudistyra
Rasulullah sering mengadakan majelis ta’lim kepada para sahabatnya
Hidayah mutlak datangnya dari Allah,semua bid’ah itu sesat,jelas2 Hadits shahih dari Rasulullah,kok masih di bagi2 demi membela hawa nafsu,semoga Alla memberi hidayah kepada saudara2 kita yang masih menjadi pembela2 bid’ah.
(al-faqir Fuad
07 Jun 2010 [#]
Maaf, saya balik bertanya, dizaman Nabi Tulisan ayat-ayat Al-Qur’an masih tersimpan di pelepah kurma, tulang-belulang. maka saat di zaman Khalifah Umar disusunlah dalam bentuk mushaf dan di perbanyak dalam bentuk cetakan Mushaf2 dizaman Khalifah Ustman. hal ini tidak terjadi di zaman Rosulullah dan tidak ada dalil yg memerintahkan pembukuan al-Qur’an. Jadi inipun termasuk Bid’ah tetapi Bid’ah Hasanah. Kalo antum konsisten semua Bid’ah adalah sesat. maka antum jgn membaca kitab Al-Qur’an dari mushaf yg tercetak sekarang tapi melalui pelepah kurma atau tulang belulang. Bila tidak bisa maka antum fahami bid’ah yg antum maksudnya sekarang harus dipertanyakan lagi. itu baru satu contoh, masaih banyak lagi bid’ah hasanah yg pernah sahabat nabi lakukan.)
jangan pura-pura bodoh lah…. berpikir…. jangan cuman membebek… dan cuman mengekor doang… diajak sedekah bumi, ngikut… larung saji, oke….
padahal udah tau klo sesaji itu bukan utk Allah, tp utk penguasa laut dsb. cobalah berpikir…. adat katakan adat, jangan katakan ibadah apalg syariat.
bid’ah adalah hal baru dalam agama. tulisan alqur’an bukan agama, itu adalah cara atau alat. dulu ada metode pertahanan orang kafir dengan membuat parit, kmudian dipakai rasulullah dalam pertahanan madinah. dan masih banyak hal yg tdk diketahui rasulullah krn hanya Allah yg Maha Mengetahui. akuilah itu, bahwa rasulullah tidak tahu apa-apa selain yg Allah berikan kpd Muhammad SAW.
sjalan berkembang waktu dtemukan cara baru. tp bukan agama dan syariat baru. syariat baru itulah bid’ah.
Maaf ustadz, ane cuma mau koreksi tentang ayat yg ini
وَجَعَلُوا لِلَّهِ مِمَّا ذَرَأَ مِنَ الْحَرْثِ وَالْأَنْعَامِ نَصِيبًا فَقَالُوا هَذَا لِلَّهِ بِزَعْمِهِمْ وَهَذَا لِشُرَكَائِنَا“Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka: “Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami”.” (QS. Al An’am [6]: 36)
bukankah seharusnya Al-An’aam ayat 136?
Jazakumullahu khoiron.
@ Fathurrahman
Jazakumullah khoiron, sdh kami perbaiki.
kok nomor2 hadits dengan isinya tidak ada yg sesuai, contoh : (HR. Muslim no. 867), saya cek di ensiklopedia hadits ternyata tentang “bolehlah makan dahulu diwaktu sholat ketika makanan sudah dihidangkan” contoh lain : HR. An Nasa’i no. 1578), saya cek isinya tentang Umar & orang2 Habasyah yg sedang bermain di masjid.
antara isi dan nomor hadits tidak ada yg benar, mungkin anda hanya copy paste tanpa konfirmasi lagi ke sumbernya.
Mohon maaf !
#Puyang.Mengot
Metode penomoran hadits memang banyak macamnya, coba cek kitab aslinya yang berbahasa arab jangan terjemahan. Atau di maktabah Asy Syamilah, kami banyak mengambil rujukan dari situ.
salam…setahu saya yang dikata kan tentang hal bid ah hasanah dikhusus kan dalam hal keduniaan bukan dalam hal ibadah yg telah ditetapkan…sebab sabda nabi setiap pekara bid ah itu adalah sesat
Bissmillah,
Assalamualaikum Akhi ana mau bertanya hadist tentang bidah adalah kesesatan dan hadist tentang kesesatan berada dineraka. bukankah hadist tersebut adalah dua bukan satu hadist yang menyambung?
Bismillah,
Di bagian sanggahan pertama untuk beralasan dengan shalat tarawih yang dilakukan oleh Umar, paragraf pertama, bagian akhir. Di situ dituliskan bahwa bid’ah secara bahasa itu mencakup segala yang ada contoh sebelumnya. Bukankah yang tepat adalah segala yang “tidak” ada contoh sebelumnya? Apakah itu typo/memang seperti itu yang tepat?
gini mas . saya melihat dari jawaban anda sampean itu memakan mentah mentah .. sampean teliti dulu dalam bab memahami kitab baik al quran hadist dan kitab kuning . “tadi ada kata kata yang kurang enak didengar dalam artian seakan akan anda sudah ……… surga ” apa itu tahlil mas sepengetahuan anda ” silahkan sampean jawab . terserah mau pakai bahasa arab apa engga yang penting jangan pakai terjemahan
Bener pisan .
Apa dijelaskan oleh web muslim or ini adalah benar saya setuju,
Jangan pedulikan komentar pelaku bid’ah itu,
ASSALAMU’ALAIKUM
Maaf, ingin tanya. Bagaimana anda menanggapi penjelasan Ulama’ seperti Imam Syafi’i yang menyatakan bahwa bid’ah itu ada yang terpuji dan ada yang tercela?
Andai diin al Islam ini dfahami secara utuh/konprehensif atau kaffah tidak sebatas ritual dan seremonial maka semua aspek kehidupan (ipoleksosbud) sesuai ajaran Islam. Maka idealnya tidak ada lagi talbisme antara yg haq dgn perkara batil.
Islam sbg diin yg sempurna, satu²nya yg diridhai-Nya, dan bernilai tinggi dan tidak ada yg lebih tinggi dari Islam adalah satu mindset (aqidah dan tauhid) yg harus dimiliki kaum muslimin. Dan hal ini yg menjadi motivasi da’wah agar diin Islam harus dimenangkan diatas diin yg lainnya sebagaimana salahsatu sebab Rasulullah diutus berbekal petunjuk/pedoman (Al-Qur’an) dan diin yg haq (Islam). Jika (kedaulatan Islam) sdh terwujud mk insya’Allah perkara² bid’ah dan hal² yg bertentangan dgn aqidah dan tauhid terutama kemusyrikan akan dapat diminimalisir. Bukankan risalah para Nabi dan Rasulullah itu sama mentauhudkan Allah dan menegakkan syariat-Nya? Semoga mu’minin yg memperjuangkan dan mengusung mabda selain diin Islam kembali ke konsepsi Islam yg tinggi sebagaimana dicontohkan Rasulullah, para sahabat dan generasi setelahnya. Allahu a’alam