Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Dakwah, sebuah tugas mulia yang diemban oleh para pengikut nabi yang setia. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah: Inilah jalanku, aku mengajak kepada Allah di atas landasan bashirah/ilmu, inilah jalanku dan orang-orang yang setia mengikutiku. Maha suci Allah, aku bukan termasuk orang-orang musyrik.” (QS. Yusuf: 108).
Bahkan, kita pun tahu bahwa jalan dakwah merupakan jalannya orang-orang yang beruntung, orang-orang yang selamat dari kerugian. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Demi masa, sesungguhnya semua orang benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasehati dalam kebenaran (berdakwah) dan saling menasehati untuk menetapi kesabaran.” (QS. al-‘Ashr: 1-3)
Namun, satu hal yang perlu diingat pula oleh setiap orang yang menisbatkan dirinya kepada dakwah yang agung ini, bahwa dakwah para nabi dan rasul di sepanjang jaman tidak pernah mengalami perubahan asas dan tujuan. Sebagaimana telah ditegaskan oleh Allah -yang telah mengutus mereka- di dalam firman-Nya (yang artinya), “Sungguh, Kami telah mengutus kepada setiap umat, seorang rasul yang menyerukan; sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. an-Nahl: 36). Artinya, dakwah tauhid dan pemberantasan syirik merupakan agenda utama dakwah yang sama sekali tidak boleh disepelekan, apalagi dianggap tidak relevan atau isu masa silam yang sudah ketinggalan jaman[?!]
Kita semua ingat, tidaklah mulia suatu kaum -di sisi Allah, meskipun tampak hina di mata manusia- kecuali karena tauhid, ketakwaan, dan komitmen mereka terhadap ajaran Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya agama yang sah di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imran: 19). Allah ‘azza wa jalla juga berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mencari agama selain Islam maka tidak akan diterima darinya, dan di akherat kelak dia pasti termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. Ali Imran: 85). Allah tabaraka wa ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertakwa.” (QS. al-Hujurat: 15).
Sebab tauhid, keimanan dan bimbingan al-Qur’an itulah yang menjadi pondasi kebaikan umat manusia. Yang dengannya mereka hidup dan bahagia, yang dengannya mereka akan bisa merasakan indahnya surga. Allah jalla dzikruhu menyatakan (yang artinya), “Tidaklah mereka diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan ikhlas dalam menjalankan agama secara lurus,…” (QS. al-Bayyinah: 5). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya maka sungguh dia akan mendapatkan kemenangan yang sangat besar.” (QS. al-Ahzab: 71). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah akan mengangkat kedudukan sebagian kaum karena Kitab ini dan menghinakan yang lain juga karenanya.” (HR. Muslim)
Maka sungguh amat menyedihkan, apabila ada sebagian golongan umat ini yang berjuang mengatasnamakan dakwah dan Islam kemudian menyingkirkan agenda besar umat Islam yaitu dakwah tauhid dan sunnah serta pemberantasan syirik dan bid’ah demi meraih kursi dan jabatan. Subhanallah! Tidak layak bagi mereka untuk mencatut firman Allah –yang mengisahkan ucapan Nabi Syu’aib ‘alaihis salam– (yang artinya), “Tiada yang kuinginkan melainkan melakukan perbaikan selama aku masih berkemampuan…” (QS. Huud: 88).
Wahai saudaraku –fillah– dakwah macam apakah ini? Mengorbankan agama demi mendapatkan ceceran kesenangan dunia dan fatamorgana… Kembalilah kepada Allah dan Rasul-Nya, kembalilah kepada para ulama Rabbani pengikut pemahaman generasi utama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersegeralah melakukan amal-amal sebelum datangnya terpaan fitnah laksana potongan-potongan malam yang gelap gulita, sehingga membuat seorang yang pada pagi harinya beriman namun pada sore harinya berubah menjadi kafir, atau sorenya beriman namun pagi hari kemudian menjadi kafir. Dia rela menjual agamanya demi mendapatkan kesenangan dunia.” (HR. Muslim).
Sementara Rabb kita ‘azza wa jalla telah membakukan kriteria amal yang diterima di sisi-Nya dengan firman-Nya (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih dan janganlah dia mempersekutukan apapun dalam beribadah kepada Rabbnya barang sedikitpun.” (QS. al-Kahfi: 110). Ingatlah kata para ulama kita, amal dikatakan salih jika selaras dengan Sunnah Nabi-Nya, dan dikatakan ikhlas jika dipersembahkan hanya untuk-Nya, bukan untuk mencari dunia atau perempuan yang ingin dikawininya! Tidakkah kita ingat sebuah ayat yang mulia yang senantiasa kita baca dalam setiap raka’at kita, Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in, “Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan.” Wahai saudaraku –fillah– inilah tujuan dan cita-cita hidupmu!
Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Akidah yang benar merupakan pondasi tegaknya agama dan syarat sah diterimanya amalan. Hal itu sebagaimana yang difirmankan oleh Allah (yang artinya), “Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan sesuatu pun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (QS. al-Kahfi: 110). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelummu: Seandainya kamu berbuat syirik niscaya akan lenyap seluruh amalmu, dan kamu pasti termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. az-Zumar: 65). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Sembahlah Allah dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya. Ingatlah, untuk Allah agama/ketaatn yang tulus/murni itu.” (QS. az-Zumar: 2-3). Maka ayat-ayat yang mulia ini serta ayat-ayat lain yang semakna -dan itu banyak jumlahnya- menunjukkan bahwa amalan tidak akan diterima kecuali apabila bersih dari syirik. Oleh sebab itulah maka fokus perhatian para rasul -semoga salawat dan keselamatan dicurahkan Allah kepada mereka- menjadikan perbaikan akidah sebagai prioritas utama dakwahnya…” (at-Tauhid li ash-Shaff al-Awwal al-’Aali, hal. 9-10)
Hizbullah, yaitu golongan Allah, tidak membangun loyalitasnya di atas kepentingan politik kursi dan jabatan, akan tetapi membangun loyalitas karena-Nya, bersaudara di atas ikatan iman, dan berlepas diri dari segala bentuk kekufuran. Rabb kita tabaraka wa ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidak akan kamu temukan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir itu justru berkasih sayang dengan orang-orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu adalah bapaknya, anaknya, saudara-saudara mereka atau sanak famili mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah ditetapkan keimanan oleh Allah di dalam hatinya dan diperkuat oleh Allah dengan pertolongan dari-Nya. Niscaya Allah akan memasukkan mereka ke dalam surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha kepada mereka dan mereka pun pasti akan ridha kepada-Nya. Mereka itulah hizbullah, dan hanya mereka itulah golongan orang-orang yang beruntung.” (QS. al-Mujadilah: 22)
Tidakkah kita ingat salah satu uswah kita, Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang dengan tegas, berani, dan lantang menyuarakan tauhid di hadapan kaumnya, tanpa basa-basi politik atau bumbu ucapan dusta. Sebagaimana dikisahkan oleh Rabb kita tabaraka wa ta’ala (yang artinya), “Sungguh terdapat suri tauladan yang baik pada Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya, ketika mereka berkata kepada kaumnya; Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan segala yang kalian sembah selain Allah. Kami ingkari perbuatan kalian dan telah tampak jelas antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian, sampai kalian beriman kepada Allah semata…” (QS. al-Mumtahanah: 4)
Saudaraku –fillah– jalan dakwah ini terlalu suci untuk dikotori dengan kepentingan-kepentingan sesaat dan ambisi-ambisi jahat semacam itu. Rabb kita jalla sya’nuhu telah memerintahkan (yang artinya), “Ikutilah apa yang diwahyukan kepadamu dari Rabbmu, tiada sesembahan-–yang benar- kecuali Dia, dan berpalinglah dari orang-orang musyrik.” (QS. al-An’aam: 106). Allah juga memerintahkan (yang artinya), “Dan sesungguhnya inilah jalanku yang lurus, maka ikutilah ia dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain karena hal itu pasti akan mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Demikianlah Dia memerintahkan kamu agar kamu bertakwa.” (QS. al-An’aam: 153)
Takutlah kepada Allah, wahai saudara-saudaraku… Pergunakanlah ilmumu yang telah kau serap, kau hafalkan, dan kau teguk bertahun-tahun lalu melalui kitab-kitab para ulama salaf. Ingatlah ucapan Ibnu Batthal rahimahullah, “Sesungguhnya ilmu itu dinilai memiliki keutamaan disebabkan ilmu itulah yang akan membimbing pemiliknya untuk merasa takut kepada Allah, berusaha untuk selalu melakukan ketaatan kepada-Nya dan menjauhi kedurhakaan kepada-Nya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya yang merasa takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu.” (QS. Fathir: 28). Ibnu Umar berkata kepada orang yang memanggilnya sebagai faqih -orang yang ahli agama-, “Sesungguhnya orang yang faqih itu adalah orang yang zuhud kepada dunia dan sangat merindukan akherat.”.” (lihat Syarh Ibnu Batthal [1/149], lihat juga Syarh an-Nawawi [3/489] asy-Syamilah)
Maka titel dan gelar akademis -apalagi jabatan organisasi dan kepartaian- bukanlah ukuran keilmuan seseorang dalam kacamata syari’at! Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya yang merasa takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu.” (QS. Fathir: 28). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan, “Maknanya adalah tidak ada yang merasa takut kepada-Nya kecuali seorang yang berilmu. Ini artinya Allah memberitakan bahwa setiap orang yang takut kepada Allah maka itulah orang yang berilmu. Sebagaimana yang Allah ceritakan di dalam ayat lainnya (yang artinya), ‘Apakah sama orang yang senantiasa taat mengerjakan sholat dengan bersujud dan berdiri di sepanjang malam serta merasa takut akan hari akherat dan mengharapkan rahmat Rabbnya (dengan yang tidak demikian itu). Katakanlah: Apakah sama antara orang-orang yang berilmu dengan orang-orang yang tidak berilmu.’ (QS. az-Zumar: 9). Sementara rasa takut/khas-yah itu pasti mengandung rasa harap, sebab kalau tidak demikian maka hal itu adalah sebuah keputusasaan. Sebagaimana halnya rasa harap pasti menuntut adanya rasa takut, sebab kalau tidak demikian maka yang ada adalah rasa aman -dari makar Allah-. Maka, orang-orang yang senantiasa memiliki rasa takut dan harap kepada Allah itulah sebenarnya ahli ilmu yang dipuji oleh Allah.” (al-Iman, takhrij al-Albani, hal. 20)
Oleh sebab itulah mengapa para salaf menyebut semua orang yang berbuat maksiat -meskipun dia berilmu- sebagai orang yang jahil/bodoh. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya taubat itu akan diterima oleh Allah hanyalah bagi orang-orang yang melakukan keburukan dengan sebab kebodohan, kemudian mereka bertaubat dalam waktu yang dekat.” (QS. an-Nisaa’: 17). Abul ‘Aliyah mengatakan, “Aku bertanya kepada para sahabat Muhammad -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tentang makna ayat ini, maka mereka berkata kepadaku, ‘Semua orang yang durhaka/bermaksiat kepada Allah maka dia adalah jahil/bodoh, dan semua orang yang bertaubat sebelum meninggal maka dia telah bertaubat dalam waktu yang dekat’.” Ibnu Taimiyah mengomentari, “Demikianlah penafsiran yang dikatakan oleh segenap ahli tafsir.” Lalu beliau juga mengutip perkataan Mujahid, “Setiap orang yang berbuat maksiat maka dia adalah bodoh ketika melakukan maksiatnya itu.” (lihat al-Iman, takhrij al-Albani, hal. 21)
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Bukanlah ilmu itu dengan banyaknya riwayat, akan tetapi hakekat ilmu itu adalah khas-yah/rasa takut kepada Allah.” (dikutip dari al-Fawa’id, hal. 142). Beliau juga mengatakan, “Cukuplah rasa takut kepada Allah bukti keilmuan, dan cukuplah ketertipuan diri karena kemurahan Allah sebagai bentuk kebodohan.” (dikutip dari al-Iman karya Ibnu Taimiyah, takhrij al-Albani, hal. 22).
Diriwayatkan pula dari al-Hasan al-Bashri rahimahullah, bahwa beliau berkata, “Ilmu itu ada dua macam. Ilmu yang tertancap di dalam hati dan ilmu yang sekedar berhenti di lisan. Ilmu yang tertancap di hati itulah ilmu yang bermanfaat, sedangkan ilmu yang hanya berhenti di lisan itu merupakan hujjah/bukti bagi Allah untuk menghukum hamba-hamba-Nya.” (HR. al-Khathib al-Baghdadi dalam Tarikhnya dengan sanad dha’if marfu’, lihat al-Iman, takhrij al-Albani, hal. 22)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Dahulu para ulama salaf mengatakan, “Berhati-hatilah dari dua golongan manusia; pemilik hawa nafsu yang telah terjerat oleh hawa nafsunya dan pemilik -kesenangan- dunia yang telah terbutakan hatinya oleh dunianya.”Beliau juga berkata, “Dahulu mereka juga mengatakan, “Waspadalah dari fitnahnya seorang alim yang fajir dan ahli ibadah yang bodoh. Karena sesungguhnya fitnah yang menjerat mereka berdua merupakan bencana yang bisa mencelakakan semua orang yang tertimpa oleh fitnah itu.” (dikutip dari adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir yang disusun oleh Syaikh Ali ash-Shalihi [5/134], lihat juga al-Fawa’id hal. 99 dan Ighatsat al-Lahfan hal. 668)
Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan, “Barangsiapa yang rusak di antara ahli ibadah kita maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang Nasrani. Dan barangsiapa yang rusak di antara ahli ilmu kita maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang Yahudi.” Ibnul Qayyim mengatakan, “Hal itu dikarenakan orang Nasrani beribadah tanpa ilmu sedangkan orang Yahudi mengetahui kebenaran akan tetapi mereka justru berpaling darinya.” (Ighatsat al-Lahfan, hal. 36)
Demikian pula, bersikeras memusuhi Sunnah merupakan bentuk kebodohan dan tindak memperturutkan hawa nafsu. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Dahulu para salaf menyebut orang-orang yang menganut pemikiran yang bertentangan dengan sunnah serta menyelisihi ajaran yang dibawa oleh Rasul dalam perkara ilmu yang bersifat pemberitaan -dari Allah- maupun yang menyeleweng dalam masalah hukum amaliyah sebagai penganut syubhat dan pengekor hawa nafsu. Hal itu dikarenakan pada hakekatnya pemikiran yang menyelisihi Sunnah adalah kebodohan bukan ilmu, itu adalah hawa nafsu dan bukan agama. Oleh sebab itu orang yang tetap bersikeras mengikutinya digolongkan dalam kelompok orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa memperhatikan petunjuk dari Allah, yang pada akhirnya menjerumuskan kepada kesesatan di dunia dan kebinasaan nanti di akherat…” (Ighatsat al-Lahfan, hal. 639).
Dengan demikian hakekat orang yang berilmu adalah orang yang setia mengikuti Sunnah. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Maka orang yang paling berilmu dan paling sehat akal, pemikiran, dan paling baik cara penilaiannya adalah orang yang akal, pemikiran, dan cara penilaian/istihsan-nya serta analoginya bersesuaian dengan Sunnah. Sebagaimana yang dikatakan oleh Mujahid, ‘Ibadah yang paling utama adalah pemikiran yang bagus, yaitu mengikuti Sunnah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), ‘Dan orang-orang yang diberikan ilmu bisa melihat bahwa apa yang telah diturunkan oleh Rabbmu kepadamu itulah yang benar.’ (QS. Saba’: 6).” (Ighatsat al-Lahfan, hal. 638-639)
Saudaraku –fillah-, jangan sampai kita termasuk orang-orang yang disinyalir dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini. Dari Abu Hurairah –radhiyallahu’anhu-, dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan penipuan. Ketika itu pendusta dibenarkan sedangkan orang yang jujur malah didustakan, pengkhianat dipercaya sedangkan orang yang amanah justru dianggap sebagai pengkhianat. Pada saat itu Ruwaibidhah berbicara.” Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud Ruwaibidhah?”. Beliau menjawab, “Orang bodoh yang turut campur dalam urusan masyarakat luas.” (HR. Ibnu Majah, disahihkan al-Albani dalam as-Shahihah [1887] as-Syamilah).
Para pembesar,… dengarkanlah keluhan simpatisanmu.. Dia telah menumpahkan isi hatinya kepada khalayak, untuk menunjukkan betapa jauhnya penyimpangan yang ada di tengah-tengah barisan kalian –semoga Allah mengembalikan kalian ke jalan salafus shalih-.
“Sekjen PKS Anis Matta mengatakan bahwa mereka ingin keluar dari tema-tema sempit, dalam rangka mengubah citra Islamis, dengan jargon “PKS Untuk Semua”. Ini bukan pertama kalinya diungkap oleh Anis Matta, PKSOnline tanggal 23 Januari 2009 juga mencatat pernyataan semacam ini dari Anis Matta, bahwa era politik aliran sudah berakhir. Lalu diperkuat lagi dengan pernyataan wakil Sekjen Zulkiflimansyah pada tanggal 30 Januari 2009, bahwa syariat Islam itu sudah agenda masa lalu.
Jadi misi-misi dakwah seperti pemurnian akidah tauhid, penegakan nilai syari’ah, adalah hal-hal yang sudah tidak relevan lagi buat PKS dan dianggap sebagai tema yang sempit. Nastaghfirullah, padahal tidaklah Allah Ta’ala mengutus para nabi dan rasul kecuali untuk tugas-tugas ini, tapi ternyata itu ditegaskan sebagai hal yang tidak relevan lagi oleh PKS.” (http://pkswatch.blogspot.com)
Akhirnya, keputusan objektif itupun dia keluarkan, “Kini, alhamdulillah, saya mulai bisa melepaskan PKS dari hati saya, dari pikiran saya, dan saya malah merasa plong. Selamat tinggal PKS. Pembicaraan dan pikiran mengenai PKS sudah sama sekali tidak menarik minat saya lagi, sudah sama seperti ketika membicarakan partai-partai politik yang lain.” (http://pkswatch.blogspot.com)
Masih adakah hati yang terketuk, dan nurani yang tergerak, menyaksikan sandiwara politik yang telah mengorbankan sekian banyak tunas-tunas negeri? Kembalilah ke jalanmu -wahai saudaraku, jalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya yang mulia. ‘Alaikum bi sunnati wa sunnatil khulafa’ir rasyidin al-mahdiyin, tamassaku bihaa, wa ‘adhdhuu ‘alaihaa bin nawajidz! Wa iyyaakum wa muhdatsaatil umuur..Fa inna kulla muhdatsatin bid’ah. Wa kulla bid’atin dholalah! Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
mudah2an PERTAMAXXX !!!
emang tuh PKS.. ckckckckck
“kanan-kiri” Oke…!!
Asal mendulang bnyk suara..??
astaghfirullaah…
“menghalalkan segala cara hanya demi dunia (kekuasaan) yg sangat sementara”
semoga saudara2 kita tersebut segera membuka hatinya dan diberikan hidayah oleh Allaah Subhanahu wa ta’ala… -amiin-
*ijin share di facebook
jazakumullaah khairan
Bismillah. Assalamu’alaikum Ustad, apakah bekerja itu dpt mnjadi udzur bgi kita utk mninggalkan Shalat Jama’ah?? Krn kondisi tmpat krja ana yg sgt sulit skali utk mlakukn shalat jam’ah, klopun bsa itupun hnya d lakukan oleh 2 org sja dn hrus melanggar SOP yg d tetapkan oleh perusahaan yg brpotensi kecelakaan ringan, dn apakah shalat berjama’ah 2 org sja yg d lakukan d tempat yg tdk d kumandangkn adzan itu dpt mngganti keutamaan shalat jam’ah d masjid?? Mohon penjelasannya Ustad, Barakallahufiq.
#Hasyim
Wa’alaikumussalam. Silakan simak http://ustadzkholid.com/tanya-ustadz/fiqih-ibadah/saya-kerja-di-pabrik-apakah-tetap-shalat-berjamaah/
Ustaz ana dari PKS lumayan banyak dan bahkan pernah jadi “jurkam” di salah satu pilkada.
Hotel untuk Munas termewah dari seluruh partai yg ada, kesederhanaan hilang dan azas sudah berubah.
Sedih, benci dan lain-lain bercampur aduk.
Selamat tinggal PKS, namun saya tetap berdo’a suatu saat nanti engkau akan kembali ke Islam yang hakiki dan bahkan pelopor beridirinya dan tegaknya khilafah dan syariat Islam.
Smg mereka diberi hidayah oleh Alloh agar kembali ke jalan yang benar
ini bukan untuk PKS aja,,,bahkan ini adalah peringatan bagi parpol lain..atau malah peringatan bagi diri kita masing-masing..Mudah-mudahan Allah menghindarkan kita dari penyakit mabuk kekuasaan ini. Aamiin..
Assalamu ‘alaikum
@Suaib Musa
Semoga Allah memberikan anda keberkahan dan kebaikan berlimpah. Selamat belajar wahai saudaraku dan istiqamahlah di atas jalan kebenaran ini.
Semoga Allah memberikan mereka hidayah dan taufik-Nya.
ya Allah, masukkanlah kami ke dlm kelompok org2 berilmu yg senantiasa takut kpd Engkau…..
Karuniailah kami ilmu dan rasa takut kpdMu…
anugerahkanlah kami rasa kasih sayang kpd sesama kaum muslimin, bukan rasa ujub/bangga diri, sum’ah/pamer, condong kpd taqlid buta (‘membenarkan semua yg datang dari ulama/ustad saya’ – tanpa menghiraukan pendapat ulama sunnah lainnya yg berbeda dg pendapat ulama/ustad saya).
Hilangkanlah dari kami sikap memfokuskan diri membesar-besarkan permasalahan yg menyebabkan terpecahnya barisan kaum muslimin terutama ttg masalah khilafiah ulama….
persatukanlah kami kaum mulimin yg berjalan diatas pemahaman kaum salaf… tanamkan keinginan utk selalu berjl diatas manhaj salafusholeh diatas alquran dan sunnah…
benar…rasanya sedih hati ini. kemana lagi harapan akan parpol yang tidak hanya beridentitaskan islam tapi juga mengemban syariat islam untuk diterapkan.. saya rasa PKS sudah tidak bisa lagi dijadikan tumpuan dan mengorbankan aspirasi pendukungnya dari nol, justru kini mengkhianati pendukungnya itu. tp yg namanya pemikiran yang sudah sama sekali berbeda akan sulit dikembalikan seperti semula. bye…afwan aku tak lagi mencintaimu..
Siapapun yg terjun ke dunia politik sptnya akan mudah terbuai dengan kekuasaan. Oleh karena itulah kawan2…renungkanlah nasihat para ulama Rabbani, janganlah menceburkan diri didalam politik praktis, sibukkan dirimu dengan menuntut ilmu, beramal dan berdakwah.
Semoga kawan-kawanku yg masih terlibat di dunia politik praktis segera sadar akan kekeliruannya. Amin.
Mengapa harus diidentikkan dengan PKS. semua perkara demokrasi tidak ada tuntunannya dari Salafushshalih, semua parpol pasti menggunakan segala cara agar perolehan suaranya lebih dan lebih, jika ditelilti mengapa dan apa sebabnya tidak lain kekuasaan dan harta yang dipuja, dicari, diburu dengan mengesampingkan syariat atau hal-hal yang dihalalkan. kalau perlu yang haram pun dikerjakan demi suara yang buanyak itu. Nabiullah Shallallahu Alaihi Wasallam berhasil menjadi pemimpin karena memang menjadikan Alquran sebagai pegangan Beliau. beda dengan perkara yang dilakukan pada akhir zaman ini, sangat jauh dari Alquran dan Assunnah. hingga kita bisa melihat “keajaiban politik” dewasa ini. semoga Saudaraku yang masih bergelut dalam percaturan politik diberikan hidayah hingga kembali pada jalan yang telah menjadikan ummat ini jaya (tiga generasi terbaik)
Memang demikianlah “kejamnya” politik dan kekuasaan.
Seseorang yang memasukinya ada 2 kemungkinan :
1. Ia akan mengubah sistem
2. Ia akan diubah sistem
Nampaknya kemungkinan ke 2 yang banyak terjadi :-(
Sungguh, pada kesulitan (baca : saat miskin)akan ditemukan kesabaran dan idealisme yang tinggi,
Sedangkan pada kemewahan (baca : saat sudah berkuasa) akan cinta dunia dan hanya mencari ridha manusia.
Wallahu a’lam
jadi ingat waktu ikut dauroh ustadz Yazid bin Abdul Qodir Jawwas di Malang beberapa tahun yg lalu. menurut beliau hafizhahullahu Ta’ala: mereka yg terjun ke dunia politik ala kuffar atau masuk ke parlemen dengan niatan ingin merubah kondisi negara agar menerapkan syari’at Islam, maka mereka tidak akan mampu merubah, malah mereka sendiri yg akan berubah. dan itu terbukti pada saudara2 kita di pks hadanallahu wa iyyahum.
syari’at Islam tidak akan mungkin ditegakkan melalui jalan demokrasi atau sistem-sistem buatan orang kafir lainnya.
aslm..
alhmd, puji syukur q panjatkan khdirat ALLAH swt yg menetapkan hati qt di jalan islam yg malamnya terang bagai siangnya..
akh, wktu ana posting di FB, ada yg menanggapi sprti ini
1. artikel ini tidak mnunjukkan akhlak salaf (mnjaga aib saudara) & untuk mksud ap di pulikasikan?
2. kita hanya pnyeru, bukan hakim..
dan kdua org itu adalah anggota organisasi itu..
bagmn tanggapan antum? krn ana lihat mreka tidak koment di sini.
jzk.
Untuk ibn yunus..
jawabannya
1. klo memang itu aib, kenapa tetap dikerjakan, bukan ditinggalkan..??
dan maksudnya sangat jelas, agar orang laen tidak mengikuti jejak mereka, dan memperingati orang laen dari kesalahan mereka..
bukankah suatu amalan yang sangat besar, ketika seseorang menasehati orang laen agar terhindar dari kesalahan?
2. penyerulah kepada jalan yang benar, bukan menyeru kepada kesesatan..
jika antum masih dijawab dengan kata2 sopan, ana malah dihujat ketika ana menshare kritikan dari salah satu ikhwah mereka sendiri di media online, dengan kata2, kamu itu hanya uang receh, ga ada nilainya tapi gemericik bunyinya, (begitulah jika fanatik golongan sudah merasuki orang)
Jawab saja : Jika kata mereka itu aib, kenapa atuh petinggi2nya mempublikasikan ke media massa?
Yang menjadi hakim adalah al quran dan as sunnah, jika menyelisihi hal tersebut, berarti mereka dalam kesesatan,. Waullahualam.
ijin share ya ustdz
@ ranger, dan yg komen untk sya
iya.. ana jg mrasa hrus adil, ap ana jg slh dlm mympaikn, ttpi stlh ana bc ulg artikel ni, pnulis hnya mnukil dalil, sdkit mgkn pke ro’yu ny.
ad nasihat lg ga untk ana?plus dalil kalo bs.
jzk.
Bahkan imam abu hanifah mengatakan jangan kau catat fatwaku karena bisa berubah untuk esok hari(mengingat pada masa beliau belum banyak hadits yang dicatat serta para tabi’in yang masih menyebar ke penjuru bumi ini)
Teringat perkataan Maimun bin Mahran rahimahullah :
في صحبة السلطان خطران : إن أطعته خاطرت بدينك ، وإن عصيت خطرت بنفسك ، والسلامةأن لايعرفك
“Bergaul dengan para penguasa mempunyai dua bahaya : jika engkau mentaatinya, maka itu akan membahayakan agamamu; dan jika engkau mengingkarinya, maka itu membahayakan keselamatan dirimu. Dan yang paling selamat, adalah penguasa itu tidak mengenalmu”. (Tanbih Al-Ghafilin : 246).
Berhati-hatilah dalam membicarakan keburukan sebuah entitas di dunia maya. Tulisan ini akan terus terpampang hingga 10 tahun atau 20 tahun akan datang. Bisa jadi saat itu entitas tersebut sudah memperbaiki dirinya. Bisa jadi tulisan di atas menjadi bahan untuk provokasi ini bisa merusak ukhuwah mana kala tendensi penulis tidak sesuai kenyataan. Berhati-hatilah mengutip artikel dunia maya sebagai bahan untuk “mengadili” saudara se-iman.
Nasehat untuk siapa saja yang mau mendengar. Barakallahu fiikum.
2014-10-13 16:22 GMT+07:00 Disqus :
Setuju akh fauzi..coba tabayun dulu. Kan distruktur pks ada dewan syariah. Antum sampaikan saja nasehatnya..toh bukan berarti selama ini pks tidak ada baiknya. Berapa banyak peraturan yg bisa dipengaruhi dimasukan nilai2 islami. Berapa banyak aturan yg merugikan umat islam bisa ditolak hati2