Muslim.or.id
khutbah jumat
  • Aqidah
  • Manhaj
  • Landasan Agama
  • Penyejuk Hati
  • Fikih
  • Sejarah
  • Khotbah Jum’at
  • Kalkulator Waris
  • E-Book
No Result
View All Result
  • Aqidah
  • Manhaj
  • Landasan Agama
  • Penyejuk Hati
  • Fikih
  • Sejarah
  • Khotbah Jum’at
  • Kalkulator Waris
  • E-Book
No Result
View All Result
Muslim.or.id
No Result
View All Result
Donasi Dakwah YPIA Donasi Dakwah YPIA

Sisi Lain Amalan Bid’ah Yang Sering Dilupakan

Dr. Musyaffa Addariny, Lc., M.A. oleh Dr. Musyaffa Addariny, Lc., M.A.
6 Agustus 2015
Waktu Baca: 2 menit
15

“Itu kan kebaikan, kenapa dilarang?!“. Inilah sanggahan yang sering kita dengar dari sebagian orang yang terjatuh dalam amalan bid’ah saat diingatkan.

Sungguh, perkataan ini merupakan tanda kurang-tahunya dia tentang bid’ah. Jika dia mengetahui hal-hal berikut, tentu ucapan itu tidak akan terlontar darinya.

  1. Ranah bid’ah adalah ibadah, sehingga tidak mungkin terlihat sebagai keburukan. Semua bid’ah tentunya terlihat baik, karena berupa ibadah yang dibuat-buat dan dimodifikasi sehingga terlihat mulia dan sangat pas.
  2. Bid’ah bukan sekedar amalan yang tidak diterima. Tapi, dia merupakan DOSA yang harus ditinggalkan, sebagaimana sabda Nabi shollallohu alaihi wasallam: “Jauhilah hal-hal yg baru (dalam agama), karena semua perkara yang baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah KESESATAN“. (HR. Abu Dawud:4607 dan yang lainnya, shahih).
  3. Ketika bid’ah sudah biasa dilakukan, maka sunnah Nabi –shollallohu alaihi wasallam– akan dianggap sebagai sebuah kekurangan, bahkan suatu kemungkaran.

Diantara contohnya, adalah bersalam-salaman setelah shalat fardhu. Nabi –shollallohu alaihi wasallam– dahulu tidak pernah bersalam-salaman setelah salam dari shalat fardhu. Ini menunjukkan bahwa diantara sunnah Nabi adalah tidak bersalam-salaman setelah shalat fardhu. Nah, ketika bid’ah bersalam-salaman setelah shalat ini menjadi kebiasaan di suatu tempat, maka meninggalkannya akan dianggap suatu kekurangan, bahkan suatu kemungkaran.

Padahal dahulu Nabi –shollallohu alaihi wasallam– meninggalkan hal itu dan tidak melakukannya, pantaskah kita katakan bahwa amaliah Nabi itu kurang, atau bahkan suatu kemungkaran?!

Ulama besar dari madzhab syafi’i, Al-Izz bin Abdussalam (w 660 H) telah menegaskan: “Bersalam-salaman setelah shalat subuh dan shalat ashar termasuk amalan BID’AH. Dahulu Nabi –shollallohu alaihi wasallam– setelah shalat; membaca dzikir-dzikir yang disyariatkan dan beristighfar tiga kali, kemudian beliau pergi. Dan semua kebaikan ada dalam tindakan mengikuti Rosul shallallohu alaihi wasallam. (Oleh karenanya) Imam Syafi’i menganjurkan kepada imam untuk pergi setelah salamnya”. (Al-Fatawa, karya: Al-Izz bin Abdussalam, hal: 46-47).

Tidak bisa dipungkiri, bahwa orang yang sudah terbiasa bersalam-salaman setelah shalat fardhu, kemudian dia tidak melakukannya atau melihat orang lain tidak melakukannya, tentu dia merasa kurang afdhol, padahal justru itulah sunnah Nabi shollallohu alaihi wasallam. Pantaskah sunnah Nabi dianggap kurang afdhol?! Atau pantaskah ajaran beliau dirasa ada yang kurang?!

Saudaraku kaum muslimin, cobalah perhatikan amalan-amalan bid’ah lainnya yang ada di sekitar Anda, tentu Anda akan mendapati kenyataan di atas. Jika tidak percaya, silahkan dibuktikan.

Semoga bermanfaat.

***

Penulis: Ust. Musyaffa Ad Darini, Lc., MA.

Artikel Muslim.or.id

Tags: amalan bid'ahBid'ahdosaManhajShalatsyariat
Dr. Musyaffa Addariny, Lc., M.A.

Dr. Musyaffa Addariny, Lc., M.A.

Alumnus S1 Universitas Islam Madinah Saudi Arabia, Fakultas Syari’ah. S2 di Universitas yang sama, jurusan Ushul Fikih. S3 di universitas dan jurusan yang sama.

Artikel Terkait

Bahaya Bidah

10 Bahaya Bid’ah dalam Agama

oleh Yulian Purnama, S.Kom.
18 Februari 2023
0

Bid'ah dalam agama selain terlarang juga memberikan bahaya bagi pelakunya. Di antaranya berikut ini:

Dakwah Prioritas

Buah Manis Dakwah Prioritas

oleh Fauzan Hidayat
3 Januari 2023
0

Apa yang dimaksud dengan dakwah prioritas dan apa saja buah manis yang bisa dipetik darinya

dusta

Berdusta atas Nama Allah dan Rasulullah

oleh dr. M Saifudin Hakim, M.Sc., Ph.D.
27 Desember 2022
0

Pada zaman dulu, banyak dijumpai hadis-hadis palsu atas nama Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam.

Artikel Selanjutnya
Sikap Hamba Allah Seusai Ramadhan (1)

Sikap Hamba Allah Seusai Ramadhan (1)

Komentar 15

  1. Jared Jamiatun says:
    8 tahun yang lalu

    Benar Ustadz, demikian lah yang saya jumpai. Terima kasih atas nasehatnya.

    Balas
    • WhoAmI says:
      8 tahun yang lalu

      hari gini Sunnah banyak ditinggalkan dan bid’ah banyak berkembang dimana2. pada akhirnya orang2 yg menjalankan Sunnah menjadi terasing. tapi yg terasing ini adalah golongan yg beruntung. karena dalam Islam benar salah tidak diukur berdasarkan banyaknya orang yg mengikuti, tapi kebenaran itu apa yg Allah dan Rasul-Nya sampaikan

      Balas
  2. Muhammad Ihsan Putra says:
    8 tahun yang lalu

    Ustadz, saya sering mendengar bahwa jika masyarakat melakukan bid’ah, maka saat itu pula sunnah ditinggalkan. Intinya kalau ada sunnah, tidak ada bid’ah. Sebaliknya kalau ada bid’ah, tidak ada sunnah.

    Tapi, untuk masalah salaam ini kok saya merasa aneh ya. Masyarakat setelah salam, mereka istighfar dan dzikir, disambung dengan sholat sunnah. Lalu setelah itu mereka langsung pergi ke urusan masing2. Tanpa ada tegur sapa dll. Bukankah termasuk sunnah adalah berjabat tangan di saat bertemu dan berpisah kepada siapa saja, kenalan maupun orang asing.

    Dari kasus diatas, bid’ah ditinggalkan, sunnah pun tidak dilaksanakan. Mohon penjelasannya.

    Balas
    • Sa'id Abu Ukkasyah says:
      8 tahun yang lalu

      Ya kalau melakukan Sunnah dalam suatu masalah, otomatis meninggalkan bid’ah DALAM MASALAH YG SAMA ditinggalkan.

      Balas
    • WhoAmI says:
      8 tahun yang lalu

      untuk tau apa itu Sunnah kudu butuh ilmu. dan juga harus tau apa itu bid’ah. kalau tidak ada ilmunya kita jadi bingung mana Sunnah mana bid’ah. bid’ah dianggap Sunnah dan Sunnah dianggap bid’ah. amannya sih gini, ketika belum tau hukum sesuatu karena awam mendingan jangan lakukan dulu sampai kita tahu kebenarannya. tapi jgn diam juga, karena belum tau ya harus gencar mencari tau agar segera tau.

      Balas
  3. adi baskoro says:
    8 tahun yang lalu

    beberapa hadits yang menerangkan tentang bersalaman diantaranya adalah riwayat Abu Dawud:

    عَنِ اْلبَرَّاءِ عَنْ عَازِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أنْ يَتَفَرَّقَا

    Artinya : Diriwayatkan dari al-Barra’ dari Azib r.a. Rasulallah s.a.w. bersabda, “Tidaklah ada dua orang muslim yang saling bertemu kemudian saling bersalaman kecuali dosa-dosa keduanya diampuni oleh Allah sebelum berpisah.” (H.R. Abu Dawud)

    عَنْ سَيِّدِنَا يَزِيْد بِنْ اَسْوَدْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: اَنَّهُ صَلَّى الصُّبْحَ مَعَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَليْهِ وَسَلّمْ. وَقالَ: ثُمَّ ثَارَ النَّاسُ يَأخُذوْنَ بِيَدِهِ يَمْسَحُوْنَ بِهَا وُجُوْهَهُمْ, فَأَخَذتُ بِيَدِهِ فَمَسَحْتُ بِهَا وَجْهِيْ.(رواه البخارى

    Artinya : Diriwayatkan dari sahabat Yazid bin Aswad bahwa ia shalat subuh bersama Rasulallah, lalu setelah shalat para jamaah berebut untuk menyalami Nabi, lalu mereka mengusapkan ke wajahnya masing-masing, dan begitu juga saya menyalami tangan Nabi lalu saya usapkan ke wajah saya. (HR. Bukhari, hadits ke 3360).

    عَن قلَدَة بن دِعَامَة الدَّوْسِيْ رَضِيَ الله عَنهُ قالَ قلْتُ لاَنَسْ : اَكَانَتِ اْلمُصَافحَة فِى اَصْحَابِ رَسُوْلِ الله, قالَ نَعَمْ

    Artinya dari Qaladah bin Di’amah r.a. berkata : saya berkata kepada Anas bin Malik, apakah mushafahah itu dilakukan oleh para sahabat Rasul ? Anas menjawab : ya (benar)
    Hadits-hadits di atas adalah menunjuk pada mushafahah secara umum, yang meliputi baik mushafahah setelah shalat maupun di luar setelah shalat.

    Jadi pada intinya mushafahah itu benar-benar disyariatkan baik setelah shalat maupun dalam waktu-waktu yang lainnya. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh hadits di atas.

    Pendapat para ulama.
    1. Imam al-Thahawi.

    تُطْلَبُ اْلمُصَافحَة فَهِيَ سُنَّة عَقِبَ الصَّلاةِ كُلّهَا وَعِندَ كلِّ لَقِيٍّ

    Artinya: Bahwa bersalaman setelah shalat adalah sunah dan begitu juga setiap berjumpa dengan sesama Muslim.

    2. Imam Izzuddin bin Abdissalam
    Beliau berkata :

    اَنَّهَا مِنَ اْلبِدَعِ المُبَاحَةِ

    Artinya : (Mushafahah setelah shalat) adalah masuk dalam kategori bid’ah yang diperbolehkan.

    3. Syeikh Abdul Ghani an-Nabilisi
    Beliau berkata :

    انَّهَا دَاخِلَة تحْت عُمُوْمِ سُنّةِ اْلمُصَافحَةِ مُطْلقا

    Artinya : Mushafahah setelah shalat masuk dalam keumuman hadits tentang mushafahah secara mutlak.

    4. Imam Muhyidin an-Nawawi
    Beliau berkata :

    اَنَّ اْلمُصَا فحَة بَعْدَ الصَّلاة وَدُعَاء المُسْلِمِ لآخِيْهِ اْلمُسْلِمِ بِأنْ يَّتقبَلَ الله مِنهُ صَلاتهُ بِقوْلِهِ (تقبَّلَ الله) لاَ يَخفى مَا فِيْهِمَا مِنْ خَيْرٍ كَبِيْرٍ وَزِيَادَةِ تَعَارُفٍ وَتألُفٍ وَسَبَب لِرِبَطِ القلوْبِ وَاِظهَار للْوَحْدَةِ وَالترَابُطِ بَيْنَ اْلمُسْلِمِينْ

    Artinya : Sesungguhnya mushafahah setelah shalat dan mendoakan saudara muslim supaya shalatnya diterima oleh Allah, dengan ungkapan (semoga Allah menerima shalat anda),

    5. Imam Abul Hasan Al Mawardi Asy Syafi’i Rahimahullah

    Beliau mengatakan dalam kitabnya Al Hawi Al Kabir:

    إِذَا فَرَغَ الْإِمَامُ مِنْ صَلَاتِهِ فَإِنْ كَانَ مَنْ صَلَّى خَلْفَهُ رِجَالًا لَا امْرَأَةَ المصافحة بعد الصلاة فِيهِمْ وَثَبَ سَاعَةَ يُسَلِّمُ لِيَعْلَمَ النَّاسُ فَرَاغَهُ مِنَ الصَّلَاةِ

    “Jika seorang imam sudah selesai dari shalatnya, dan jika yang shalat di belakangnya adalah seorang laki-laki, bukan wanita, maka dia bersalaman setelah shalat bersama mereka, dan setelah sempurna waktunya, hendaknya dia mengucapkan salam agar manusia tahu bahwa dia telah selesai dari shalat.” (Al Hawi Al Kabir, 2/343. Darul Fikr. Beirut – Libanon)

    6. Imam ‘Izzuddin (Al ‘Izz) bin Abdussalam Asy Syafi’i Rahimahullah (w. 660H)

    Beliau memasukkan bersalaman setelah shalat subuh dan ‘ashar sebagai bid’ah yang boleh (bid’ah mubahah). Berikut perkataannya:

    والبدع المباحة أمثلة. منها: المصافحة عقيب الصبح والعصر، ومنها التوسع في اللذيذ من المآكل والمشارب والملابس والمساكن، ولبس الطيالسة، وتوسيع الأكمام.

    “Bid’ah-bid’ah mubahah (bid’ah yang boleh) contoh di antaranya adalah: bersalaman setelah subuh dan ‘ashar, di antaranya juga berlapang-lapang dalam hal-hal yang nikmat berupa makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, melebarkan pakaian kebesaran ulama, dan melebarkan lengan baju.” (Qawaid Al Ahkam fi Mashalihil Anam, 2/173)

    7. Imam An Nawawi Asy Syafi’i Rahimahullah (w. 676H)

    Beliau juga berpendapat mirip dengan Imam Ibnu Abdissalam di atas. Namun, beliau menambahkan dengan beberapa rincian. Berikut perkataannya:

    وَأَمَّا هَذِهِ الْمُصَافَحَةُ الْمُعْتَادَةُ بَعْدَ صَلَاتَيْ الصُّبْحِ وَالْعَصْرِ فَقَدْ ذَكَرَ الشَّيْخُ الْإِمَامُ أَبُو مُحَمَّدِ بْنُ عَبْدِ السَّلَامِ رحمه الله أَنَّهَا مِنْ الْبِدَعِ الْمُبَاحَةِ وَلَا تُوصَفُ بِكَرَاهَةٍ وَلَا اسْتِحْبَابٍ، وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ حَسَنٌ، وَالْمُخْتَارُ أَنْ يُقَالَ: إنْ صَافَحَ مَنْ كَانَ مَعَهُ قَبْلَ الصَّلَاةِ فَمُبَاحَةٌ كَمَا ذَكَرْنَا، وَإِنْ صَافَحَ مَنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُ قَبْلَهَا فَمُسْتَحَبَّةٌ؛ لِأَنَّ الْمُصَافَحَةَ عِنْدَ اللِّقَاءِ سُنَّةٌ بِالْإِجْمَاعِ لِلْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ فِي ذَلِكَ

    “Ada pun bersalaman ini, yang dibiasakan setelah dua shalat; subuh dan ‘ashar, maka Asy Syaikh Al Imam Abu Muhammad bin Abdussalam Rahimahullah telah menyebutkan bahwa itu termasuk bid’ah yang boleh yang tidak disifatkan sebagai perbuatan yang dibenci dan tidak pula dianjurkan, dan ini merupakan perkataannya yang bagus. Dan, pandangan yang dipilih bahwa dikatakan; seseorang yang bersalaman (setelah shalat) dengan orang yang bersamanya sejak sebelum shalat maka itu boleh sebagaimana yang telah kami sebutkan, dan jika dia bersalaman dengan orang yang sebelumnya belum bersamanya maka itu sunah, karena bersalaman ketika berjumpa adalah sunah menurut ijma’, sesuai hadits-hadits shahih tentang itu.” (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 3/325. 1423H-2003M. Dar ‘Aalim Al Kitab)

    Dalam kitabnya yang lain beliau mengatakan;

    واعلم أن هذه المصافحة مستحبة عند كل لقاء، وأما ما اعتاده الناس من المصافحة بعد صلاتي الصبح والعصر، فلا أصل له في الشرع على هذا الوجه، ولكن لا بأس به، فإن أصل المصافحة سنة، وكونهم حافظوا عليها في بعض الأحوال، وفرطوا فيها في كثير من الأحوال أو أكثرها، لا يخرج ذلك البعض عن كونه من المصافحة التي ورد الشرع بأصلها.

    “Ketahuilah, bersalaman merupakan perbuatan yang disunahkan dalam keadaan apa pun. Ada pun kebiasaan manusia saat ini bersalaman setelah shalat subuh dan ‘ashar, maka yang seperti itu tidak ada dasarnya dalam syariat, tetapi itu tidak mengapa. Karena pada dasarnya bersalaman adalah sunah, dan keadaan mereka menjaga hal itu pada sebagian keadaan dan mereka berlebihan di dalamnya pada banyak keadaan lain atau lebih dari itu, pada dasarnya tidaklah keluar dari bersalaman yang ada dalam syara’.” (Al Adzkar, Hal. 184. Mawqi’ Ruh Al Islam) Lihat juga dalam kitabnya yang lain. (Raudhatuth Thalibin, 7/438. Dar Al Maktabah Al ‘ilmiyah)

    8. Imam Ibnu Hajar Al Haitami Al Makki Asy Syafi’i (w. 974H)

    Beliau memfatwakan tentang sunahnya bersalaman setelah shalat walau pun shalat id. (Al Fatawa Al Kubra Al Fiqhiyah ‘Ala Madzhab Al Imam Asy Syafi’i, 4/224-225. Cet. 1. 1417H-1997M. Darul Kutub Al ‘Ilmiah, Beirut – Libanon)

    Dalam kitabnya yang lain beliau berkata:

    وَلَا أَصْلَ لِلْمُصَافَحَةِ بَعْدَ صَلَاتَيْ الصُّبْحِ وَالْعَصْرِ وَلَكِنْ لَا بَأْسَ بِهَا فَإِنَّهَا مِنْ جُمْلَةِ الْمُصَافَحَةِ ، وَقَدْ حَثَّ الشَّارِعُ عَلَيْهَا

    “Tidak ada dasarnya bersalaman setelah shalat subuh dan ‘ashar, tetapi itu tidak mengapa, karena itu termasuk makna global dari bersalaman, dan Asy Syaari’ (pembuat syariat) telah menganjurkan atas hal itu.” (Tuhfatul Muhtaj, 39/448-449. Syamilah)

    9. Imam Al Muhib Ath Thabari Asy Syafi’i Rahimahullah

    Beliau termasuk ulama yang menyunnahkan bersalaman setelah shalat, dalilnya adalah hadits shahih riwayat Imam Bukhari berikut:

    Dari Abu Juhaifah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

    خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْهَاجِرَةِ إِلَى الْبَطْحَاءِ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ صَلَّى الظُّهْرَ رَكْعَتَيْنِ وَالْعَصْرَ رَكْعَتَيْنِ وَبَيْنَ يَدَيْهِ عَنَزَةٌ قَالَ شُعْبَةُ وَزَادَ فِيهِ عَوْنٌ عَنْ أَبِيهِ أَبِي جُحَيْفَةَ قَالَ
    كَانَ يَمُرُّ مِنْ وَرَائِهَا الْمَرْأَةُ وَقَامَ النَّاسُ فَجَعَلُوا يَأْخُذُونَ يَدَيْهِ فَيَمْسَحُونَ بِهَا وُجُوهَهُمْ قَالَ فَأَخَذْتُ بِيَدِهِ فَوَضَعْتُهَا عَلَى وَجْهِي فَإِذَا هِيَ أَبْرَدُ مِنْ الثَّلْجِ وَأَطْيَبُ رَائِحَةً مِنْ الْمِسْكِ

    `
    “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam keluar pada saat siang yang panas menuju Al Bath-ha’, beliau berwudhu kemudian shalat zhuhur dua rakaat, dan ‘ashar dua rakaat, dan ditangannya terdapat sebuah tombak.” Syu’bah mengatakan, dan ‘Aun menambahkan di dalamnya, dari ayahnya, dari Abu Juhaifah, dia berkata: “Dibelakangnya lewat seorang wanita, lalu manusia bangun, mereka merebut tangan nabi, lalu mereka mengusap wajah mereka dengan tangan beliau. Abu Juhaifah berkata: aku pegang tangannya lalu aku letakan tangannya pada wajahku, aku rasakah tangannya lebih sejuk dari salju, lebih wangi dari wangi kesturi.” (HR. Bukhari No. 3360, Ad Darimi No. 1367, Ahmad No. 17476)

    Al Muhib Ath Thabari Rahimahullah mengomentari hadits ini;

    ويستأنس بذلك لما تطابق عليه الناس من المصافحة بعد الصلوات في الجماعات لا سيما في العصر والمغرب إذا اقترن به قصد صالح من تبرك أو تودد أو نحوه

    “Demikian itu disukai, hal ini lantaran manusia telah berkerumun untuk bersalaman dengannya setelah melakukan shalat berjamaah, apalagi ‘ashar dan maghrib, hal ini jika persentuhannya itu memiliki tujuan baik, berupa mengharapkan berkah dan kasih sayang atau semisalnya.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 37/362. Maktabah Al Misykah)

    10. Imam Syihabuddin Ar Ramli Asy Syafi’i Rahimahullah
    Dalam kitab Fatawa-nya tertulis:

    ( سُئِلَ ) عَمَّا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنْ الْمُصَافَحَةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ هَلْ هُوَ سُنَّةٌ أَوْ لَا ؟ ( فَأَجَابَ ) بِأَنَّ مَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنْ الْمُصَافَحَةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ لَا أَصْلَ لَهَا ، وَلَكِنْ لَا بَأْسَ بِهَا

    (Ditanya) tentang apa yang dilakukan manusia berupa bersalaman setelah shalat, apakah itu sunah atau tidak?

    (Beliau menjawab): “Sesungguhnya apa yang dilakukan manusia berupa bersalaman setelah shalat tidaklah ada dasarnya, tetapi itu tidak mengapa.” (Fatawa Ar Ramli, 1/385. Syamilah)

    11. Imam Abdurrahman Syaikhi Zaadah Al Hanafi Rahimahullah

    Beliau berkata ketika membahas tentang shalat Id:

    وَالْمُسْتَحَبُّ الْخُرُوجُ مَاشِيًا إلَّا بِعُذْرٍ وَالرُّجُوعُ مِنْ طَرِيقٍ آخَرَ عَلَى الْوَقَارِ مَعَ غَضِّ الْبَصَرِ عَمَّا لَا يَنْبَغِي وَالتَّهْنِئَةِ بِتَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ ؛ لَا تُنْكَرُ كَمَا فِي الْبَحْرِ وَكَذَا الْمُصَافَحَةُ بَلْ هِيَ سُنَّةٌ عَقِيبَ الصَّلَاةِ كُلِّهَا وَعِنْدَ الْمُلَاقَاةِ كَمَا قَالَ بَعْضُ الْفُضَلَاءِ
    “Disunahkan keluar menuju lapangan dengan berjalan kecuali bagi yang uzur dan pulang melalui jalan yang lain dengan berwibawa dan menundukkan pandangan dari yang dilarang, dan menampakan kegembiraan dengan ucapan: taqabballallahu minna wa minkum, hal ini tidaklah diingkari sebagaimana dijelaskan dalam kitab Al Bahr, demikian juga bersalaman bahkan itu adalah sunah dilakukan seusai shalat seluruhnya, dan ketika berjumpa sebagaimana perkataan sebagian orang-orang utama.” (Majma’Al Anhar fi Syarh Multaqa Al Ab-har, A2/59. Mawqi’ Al Islam)

    12. Imam Al Hashfaki Al Hanafi Rahimahullah

    Beliau mengatakan;

    أي كما تجوز المصافحة لانها سنة قديمة متواترة لقوله عليه الصلاة والسلام: من صافح أخاه المسلم وحرك يده تناثرت ذنوبه وإطلاق المصنف تبعا للدرر والكنز والوقاية والنقاية والمجمع والملتقى وغيرها يفيد جوازها مطلقا ولو بعد العصر، وقولهم إنه بدعة: أي مباحة حسنة كما أفاده النووي في أذكاره

    “Yaitu sebagaimana dibolehkannya bersalaman, karena itu adalah sunah sejak dahulu dan mutawatir, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: Barangsiapa yang bersalaman dengan saudaranya muslim dan menggerakan tangannya maka dosanya akan berguguran. Penulis telah memutlakan kebolehannya sebagaimana pengarang Al Kanzu, Al Wiqayah, An Niqayah, Al Majma’, Al Multaqa dan selainnya, yang membolehkan bersalaman secara mutlak walau setelah ‘ashar, dan perkataan mereka: bid’ah, artinya adalah boleh lagi baik sebagaimana yang dijelaskan An Nawawi dalam Al Adzkarnya.” (Imam Al Hashfaki, Ad Durul Mukhtar, 5/699. Mawqi’ Ya’sub)

    13. Syaikh ‘Athiyah Shaqr (mantan Mufti Mesir)

    Beliau menjelaskan bahwa pada dasarnya bersalaman adalah sunah ketika seorang muslim bertemu muslim lainnya, berdasarkan hadits-hadits nabi yang bisa dijadikan hujjah. Namun bersalaman setelah shalat tidaklah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabat. Lalu beliau memaparkan perbedaan ulama tentang masalah ini, antara yang membid’ahkan, menyunnahkan, dan membolehkan; seperti pendapat Imam Ibnu Taimiah, Imam Al ‘Izz bin Abdissalam, Imam An Nawawi, dan Imam Ibnu Hajar. Lalu beliau menyimpulkan:

    والوجه المختار أنها غير محرمة ، وقد تدخل تحت ندب المصافحة عند اللقاء الذى يكفر الله به السيئات ، وأرجو ألا يحتد النزاع فى مثل هذه الأمور ….

    “Pendapat yang dipilih adalah bahwa hal itu tidaklah haram, dan hal itu telah termasuk dalam anjuran bersalaman ketika bertemu yang dengannya Allah Ta’ala akan menghapuskan kesalahannya, dan saya berharap perkara seperti ini jangan terus menerus diributkan. … (Fatawa Dar Al Ifta’ Al Mishriyah, 8/477. Syamilah).

    Balas
    • Yulian Purnama says:
      8 tahun yang lalu

      Yang dianjurkan adalah salaman ketika bertemu. Mengkhususkan salaman setelah shalat itu butuh dalil. Jika sembarang mengkhususkan tanpa dalil maka nanti akan muncul salaman setelah wudhu, salaman setelah sujud tilawah, salaman setelah sujud syukur, salaman setelah baca Al Qur’an, dan hal-hal mengada-ada lainnya.

      Khusus mengenai salaman setelah shalat, telah kami bahas lebih panjang-lebar di artikel berikut:
      https://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/hukum-salam-salaman-setelah-shalat.html

      Balas
    • WhoAmI says:
      8 tahun yang lalu

      kalau masalah salaman sih tidak ada masalah,asal jangan menganggap bahwa salaman setiap selesai sholat itu afdhol. kalau untuk maslah afdhol harus butuh hadist yg menerangkan soal itu. banyak hadist soal salaman itu memang sesama muslim dianjurkan begitu. yg jadi masalah kalau mengkhususkan sehabis sholat. karena sikap Nabi tidak pernah demikian.

      Balas
  4. WhoAmI says:
    8 tahun yang lalu

    betul ustad. bukan hanya salaman saja namun masih banyak lagi. seperti tradisi tahlilan dan yasinan. padahal setiap malam jum’at Rasulullah tidak pernah mengadakan yasinan bersama para sahabat2nya, namun malah beliau menganjurkan agar banyak bersholawat kepada beliau dan membaca surat al-kahfi. hari ini bila kita mengatakan tidak mengikuti tradisi yasinan maka akan dianggap aneh atau mungkar. sama seperti ingin mengatakan bahwa rasulullah kekurangan ibdah karena tidak yasinan. saran saya sering2 lah ustadz mengkaji masalah2 bid’ah ini soalnya masih banyak kalangan yg keliru dan marah dibilang bid’ah. bahkan sempat ada tuduhan kelompok ini suka membid’ah2kan.. dan lain2. terima kasih
    jazakallahu ‘khoir

    Balas
  5. Alkamil Amin says:
    8 tahun yang lalu

    ranah bid’ah sudah menjadi tradisi yg harus dilaksanakan, kl nggk ngelakuin bid’ah di bilangin gk sopan
    masyrakat terlalu taqlid terhadap kiyai, tanpa verifikasi sumber yang di gunakan
    problem masyarakat adalah “ogah dalam dalam mempelajari agama”
    terlalu mengikuti sunnah dibilang “fanatik” dilemma

    Balas
  6. Hermansyah says:
    3 tahun yang lalu

    Adi baskoro mantap, sudah jelas semua dalil nya.. Mari kita bersalaman kapanpun dimanapun

    Balas
  7. Viktor says:
    2 tahun yang lalu

    Awalnya sy termasuk orang yg bersalaman setelah sholat jama’ah.
    Suatu ketika, sy masbuk. Ketika sy masih keadaan sholat posisi berdiri, para jama’ah melewati depan sy. Ketika sujudpun, para jamaah masih berkeliling menghadap sy. Meski mereka tahu masih ada orang sholat, tetap mereka lalui seakan tradisi bersalaman pasca sholat jamaah lebih baik drpd menghormati orang yg sedang menghdap Allah.
    Semestinya mereka bisa tetap bersalaman dengan menghindari saya bukan tetap berdiri di depan saya.
    Setelah kejadian itu, sy berhrap para jama’ah khususnya pak yai imam sholat, dpt mengambil hikmah.

    Balas
  8. Sonip says:
    2 tahun yang lalu

    Selesai shalat boleh ga nyalain HP, boleh ga makan, boleh ga minum, pergi k toilet…
    Klo hal itu aja boleh, kenapa salaman, tidak boleh dilakukan?
    Itu kan simpel

    Balas
    • Yulian Purnama, S.Kom. says:
      2 tahun yang lalu

      Silakan simak: https://muslim.or.id/58328-menjawab-argumen-apa-dalilnya-membuka-handphone-setelah-shalat.html

      Balas
  9. Aidah says:
    1 tahun yang lalu

    Lihat Hadits bukhori no 3360

    Balas

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Donasi Dakwah YPIA Donasi Dakwah YPIA Donasi Dakwah YPIA
Muslim.or.id

Kantor Sekretariat Yayasan Pendidikan Islam Al-Atsari (YPIA).

Pogung Rejo RT 14 RW 51 no. 412
Sinduadi, Mlati, Sleman, D.I Yogyakarta, Indonesia, 55284.

Media Partner

YPIA | Muslimah.or.id | Radio Muslim | FKIM

Buletin At Tauhid | MUBK | Mahad Ilmi | FKKA

Kampus Tahfidz | Wisma Muslim | SDIT Yaa Bunayya

Wisma Muslimah | Rumah Tahfidz Ashabul Kahfi

Ikuti Kami

  • Tentang Kami
  • Donasi
  • Pasang Iklan
  • Kontak

© 2023 Muslim.or.id - Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

No Result
View All Result
  • Aqidah
  • Manhaj
  • Landasan Agama
  • Penyejuk Hati
  • Fikih
  • Sejarah
  • Khotbah Jum’at
  • Kalkulator Waris
  • E-Book

© 2023 Muslim.or.id - Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah