Allah ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, serta ulil amri di antara kalian. Kemudian apabila kalian berselisih tentang suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir. Hal itu adalah yang terbaik untuk kalian dan paling bagus dampaknya.” (QS. an-Nisaa’: 59)
Ayat yang mulia ini mengandung pelajaran:
- Terdapat perbedaan penafsiran mengenai makna ulil amri. Abu Hurairah radhiyallahu’anhu sebagaima diriwayatkan oleh Ibnu Jarir ath-Thabari dengan sanad sahih, beliau berkata, “Mereka -yaitu ulil amri- adalah para pemimpin/pemerintah.” Penafsiran serupa juga diriwayatkan dari Maimun bin Mihran dan yang lainnya. Sedangkan Jabir bin Abdullah berkata bahwa mereka itu adalah para ulama dan pemilik kebaikan. Mujahid, Atha’, al-Hasan, dan Abul Aliyah mengatakan bahwa yang dimaksud adalah para ulama. Mujahid juga mengatakan bahwa yang dimaksudkan adalah para sahabat. Pendapat yang dikuatkan oleh Imam asy-Syafi’i adalah pendapat pertama, yaitu maksud ulil amri adalah para pemimpin/pemerintah (lihat Fath al-Bari [8/106] pdf). Oleh sebab itu an-Nawawi rahimahullah membuat judul bab untuk hadits Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma mengenai tafsir ayat ini dengan judul ‘Kewajiban taat kepada pemerintah selama bukan dalam kemaksiatan dan diharamkannya hal itu dalam perbuatan maksiat’. Kemudian beliau menukilkan ijma’/konsensus para ulama tentang wajibnya hal itu (lihat Syarh Muslim [6/467]). Adapun pendapat yang dikuatkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah bahwa kandungan ayat ini mencakup kedua kelompok tersebut; yaitu ulama maupun umara/pemerintah. Dikarenakan kedua penafsiran ini sama-sama terbukti sahih dari para sahabat (lihat adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [2/235 dan 238] pdf)
- Wajibnya menaati pemerintah muslim selama bukan dalam rangka maksiat. Hal ini sebagaimana telah ditegaskan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau bersabda, “Wajib atasmu untuk mendengar dan taat, dalam kondisi susah maupun mudah, dalam keadaan semangat ataupun dalam keadaan tidak menyenangkan, atau bahkan ketika mereka itu lebih mengutamakan kepentingan diri mereka di atas kepentinganmu.” (HR. Muslim, lihat Syarh Muslim [6/469])
- Ketaatan kepada pemerintah muslim ini dibatasi dalam hal ketaatan/perkara ma’ruf saja, sedangkan dalam perkara maksiat maka tidak diperbolehkan. Hal ini berdasarkan hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wajib atas setiap individu muslim untuk selalu mendengar dan patuh dalam apa yang dia sukai ataupun yang tidak disukainya, kecuali apabila dia diperintahkan untuk melakukan maksiat. Maka apabila dia diperintahkan untuk melakukan maksiat maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh patuh.” (HR. Bukhari dan Muslim, lihat Syarh Muslim [6/470]). Demikian juga hadits Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada ketaatan dalam rangka bermaksiat kepada Allah. Sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam perkara ma’ruf.” (HR. Bukhari dan Muslim, lihat Syarh Muslim [6/471])
- Kewajiban untuk mendengar dan taat kepada pemerintah muslim ini juga dibatasi selama tidak tampak dari mereka kekufuran yang nyata. Apabila mereka melakukan kekufuran yang nyata maka wajib untuk mengingkarinya dan menyampaikan kebenaran kepada mereka. Adapun memberontak atau memeranginya -sezalim atau sefasik apapun mereka- maka tidak boleh selama dia masih muslim/tidak kafir (lihat Syarh Muslim [6/472-473], Fath al-Bari [13/11]). Dalilnya adalah hadits Ubadah bin Shamit radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kecuali apabila kalian melihat kekafiran yang nyata dan kalian memiliki bukti kuat dari sisi Allah atas kesalahannya itu.” (HR. Bukhari dan Muslim, lihat Syarh Muslim [6/473]). al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Yang dimaksud dengan ‘kalian memiliki bukti kuat dari sisi Allah atas kesalahannya itu’ adalah adanya dalil tegas dari ayat atau hadits sahih yang tidak menerima ta’wil. Konsekuensinya, tidak boleh memberontak kepada mereka apabila perbuatan mereka itu masih mengandung kemungkinan ta’wil.” (Fath al-Bari [13/10]). Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata, “… kecuali apabila kaum muslimin telah melihat kekafiran yang nyata yang mereka memiliki bukti kuat dari sisi Allah tentangnya, maka tidak mengapa melakukan pemberontakan kepada penguasa ini untuk menyingkirkannya dengan syarat apabila mereka mempunyai kemampuan yang memadai. Adapun apabila mereka tidak memiliki kemampuan itu maka janganlah mereka memberontak. Atau apabila terjadi pemberontakan maka -diduga kuat- akan timbul kerusakan yang lebih dominan, maka mereka tidak boleh memberontak demi memelihara kemaslahatan masyarakat luas. Hal ini berdasarkan kaidah syari’at yang telah disepakati menyatakan bahwa; ‘tidak boleh menghilangkan keburukan dengan sesuatu yang -menimbukkan akibat- lebih buruk dari keburukan semula, akan tetapi wajib menolak keburukan itu dengan sesuatu yang benar-benar bisa menyingkirkannya atau -minimal- meringankannya.’…” (al-Ma’lum Min Wajib al-’Alaqah baina al-Hakim wa al-Mahkum, hal. 9-10)
- Wajib bagi orang-orang yang mampu -dari kalangan ulama atau yang lainnya- untuk menasehati penguasa muslim yang melakukan penyimpangan dari hukum Allah dan Rasul-Nya. Namun hal itu -menasehati penguasa- dilakukan tanpa menyebarluaskan aib-aib mereka di muka umum. Hal itu sebagaimana disebutkan dalam hadits ‘Iyadh bin bin Ghunm radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang ingin menasehati penguasa maka janganlah dia menampak hal itu secara terang-terangan/di muka umum, akan tetapi hendaknya dia memegang tangannya seraya menyendiri bersamanya -lalu menasehatinya secara sembunyi-. Apabila dia menerima nasehatnya maka itulah -yang diharapkan-, dan apabila dia tidak mau maka sesungguhnya dia telah menunaikan kewajiban dirinya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Abi ‘Ashim dengan sanad sahih, lihat al-Ma’lum, hal. 23, lihat juga perkataan asy-Syaukani dalam kitabnya as-Sail al-Jarar yang dikutip dalam kitab ini hal. 44).
- Wajibnya bersabar dalam menghadapi penguasa muslim yang zalim kepada rakyatnya. Dari Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan ada para pemimpin/penguasa setelahku yang mengikuti petunjuk bukan dengan petunjukku dan menjalankan sunnah namun bukan sunnahku. Dan akan ada di antara mereka orang-orang yang memiliki hati laksana hati syaitan yang bersemayam di dalam raga manusia.” Maka Hudzaifah pun bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang harus kulakukan jika aku menjumpainya?” Beliau menjawab, “Kamu harus tetap mendengar dan taat kepada pemimpin itu, walaupun punggungmu harus dipukul dan hartamu diambil. Tetaplah mendengar dan taat.” (HR. Muslim, lihat Syarh Muslim [6/480]). Dari Ummu Salamah radhiyallahu’anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan muncul para penguasa yang kalian mengenali mereka namun kalian mengingkari -kekeliruan mereka-. Barangsiapa yang mengetahuinya maka harus berlepas diri -dengan hatinya- dari kemungkaran itu. Dan barangsiapa yang mengingkarinya -minimal dengan hatinya, pent- maka dia akan selamat. Akan tetapi yang berdosa adalah orang yang meridhainya dan tetap menuruti kekeliruannya.” Mereka -para sahabat- bertanya, “Apakah tidak sebaiknya kami memerangi mereka?”. Maka beliau menjawab, “Jangan, selama mereka masih menjalankan sholat.” (HR. Muslim, lihat Syarh Muslim [6/485]). Faedah: an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits ini terkandung dalil yang menunjukkan bahwa orang yang tidak mampu melenyapkan kemungkaran tidak berdosa semata-mata karena dia tinggal diam, akan tetapi yang berdosa adalah apabila dia meridhai kemungkaran itu atau tidak membencinya dengan hatinya, atau dia justru mengikuti kemungkarannya.” (Syarh Muslim [6/485])
Mudah Mengkafirkan Pemerintah
Sebagian orang terjerumus dalam kesalahan dalam menyikapi penguasa muslim yang melakukan kekeliruan. Mereka menganggap demokrasi adalah haram, bahkan termasuk kemusyrikan. Karena di dalam konsep demokrasi rakyat menjadi sumber hukum dan kekuasaan ditentukan oleh mayoritas. Di satu sisi mereka telah benar yaitu mengingkari demokrasi yang hal itu termasuk dalam bentuk kekafiran dan kemusyrikan, penjelasan lebih lengkap bisa dibaca dalam kitab Tanwir azh-Zhulumat karya Syaikh Muhammad bin Abdullah al-Imam –hafizhahullah-. Namun, di sisi lain mereka telah melakukan kekeliruan yang sangat besar yaitu serampangan dalam menjatuhkan vonis kafir kepada orang. Biasanya mereka berdalil dengan ayat (yang artinya), “Barangsiapa yang berhukum dengan selain hukum yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir.” (QS. al-Ma’idah: 44). Anggaplah demikian, bahwa mereka -yaitu pemerintah- telah berhukum dengan selain hukum Allah -meskipun sebenarnya pernyataan ini harus dikaji lebih dalam-, namun ada satu hal penting yang perlu diingat -dan perkara inilah yang mereka lalaikan- bahwa tidak semua orang yang berhukum dengan selain hukum Allah itu dihukumi kafir! Mereka juga berdalih dengan ucapan para ulama yang menyatakan ’setiap orang yang berhukum dengan selain hukum yang diturunkan Allah maka dia adalah thaghut’ (lihat al-Qaul al-Mufid [2/74]). Berdasarkan itulah mereka menyebut pemerintah negeri ini sebagai rezim thaghut dan kafir. Kemudian, sebagai imbas dari keyakinan tersebut mereka pun mencaci-maki penguasa dan menuduh orang-orang yang menyerukan ketaatan kepada penguasa sebagai kelompok penjilat -sebagaimana tuduhan itu juga ditujukan kepada saya-, bahkan mereka pun tidak segan-segan menggelari para ulama dengan julukan ulama salathin, alias kaki tangan pemerintah, Allahul musta’aan.
Maka untuk menjawab kerancuan ini –dengan memohon taufik dari Allah– berikut ini kami ringkaskan penjelasan Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah ketika menjelaskan isi Kitab at-Tauhid:
Yang dimaksud dengan berhukum dengan selain hukum Allah yang dihukumi kafir dan murtad -sehingga layak untuk disebut sebagai thaghut- adalah dalam tiga keadaan:
- Apabila dia meyakini bahwa berhukum dengan selain hukum Allah -yang bertentangan dengan hukum Allah- itu boleh, seperti contohnya: meyakini bahwa zina dan khamr itu halal.
- Apabila dia meyakini bahwa selain hukum Allah itu sama saja (sama baiknya) dengan hukum Allah.
- Apabila dia meyakini bahwa selain hukum Allah lebih bagus daripada hukum Allah.
Lalu, dia bisa dihukumi zalim -yang tidak sampai kafir– apabila dia masih meyakini hukum Allah lebih bagus dan wajib diterapkan namun karena kebenciannya kepada orang yang menjadi objek hukum maka dia pun menerapkan selain hukum Allah. Demikian juga ia dikatakan fasik -yang tidak kafir- apabila dia menggunakan selain hukum Allah dengan keyakinan bahwa hukum Allah yang benar, namun dia melakukan hal itu -berhukum dengan selain hukum Allah- karena faktor dorongan hawa nafsu, suap, nepotisme dsb. Kemudian beliau juga menjelaskan bahwa tindakan orang yang mengganti syari’at dengan undang-undang buatan manusia dapat dikategorikan sebagai bentuk kekafiran akbar -yang saya dengar dari ceramah Syaikh Abdul Aziz ar-Rays beliau telah rujuk dari pendapat ini sebelum wafatnya-. Meskipun demikian, orang yang memberlakukan undang-undang ini tidak serta merta dikafirkan. Seperti misalnya, apabila dia menyangka bahwa sistem yang diberlakukannya itu tidak bertentangan dengan Islam, atau dia menyangka bahwa hal itu termasuk urusan yang diserahkan oleh Islam kepada manusia, atau dia tidak mengetahui bahwa apa yang dilakukannya itu termasuk kekafiran (lihat al-Qaul al-Mufid [2/68-69 dan 71]).
Dengan menyimak keterangan beliau di atas jelaslah bagi kita bahwa tindakan sebagian orang yang dengan mudahnya mengkafirkan penguasa negeri ini –semoga Allah membimbing mereka- serta menjuluki mereka sebagai rezim thaghut adalah sebuah tindakan serampangan dan tidak dibangun di atas ilmu yang benar. Bahkan, kalau diteliti lebih jauh ternyata mereka itu telah terjangkiti virus pemikiran Khawarij gaya baru yang menebar kekacauan berkedok jihad, subhanallah.
Takfir, Bukan Masalah Ringan!
Dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seseorang mengkafirkan saudaranya maka sungguh tuduhannya itu akan kembali terarah kepada salah seorang di antara mereka berdua.” Dalam sebagian riwayat disebutkan, “Apabila sebagaimana apa yang dia katakan -maka dia tidak bersalah- akan tetapi apabila tidak sebagaimana yang dia tuduh maka tuduhan itu justru kembali kepadanya.” (HR. Bukhari dan Muslim, lihat Syarh Muslim [2/126-127] dan Shahih Bukhari, hal. 1254)
Maksud dari ‘tuduhan itu justru kembali kepadanya’ adalah sebagaimana yang diterangkan oleh al-’Aini rahimahullah, yaitu, “Apa yang diucapkannya justru terarah kepada dirinya sendiri, karena orang yang dia kafirkan ternyata benar imannya (tidak kafir).” Sehingga maknanya adalah kalau tuduhannya itu tidak terbukti kebenarannya maka sesungguhnya dia telah mengkafirkan dirinya sendiri (lihat ‘Umdat al-Qari [22/245] pdf)
Syaikh Dr. Nashir bin Abdul Karim al-’Aql berkata, “Takfir/penjatuhan vonis kafir adalah perkara yang diatur dalam hukum syari’at acuannya adalah al-Kitab dan as-Sunnah. Maka tidak boleh mengkafirkan seorang muslim karena ucapan atau perbuatannya selama dalil syari’at tidak menunjukkan atas kekafirannya. Dengan disebutkannya istilah hukum kafir -secara umum- atas suatu ucapan atau perbuatan itu tidak secara otomatis menunjukkan jatuhnya vonis kafir tersebut -secara khusus- kepada orang tertentu -yaitu pelakunya- kecuali apabila syarat-syarat -pengkafiran- itu sudah terpenuhi dan penghalang-penghalangnya tersingkirkan. Takfir merupakan hukum yang sangat berbahaya resikonya, oleh sebab itu wajib meneliti segalanya/tatsabbut dan berhati-hati di dalam menjatuhkan vonis kafir ini kepada seorang muslim.” (Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah, hal. 19 pdf)
Berikut ini ada beberapa catatan penting seputar takfir yang semestinya diperhatikan:
- Pedoman dan tempat rujukan dalam hal takfir ini adalah Allah dan rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam (yaitu al-Kitab dan as-Sunnah)
- Orang yang terbukti keislamannya dengan meyakinkan maka keislamannya itu tidak lenyap darinya kecuali dengan bukti yang meyakinkan pula
- Tidak setiap ucapan atau perbuatan -yang disebut oleh dalil sebagai bentuk kekafiran- menjadi kekafiran besar yang mengeluarkan dari agama. Sebab kekafiran itu ada dua macam: kufur asghar dan kufur akbar. Maka menerapkan hukum terhadap ucapan atau perbuatan tersebut hanya bisa dilakukan dengan mengikuti metode ulama Ahlus Sunnah dan aturan-aturan yang telah mereka terangkan
- Tidak boleh menjatuhkan hukum takfir kepada seorang muslim pun kecuali orang yang ditunjukkan dengan jelas dan gamblang mengenai kekafirannya oleh dalil al-Kitab dan as-Sunnah, sehingga dalam hal ini tidak cukup berlandaskan kepada syubhat/perkara yang masih samar ataupun sekedar zhann/dugaan
- Terkadang disebutkan di dalam al-Kitab ataupun as-Sunnah sesuatu yang dipahami bahwa ucapan, perbuatan, atau keyakinan tertentu sebagai kekafiran. Maka tidak boleh semata-mata berdasarkan hal itu kemudian dengan serta merta menjatuhkan vonis kafir kepada seseorang kecuali apabila telah ditegakkan hujjah kepadanya: yaitu dengan terpenuhinya syarat-syarat -dalam keadaan dia mengetahui, sengaja, dan atas dasar pilihannya sendiri- dan juga dengan hilangnya penghalang-penghalang -untuk dikafirkan- yaitu perkara-perkara yang menjadi lawan dari syarat-syarat tersebut (artinya; dia tidak jahil, dalam keadaan sadar, dan tidak terpaksa) (lihat lebih lengkap dalam Mujmal Masa’il al-Iman al-’Ilmiyah fi Ushul al-’Aqidah as-Salafiyah, hal. 17-18). Allahul musta’aan…
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
Dahulu ana saat kuliah di IPB sama pembimbing dikatakan bhw pemerintah kita ini kafir dan ana amini. . alhamdulillah Alloh beri hidayah utk mengenal manhaj yg mulia ini dan dari ceramah dan tulisan para ustadz dan ulama ana baru faham yg haq. . . alangkah indahnya ajaran ISlam yg diajarkan Nabi agar kita taat kpd pemerintah selama itu tdk bermaksiat kpd Alloh utk kemashlahatan yg besar bg ummat ini.
Semoga Alloh selalu memberikan kesehatan, kebaikan dan hidayah kepada pemimpin kita.
Saya ada usul untuk muslim.or.id, Untuk membarengi dengan artikel ini, bagaimana jika dibawakan riwayat mengenai salah seorang penguasa zalim di masa sahabat2 junior dan tabi’in yaitu Al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqofiy, bagaimana dulu salah seorang sahabat yaitu Ibnu Umar -radhiyallahu ‘anhu- bermakmum dibelakang Al-Hajjaj ketika sholat. Dan walau sezalim2nya Al-Hajjaj berlaku kepada kaum muslimin ketika itu, tetapi tidak ada yg mengkafirkannya.
Semoga usul saya ini bisa dipertimbangkan.
Semoga Allah memberikan kepada kita pemimpin yang adil .
Lihatlah rakyatnya sudah bisa berbuat adil ataukah belum.
kalau rakyatnya belum bisa berbuat adil , bagaimana Allah mau memberikan kepada kita pemimpin yang adil
bismillah…ana ikut nimbrung akh. kalau bisa dalam tiap bahasan takfir dibantah pula syubhat-syubhat para takfiriyin kontemporer, terutama takfiriyin indonesia. caranya adalah dengan mengutip syubhat mereka (lewat situs-situs mereka: xxxxxx, xxxxxx, dll), sehingga bahasannya lebih update dan mengena. hal ini dilakukan karena para takfiriyin hari ini lebih ilmiah (rada-rada nyalaf/sering memakai ucapan-ucapan salaf), ditambah ada sebagian mereka yang kadang pernah belajar salafiyah atau mantan ustadz salafi semisal abu sulaiman aman abdurrahman, apabila ini dilakukan maka insyaalah akan menjadi pencerahan bagi kita semua. jujur saja kadang kita yang pemula tidak bisa membantah mereka, sebab mereka menukil juga atsar-atsar salaf, ulama salaf dari tabiin, ulama masa kini juga semisal syaikh ibnu abdilwahab. kalau sudah begini kami pasti matikutu dan bergiranglah takfiriyyin krn menyangka kita kalah debat dan mereka menganggap kita di pihak yg salah. mhn skli saran ini direalisasikan wahai ustadz yang kami cintai dan semoga allah memanjangkan umur-umur asatidzah ahlussunnah dalam kebaikan. syukran wajazakumullah khairan!
Salah satu ciri khowarij atau orang2 yg tlh terkena syubhat pemikiran khowarij adalah mudah mengkafirkan penguasa/pemerintah yg tdk berhukum dgn hukum Allah, malah mereka jg mengkafirkan orang2 yg tidak ikut mengkafirkan pemerintah tsb. Kita berdo’a smg Allah menjauhkan kita dari fitnah/syubhat yg berupa pemikiran2 yg menyimpang & jauh dari bimbingan para ulama robbani.
Assalamu ‘alaikum
Mereka para takfirin memang dableg mengira di atas jalan kebenaran. Semoga Allah membuka hati mereka kepada jalan kebenaran.Amin
assalamu’alaikum,alhamdulillah smoga bermanfaat bagi kaum muslimin,ana sbg seorang muslim yg baru mengenal manhaj yg mulia ini melihat pd point ke 5 dari pelajaran qs.annisa 59,apakah sudah adanya upaya2 yg nyata dari asatidzah ahlussunnah khususnya di negara indonesia ini untuk menasehati pemerintah kita (spt mengirim beberapa ustadz utk berdialog scr khusus ato bersilaturahmi ke rumah2 pejabat2 pemerintah) akan bahayanya berhukum dgn selain hukum Allah swt ?, ato jangan2 kita hanya mencukupkan menasehati pemerintah dengan buku2,dauroh2,artikel2 di web site yg mungkin luput dari perhatian mereka(pemerintah)…jazakumullahu khairan katsiran
aslmkm,
pengingkaran dlm hati kan hnya untuk dzunub ghoiru mukaffiroh,,,sementara mengganti hkm allh dngan yg lain…apakah buthu pengingkaran ?
pikirkan itu ?
#rizkiriyanto
Perkataan anda tidak sesuai dengan dalil, karena dalam hadits shahih riwayat Muslim dikatakan pengingkaran dengan hati adalah untuk kemungkaran yang tidak mampu diingkari dengan tangan.
@ Rizkiyanto
Sebaiknya perhatikan point di atas yg mencantumkan hadits :
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan ada para pemimpin/penguasa setelahku yang mengikuti petunjuk bukan dengan petunjukku dan menjalankan sunnah namun bukan sunnahku. Dan akan ada di antara mereka orang-orang yang memiliki hati laksana hati syaitan yang bersemayam di dalam raga manusia.” Maka Hudzaifah pun bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang harus kulakukan jika aku menjumpainya?” Beliau menjawab, “Kamu harus tetap mendengar dan taat kepada pemimpin itu, walaupun punggungmu harus dipukul dan hartamu diambil. Tetaplah mendengar dan taat.” (HR. Muslim, lihat Syarh Muslim [6/480]). Dari Ummu Salamah radhiyallahu’anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan muncul para penguasa yang kalian mengenali mereka namun kalian mengingkari -kekeliruan mereka-. Barangsiapa yang mengetahuinya maka harus berlepas diri -dengan hatinya- dari kemungkaran itu. Dan barangsiapa yang mengingkarinya -minimal dengan hatinya, pent- maka dia akan selamat. Akan tetapi yang berdosa adalah orang yang meridhainya dan tetap menuruti kekeliruannya.” Mereka -para sahabat- bertanya, “Apakah tidak sebaiknya kami memerangi mereka?”. Maka beliau menjawab, “Jangan, selama mereka masih menjalankan sholat.” (HR. Muslim, lihat Syarh Muslim [6/485]). Faedah: an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits ini terkandung dalil yang menunjukkan bahwa orang yang tidak mampu melenyapkan kemungkaran tidak berdosa semata-mata karena dia tinggal diam, akan tetapi yang berdosa adalah apabila dia meridhai kemungkaran itu atau tidak membencinya dengan hatinya, atau dia justru mengikuti kemungkarannya.” (Syarh Muslim [6/485])
cukuplah penjelasan ulama ini sbg penguat apa yg dijelaskan Ust. Yulian.
Dan lagi tolong menolong dalam kesyirikan atau menghalalkan kesyirikan apakah itu termasuk dosa besar ataukah mengeluarkan dari agama Islam?Mohon di jelaskan..
#Abdullah
Menghalalkan kesyirikan dapat membuat orang keluar dari Islam. Namun perbuatan kesyirikan bertingkat-tingkat, pelakunya pun bertingkat tingkat.
sekedar pertanyaan yang sering terlintas dalam hati…saya serng mendapati orang2 yang tidak mau menjawab salam orang2 yang sedang bepergi kemasjid..kalau pas lewat didepan mereka/lewat rumah orang yang berjenggot berkopiah bergamis dan ber istri cadaran..dan mereka juga tidak mau jadi makmum dimasjid desa kami..maunya jadi imam dan katanya lagi dia ngaji di salafi.
kalau saya tanya apa alasan mereka tidak mau menjawab salam dan tidak mau bermakmum,mereka tidak mau menjawab..padahal kita satu masjid..ada orang yang mengatakan kalian bukan golongan mereka jadi mereka .yang jadi pertanyaan apa hukum menjawab salam seorang muslim ( yang saya tau dia tidak pernah melaksanakan ritual kesirikan didesa kami..beda dengan apa yang mereka katakan dalam kajian mereka bahwasanya sby adalah ulil amri..padahal jelas sekali setiap pulang kampung membuat acara sesajen dan dilarung dilaut selatan sering juga melakukan syirik akbar yang lainnya )kenapa orang yang jelas2 menolak kesyirikan mereka perlakukan seperti orang kafir tapi orang yang jelas2 melakukan kesyirikan bisa dikatakan sebagai ulil amri..tolong kami dijelaskan masalah ini…terima kasih
#ahmad
– Salafi itu bukan nama kelompok pengajian, silakan baca https://muslim.or.id/manhaj/salah-paham-dengan-istilah-salafi.html
– Setiap orang bisa saja mengaku salafi, tapi cukup dilihat prakteknya saja. Apa arti pengakuan jika prakteknya berbeda.
– Orang yang berusaha mengikuti manhaj salaf, bukan berarti bebas dari aib, kesalahan dan kejahilan.
– Renungkan pertanyaan ini: “Mengapa Mudah Mengkafirkan Pemerintah?” Tolong dibaca kembali artikel di atas dengan hati dan pikiran yang tenang dan jernih. Semoga Allah memberi taufik.
Afwan…ana sudah tau kalau orang seperti ana berkomentar pasti akan di hapus oleh admin…tapi kami ingatkan kalau memang antum mencari kebenaran maka terimalah kenyataan…jangan tutupi perbuatan2 kekafiran yang nyata2 dilakukan pemimpin negeri ini…dan jangan menyembunyikan kebenaran…karena kebenaran pasti akan menang…Semoga Allah melindungi kami dari pemahaman kalian.
#Abdullah
Semoga Allah memberi kita hidayah.
Kadang komentar seperti anda perlu dimunculkan untuk menunjukkan betapa banyaknya orang yang terjebak serta tertipu pemahaman mudah mengkafirkan seperti anda. Saya khawatir orang tua anda, kakek-nenek anda juga anda kafirkan karena masih belum lepas dari adat tradisional yang banyak tercampur kesyirikan. Mohon dibaca kembali artikel di atas dan artikel lainnya di web ini dengan hati dan pikiran yang tenang. Semoga Allah memberi taufik.
Assalamu ‘alaikum
Untuk pihak muslim.or.id untuk menjelaskan/menampilkan artikel tentang kaiidah takfir dan juga ana harap siapakah yang berhak menjatuhkan vonis kafir itu. Supaya kaum muslimin tak bermain-main/ikut-ikutan perkataan ustadz yang manhajnya rancu mengafirkan seorang muslim.
#Fahrul
Silakan simak :
https://muslim.or.id/manhaj/fatwa-ulama-seputar-sikap-ekstrem-pengkafiran-dan-sebagian-ciri-ciri-khawarij-1.html
https://muslim.or.id/manhaj/fatwa-ulama-seputar-sikap-ekstrem-pengkafiran-dan-sebagian-ciri-ciri-khawarij-2.html
https://muslim.or.id/manhaj/fatwa-ulama-seputar-sikap-ekstrem-pengkafiran-dan-sebagian-ciri-ciri-khawarij-3.html
https://muslim.or.id/manhaj/fatwa-ulama-seputar-sikap-ekstrem-pengkafiran-dan-sebagian-ciri-ciri-khawarij-4.html
https://muslim.or.id/manhaj/fatwa-ulama-seputar-sikap-ekstrem-pengkafiran-dan-sebagian-ciri-ciri-khawarij-5.html
@ Abdullah,
Jika antum memahami hadits Nabi di atas “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan ada para pemimpin/penguasa setelahku yang mengikuti petunjuk bukan dengan petunjukku dan menjalankan sunnah namun bukan sunnahku. Dan akan ada di antara mereka orang-orang yang memiliki hati laksana hati syaitan yang bersemayam di dalam raga manusia.” Maka Hudzaifah pun bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang harus kulakukan jika aku menjumpainya?” Beliau menjawab, “Kamu harus tetap mendengar dan taat kepada pemimpin itu, walaupun punggungmu harus dipukul dan hartamu diambil. Tetaplah mendengar dan taat.” (HR. Muslim, lihat Syarh Muslim [6/480]). Dari Ummu Salamah radhiyallahu’anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan muncul para penguasa yang kalian mengenali mereka namun kalian mengingkari -kekeliruan mereka-. Barangsiapa yang mengetahuinya maka harus berlepas diri -dengan hatinya- dari kemungkaran itu. Dan barangsiapa yang mengingkarinya -minimal dengan hatinya, pent- maka dia akan selamat. Akan tetapi yang berdosa adalah orang yang meridhainya dan tetap menuruti kekeliruannya.” Mereka -para sahabat- bertanya, “Apakah tidak sebaiknya kami memerangi mereka?”. Maka beliau menjawab, “Jangan, selama mereka masih menjalankan sholat.” (HR. Muslim, lihat Syarh Muslim [6/485])
. . . jelas2 disebutkan mereka tdk memakai sunnah Nabi yg artinya memakai buatan manusia yg menurut pemahaman takfiri adalah kafir, begitu[un hati mereka seperti hati syaithon…. tapi lihat : APakah Nabi mengkafirkannya??? Apakah Nabi menyuruh kita memberontak??? Mencela mereka di muka umum dstnya????
Jawabnya : Kalla Tsumma Kalla. . Tidak sekali kali tidak… bhk yg ada Nabi perintahkan kita sabar dan tetap taat kepadanya….
Jika Hadits yg jelas2 shohih dan mudah difahami maknanya ini masih saja kita debatkan isinya dan menuruti akal pikiran kita mk di manakah lagi sandaran kita dalam hal ini?????
Masya Alloh alangkah jelasnya hadits ini bak bulan purnama di malam yg tanpa awan.. namun tidak terlihat bagi mereka yg buta….
@ABDULLAH
ANDA SUDAH MEMERIKSA SIAPA HAKIM(ULAMA,USTADZ) MENGAFIRKANNYA? KAMI BUKAN MURJIAH COBA ANDA BACA MENGENAI FIQHUL WAQI’ DAHULU DI MUSLIM.OR.ID INI KARENA MEMBAHAS TENTANG PEMVONISAN KAFIR JUGA
saya sdh trauma dengan segolongan Islam menjelekan pada segolongan Islam yg lain dengan dalih mereka sesat karena punya amir. Pada golongan itu sendiri yang menuduh beramir
lalu bagaimana dengan tafsir hadits ini ??
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
ﻋَﻦْ ﺃﹶﻧَﺲٍ ﻗَﺎﻝَ : ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﷲِ : ﺍِﺳْﻤَﻌُﻮﺍ ﻭَﺃﹶﻃِﻴْﻌُﻮﺍ، ﻭَﺇِﻥْ ﺍِﺳْـﺘَﻌْﻤَﻞَ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﻋَﺒْﺪٌ ﺣَﺒَﺸِﻲ، ﻛَﺄﹶﻥّ ﺭَﺃﹾﺳَﻪُ ﺯَﺑِﻴْـﺒَﺔٌ، ﻣَﺎ ﺃﹶﻗَﺎﻡَ ﻓِﻴْﻜُﻢْ ﻛِﺘَﺎﺏَ ﺍﷲِ ﴿ ﺣﺪﻳﺚ ﺻﺤﻴﺢ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ﻓﻲ ﺻﺤﻴﺤﻪ
﴾Dari Anas radliyallahu ‘anhu berkata, berkata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Mendengar dan taatlah kalian walaupun yang memimpin kalian adalah bekas budak dari Habasyah yang kepalanya seperti kismis, selama dia menegakkan Kitabullah di antara kalian.” (HR. Bukhari dalam Shahih-nya)
@ Abu Muslim
Maksud hadits tersebut adl tetap taat kepada pemimpin muslim selain dalam perkara maksiat.
suluahweb.blogspot.com/…/menyiapkan-pendidikan-anti-terorisme.html –
Asslamu’alaikum
mohon izin copy paste untuk catatan saya di FB semoga bermanfaaat bagi umat muslim
jazakumullahu khairan katsiran
Saya masih awam, mohon penjelasan:
1. Jika tidak menggunakan suara terbanyak, cara apakah yang dipakai untuk menentukan hukum di Indonesia ketika ada perbedaan pendapat di kalangan umara (yang dari berbagai golongan: muslim – non muslim)?
2. Apakah ketentuan “memegang tangannya seraya menyendiri bersamanya” itu tauqifi, yang jika tidak dilakukan keduanya menjadi menyalahi sunnah?
terima kasih
#yadi
1. Serahkan kepada ulama dan orang yang ahli
2. Bukan masalah tauqifi atau tidak, ini sudah ada dalil yang memerintahkan cara yang benar, apakah berani kita langgar?
Assalamu’alaykum ..
jujur saja,
saya heran dengan sebagian orang yang menyebut pemerintah sekarang thaghut, presiden thaghut, dan perkataan yang semisal.
kemudian menjadikan perkataan itu sebagai dasar untuk mengingkari pemerintah dengan se-ingkar-ingkarnya.
padahal telah jelas dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
يَكُوْن بَعْدِيْ أَئِمَّة لاَ يَهتَدُوْنَ بِهُدَايَ وَلاَ يَسْتَنُوْنَ بِسُنَّتِيْ وَسَيَقُوْمُ فِيْهِمْ رجَال قُلُوْبُهُم قُلُوْبُ الشَّيَاطِيْنَ فِيْ جِثْمَانِ إِنْسِ قَالَ قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ قَالَ تَسْمَعُ وَتَطِيْعُ لِلْأَمِيْرِ وَإِنْ ضَرَبَ ظَهْرَكَ وَأَخَذَ مَالَكَ فَاسْمَعْ وَأطِعْ
“Akan ada sepeninggalku nanti para pemimpin yang tidak mengambil petunjukku, dan tidak mengambil sunnah dengan sunnahku.
Akan muncul pula di tengah-tengah kalian orang-orang yang hatinya adalah hati syaithan dalam wujud manusia”.
Aku (Hudzaifah) bertanya :
“Apa yang harus aku lakukan jika aku mendapatkannya?”.
Beliau menjawab :
“(Hendaknya) kalian mendengar dan taat kepada amir, meskipun ia memukul punggungmu dan merampas hartamu, tetaplah mendengar dan taat”
[HR. Muslim no. 1847]
Wallohul Musta’an
afwan, ana pernah mendengar bahwa yang dimaksud dengan ulil amri di Q.S. An Nisa di atas adalah pemimpin yang hanya menerapkan hukum islam secara keseluruhan saja (khalifah). Dan karena pemerintahan sekarang tidak termasuk kedalam hal itu, maka tidak termasuk pula dalam pengertian ulil amri diatas.. Apakah itu benar..? Mohon penjelasan yaa..
#abu hamzah
Silakan simak: https://muslim.or.id/manhaj/ulil-amri.html
Assalamualaikum wr.wb.
afwan saya mau nanya, kemarin dulu saya diberi sebuah buku mengenai tauhid yang ditulis oleh abu sulaiman aman abdurrahman oleh teman saya.
memang benar, sebagian besar isi tulisan berisi mengenai pembahasan bahwa pemerintahan sekarang adalah pemerintahan kafir karena intinya, semua hukum yang dibuat di negara ini bukan menggunakan hukum syariat karena dibuat oleh manusia dan itu dianggap melampaui batas, karena hanya Allah lah yang berhak untuk membuat hukum.
kemudian banyak vonis vonis kafir yang diberikan kepada pejabat pemerintah karena dianggap sebagai anshar taghut. apalagi banyak sekali dinukil ayat ayat Al Quran, hadist dan ijima para ulama yang menguatkan pendapat mereka tersebut.
karena saya orang awam yang sangat haus akan ilmu tauhid, pada awalnya saya anggap itu masuk akal, maka saya amini walaupun pada beberapa hal masih banyak tanda tanya besar yang masih mengganjal.
namun setelah membaca beberapa artikel di web ini mengenai kaum khawarij kok saya jadi sadar, isi dari buku tersebut cenderung pada paham khawarij dimana yang sangat menonjol adalah mengenai vonis vonis kafir dan mengkafirkan.
saya jadi bingung. lantas yang benar itu bagaimana? karena pada faktanya banyak hukum di Indonesia yang bertentangan dengan hukum Allah. namun saya juga tidak setuju untuk dengan sembarangan memberikan vonis2 kafir.
mohon penjelasannya ustadz karena saat ini saya benar benar bingung, maklum, saya baru belajar.
jazakallah..
#Hidayat A.F.
Wa’alaikumussalam, kami anjurkan untuk tidak membaca tulisan Aman Abdurrahman karena banyak kandungan pemikiran khawarij di sana. Mengenai pertanyaan anda, sudah dijelaskan dalam artikel di atas.
kok gak bisa saya share ke facebook ya.. :D
memang ketika kita berusaha menyeru untuk tetap taati penguasa, kita langsung difitnah dengan tuduhan yang nggak-nggak, mulai dari penjilat, kaki tangan penguasa, sampai dituduh “dibayar berapa lu sama pemerintah?” . Masya Allah. semoga kita tetap diberi istiqomah dalam mentaati ulil amri ini, selama mereka tidak mengajak kepada kemungkaran