Muslim.or.id
Khutbah Jumat
  • Aqidah
  • Manhaj
  • Landasan Agama
  • Penyejuk Hati
  • Fikih
  • Sejarah
  • Khotbah Jum’at
  • Kalkulator Waris
  • E-Book
No Result
View All Result
  • Aqidah
  • Manhaj
  • Landasan Agama
  • Penyejuk Hati
  • Fikih
  • Sejarah
  • Khotbah Jum’at
  • Kalkulator Waris
  • E-Book
No Result
View All Result
Muslim.or.id
No Result
View All Result

Haruskah Menjadi Sempurna Untuk Bisa Menasehati?

Ahmad Anshori, Lc oleh Ahmad Anshori, Lc
21 April 2021
Waktu Baca: 3 menit
0

Sebagian orang enggan melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar, karena merasa belum mampu melakukan amalan ma’ruf yang hendak ia perintahkan, atau meninggalkan kemungkaran yang hendak ia larang. Dia khawatir termasuk ke dalam golongan orang yang mengatakan apa yang tidak dia lakukan. Sebagaimana yang disinggung dalam firman Allah ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ (2) كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ(3)

“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kemurkaan Allah bila kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan” (QS. As-Shof: 2-3).

Pertanyaan yang harus kita temukan jawabannya adalah: apakah seorang harus sempurna dulu amalannya,  untuk bisa menasehati orang lain? Kemudian apakah setiap orang yang tidak melakukannya apa yang ia perintahkan, dan melanggar sendiri apa yang dia larang, masuk dalam ancaman ayat di atas?

Syaikh Anis Thahir Al-Indunisy, saat kajian membahas kitab Iqtidho’ as-Shirot al-Mustaqiem , di masjid Nabawi malam Senin (20 Rabi’us Tsani 1436 H) menerangkan, bahwa ada dua hal yang perlu dibedakan dalam masalah ini. Beliau mengatakan,

فيه فرق بين أن تنصح غيرك وأنت عاجز عن العفل، وبين أن تنصح غيرك و أنت قادر على الفعل

“Bedakan, antara Anda menasehati seorang, sementara Anda belum ada daya untuk melakukan apa yang Anda nasehatkan. Dengan Anda menasihati seorang,  sementara Anda mampu melakukan apa yang Anda nasehatkan.”

Jadi, ada dua jenis orang dalam masalah ini:

  1. Petama, adalah orang yang menasehati orang lain, namun dia belum mampu melakukan amalan ma’ruf yang ia sampaikan, atau meninggalkan kemungkaran yang ia larang.
  2. Yang kedua, adalah orang yang menasehati orang lain sementara sejatinya dia mampu untuk melakukan pesan nasehat yang ia sampaikan. Akan tetapi justru mengabaikan kemampuannya dan ia terjang sendiri nasehatnya,  tanpa ada rasa bersalah dan menyesal. Ia merasa nyaman dan biasa-biasa saja dengan tindakan kurang terpuji tersebut.

Orang jenis pertama, dia belum bisa melakukan amalan ma’ruf yang dia perintahkan, karena dia belum memiliki daya untuk melakukannya. Bisa jadi karena hawa nafsunya yang mendominasi, setelah pertarungan batin dalam jiwanya.  Sehingga, saat ia melanggar sendiri apa yang dia nasehatkan, dia merasa bersalah dan menyesal atas kekurangannya ini. Serta senantiasa memperbaharui taubatnya.

Saat ia tergelincir pada larangan yang ia larang, ia katakan pada dirinya, “Sampai kapan… sampai kapan kamu seperti ini?! Kamu menasehati orang-orang untuk menjauhi perbuatan ini.. sementara kamu sendiri yang melakukannya?! Tidakkah kamu takut kepada Allah.”

Untuk orang yang seperti ini, hendaknya ia jangan merasa enggan untuk beramar ma’ruf dan nahi munkar. Karena tidak menutup kemungkinan, nasehat yang ia sampaikan, akan membuatnya terpacu untuk melaksanakan amalan ma’ruf yang dia perintahkan, atau meninggalkan kemungkaran yang dia larang. Hal ini sudah menjadi suatu hal yang lumrah dalam pengalaman seorang.

Adapun orang jenis kedua, dia menerjang sendiri pesan nasehatnya, setelah adanya daya dan kemampuan untuk melakukan nasehat tersebut. Namun justru dia abaikan. Saat menerjangnya pun, dia tidak merasa menyesal dan bersalah atas tindakannya tersebut. Orang seperti inilah yang termasuk dalam ancaman ayat di atas.

Seperti seorang ayah merokok di samping anaknya yang dia juga merokok. Lalu Sang Ayah menasehatikan anaknya, “Nak…jangan ngrokok. Ndak baik ngrokok itu..” .Sementara dia sendiri klepas-klepus ngrokok di samping anaknya, tanpa merasa menyesal dan bersalah.

Barangkali makna inilah yang disinggung dalam perkataan para salafus sholih dahulu.

Sa’id bin Jubair mengatakan, “Jika tidak boleh melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar,  kecuali orang yang sempurna niscaya tidak ada satupun orang yang boleh melakukannya”. Ucapan Sa’id bin Jubair ini dinilai oleh Imam Malik sebagai ucapan yang sangat tepat. (Tafsir Qurthubi, 1/410).

Al-Hasan Al-Bashri pernah berkata kepada Mutharrif bin Abdillah, “Wahai Mutharrif nasihatilah teman-temanmu”. Mutharrif mengatakan, “Aku khawatir mengatakan yang tidak ku lakukan”. Mendengar hal tersebut, Hasan Al-Bashri mengatakan, “Semoga Allah merahmatimu, siapakah di antara kita yang mengerjakan apa yang dia katakan, sungguh setan berharap bisa menjebak kalian dengan hal ini sehingga tidak ada seorang pun yang berani amar ma’ruf nahi mungkar.” (Tafsir Qurthubi, 1/410).

Al-Hasan Al-Bashri juga pernah mengatakan, “Wahai sekalian manusia sungguh aku akan memberikan nasihat kepada kalian padahal aku bukanlah orang yang paling shalih dan yang paling baik di antara kalian. Sungguh aku memiliki banyak maksiat dan tidak mampu mengontrol dan mengekang diriku supaya selalu taat kepada Allah. Andai seorang mukmin tidak boleh memberikan nasihat kepada saudaranya kecuali setelah mampu mengontrol dirinya niscaya hilanglah para pemberi nasihat dan minimlah orang-orang yang mau mengingatkan.” (Tafsir Qurthubi, 1/410).

___

Referensi :
  • Faidah kajian pembahasan kitab Iqtidho’ as-Shirot al-Mustaqiem li mukholafati ash-Haabi al-Jahiim, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, bersama Syaikh Anis Thahir Al-Indunisy. Setiap malam senin di Masjid Nabawi.
  • Tulisan di Muslim.Or.Id, yang bertema “Antara Kata dan Perbuatan.” https://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/antara-kata-dan-perbuatan.html

Penulis: Ahmad Anshori

Artikel: Muslim.Or.Id

Tags: dakwahManhajNasehat
Ahmad Anshori, Lc

Ahmad Anshori, Lc

Alumni PP. Hamalatul Qur'an Yogyakarta. Alumni Mahasiswa Fakultas Syari'ah Universitas Islam Madinah, Saudi Arabia

Artikel Terkait

Pertengahan dalam Beragama

Fatwa Ulama: Maksud Pertengahan (Wasathiyyah) dalam Beragama

oleh M. Saifudin Hakim
26 September 2023
0

Fatwa Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin   Pertanyaan: Apakah yang dimaksud dengan pertengahan (wasathiyyah) dalam beragama? Jawaban: Yang dimaksud dengan...

Tantangan Dakwah Kampus

Tantangan Dakwah Kampus

oleh Ari Wahyudi, S.Si.
25 September 2023
0

Bismillah. Apa yang sering kita dengar mengenai para mahasiswa? Mungkin kita pernah mendengar mengenai gerakan mahasiswa yang menggerakkan unjuk rasa...

Metode Dakwah untuk Orang Awam

Metode Dakwah untuk Orang Awam

oleh Muhammad Nur Faqih, S.Ag
22 September 2023
1

Dakwah merupakan amalan yang agung di dalam Islam. Tidaklah setiap rasul yang diutus di muka bumi, melainkan mereka mengemban amanah...

Artikel Selanjutnya

Al Qur'an Adalah Cahaya

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Donasi Dakwah YPIA Donasi Dakwah YPIA Donasi Dakwah YPIA
Muslim.or.id

Kantor Sekretariat Yayasan Pendidikan Islam Al-Atsari (YPIA).

Pogung Rejo RT 14 RW 51 no. 412
Sinduadi, Mlati, Sleman, D.I Yogyakarta, Indonesia, 55284.

Media Partner

YPIA | Muslimah.or.id | Radio Muslim | FKIM

Buletin At Tauhid | MUBK | Mahad Ilmi | FKKA

Kampus Tahfidz | Wisma Muslim | SDIT Yaa Bunayya

Wisma Muslimah | Rumah Tahfidz Ashabul Kahfi

Ikuti Kami

  • Tentang Kami
  • Donasi
  • Pasang Iklan
  • Kontak

© 2023 Muslim.or.id - Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

No Result
View All Result
  • Aqidah
  • Manhaj
  • Landasan Agama
  • Penyejuk Hati
  • Fikih
  • Sejarah
  • Khotbah Jum’at
  • Kalkulator Waris
  • E-Book

© 2023 Muslim.or.id - Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah