Taklid berarti mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya.
Beberapa poin yang mesti diperhatikan tentang masalah taklid:
1- Taklid berarti mengikuti hasil ijtihad orang lain. Adapun jika seseorang berpegang dengan Al Qur’an dan hadits, tidaklah disebut taklid. Ia disebut sebagai orang yang ittiba’ yaitu mengikuti dalil.
2- Taklid dibolehkan hanya jika tidak diketahui adanya dalil. Taklid hanya ada pada orang awam yang tidak tahu, yang tidak punya kemampuan dalam menelaah dalil.
Adapun orang yang mampu menelusuri dalil lalu ia mengikuti pendapat orang lain yang ia ketahui kebenarannya atau yang ia pilih setelah menimbang-nimbang dalil, tidaklah disebut taklid. Yang ia lakukan adalah menguatkan atau memilih pendapat.
Adapun jika yang dilakukan adalah mengambil pendapat orang lain tanpa melihat dalilnya padahal ia mampu untuk melakukan penelusuran, dialah disebut orang yang taklid atau taqlid (muqollid). Orang seperti ini sebenarnya tidaklah diberi uzur untuk taklid.
3- Masalah taklid sama dengan masalah ijtihad. Setiap perkara yang boleh berijtihad di dalamnya, maka boleh bertaklid di dalamnya. Yang diharamkan untuk berijtihad (karena sudah ada dalilnya), maka diharamkan untuk taklid.
Orang yang taklid mengikuti mujtahid (ahli ijtihad) dalam ijtihadnya. Namun orang yang taklid tak bisa untuk menguatkan pendapat, tak bisa menyatakan pendapatnya yang paling benar dan pendapat yang lain salah. Orang yang taklid bukanlah wewenangnya melakukan semacam itu.
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
بَلْ مَنْ كَانَ مُقَلِّدًا لَزِمَ حُكْمَ التَّقْلِيدِ ؛ فَلَمْ يُرَجِّحْ ؛ وَلَمْ يُزَيِّفْ ؛ وَلَمْ يُصَوِّبْ ؛ وَلَمْ يُخَطِّئْ
“Siapa yang menjadi muqollid (ahli taklid) maka berlaku hukum taklid untuknya. Ia tidak punya wewenang menguatkan pendapat (merajihkan). Ia tidak boleh merendahkan pendapat yang lain. Ia tidak boleh menyatakan pendapatnya yang paling benar dari pendapat lainnya. Ia pun tak boleh menyatakan salah pada pendapat lain.” (Majmu’ Al Fatawa, 35: 233)
Semoga bermanfaat. Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.
Referensi:
Ma’alim Ushulil Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah, Muhammad bin Husain bin Hasan Al Jizaniy, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan kesembilan, tahun 1431 H.
Majmu’atul Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, terbitan Darul Wafa’ dan Dar Ibnu Hazm, cetakan keempat, tahun 1432 H.
—
Selesai disusun di Panggang, Gunungkidul, 26 Rabi’ul Akhir 1436 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id
Barakallahu fiikum
Assalaamu’alaikum warohmatullahi wabarokaatuh.
Afwan ustadz bolehkah orang yg taqlid mengamalkan hasil ijtihad yg berbeda-beda? Contoh kadang kala menggerakkan telunjuk saat tahyat kadang tidak.
Wa’alaikumus salam wa rahmatullah wa barakatuh,
Seseorang kalau dikarenakan minimnya ilmu harus taqlid kpd Ulama , maka tetap tertuntut sebisa mungkin melakukan cara taqlid yg baik:
1. Jgn memilih pendapat berdasarkan hawa nafsu, namun berdasarkan niat mencari kebenaran & mengamalkannya.
2. Memilih ulama yg paling bisa dipercaya : ilmu dan ketakwaannya serta kehati-hatiannya dlm berfatwa.
3. Jika mampu, maka pilih Ulama yg lebih ahli dalam masalah yg sedang diperselisihkan. Krn Ulama itu mirip dokter, ada specialis ini dan itu.
4. Usahakan mencari fatwa-fatwa para Imam atau ulama-ulama besar /senior yg sudah mendapatkan pengakuan ilmiah dunia.
5. Jika hasil fatwa/ijtihad ulama yg berbeda-beda itu saling bertentangan , maka pilih yg paling kuat / paling mendekati kebenaran/ pendapat ulama yg paling berilmu dan bertakwa. Tidak bisa diamalkan bareng2 dan tdk bs pula diamalkan trkadang ini trkadang itu.
Adapun menggerakkan telunjuk saat tahiyat, itu memang ada perbedaan pendapat dan yg terkuat -wallahu a’lam- : trkadang digerakkan, trkadang tidak.
Barakallahu Fiikum Ustadz Abu Rumaysho dan Ustadz Abu Ukkasyah.
Terkait artikel di atas:
“Adapun orang yang mampu menelusuri dalil lalu ia mengikuti pendapat orang lain yang ia ketahui kebenarannya atau yang ia pilih setelah menimbang-nimbang dalil, tidaklah disebut taklid. Yang ia lakukan adalah menguatkan atau memilih pendapat.”
Saya yg sering membaca artikel Asatidz Ahlusunnah seperti Antum sekalian apakah sudah cukup disebut ittiba’ atau masih termasuk taklid karena saya belum mampu menelusuri dalil tersebut secara langsung apabila berasal dari hadits karena saya belum punya kitab2 hadits dan belum bisa bahasa Arab seperti Antum.
Sungguh saya dan istri sangat terbantu oleh Antum sekalian semoga Allah melindungi Asatidz ahlussunnah.
Jazakumullahu Khairan.
Kalau diikuti dalilnya bukan sekedar pendapatnya, maka tdk termasuk taklid.
Kalau diikuti dalilnya bukan sekedar pendapatnya, maka tdk termasuk taklid.
Wa’alaikumussalam.
Untuk masalah yg dicontohkan, harus memilih salah satu.
Assalaamu’alaykum,
Kalau pada akhirnya antara dua pendapat (bahkan oleh Ulama-Ulama Madzhab yang sama),
lalu pada akhirnya setelah ditelusuri dalilnya ternyata keduanya
kelihatan sama kuat, maksudnya, perbedaannya ada di kaidah-kaidah atau
kesahihan hadist yang sudah sangat rumit dan di luar pemahaman kita, bagaimana?
Saya lihat ada komentar di bawah katanya coba dicari pendapat yang tampaknya paling kuat di antara keduanya. Akan tetapi, misalnya ada situasi yang benar-benar tampak kedua pendapat sama kuat. Bagaimana cara memilihnya?
1. Bolehkah berdasarkan nafsu?
2. Apakah boleh pakai ‘feeling’?
Barakallaahu fiik
Wa’alaikumus salam,
jangan memilih berdasarkan hawa nafsu dan feeling, tapi pilihlah ulama yg paling berilmu dan paling bertakwa. Simak penjelasan Syaikh Al-‘Utsaimin berikut:
أن الواجب أن تقلد من تراه أقرب إلى الحق، لأن أهل العلم كالأطباء، فهم أطباء القلوب، وإذا كان الواحد منا إذا مرض، وكان في البلد أطباء كثيرون، فإنه سوف يختار من كان أحذق وأعرف بالطب والأدوية والعلاج، ولا يمكن لأحد أن يذهب إلى طبيبٍ قاصر مع وجود من هو أحذق منه إلا عند الضرورة، فكذلك في التقليد اختر من تراه أقرب إلى الحق لكونه أعلم وأتقى لله عز وجل
Barakallaahu fiik. Berarti kira-kira saya harus mencoba mempelajari biografi sang ulama yang menyampaikan pendapat tersebut begitu ya, lalu memilih di antara mana yang kira-kira CV-nya lebih bagus? Maaf nih, ceritanya kalo sudah benar-benar mentok. ehehe.. Syukran