Pada masa sekarang ini, di mana banyak diantara kaum muslimin yang sudah sangat menyepelekan masalah aqidah shahihah yang merupakan masalah paling pokok dalam agama ini, maka akan kita dapati dua jawaban yang batil dan kufur dari pertanyaan “Dimana Alloh?”. Yang pertama mereka yang mengatakan bahwasanya Alloh ada dalam diri setiap kita? Dan kedua yaitu yang mengatakan Alloh ada di mana-mana atau di segala tempat?
Seorang Budak Pun Tahu Dimana Alloh
Ketahuilah wahai Saudaraku, pertanyaan “Dimana Alloh?” adalah pertanyaan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam kepada seorang budak perempuan kepunyaan Mu’awiyah bin Hakam As Sulamiy sebagai ujian keimanan sebelum ia dimerdekakan oleh tuannya. “Beliau bertanya kepada budak perempuan itu, ‘Dimanakah Alloh?’ Jawab budak perempuan, ‘Di atas langit’ Beliau bertanya lagi, Siapakah aku? Jawab budak perempuan, ‘Engkau adalah Rosululloh’, Beliau bersabda, ‘Merdekakan dia! Karena sesungguhnya dia seorang mu’minah (perempuan yang beriman)’.” (HR. Muslim dan lainnya)
Maka perhatikanlah dengan seksama masyarakat tersebut, yang mana Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam berjihad bersama mereka, aqidah mereka sempurna (merata) hingga pada para penggembala kambing sekalipun, yang mana perjumpaan (pergaulan) mereka dengan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam sangat sedikit, seperti penggembala kambing ini. Kemudian bandingkanlah dengan realita kaum muslimin sekarang ini, niscaya akan kita dapatkan perbedaan yang sangat jauh.
Keyakinan di mana Alloh termasuk masalah besar yang berkaitan dengan sifat-sifat-Nya yaitu penetapan sifat Al-‘Uluw (sifat ketinggian Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bahwa Dia di atas seluruh mahluk), ketinggian yang mutlak dari segala sisi dan penetapan Istiwa’ (bersemayam)-Nya di atas Al-‘Arsy, berpisah dan tidak menyatu dengan makhluk-Nya sebagaimana yang diyakini oleh kaum Wihdatul Wujud, yang telah dikafirkan oleh para ulama kita yang dahulu dan sekarang. Dan dalil-dalil yang menunjukkan penetapan sifat ini sangatlah banyak, sangat lengkap dan jelas, baik dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, ijma’, akal dan fitrah sehingga para ulama menganggapnya sebagai perkara yang bisa diketahui secara mudah oleh setiap orang dalam agama yang agung ini.
Dalil-Dalil Al Qur’an
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “(Robb) Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy.” (Thoha: 5). Dan pada enam tempat dalam Al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman, “Kemudian Dia Istiwa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy.” (Al-A’raf: 54). ‘Arsy adalah makhluk Alloh yang paling tinggi berada di atas tujuh langit dan sangat besar sekali sebagaimana diterangkan Ibnu Abbas, “Dan ‘Arsy tidak seorang pun dapat mengukur berapa besarnya.” (Dikeluarkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah, sanadnya Shahih). Ayat ini jelas sekali menunjukkan ketinggian dan keberadaan Alloh Subhanahu wa Ta’ala di atas langit serta menutup jalan untuk meniadakan atau menghilangkan sifat ketinggian-Nya atau mentakwilkannya. Para ulama Ahlus Sunnah pun sepakat bahwa Alloh Subhanahu wa Ta’ala ber-istiwa’ di atas ‘Arsy-Nya sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya tanpa mempertanyakan bagaimana cara/kaifiyat istiwa’-Nya. Dan perlu diketahui bahwa penetapan sifat ini sama dengan penetapan seluruh sifat Alloh yang lainnya, yaitu harus berjalan di atas dasar penetapan sifat Alloh sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya tanpa ada penyerupaan sedikitpun dengan makhluk-Nya.
Dalil-Dalil As Sunnah
Adapun dalil-dalil dari As-Sunnah juga sangat banyak, di antaranya adalah sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Tidakkah kalian percaya padaku sedangkan aku adalah kepercayaan Yang berada di atas langit. Datang kepadaku wahyu dari langit di waktu pagi dan petang.” (HR. Bukhori-Muslim). Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Orang-orang yang penyayang akan disayangi oleh Yang Maha Rahman, sayangilah siapa saja yang ada di bumi niscaya kalian akan disayangi oleh Yang berada di atas langit.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Imam Al-Albani). Begitu pula dengan hadits pertanyaan Rosululloh kepada budak perempuan yang telah disebutkan di atas. Imam Adz-Dzahabi berkata setelah membawakan hadits budak perempuan di atas, “Demikianlah pendapat kami bahwa setiap orang yang ditanyakan di manakah Alloh, dia segera menjawab dengan fitrahnya, ‘Alloh di atas langit!’ Dan di dalam hadits ini ada dua perkara yang penting; Pertama disyariatkannya pertanyaan, ‘Dimana Alloh?’ Kedua, disyariatkannya jawaban yang ditanya, ‘Di atas langit’. Maka siapa yang mengingkari kedua perkara ini maka sesungguhnya dia mengingkari Al-Musthofa shollallohu ‘alaihi wa sallam“. (Mukhtashor Al-‘Uluw)
Akan tetapi realita kaum muslimin sekarang amat sangat memprihatinkan. Pertanyaan ini justeru telah menjadi sesuatu yang ditertawakan dan jarang dipertanyakan oleh sebagian jama’ah-jama’ah dakwah di zaman ini? Ataukah justru pertanyaan ini telah menjadi bahan olok-olokan semata? Ataukah kaum muslimin sekarang ini telah memahami pentingnya berhukum dengan hukum yang diturunkan Alloh, meskipun mereka menyia-nyiakan hak Alloh? Maka kapankah Alloh akan mengizinkan untuk melepaskan, membebaskan dan memerdekakan kita dari orang-orang kafir yang menghinakan dan merendahkan kita sebagaimana telah dibebaskannya seorang wanita dari hinanya perbudakan setelah ia mengenal dimana Alloh?
Konsekuensi Jawaban yang Keliru
Alangkah batilnya orang yang yang mengatakan bahwasanya Alloh berada di setiap tempat atau Alloh berada di mana-mana karena konsekuensinya menetapkan keberadaan Alloh di jalan-jalan, di pasar bahkan di tempat-tempat kotor dan berada di bawah makhluk-Nya. Kita katakan kepada mereka, “Maha Suci Alloh dari apa-apa yang mereka sifatkan.” (Al-Mu’minun: 91). Dan sama halnya juga dengan orang yang mengatakan bahwasanya Alloh ada dalam setiap diri kita (??) karena konsekuensinya Alloh itu banyak, sebanyak bilangan makhluk? Maka aqidah seperti ini lebih kufur daripada aqidahnya kaum Nashrani yang mengakui adanya tiga tuhan (trinitas). Lebih-lebih lagi mereka yang mengatakan bahwa Alloh tidak di atas, tidak di bawah, tidak di kanan, tidak di kiri, tidak di depan, tidak di belakang karena hal ini berarti Alloh itu tidak ada (??) maka selama ini siapa Tuhan yang mereka sembah? Adapun orang yang “diam” dengan mengatakan, “Kami tidak tahu Dzat Alloh di atas ‘Arsy atau di bumi” mereka ini adalah orang-orang yang memelihara kebodohan. Karena Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah mensifatkan diri-Nya dengan sifat-sifat yang salah satunya adalah bahwa ia istiwa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy-Nya supaya kita mengetahui dan menetapkannya. Oleh karena itu “diam” darinya dengan ucapan “Kami tidak tahu” nyata-nyata telah berpaling dari maksud Alloh. Pantaslah jika Imam Abu Hanifah mengkafirkan orang yang berfaham demikian, tentunya setelah ditegakkan hujjah atas mereka.
Dalil Fitrah
Sebenarnya tanpa adanya dalil naqli tentang keberadaan Alloh di atas, fitrah kita sudah menunjukkan hal tersebut. Lihatlah jika manusia berdo’a khususnya apabila sedang tertimpa musibah, mereka menengadahkan wajah dan tangan ke langit sementara gerakan mata mereka ke atas mengikuti isyarat hatinya yang juga mengarah ke atas. Maka siapakah yang mengingkari fitrah ini kecuali mereka yang telah rusak fitrahnya? Bahkan seorang artis pun ketika ditanya tentang kapan dia mau menikah maka dia menjawab, “Kita serahkan pada Yang di atas!” Maka mengapa kita tidak menjawab pertanyaan “Dimana Alloh?” dengan fitrah kita? Dengan memperhatikan kenyataan ini, lalu mengapa kita lebih sibuk menyatukan suara kaum muslimin di kotak-kotak pemilihan umum sementara hati-hati mereka tidak disatukan di atas aqidah yang shahih? Bukankah persatuan jasmani tidak akan terwujud bilamana ikatan hati bercerai-berai? Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Kamu mengira mereka itu bersatu, padahal hati-hati mereka berpecah-belah.” (Al-Hasyr: 14). Hanya kepada Alloh-lah kita memohon perlindungan.
***
Penulis: Muhammad Saifudin Hakim
Artikel www.muslim.or.id
Mereka yang mengerti akan keberadaan Allah tidak akan mengatakan dimana Allah berada, karna pada saat yang sama mereka (yang mengatakannya) sudah berlaku “Riya”alias sombong. sedangkan Allah tidak bisa diumpamakan oleh apapun. “Jika kamu ingin mencari Allah Jangan keluar dari dirimu sendiri, jika kamu keluar dari dirimu, maka kamu akan tersasar lebih jauh” jadi, apakah Allah ada pada diri Kita? jawabnya Yes N Now. yang pasti bila kamu kenal akan dirimu maka kamu akan merasa “Bodoh” karna segala sesuatu yang ada padaa kita, bersumber dari-Nya. dan kita merasa tidak berdaya upaya, selain dari pada daya-Nya.
La Hawla Walla quata illa billah ……. adjim.
Dan
Dia ada pada setiap yang ada tetapi Ia tidak terikat kepada yang ada yang ada tiadapun Ia tetap ada, awalu wal akhiru/ dari awal hingga akhir (Qidam-Baqo).
Ia Maha Segalanya. I Think U know that.
Asalamualaykum Wr Wb.
Your Brother,
Imam Suryadi
Agama itu dengan dalil. Coba kita baca kembali dalil pertama di artikel ini yaitu HR Muslim ttg pertanyaan Nabi ‘alaihish sholaatu was salaam kepada seorang budak perempuan. Si budak menjawab pertanyaan “dimanakah Alloh” dengan jawaban “diatas langit” dan atas jawabannya tersebut Nabi ‘alaihish sholaatu was salaam mencapnya sebagai mu’minah bukan orang yang riya. Alloh diatas langit, kaya’nya besok-besok ada yang mencap ana riya nih.
iya mas imam,
berarti budak yang disuruh Rasulullah untuk dimerdekakan itu adalah orang yang riya/ sombong dong mas ?
jadi bingung ???/
Mas Imam, apa berarti anda mau mengatakan bahwa Rasululloh Shalallohu ‘alaihi wa salam tidak tau dimana Alloh ? Sampai-sampai Beliau bertanya kepada seorang Budak ?
Membicarakan dzat Allah berarti memasuki area yang berbahaya yang bisa menghancurkan aqidah kita, dan memasuki area di mana ini merupakan larangan Allah yaitu mengatakan sesuatu yang kita tidak ketahui tentang Allah QS:7:33
Seharusnya kalau kita ditanya di mana dzat Allah maka harus menjawab dengan singkat sesuai petunjuk Allah di QS 2: 186. “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat”. Dan dekat adalah dekat, yang jelas Allah tidak jauh. Langit adalah jauh sekali, apalagi di atas langit tentunya jaraknya lebih dari trilyunan tahun cahaya. Memang ukuran alam semesta dibanding arsy Allah adalah seperti sebutir pasir di padang pasir jadi secara relatif jadi dekat. Tapi yang jelas dekat ini adalah ukuran untuk manusia yang kecil dibanding alam semesta karena ayat ini diturunkan ke manusia. Kitapun tahu secara akal bumi jelas berada di dalam dan diliputi langit, seperti bola dalam air, kemanapun kita menghadap pasti menghadap ke langit bahkan kalau kita menghadap ke bawah sekalipun (yang merupakan langit bagi benua amerika) atau boleh dikatakan bumi sendiri adalah bagian dari langit. Kita yakin bahwa Allah bersemayam di arsy, dan ada beberapa dalil yang menyatakan bahwa alam semesta berada di dalam arsy Allah yang berarti pula langit dan bumi berada di arsy. Itulah mengapa kita bisa memahami ayat QS 2: 115. “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah.” Dan dengan pemahaman ini maka tidak akan ada kontradiksi pada ayat2 quran maupun hadits, karena Allah bersemayam di arsy, Allah juga berada di langit karena langit ada di dalam arsy, dan Allah juga dekat ke kita karena bumi juga merupakan bagian dari langit.
Yang pasti kalau menyatakan Allah jauh di atas langit akan banyak menimbulkan implikasi yang berat dengan ayat2 lain di quran dan juga hadits, yang menyatakan kedekatan Allah ke kita. Dan terpaksa kita pun mena’wilkan ayat2 yang menunjukkan “kedekatan Allah dengan mahkluk-Nya” ini dengan “ilmu Allah”. Padahal ayat2 yang ditawilkan ini dalam konteks yang berbeda2 satu sama lain. Dan banyak ulama mengharamkan mena’wilkan sifat2 Allah termasuk sifat keberadaan Allah di langit. Dan keberadaan Allah di langit, bergeraknya Allah, turunnya Allah ke langit, turunnya Allah ke bumi pada akhir malam, hubungan antara sifat dengan dzat Allah, istiwa hanya bisa diimani tanpa pena’wilan sedikitpun QS 3:7. Apalagi menyatakan bahwa Allah tidak mungkin berada di jalan-jalan atau di tempat kotor dan Allah terpisah dari makhluk-Nya, yang hal ini jelas tidak ada keterangan dan dalil yang nyata dari quran ataupun di hadits, dan jelas merendahkan kemampuan Allah yang maha suci dari kotoran. Kita saja sebagai manusia bisa berada di tempat kotor tanpa tercemari kotoran tersebut apalagi Allah yang maha kuasa atas segala sesuatu.
Fitroh hubungan kita dengan Tuhan adalah merasakan kedekatan, kita akan merasakan ketenangan kalau kita dekat dan bukannya jauh. Itulah fitroh naluri dasar manusia yang ingin selalu dekat dengan yang dicintainya. Kalaupun fitroh kita menghadap ke atas ketika berdoa itu adalah penghormatan kita kepada Allah, meskipun dalam sholat kita haram menghadap ke langit. Jadi begitu ada yang bertanya di mana Allah kita harus menjawab dengan cepat bahwa Allah itu dekat, dengan kedekatan yang kita tidak tahu hakikatnya dan tidak dapat kita bayangkan. Inilah sunah yang ada di quran dan hadits ketika ada orang bertanya di mana Allah. Karena ayat QS 2:186 turun berkenaan dengan datangnya seorang Arab Badui kepada Nabi SAW yang bertanya: “Apakah Tuhan kita itu dekat, sehingga kami dapat munajat/memohon kepada-Nya, atau jauh, sehingga kami harus menyeru-Nya?” Nabi SAW terdiam, hingga turunlah ayat ini (S. 2: 186) sebagai jawaban terhadap pertanyaan itu. (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Marduwaih, Abussyaikh dan lain-lainnya dari beberapa jalan, dari Jarir bin Abdul Hamid, dari Abdah as-Sajastani, dari as-Shalt bin Hakim bin Mu’awiyah bin Jaidah, dari bapaknya yang bersumber dari datuknya.) Menurut riwayat lain, ayat ini (S. 2: 186) turun sebagai jawaban terhadap beberapa shahabat yang bertanya kepada Nabi SAW: “Dimanakah Tuhan kita?” (Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq dari Hasan, tetapi ada sumber-sumber lain yang memperkuatnya. Hadits ini mursal.) Dan juga hadits dari Imam Ahmad reported that Abu Musa Al-Ash`ari said, “We were in the company of Allah’s Messenger during a battle. Whenever we climbed a high place, went up a hill or went down a valley, we used to say, `Allah is the Most Great,’ raising our voices. The Prophet came by us and said:
«يَا أَيُّهَا النَّاسُ، ارْبَعُوا عَلى أَنْفُسِكُمْ، فَإِنَّكُمْ لَا تَدْعُونَ أَصَمَّ ولَا غَائِبًا، إنَّمَا تَدْعُونَ سَمِيعًا بَصِيرًا، إنَّ الَّذي تَدْعُونَ أَقْربُ إِلَى أَحَدِكُمْ مِنْ عُنُقِ رَاحِلَتِهِ، يا عَبْدَاللهِ بْنَ قَيْسٍ، أَلَا أُعَلِّمُكَ كَلِمَةً مِنْ كُنُوزِ الْجَنَّةِ؟ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِالله»
”O people! Be merciful to yourselves (i.e., don’t raise your voices), for you are not calling a deaf or an absent one, but One Who is All-Hearer, All-Seer. The One Whom you call is closer to one of you than the neck of his animal. O `Abdullah bin Qais (Abu Musa’s name) should I teach you a statement that is a treasure of Paradise: `La hawla wa la quwwata illa billah (there is no power or strength except from Allah).’” This Hadith was also recorded in the Two Sahihs, and Abu Dawud, An-Nasa’i, At-Tirmidhi and Ibn Majah recorded similar wordings. Sehingga kedekatan sampai ke binatang inipun tidak boleh kita ta’wilkan dengan ta’wil “ilmu-Nya”
Mas Agus,
Yang ini juga dari Al Qur’an kan ? Malah sudah ditafsirkan oleh sahabat Nabi (Ibnu Abbas). Kalau Alloh sendiri sudah memberi tahu keberadaan-Nya (di atas Arsy) apa pantas kita nyari-nyari dalil sendiri ?
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “(Robb) Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy.” (Thoha: 5). Dan pada enam tempat dalam Al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman, “Kemudian Dia Istiwa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy.” (Al-A’raf: 54). ‘Arsy adalah makhluk Alloh yang paling tinggi berada di atas tujuh langit dan sangat besar sekali sebagaimana diterangkan Ibnu Abbas, “Dan ‘Arsy tidak seorang pun dapat mengukur berapa besarnya.” (Dikeluarkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah, sanadnya Shahih).
Dari artikel ‘Dimanakah Alloh ? — Muslim.Or.Id#comment-119227’
untuk akhi agus,
ada baiknya ketika anda menafsirkan hadits ataupun al qur’an ,
anda merujuk kepada penjelasan kitab-kitab ulama yang sudah mumpuni. bukan berdasarkan pendapat sndiri.
kalo semua orang boleh berpendapat dalam agama, mau jadi apa agama kita ini ?
sungguh mngherankan, jika kita sakit kita bertanya ke dokter yg sudah terkenal akan kehandalannya, krena kita percaya dia dapat membantu kita “menafsirkan” sakit kita.
akan tetapi, ketika kita memahami agama, kita memahaminya sendiri, atau kita hanya bertanya ke orang2 yang bukan mumpuni dalam bidang agama.
sbgitu remehkah permasalahan agama di mata kita ? shingga kita sembarangan menafsirkan ataupun mengambil ilmu agama ini ?
wallahu’l musta’an
barokallahu fik
Imam Ibnu Abil Izz Al Hanafi menyebutkan di dalam syarh Thahawiyahnya 18 bentuk dalil wahyu yang menunjukkan ketinggian Allah di atas hamba-Nya. Dan kalau boleh saya ingatkan kepada pembaca sekalian sebuah ayat yang sering kita baca yang menunjukkan ketinggian Allah;sabbihisma rabbikal a’la. Bukankah artinya; sucikanlah nama Rabbmu yang Maha Tinggi. Pada kesempatan ini saya menjadi semakin tertarik dengan pemahaman saudara Agus. kalau beliau berkenan maka kami mohon beliau menyebutkan nama ulama dan kitab yang menjadi rujukannya. Allahulmuwaffiq
Maaf akhi Abu Maryam, saya mau bertanya.
Kalau ada orang bertanya dimana Allah kepada saya, jawaban mana yang harus saya gunakan:
1. jawaban para ulama yang sudah mumpuni dan budak perempuan ( Allah di atas langit)
2. atau jawaban yang telah diberikan dan dicontohkan oleh Allah dan RosulNya (bahwa Allah dekat, QS 2:186)
Karena saya jadi bingung harus mengikuti ulama yang mumpuni atau mengikuti Allah dan RosulNya.
Semoga Allah memberi petunjuk kepada kita.
mba Erlina,
Anda lupa bahwa jawaban no.1 juga berasal dari Al Qur’an (Kalamulloh) silahkan baca lagi awal dari artikel diatas
Dimana Allah?
Jika dijawab “Allah di atas Arsy” atau “Allah di langit”, maka benar. Dan ini bukan hanya jawaban budak perempuan dan ulama yang mumpuni. Bahkan ini jawaban Allah dan Rasul-Nya. Allah Ta’ala berfirman yang artinya: “Lalu Allah bersemayam di atas ‘Arsy.” [Al-A’raaf: 54]. Juga dalam ayat lain: “ Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy.” [Thaahaa: 5]. Ini pula pernyataan Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam:
“Apakah kalian tidak mempercayaiku, sedangkan aku dipercaya oleh Allah yang ada di atas langit?” [Muttafaqun ‘Alaihi]
Jika dijawab “Sesungguhnya Allah itu dekat” maka ini pun benar. Sesuai dengan firman Allah Ta’ala yang artinya:
“Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat, Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepadaKu.” [QS. Al-Baqarah: 186]. Namun maksud qoriib (dekat) dalam ayat ini bukan Dzat Allah, namun ilmu-Nya. Dalilnya adalah sehingga lanjutan ayat yg artinya “Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepadaKu“. Ini menunjukkan bahwa dekatnya Allah dalam hal kekuasaan Allah untuk mendengar setiap doa manusia dan mengabulkannya, dan ini adalah ilmu Allah. Dalil lain adalah sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam:
“… Sesungguhnya Allah Yang engkau berdo’a kepada-Nya, lebih dekat kepada seseorang di antara kamu daripada leher binatang tunggangannya.” [Muttafaqun’alaih]
Sekali lagi dalam dalil ini mengaitkan sifat Dekat Allah dengan doa. Maka jelas, yang dimaksud dekatnya Allah bukanlah Dzat-Nya.
Dan ini bukanlah ta’wil, bahkan merupakan tafsir dari ayat, yang artinya:
“Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia istiwa’ (bersemayam) di atas Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersamamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” [Al-Hadiid: 4]
Dan dijelaskan oleh para ulama, bahwa ma’iyah (kebersamaan) di sini bukan berarti Dzat Allah menyatu atau menempel dengan makhluqnya. Hal ini ditunjukkan dari sisi bahasa, sebagaimana perkataan dalam bahasa arab yang artinya ‘musafir berjalan bersama bulan’ maka tidak berarti ia menyatu dengan bulan. Hal ini juga telah menjadi ijma ulama (dan ijma adalah dalil) bahwa ma’iyatullah tidak melazimkan bersatunya Dzat Allah dengan makhluq-Nya.
Ringkasnya, tidak ada pertentangan antara dalil-dalil yang menunjukkan Allah itu di atas Arsy dan yang menunjukkan Allah itu dekat. Ana kutipkan perkataan Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’di (salah seorang ulama mumpuni): “Apa yang telah dituturkan Al-Qur-an dan As-Sunnah, bahwa Allah dekat dan bersama makhluk-Nya, tidaklah bertentangan dengan yang Allah firmankan, bahwa Allah Mahatinggi dan bersemayam di atas ‘Arsy, karena tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam segala Sifat-Sifat-Nya. Dia Mahatinggi dalam kedekatan-Nya, tetapi dekat dalam ketinggian-Nya” (at-Tanbiihaatul Lathiifah (hal. 63-66)
Wallahu’alam.
Sumber:
– http://almanhaj.or.id
– Kajian Ustadz Abu Aisya Al Bakistani (via paltalk)
Sebenarnya dari awal saya tidak begitu tertarik membicarakan ini, karena takut masuk ke perdebatan yang kita sendiri tidak tahu dengan pasti ilmunya, sehingga melanggar QS 3:66 dan juga larangan membicarakan dzat Allah seperti disebut dalam hadits. Tapi dalam artikel ini disebut bahwa hal ini adalah aqidah wajib yaitu sifat Allah di atas langit dan melarang kita percaya Dia berada dekat dengan kita dzat-Nya, maka saya jadi terusik untuk membicarakan, karena saya tidak pernah dengar ada aqidah wajib seperti ini di Islam. Karena banyak ulama yang masih berbeda pendapat dengan hal ini, jadi tidak mungkin dijadikan aqidah wajib.
Dan pendapat saya bahwa Allah dekat jelas akan berhadapan dengan ulama mumpuni Ibnu Taimiyah, Ibnu Kathir, Imam Abu Hanifah dsb yang jelas menyatakan Allah di atas langit. Tapi bukankan kita tidak boleh menganggap mereka sebagai “arbaaban min duunillah”, dengan melanggar perintah Allah yang sangat jelas di QS 2:186 dan didukung oleh sunah Nabi yang ketika ditanya di mana Allah akan menjawab dengan jawaban QS 2:186 (walaupun saya tetap menghormati mereka sebagai ulama yang ilmu kita jelas jauh di bawahnya dan tetap mengambil ilmu dari mereka). Dan tentunya kita tidak akan menambah jawaban dengan “di atas langit” karena di quran tidak ada dalil untuk itu, jawaban di quran hanya “Allah itu dekat dan mengabulkan doa jika kita berdoa”. Yang dengan pengertian dekat ini maka kita tidak akan berkonfrontasi dengan banyak ayat quran dan dengan pengertian dekat ini juga kita akan lebih mudah memahami “ihsan” dalam ibadah. Dan merupakan jawaban orang yang patuh pada perintah Allah.
Hadits Nabi dalam hal ini juga memberikan contoh yang ekstrim, jawaban Allah di langit adalah jawaban budak anak kecil perempuan seorang pengembala yang tentunya jauh dari pengajaran dan merupakan model terkecil dari pengetahuan tentang Allah. Karena dia akan sukar memahami “Allah dekat” karena dia tentu akan bertanya kenapa dia tidak bisa melihat-Nya dan memang ini jawaban yang betul tapi jawaban ini adalah untuk model terkecil dari pengetahuan tentang Allah. Sedangkan jawaban orang yang sedikit memahami, akan menjawab seperti jawaban Nabi ketika ketika ditanya dengan jawaban QS 2:186. Dan di dalam ayat tersebut sebetulnya tidak ada kata jawablah, itu hanya tambahan dari penerjemah, dengan tidak adanya kata jawablah adalah mengisyaratkan adanya fitroh manusia yang dekat dengan Allah.
Ayat QS 87:1 jelas diawali dengan sabbih (menjauhkan) berupa fiil amr menunjukkan perintah ke kita untuk menjauhkan dari sifat jelek2 pada sifat2 rab kita yang a’laa (paling tinggi). Perintah ini harus disambung dengan hal yang berkaitan, dan ayat ini menunjukkan kesatuan ayat dan kita tidak boleh memisahkan kata “robmu yang tinggi” saja. Karena kalau kita artikan “a’laa” dengan tinggi dalam arti “tempat yang tinggi” maka perintah ini akan kabur dan tidak akan berarti apa2, karena menjadi tidak berhubungan antara perintah dengan objek yang ada. Hal yang sama ada pada QS 3:139 dan QS 79:24 yang kalau kita artikan dengan “tempat yang tinggi” bahkan menjadi mustahil. Jadi pada QS 87:1 a’laa menunjukkan ketinggian sifat yang tidak dapat terjangkau oleh siapapun, dan bebas dari sifat rendah. Semoga saya tidak dibilang menafsirkan quran karena saya hanya mensarikan dari buku tafsir dan perkataan ulama saja.
Dan kalau kita lihat QS 56:85 “dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu. Tetapi kamu tidak melihat” Dekat di sini tidak akan mungkin dita’wil dengan “ilmu Allah”, jangankan ilmu Allah, ilmu kita pun tidak bisa dilihat. Kata nahnu pada ayat ini menunjukkan ada pihak lain yang ikut berperan yaitu malaikat, jadi Allah tidak bekerja sendiri.
Banyak juga ulama yang mengatakan bahwa Allah tidak membutuhkan tempat karena akan menyamakan Dia dengan makhluk-Nya. Tidak membutuhkan tempat tentunya sukar masuk akal, tapi itulah Allah, maka kita tidak boleh membicarakan dzat Allah yang jauh dari jangkauan akal. Allah juga adalah Al Baathin yang mengisyaratkan Allah tidak membutuhkan tempat.
Sedangkan arsy sendiri banyak ulama yang menafsirkan bahwa penciptaan arsy yang merupakan makhluk terbesar Allah untuk menunjukkan kekuasaan dan tidak untuk bertempat tinggal bagi Allah (hampir seperti perkataan “rumah Allah”, padahal kita tahu itu hanya istilah saja bukan untuk bertempat tinggal). Istawa sendiri mempunyai banyak arti yang berbeda jadi kita hanya bisa mengimani hal ini tanpa mempertanyakan lebih lanjut. Yang bahkan di QS 2:29 diartikan “berkehendak (menciptakan)” langit. Dan letak arsy jelas tidak keterangan dalam quran hadits, dalil yang ada adalah langit dan bumi ada di dalam arsy, dan secara otomatis kitapun berada dalam arsy. Kalaupun Nabi saw menyebut “yang di langit” itu hanya sebagai penghormatan beliau. Karena ada juga yang berpendapat arti “as samaa” adalah tinggi.
Jadi ulama sendiri masih simpang siur dalam keadaan ini, jadi paling aman bagi kita adalah berpendapat sesuai quran dan sunah, yaitu “Allah dekat”. Dan sebagai penganut manhaj salaf adalah berdiri di tengah2 antara paham yang menyatakan “Allah jauh di atas langit” dengan paham “wihdatul wujud dan hulul” yang telah disesatkan para ulama, dengan paham yang ada di tengah2 yaitu dengan paham “Allah itu dekat” saya kira hal ini jelas sangat sesuai dengan quran sunah dan akan membuat kita terbebas dari perkara yang terlarang dengan membicarakan dzat Allah. Dan kalau didebatkan perkara seperti ini mungkin akan berakhir pada hari kiamat dan akhirnya Allah menjadi penyelesai dari masalah yang diperselisihkan, yang seharusnya kita tidak jatuh ke perkara yang seperti itu seperti QS 2:113. Karena membicarakan ayat yang mutasyabihat tidak mungkin berhasil, karena yang mengetahui ta’wilnya hanya Allah dan akhirnya kita termasuk orang2 yang hatinya condong pada kesesatan tanpa kita menyadarinya QS 3:7. Sehingga sayapun akan mengakhiri sampai di sini saja komentar saya.
(Dan ada baiknya jika kita tidak menggunakan dalil dari para artis karena akan meninggikan derajat mereka di mata kita orang Islam, dan hal ini seharusnya dihindari oleh penganut manhaj salaf yang mencukupkan dalil dari quran, hadits dan ulama.)
Komentar saya ini tertuju khususnya menanggapi komentar dari akhi Agus dan ukhti Erlina.
Saya ingin mengingatkan bahwa diskusi ini membahas seputar “Dimana Allah ?” check poinnya pada kata “Dimana”. Baik, saya berikan simulasi:
Simulasi I:
Budi bertanya kepada Iwan: “Dek, dimana kak Wati?”
Jawab Iwan: “Kak Wati di kamar.”
Simulasi II:
Budi bertanya kepada Iwan: “Dek, dimana kak Wati?”
Jawab Iwan: “Kak Wati dekat, mas…”
“Lho, saya tidak menanyakan tentang kak Wati lagi dekat sini atau tidak, dek, yang saya tanyakan kak Wati sekarang berada dimana?” timpal Budi.
Cukup jelas bukan? ketika ada pertanyaan “dimana” tentu saja yang dimaksud adalah menanyakan “tempat”, oleh karena itu hadist tentang budak perempuan yang ditanyakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “dimana Allah” dan jawabannya: “Di atas langit.” Dan jawaban budak tersebut langsung dibenarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adakah jawaban tersebut dianggap salah oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? coba simak hadits tersebut dengan seksama:
“Beliau bertanya kepada budak perempuan itu: ‘Dimanakah Allah?’ Jawab budak perempuan: ‘Di atas langit.’ Beliau bertanya lagi: ‘Siapakah aku?’ Jawab budak perempuan: ‘Engkau adalah Rasulullah.’ Beliau bersabda: ‘Merdekakan dia! Karena sesungguhnya dia seorang mu’minah (perempuan yang beriman)’.” (HR. Muslim dan lainnya)
Cek poin pada hadits di atas berkaitan dengan pembahasan kita:
Dalil dari hadits lainnya:
“Apakah kalian tidak mempercayaiku, sedangkan aku dipercaya oleh Allah yang ada di atas langit?” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Itu dalil dari 2 hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan banyak hadits lainnya yang menguatkan hal tersebut yang tidak disebutkan disini.
Dalil dari Al Qur’an pun sangat banyak, baik tersirat maupun tersurat yang menguatkan bahwa Allah berada di atas langit (ingat perhatikan kata “di atas” dan bukan “di dalam (langit)”). Berikut kami sitir sedikit saja:
AYAT I
“Lalu Allah bersemayam di atas ‘Arsy.” (QS. Al-A’ raaf: 54)
AYAT II
“Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy.” (QS. Thaahaa: 5)
ayat 1 dan ayat ke 2 di atas saya kira sudah cukup jelas. Sekarang kita perhatikan ayat ke 3:
AYAT III
Dan Fir’aun berkata: “Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui ada Ilah bagimu selain aku. Maka bakarlah wahai Haman untukku tanah liat kemudian buatkanlah untukku bangunan yang tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa dia termasuk orang-orang pendusta.” (QS. Al-Qashash: 38)
Ayat ke 3 di atas sungguh gamblang sekali siratan maknanya tentang keberadaan Allah. Dari ayat ke 3 di atas dapatlah kita ketahui bahwa salah satu dakwah nabi Musa adalah: Mengimani bahwa Allah berada di atas Langit (di ‘Arsy). Akan tetapi dakwaan nabi Musa tersebut disangkal dan didustakan oleh Fir’aun, dan bahkan Fir’aun mencap bahwa nabi Musa seorang pendusta. Oleh karena itu, Fir’aun dengan sombongnya menyuruh pembantunya; Haman, untuk membuatkan bangunan yang tinggi agar dia dapat naik ke atasnya untuk membuktikan dakwahan nabi Musa bahwa Allah itu berada di atas langit.
Cek Poin pada ayat ke 3 di atas:
Saya kira ayat di atas cukup jelas, dan tidak membutuhkan takwil-takwilan.
Dan kemudian. Kisah Isra’ dan Mi’raj Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga merupakan dalil yang kuat tentang dimana Allah. Dan saya yakin, semua pembaca website ini sudah pernah membaca kisah Isra’ dan Mi’raj Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kisah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diangkat ke langit hingga langit ketujuh dan kemudian ke atas lagi sampai sidratul muntaha menghadap Allah. Bagi Anda yang menyangkal bahwa Allah berada di atas ‘Arsy, coba Anda jelaskan kisah Isra’ dan Mi’raj ini…. dan coba jelaskan ayat-ayat dan hadits-hadits yang sudah saya sebutkan di atas :)
Kemudian mengenai ayat QS. Al-Baqoroh: 186 yang dijadikan dalil oleh akhi Agus dan ukhti Erlina. Coba kita perhatikan teks ayat tersebut:
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al-Baqoroh: 186)
Lihat teks ayat di atas. Perhatikan bagian: “Wa idza sa alaka ‘ibaadiy ‘anniy…”
Perhatikan kata ‘anniy… yang diartikan “Tentang Aku”. Pertanyaan tersebut bukan pertanyaan “tentang dimana Aku.” tapi “tentang Aku.” yaitu pertanyaan tentang sifat Allah. Dan itu dijelaskan dan dikuatkan dengan ayat selanjutnya: “fa inni qoriibun…” yang diartikan “maka (jawablah) bahwasanya Aku Maha Dekat…” dan kemudian ayat ini dikuatkan dengan kelanjutan ayat: “….Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”
Dan ketahuilah wahai saudaraku bahwa aqidah Islam yang menjelaskan bahwa Allah bersemayam di atas ‘Arsy tidaklah bertentangan dengan QS. Al-Baqoroh: 186, justru ayat-ayat tentang Asma dan Sifat Allah tersebut saling menjelaskan. Ketahuilah Allah itu Maha Besar, dan kita ini sangat kecil di hadapan-Nya, Allah Maha Kuasa dan kita ini sangat lemah di hadapan-Nya. Boleh jadi kita katakan bahwa ‘arsy Allah itu jauuuuuuuuuuhhhhh sekali jaraknya ditinjau dari perspektif kita, akan tetapi semuanya kecil bagi Allah. Kita manusia dan semua mahluk-Nya dibatasi oleh ruang dan waktu akan tetapi tidak bagi Allah.
“……Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Maha Melihat.” (QS. Asy-Syuura: 11)
Jazakallohu khairon
Alhamdulillah,saya mengerti sekarang
Alhamdulillah,saya mengerti sekarang…innalloha ‘ala kulli syaiin qodir
Komentar dari saudara Abdul Jabbar kami kira sudah cukup jelas dan mewakili penjelasan dari artikel di atas. Insya Allah sudah cukup jelas… Oleh karena itu, diskusi pada artikel ini kami tutup, agar tidak terjadi diskusi yang mengarah pada circular reasioning yang berputar-putar tidak tentu arah. Insya Allah artikel di atas sudah menjelaskan sedikit dari aqidah ahlussunnah; para pengikut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pembaca yang budiman, penjelasan mengenai sifat Istiwa Allah ‘alal ‘Arsy dapat dibaca pada artikel Sifat Istiwa’ Allah di Atas ‘Arsy, silakan menuju artikel tersebut. Mudah-mudahan Allah memberikan petunjuk dan Hidayah Taufik-Nya kepada kita semua.
Assalamu Alaikum, Saya membaca juga artikel yang berjudul Tanya Jawab Bersama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: Dimana Allah ? dan artikel itu tidak mendapat komentar pembaca yang saling bertentangan seperti dalam artikel ini… KENAPA ? karena dalam artikel ini menurut saya pribadi (maaf) kurang bijaksana karena langsung menyalahkan orang yang berpendapat lain “seperti Allah ada dimana-mana, dsb” tapi tidak memberikan jalan keluar sedikitpun tentang pendapat orang lain yang juga ada dasarnya. Tapi dalam membaca artikel Tanya Jawab Bersama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: Dimana Allah ? saya bisa menerima dengan baik sekali, karena disana beliau tidak ada menyalahkan siapapun dan tidak menyalahkan pendapat yang menyatakan “Allah dimana-mana” tapi beliau Ibnu Taimiyah yang dirahmati Allah memberikan suatu jalan keluar yang baik dan bijaksana dalam artikel tersebut yang salah satunya ada keterangan bahwa “Allah itu berada diatas Arasy tapi ilmu Allah dan keagungan Allah meliputi segala sesuatu” dalam artikel itu juga menjelaskan bahwa keberadaan Allah diatas Arasy tidak bisa disamakan dengan persepsi mahluk, sedangkan dalam artikel ini tidak ada penjelasan yang rinci sehingga saya sebagai pembaca merasa dipaksakan oleh pendapat penulis yang mengatakan seolah-olah suatu keharusan yang pasti bahwa Allah itu harus diatas yang sepertinya terkungkung oleh lingkup suatu ruang. Walaupun memang pendapat yang diutarakan penulis bardasarkan hadis tapi cara penyampaiannya terlalu titik-titik…. Sekali lagi saya mohon maaf jika ada yang kurang berkenan. Salam…
Menurut saya,
1. Atas dan bawah di langit visual manusia relatif thd peninjauan posisi di bumi, bagi orang di kutub utara, langit di atas kutub selatan adalah “langit di bawah”.
Posisi bawah dan atas di sini akhirnya relatif thd gravitasi bumi saja, sebagai pusat inti bola bumi. Jatuh ke “bawah”, sebenarnya tidak lain tertarik gravitasi ke arah centre bulatan bumi. Membuat sesuatu ke “atas” (misal membangun tugu), tidak lain adalah membuat suatu obyek ke arah berlawanan gravitasi. Kebetulan arah yg dituju outer space. Gedung bertingkat tinggi di jakarta sebenarnya berlawanan arah dg di new york, walau bagi orang di jakarta atau new york sama2 ngotot gedungnya ke arah atas, tetapi terhadap pusat gravitasi bumi, tidak ada yg di atas.
Maaf, ini jika bicara “atas” secara visual indera manusia pada posisi bumi.
Dan jika di langit visual yg kita maksud luar angkasa, bagi orang di planet lain (misal), maka bumi itu benda langit, posisinya di langit juga, sedang langitnya adalah space. Posisi peninjauan di planet lain, bisa saja yg dianggap atas oleh bumi menjadi bawah bagi planet tsb, dan sebaliknya. Ini jika bicara visual pengamatan tempat (positioning) suatu obyek thd obyek lain dalam lingkup ruang angkasa.
2. Allah swt BERBEDA dengan apapun. “Di mana” kata makhluk, tidak sama dan sebangun dengan “di mana” Khaliq, karena Khaliq lah pencipta obyek “di mana” itu. Makhluk yg kita sebut “POSISI” itu ciptaan Allah swt juga. Allah berkuasa atas seluruh ciptaan-Nya, dan berbeda dengan ciptaan-Nya.
Subhanallah.
3. Jika sama2 bersumber pada Al Quran dan Hadis shahih, maka tulisan pokok dan tanggapan dari bpk Agus tidak ada pertentangan sama sekali (menurut hemat saya, dan bukan bermaksud menghakimi siapapun). Pemahaman kita yg mudah2an makin disempurnakan Allah dengan usaha kita.
4. Terima kasih pada tulisan pokok artikel dan tanggapan2 di website ini, keduanya insya Allah makin menambah keyakinan saya, dan insya Allah keyakinan kita semua.
-Terima kasih-
Ass.wr.wb,
Allah berada di atas langit adalah benar,langit adalah milik Allah.
Allah berada di atas Arsy adalah benar,Arsy adalah milik Allah.
Bahwa Allah adalah dekat juga benar, Allah dekat dengan makhluk ciptaanNYA.
Langit yg tidak terbatas,bumi dan segala isinya adalah milik Allah, kenapa kita musti bertanya lagi dimana Allah berada?
Ilmu Allah meliputi langit dan bumi, berarti untuk saya sendiri sudah jelas bahwa ilmu(pengetahuan)Allah tidak terbatas atas ciptaanNYA.
Wassalam.
Tak ada kata lain selain Subhannallah, Allahu Akbar… Astaghfirullah.
Bacalah dengan Mata hati penuh Keimanan. Disitulah Allah akan berikan kita ketengan
allah dimana kata ini dulu sering berkecamuk dlm pikiranku dalam renungan hatiku menjawab sangat dekat dan sangat terasa keberadaanya hatiku balik bertanya ama pikiranku coba terangkan saya apa itu pedas .apa itu enak.pikiranku suruh lidahku jawab tapi lidahku bingung untuk mendefinisikan pedas,enak,sakit, manis dll dikala mataku melihat kabel yg tersambung stopkontak listrik pikiranku blng peganglah kl berani ternyata tngku tak berani pegang dan ketika mataku melihat kabel yg tak nyambung dari stopkontak dng cepat tanganku mau megang mataku jadi bingung apa beda kabel 1 dan ke 2 mataku tak bisa jawab ketika aku kepanasan kuambil kipas kugerakan kekiri kanan pikiranku bertanya apakah ini udara seperti apa rupa dan ujut kulitku menjawab bukan itu efek udara yg begerak dimanakah allah pikirankutak berani lagi berdebat dng hatiku karena pikiranku udah mulai memahami untk mengupas sepertrilyun tiryun ciptaan NYA aja tak
mampu ………
Akhirnya ketemu juga jawaban tentang dimana alloh, mau nambah nanya dikit biar semakin komplit pemahaman saya, yang dimaksud langit itu apa ya (yang mana?)
Langit dalam bahasa Arab disebut sama’. Itulah asal dari terjemah kata langit yang ada dalam terjemah. Sehingga kita juga harus melihat apa makna sama’ dalam bahasa arab. Setahu ana dalam bahasa Arabkata sama’ bisa memiliki 2 makna : [1] langit dalam artian sebagian dari bangunan kerajaan Allah ta’ala (yaitu langit sebagaimana kita pahami) dan [2] langit dalam makna ketinggian, sebagaimana dalam ayat wa anzala minas samaa’i maa’an (QS. Al-Baqarah : 22), samaa’ di sini artinya awan, karena awan itu berada di ketinggian. Jadi kalau dipakai makna yang pertama maka ungkapan Allah di sama’/langit menjadi ; Allah di atas langit. Sedangkan jika dipakai makna yang kedua maka artinya : Allah di dalam sama’ artinya di ketinggian/di atas segalanya. Dan kedua makna ini benar dan sesuai dengan kemuliaan dan kagungan Allah ta’ala. Wallahu a’lam, silakan bacabuku2 tentang asma’ wa shifat.
Sudah seharusnya kita introkpeksi (koreksi), sebelum kita di hisab..
Ya kalau Allah ampuni ya Allah ampuni, Ya kalau Allah azab ya Allah azab.. Tidak ada yang selamat dihadap Allah. kecuali orang-orang mukmim (para shahabat Radhiyallaahu ‘anhu).
Saya ucapkan terimah kasi kepada Ust. Abdul Jabbar atas komentarnya dan saya mengimani Alloh bersemayam di Arsy dan saya tidak berani bertanya bagaimana Alloh di Arsy, karena bertanya bagaimana Alloh di Arsy adalah Bid’ah
Assalamu’alaikum warohmatullohi wabarokaatuh
Membaca semua komentar & tulisan artikel di atas, sudah cukup buat saya mengerti dan saya kira cukup mengerti pula bagi orang awam yang membacanya. Namun apabila Al Qur’an & Hadist telah dita’wilkan sesuka hati, malah bikin “repot”. Hadist & ayat yang tidak perlu ta’wil jadi dibikin2 ta’wil biar keliatan penuh misteri. Contohnya GEMPA Sumatera Barat Oktober 2009, banyak orang menta’wil melalui JAM/WAKTU saat gempa dan sebagainya serta disangkutpautkan dengan ayat Al Qur’an dan sebagainya.
Kalau memang ayatnya sulit dimengerti & ditelaah ya bertanya kepada yang lebih berilmu & menjalankan sunnah. Sebaiknya sih ikut majelis ilmu, biar ngga banyak ta’wil2 pribadi. Makanya di Indonesia banyak nabi baru karena menta’wilkan ayat Al Qur’an & hadist se-enak udele dhewe (menurut ro’yu). Wallohuta’ala a’lam.
Asslm wr wb.bagaimana ustadz dengan dalil yang mengatakan bahwa Alloh itu dekat,sedekat urat leher
iya ustadz tolong d jawab pertanyaan muhammad ikhsan d atas,,,,itu jg menjadi pertanyaan dalam diri saya,,,,?
#Muhammad Ikhsan dan Rifqi Rofiqi
Allah Ta’ala itu memang dekat. Namun dzat Allah ada di ‘Arsy. Keduanya tidak bertentangan. Silakan simak artikel2 berikut:
http://rumaysho.com/belajar-islam/aqidah/3014-di-manakah-allah-6.html
https://muslim.or.id/aqidah/sifat-istiwa-allah-di-atas-arsy.html
Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh
Afwan Ana izin copy.
asalamualikum alhamdullilah dengan apa yang saya baca dari artikel ini menambah keyakinan iman kepada alloh swt cahaya bagi kehidupan saya semoga alloh merahmati kita semua amin asalamualaikum
ya akhi ane ijin share artikel2 antum yg ane butuhkan…
apa persyaratannya ??
yang pasti ya alloh berada di tempat yang paling mulia,di antara makluk makluk ya.
jangan bingung mencari
alloh Dia adalah dzat yg haqiqi…. percaya saja akan adaNYA…. dalil adanya ALLOH ADL wujudnya makhluk ini….. \
“Allah menganugrahkan al hikmah (kepahaman yang dalam tentang Al Qur`an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendakiNya. Dan barangsiapa yang dianugrahi al hikmah itu ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran.” (QS Al Baqoroh: 269).
“Katakanlah: ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS Az Zumar: 9).
Assalaamu alaikum ustad, saya mau tanya,di mana atas yang benar,karena atas
waktu siang dan atas waktu malam kan bertolak belakang?
#salim
Wa’alaikumussalam, silakan baca: http://kangaswad.wordpress.com/2012/10/21/turunnya-allah-ke-langit-dunia-pada-sepertiga-malam-akhir/
Sungguh bermanfaat sekali,ssgghnya keputusan kita kmbalikan kpd masing2 kita,dan kita akan dimintai prtanggung jawaban atas kptusn kita di yaumil qiyamah kelak,,wallohu ta a’lam bishowab,,