Dari perdebatan di dunia maya mengenai bolehkah memberikan suara dalam Pemilu ataukah tidak, dapat disimpulkan beberapa fenomena yang telah menghinggapi ikhwah salafiyyin.
1- Tidak bisa menghargai beda pendapat ulama, padahal ada yang membolehkan nyoblos, ada yang tidak.
2- Tidak mau jika ada yang berbeda pendapat dengannya, maunya berpendapat dalam hal ijtihadiyah satu saja, tidak boleh berbilang pendapat.
3- Keliru memahami bahwa memberikan suara berarti mendukung demokrasi padahal ulama yang membolehkan nyoblos tidak berpandangan seperti itu. Dan juga hal ini untuk menjalankan kaedah fikih,
ارتكاب أخف المفسدتين بترك أثقلهما
“Mengambil mafsadat yang lebih ringan dari dua mafsadat yang ada dan meninggalkan yang lebih berat.” (Fathul Bari karya Ibnu Hajar Al Asqolani, 9: 462)
وَإِنَّ اللَّهَ لَيُؤَيِّدُ هَذَا الدِّينَ بِالرَّجُلِ الْفَاجِرِ
“Kadang kala Allah meneguhkan agama ini lewat orang yang fajir (keji, ahli maksiat)” (HR. Bukhari no. 3062 dan Muslim no. 111)
4- Tidak bisa berakhlak santun pada ikhwah yang beda pendapat dengannya. Kata-kata yang keluar bahkan bersifat merendahkan, melecehkan lainnya. Kalau dalam hal gerakan shalat saja kita bisa tolerir dan berkata santun, kenapa dalam hal ijtihad seperti ini tidak?
5- Menyesatkan dan menghizbikan orang yang berbeda dengannya dalam hal ijtihadiyah, dengan mengatakan, “Mereka bukan lagi golongan kita”. Kata-kata seperti ini keluar begitu gampangnya. Padahal hukum asal kehormatan seorang muslim adalah haram untuk diinjak-injak. Jangan sampai kita berlaku zalim terhadap yang lainnya.
فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ
“Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian itu haram bagi kalian.” (HR. Bukhari no. 1739 dan Muslim no. 1679)
Biarlah, doa kami tetap untuk mereka, moga mereka yang masih tetap saudara seiman ini dibuka pintu hidayah dan dikaruniakan akhlak mulia oleh Allah Yang Maha Mendengar Setiap Doa.
—
@ Pesantren Darush Sholihin Gunungkidul, 8 Jumadats Tsaniyah 1435 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id
Antum betul ustadz Abduh, sebagian umat Islam telah kehilangan kecerdasan otaknya dalam berfikir. Contohnya no. 3 diatas:
“3- Keliru memahami bahwa memberikan suara berarti mendukung demokrasi
padahal ulama yang membolehkan nyoblos tidak berpandangan seperti itu.”
1. Padahal banyak ulama yang mewajibkan nyoblos.
2. Padahal tidak memberikan suara itu yang justru sangat mendukung demokrasi PLUS rela menguasakan urusan umat Islam ditangan orang kafir. Contoh sekarang umat Islam Jakarta dipimpin oleh orang nasroni bernama Ahok. Kejahilan ini (menurut saya) impact dari paham khariji yang terus menyebar dipenjuru dunia.
3. Nyoblos gak nyoblos tidak ada hubungannya dengan dukung mendukung demokrasi, dan harap tidak dihubung-hubungkan karena tujuannya memang sudah beda. Beli rokok, belum tentu dibuat untuk merokok.
Coblos saja tak perlu ragu, liat calon nya beriman atau tidak orang beriman memilih yang beriman lebih baik, dan dilarang memilih yang kafir, jika tidak Allah berlepas diri, bacalah surae Ali Imran.28
1. Tetap menghargai ulama, karena fatwa ulama yang dibawakan adalah Syaikh kami, yang tetap kami baca ilmu – ilmu mereka.
2. Tentu saja karena kami menyayangi para saudara kami satu manhaj, dan kami mengingatkan mereka.
3. Memberikan suara adalah mendukung demokrasi, mengganti kepemimpinan bukan solusi, seharusnya asatidz yang membolehkan pemilu sangat paham ini. Untuk apa mendengungkan pemimpin adalah cerminan rakyat ? Perbaikan dimulai dari bawah bukan?
4,5 saya tidak menemukan atau belum menemukan komentar jahil semacam itu. Kalaupun benar ada, tentu itu datang dari kubu mirip2 namun menyebrang, yang menyukai tahdzir serampangan. Antum tau siapa yang ana maksud.