Masih terngiang-ngiang di telinga kita apa yang dikatakan guru agama kita di bangku sekolah dasar ketika menerangkan mengenai makna kalimat tauhid ‘laa ilaha illallah’. Guru kita akan mengajarkan bahwa kalimat ‘laa ilaha illallah’ itu bermakna ‘Tiada Tuhan selain Allah’. Namun apakah tafsiran kalimat yang mulia ini sudah benar? Sudahkah penafsiran ini sesuai dengan yang diinginkan al-Qur’an dan Al Hadits? Pertanyaan seperti ini seharusnya kita ajukan agar kita memiliki aqidah yang benar yang selaras dengan al-Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman generasi terbaik umat ini (baca: salafush sholih).
Sebelumnya kami akan menjelaskan terlebih dahulu keutamaan kalimat ‘laa ilaha illallah’ agar kita mengetahui kedudukannya dalam agama yang hanif ini.
KEUTAMAAN KALIMAT ‘LAA ILAHA ILLALLAH’
Ibnu Rajab dalam Kalimatul Ikhlas mengatakan, “Kalimat Tauhid (yaitu Laa Ilaha Illallah, pen) memiliki keutamaan yang sangat agung yang tidak mungkin bisa dihitung.” Lalu beliau rahimahullah menyebutkan beberapa keutamaan kalimat yang mulia ini. Di antara yang beliau sebutkan:
Kalimat ‘Laa Ilaha Illallah’ merupakan harga surga
Suatu saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar muazin mengucapkan ‘Asyhadu alla ilaha illallah’. Lalu beliau mengatakan pada muazin tadi,
{ خَرَجْتَ مِنَ النَّارِ }
“Engkau terbebas dari neraka.” (HR. Muslim no. 873)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
{ مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ دَخَلَ الجَنَّةَ }
“Barang siapa yang akhir perkataannya sebelum meninggal dunia adalah ‘lailaha illallah’, maka dia akan masuk surga.” (HR. Abu Daud. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Misykatul Mashobih no. 1621)
Kalimat ‘Laa Ilaha Illallah’ adalah kebaikan yang paling utama
Abu Dzar berkata,
قُلْتُ ياَ رَسُوْلَ اللهِ كَلِّمْنِي بِعَمَلٍ يُقَرِّبُنِي مِنَ الجَنَّةِ وَيُبَاعِدُنِي مِنَ النَّارِ، قَالَ إِذاَ عَمَلْتَ سَيِّئَةً فَاعْمَلْ حَسَنَةً فَإِنَّهَا عَشْرَ أَمْثَالِهَا، قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ مِنَ الْحَسَنَاتِ ، قَالَ هِيَ أَحْسَنُ الحَسَنَاتِ وَهِيَ تَمْحُوْ الذُّنُوْبَ وَالْخَطَايَا
“Katakanlah padaku wahai Rasulullah, ajarilah aku amalan yang dapat mendekatkanku pada surga dan menjauhkanku dari neraka.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila engkau melakukan kejelekan (dosa), maka lakukanlah kebaikan karena dengan melakukan kebaikan itu engkau akan mendapatkan sepuluh yang semisal.” Lalu Abu Dzar berkata lagi, “Wahai Rasulullah, apakah ‘laa ilaha illallah’ merupakan kebaikan?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kalimat itu (laa ilaha illallah, pen) merupakan kebaikan yang paling utama. Kalimat itu dapat menghapuskan berbagai dosa dan kesalahan.” (Dinilai hasan oleh Syaikh Al Albani dalam tahqiq beliau terhadap Kalimatul Ikhlas, 55)
Kalimat ‘Laa Ilaha Illallah’ adalah dzikir yang paling utama
Hal ini sebagaimana terdapat pada hadits yang disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (hadits marfu’),
{ أَفْضَلُ الذِّكْرِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ }
“Dzikir yang paling utama adalah bacaan ‘laa ilaha illallah’.” (Dinilai hasan oleh Syaikh Al Albani dalam tahqiq beliau terhadap Kalimatul Ikhlas, 62)
Kalimat ‘Laa Ilaha Illallah’ adalah amal yang paling utama, paling banyak ganjarannya, menyamai pahala memerdekakan budak dan merupakan pelindung dari gangguan setan
Sebagaimana terdapat dalam shohihain (Bukhari-Muslim) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
{ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ ، لَهُ الْمُلْكُ ، وَلَهُ الْحَمْدُ ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ . فِى يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ ، كَانَتْ لَهُ عَدْلَ عَشْرِ رِقَابٍ ، وَكُتِبَتْ لَهُ مِائَةُ حَسَنَةٍ ، وَمُحِيَتْ عَنْهُ مِائَةُ سَيِّئَةٍ ، وَكَانَتْ لَهُ حِرْزًا مِنَ الشَّيْطَانِ يَوْمَهُ ذَلِكَ حَتَّى يُمْسِىَ ، وَلَمْ يَأْتِ أَحَدٌ بِأَفْضَلَ مِمَّا جَاءَ بِهِ ، إِلاَّ أَحَدٌ عَمِلَ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ }
“Barangsiapa mengucapkan ‘laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syay-in qodiir’ [tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya kerajaan dan segala pujian. Dia-lah yang Maha Kuasa atas segala sesuatu] dalam sehari sebanyak 100 kali, maka baginya sama dengan sepuluh budak (yang dimerdekakan, pen), dicatat baginya 100 kebaikan, dihapus darinya 100 kejelekan, dan dia akan terlindung dari setan pada siang hingga sore harinya, serta tidak ada yang lebih utama darinya kecuali orang yang membacanya lebih banyak dari itu.” (HR. Bukhari no. 3293 dan HR. Muslim no. 7018)
Kalimat ‘Laa Ilaha Illallah’ adalah Kunci 8 Pintu Surga, orang yang mengucapkannya bisa masuk lewat pintu mana saja yang dia sukai
Dari ‘Ubadah bin Shomit radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَالَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ وَأَنَّ عِيسَى عَبْدُ اللَّهِ وَابْنُ أَمَتِهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ وَأَنَّ الْجَنَّةَ حَقٌّ وَأَنَّ النَّارَ حَقٌّ أَدْخَلَهُ اللَّهُ مِنْ أَىِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةِ شَاءَ
“Barang siapa mengucapkan ‘saya bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya, dan (bersaksi) bahwa ‘Isa adalah hamba Allah dan anak dari hamba-Nya, dan kalimat-Nya yang disampaikan kepada Maryam serta Ruh dari-Nya, dan (bersaksi pula) bahwa surga adalah benar adanya dan neraka pun benar adanya, maka Allah pasti akan memasukkannya ke dalam surga dari delapan pintu surga yang mana saja yang dia kehendaki.” (HR. Muslim no. 149)
(Lihat Kalimatul Ikhlas, 52-66. Sebagian dalil yang ada sengaja ditakhrij sendiri semampu kami)
Inilah sebagian di antara keutamaan kalimat syahadat laa ilaha illallah dan masih banyak keutamaan yang lain. Namun, penjelasan ini bukanlah inti dari pembahasan kami kali ini. Di sini kami akan menyajikan pembahasan mengenai tafsiran laa ilaha illallah yang keliru yang telah menyebar luas di tengah-tengah kaum muslimin dan juga pemahaman kaum muslimin yang salah tentang kalimat ini.
Mungkin ada yang bertanya-tanya, “Mengapa sih terlalu membesar-besarkan masalah ini?” Lha wong hanya berkaitan dengan penafsiran saja kok dipermasalahkan!” Apa tidak ada pembahasan yang lain?
Ingat!! Masalah ini bukanlah masalah yang remeh karena berkaitan dengan penafsiran kalimat yang paling mulia yang merupakan kunci untuk masuk Islam dan perkataan terakhir yang seharusnya diucapkan oleh setiap muslim sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir! Masalah ini berkaitan dengan penafsiran kalimat agung ‘laa ilaha illallah’.
Selanjutnya kami akan menjelaskan terlebih dahulu pemahaman yang keliru mengenai tafsiran kalimat ini yang telah tersebar di tengah-tengah masyarakat. Yaitu kalimat yang mulia ini ditafsirkan dengan “Tiada Tuhan selain Allah.” Semoga Allah memudahkannya.
TAFSIRAN KALIMAT ‘LAA ILAHA ILLALLAH’ = ‘TIADA TUHAN SELAIN ALLAH’
Selama ini diketahui bahwa tafsiran kalimat ‘laa ilaha illallah’ yang telah diajarkan sejak bangku SD sampai perguruan tinggi adalah ‘Tiada Tuhan selain Allah’. Yang perlu kita tanyakan, apakah tafsiran ‘laa ilaha illallah’ seperti ini sudah sesuai dengan al-Qur’an dan al-Hadits ?
Jika kita perhatikan, Ilah dalam kalimat yang mulia ini diartikan dengan kata Tuhan. Apakah tafsiran seperti ini sudah tepat? Mari kita tinjau.
MAKNA ILAH ADALAH TUHAN?
Jika kalimat ‘laa ilaha illallah’ diartikan dengan ‘Tiada Tuhan selain Allah’, maka ilah pada kalimat tersebut berarti Tuhan. Namun jika kita perhatikan kata Tuhan dalam penggunaan keseharian bisa memiliki dua makna.
Makna pertama, kata Tuhan berarti pencipta, pengatur, pemberi rizki, yang menghidupkan dan mematikan (yang merupakan sifat-sifat rububiyyah Allah).
Makna kedua, kata Tuhan berarti sesembahan (Sucikan Iman Anda, hal. 17).
Selanjutnya perhatikanlah firman Allah ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): ‘Raa’ina’, tetapi katakanlah: ‘Unzhurna’, dan ‘dengarlah’.” (QS. Al Baqarah [2] : 104).
Dalam ayat ini, Allah melarang para sahabat untuk menyebut ra’ina yang artinya perhatikanlah kami, tetapi hendaknya menggunakan unzhurna. Mengapa demikian? Karena kata ra’ina juga sering digunakan oleh orang-orang Yahudi untuk memanggil Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun dalam rangka mengejek, ra’ina dalam penggunaan orang-orang Yahudi bermakna tolol/bodoh. Karena kata tersebut mengandung dua makna (bisa bermakna baik dan bisa bermakna buruk), maka Allah melarang yang demikian. (Lihat Tafsir Surat Al Baqarah, Al ‘Utsaimin)
Begitu juga dengan kalimat ‘laa ilaha illallah’. Karena kalimat ini merupakan kunci surga, dzikir dan amalan yang utama, serta paling banyak ganjarannya ketika diucapkan; maka seorang muslim selayaknya tidak mengartikan kalimat yang mulia ini dengan kata yang memiliki penafsiran ganda yang di dalamnya kemungkinan bermakna salah. Dari mana kita bisa menyatakan kata Tuhan pada kalimat ini bermakna keliru dan salah? Silakan menyimak tulisan selanjutnya.
ILAH = PENCIPTA, PEMBERI RIZKI, DAN PENGATUR ALAM SEMESTA
Pembahasan pertama, bagaimana kalau ilah pada kalimat ‘laa ilaha illallah’ bermakna Tuhan yang berarti pencipta, pemberi rizki, dan pengatur alam semesta (disebut dengan sifat Rububiyah)?
Sebelumnya perlu kami sebutkan di sini bahwasanya keyakinan tentang Allah sebagai satu-satunya pencipta, satu-satunya penguasa, satu-satunya pemberi rezeki dan satu-satunya pengatur alam semesta adalah keyakinan yang benar dan tidak ada keraguan tentangnya. Namun, perlu diketahui bahwa keyakinan seperti ini juga diakui oleh orang-orang musyrik sebagaimana terdapat dalam banyak ayat/dalil. Mari kita membuka mushaf dan melihat dalil-dalil tersebut.
Dalil pertama, Allah ta’ala berfirman,
قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمْ مَنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ
“Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah”. Maka katakanlah “Mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?” (QS. Yunus [10]: 31)
Dalil kedua, firman Allah ta’ala,
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ
“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: “Allah”, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?” (QS. az-Zukhruf [43]: 87)
Dalil ketiga, firman Allah ta’ala,
لَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ نَزَّلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهَا لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ
“Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?” Tentu mereka akan menjawab: “Allah”, Katakanlah: “Segala puji bagi Allah”, tetapi kebanyakan mereka tidak memahami(nya).” (QS. al-‘Ankabut [29]: 63)
Dalil keempat, firman Allah ta’ala,
أَمْ مَنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الْأَرْضِ أَئِلَهٌ مَعَ اللَّهِ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ
“Atau siapakah yang memperkenankan (do’a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo’a kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi ? Apakah disamping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati(Nya).” (QS. an-Naml [27]: 62)
Perhatikanlah! Dalam ayat-ayat di atas terlihat bahwasanya orang-orang musyrik itu mengenal Allah, mereka mengakui sifat-sifat rububiyyah-Nya yaitu Allah adalah pencipta, pemberi rezeki, yang menghidupkan dan mematikan, serta penguasa alam semesta. Namun, pengakuan ini tidak mencukupi mereka untuk dikatakan muslim dan selamat. Kenapa? Karena mereka mengakui dan beriman pada sifat-sifat rububiyah Allah saja, namun mereka menyekutukan Allah dalam masalah ibadah. Oleh karena itu, Allah berfirman terhadap mereka,
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ
“Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” (QS. Yusuf [12]: 106)
Ibnu Abbas mengatakan, “Di antara keimanan orang-orang musyrik: Jika dikatakan kepada mereka, ‘Siapa yang menciptakan langit, bumi, dan gunung?’ Mereka akan menjawab, ‘Allah’. Sedangkan mereka dalam keadaan berbuat syirik kepada-Nya.”
‘Ikrimah mengatakan,”Jika kamu menanyakan kepada orang-orang musyrik: siapa yang menciptakan langit dan bumi? Mereka akan menjawab: Allah. Demikianlah keimanan mereka kepada Allah, namun mereka menyembah selain-Nya juga.” (Lihat Al-Mukhtashor Al-Mufid, 10-11)
Dari ayat-ayat di atas, terlihat jelas bahwa keyakinan tentang Allah sebagai pencipta, pemberi rizki, pengatur alam semesta, yang menghidupkan dan mematikan juga merupakan keyakinan orang-orang musyrik. Bagaimana jika kalimat ‘laa ilaha illallah’ diartikan dengan tidak ada Tuhan selain Allah yang bisa bermakna ‘tidak ada pencipta selain Allah’ atau ‘tidak ada penguasa selain Allah’ atau ‘tidak ada pemberi rezeki selain Allah’?
Kalau diartikan demikian, lalu apa yang membedakan seorang muslim dan orang-orang musyrik? Apa yang membedakan orang-orang musyrik sebelum mereka masuk Islam dan setelah masuk Islam? Dan perhatikanlah tafsiran semacam ini akan membuka berbagai pintu kesyirikan di tengah-tengah kaum muslimin. Kenapa demikian?
Karena kaum muslimin akan menyangka bahwa ketika seseorang sudah mengakui ‘tidak ada pencipta selain Allah’ atau ‘tidak ada pemberi rezeki selain Allah’, maka mereka sudah disebut muwahhid (orang yang bertauhid). Walaupun mereka berdoa dengan mengambil perantaraan selain Allah, bernazar dengan ditujukan kepada kyai fulan, itu tidaklah mengapa. Ini sungguh kekeliruan yang sangat fatal. Berarti keyakinan mereka sama saja dengan keyakinan orang-orang musyrik dahulu yang mengakui sifat-sifat rububiyyah Allah, namun mereka menyekutukan Allah dalam ibadah seperti doa dan nazar. Orang-orang musyrik tidak mengingkari sifat rububiyyah semacam ini sebagaimana terdapat pada ayat-ayat di atas.
Jelaslah pada pembahasan pertama ini kesalahan tafsiran ‘laa ilaha illallah’ dengan tiada Tuhan selain Allah yang bermakna tidak ada pencipta selain Allah atau tiada penguasa selain Allah. Letak kesalahannya adalah karena mengartikan kalimat syahadat ini dengan sebagian maknanya saja yaitu makna rububiyyah. Sedangkan makna rububiyyah jelas-jelas juga diakui oleh kaum musyrikin, walaupun kalimat tidak ada pencipta selain Allah dan semacamnya, pada dasarnya bermakna benar.
-bersambung insya Allah-
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id
Bagaimana kalau kita usulkan terjemahan yang baru yaitu: tiada ilah selain Allah, karena dengan mempertahankan kata ilah sesuai dengan teks aslinya maka tidak ada perbedaan pengertian uluhiyah dengan rububiyah dan sesuai dengan kalimat yang diturunkan oleh Allah. Dan segala sesuatu yang diturunkan Allah pasti tidak ada kesalahan apapun di dalamnya.
Meskipun saya tidak begitu setuju dengan menyempitkan ilah dengan makna uluhiyah karena kalau kita lihat surat Al Anam:164. Katakanlah: “Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu” Tuhan di ayat ini menggunakan kata robba yang bermakna rububiyah dan kalau lihat redaksi kalimat tersebut hampir sama dengan redaksi kalimat la ilaha illallah yang berarti kita tidak bisa memisahkan makna tauhid rububiyah dan makna tauhid uluhiyah. Dan juga pada ayat 3:80:”dan (tidak wajar pula baginya) menyuruhmu menjadikan malaikat dan para nabi sebagai tuhan”. Karena ayat ini menolak adanya penyembahan kepada yang lain seperti disebut ayat sebelumnya 3:79, tetapi meskipun begitu di ayat 3:80 ini menggunakan kata robba juga meskipun bermaksud dalam penyembahan. Dan juga pada ayat 9:31:” Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan” yang masih menggunakan kata robba dalam arti penyembahan kepada Al Masih.
Dan juga pada ayat 23: 91. “Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan (yang lain) beserta-Nya, kalau ada tuhan beserta-Nya, masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya”” tuhan disini disebut dengan ilah yang bermakna uluhiyah tetapi di ayat ini dimaknai rububiyah dengan kemampuan mencipta. Dalam ayat 21: 22. “Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai ‘Arsy daripada apa yang mereka sifatkan.” Di ayat ini juga menggunakan ilah jadi tidak ada ilah lain di langit dan bumi
Kalau ilah di kalimat tauhid ini hanya dipahami secari uluhiyah maka kita terpaksa meletakkan Allah sejajar dengan ilah2 yang lain, dan dengan tanpa alasan yang jelas kita memilih Allah sebagai ilah kita. Padahal bukan seperti itu yang dikehendaki Allah dalam pemilihan Allah sebagai ilah kita harus memahami dulu makna tauhid rububiyah dengan seksama baru memilih-Nya sebagai sesembahan kita.
Kalau ilah di kalimat tauhid ini hanya dipahami secari uluhiyah maka kita terpaksa meletakkan Allah sejajar dengan ilah2 yang lain dan terpaksa kita menambah kata haq supaya maksud ini tercapai. Padahal Allah telah membuat kalimat ini tanpa kata haq sedikitpun, dan yang pasti kalimat ini adalah kalimat yang sempurna dan tidak pernah berubah sedikitpun sejak jaman dulu sampai sekarang yang dari nabi pertama sampai nabi terakhir diutus untuk kalimat ini. Memang ada ide yang mengatakan Allah menyembunyikan kata haq, tapi saya pikir hal ini tidak mungkin karena kalimat ini seharusnya sudah sempurna mengingat ketinggiannya di atas kalimat lain. Dan penambahan kata haq ini adalah sesuatu tambahan, yang tidak ada keterangan sedikitpun di dalam quran dan hadist. Penambahan ini juga mungkin terjadi setelah ada ilmu nahwu dan shorof yang dibuat setelah jaman nabi. Dengan adanya ilmu ini maka mereka menganganggap bahwa kalimat yang datang dari Allah dan telah disampaikan semua nabi dan termasuk nabi Muhammad saw ini tidak sempurna dan perlu tambahan kata haq sebagai syarat kesempurnaan kalimat ini.
Dan yang pasti orang musyrik jelas tidak paham kalimat tauhid karena mereka masih menyembah tuhan (menganggap ada tuhan lain selain Allah) yang lain dan kalaupun tidak menyembah tuhan yang lain mereka tidak bertaqwa dengan tidak mengikuti agama islam. Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ketika turun ayat 2: 163, kaum musyrikin kaget dan bertanya-tanya. “Apakah benar Tuhan itu tunggal? Jika benar demikian, berikanlah kepada kami bukti-buktinya!” Maka turunlah ayat berikutnya 2: 164) yang menegaskan adanya bukti-bukti keesaan Tuhan. (Diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur di dalam Sunannya, al-Faryabi di dalam Tafsirnya, dan al-Baihaqi d idalam Kitab Syu’bul Iman yang bersumber dari Abidl-Dluha. As-Sayuthi berpendapat bahwa Hadits ini mu’dlal, tetapi ada syahid (penguatnya).) Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa setelah turun ayat ini (S. 2: 163) kepada Nabi SAW di Madinah, kafir Quraisy di Mekah bertanya. “Bagaimana Tuhan Yang Tunggal dapat mendengar manusia yang banyak?” Maka turunlah ayat berikutnya (S. 2: 164) yang menegaskan adanya bukti-bukti keesaan Tuhan. (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan Abu-Syaikh di dalam kitab al-‘Izhmah yang bersumber dari ‘Atha’.) Dalam riwayat ini sangat jelas bahwa orang musyrik hanya memahami sedikit tauhid rububiyah. Dalam ayat 12: 39. Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?” Nabi Yusuf menggunakan kata robba di ayat ini sehingga kita dapat menyimpulkan orang musyrik sebenarnya tidak memahami tauhid rububiyah dengan baik sehingga masih menganggap ada rob yang lain.
Dan sememangnya mereka tidak paham kalimat ini karena untuk memahami mereka harus mempelajarinya dengan seksama dengan ilmu pengetahuan seperti ayat 47: 19. “Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah” dan mereka hanya memahami sedikit tauhid rububiyah karena kalau mereka paham tentunya mereka akan meneruskan dengan menyembah Allah saja, hal ini banyak diterangkan di quran seperti ayat 6:102. “(Yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah Tuhan kamu; tidak ada Tuhan selain Dia; Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia; dan Dia adalah Pemelihara segala sesuatu” dan 10:3: ” Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy untuk mengatur segala urusan. Tiada seorangpun yang akan memberi syafa’at kecuali sesudah ada izin-Nya. (Dzat) yang demikian itulah Allah, Tuhan kamu, maka sembahlah Dia. Maka apakah kamu tidak mengambil pelajaran?”. Di banyak ayat ini disebutkan sifat rububiyah dan setelah mereka paham maka tidak ada lain kecuali mereka dengan terpaksa atau sukarela harus menyembah Allah. Karena kita mau menyembah Allah tentunya setelah memahami sifat-sifat rububiyah yang banyak diterangkan oleh Allah dan kitapun harus memikirkan rububiyah Allah baik dalam keadaan berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring sekalipun maka setelah itu tauhid uluhiyah kita akan semakin mantap.
Dalam ayat 35: 3. Hai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepadamu. Adakah pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezki kepada kamu dari langit dan bumi ? Tidak ada Tuhan selain Dia; maka mengapakah kamu berpaling (dari ketauhidan)?”
dan juga ayat 27: 64:” Atau siapakah yang menciptakan (manusia dari permulaannya), kemudian mengulanginya (lagi), dan siapa (pula) yang memberikan rezki kepadamu dari langit dan bumi? Apakah disamping Allah ada tuhan (yang lain)?. Katakanlah: “Unjukkanlah bukti kebenaranmu, jika kamu memang orang-orang yang benar.” Pemahaman tauhid rububiyah akan menggiring mereka untuk memahami tauhid uluhiyah. Keterangan yang sangat jelas berasal dari Syaikh al-‘Allamah ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di Rahimahullah (wafat th. 1376 H): “Bahwasanya Allah itu tunggal Dzat-Nya, Nama-Nama, Sifat-Sifat dan perbuatan-Nya. Tidak ada sekutu bagi-Nya, baik dalam Dzat-Nya, Nama-Nama, Sifat-Sifat-Nya. Tidak ada yang sama dengan-Nya, tidak ada yang sebanding, tidak ada yang setara dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Tidak ada yang mencipta dan mengatur alam semesta ini kecuali hanya Allah. Apabila demikian, maka Dia adalah satu-satunya yang berhak untuk diibadahi. Tidak boleh Dia disekutukan dengan seorang pun dari makhluk-Nya.” Jadi setelah pemahaman tauhid rububiyah dengan benar maka tidak ada alasan lain selain menyembah ilah satu2nya yaitu Allah. Karena orang musyrik hanya memahami tauhid rububiyah hanya sebagaian saja sehingga mereka masih menganggap bahwa masih ada berbagai dewa yang menguasai mereka atau minimal mereka memerlukan penghubung/perantara antara dia dengan Allah.
Dan yang pasti tidak ada ilah lain di langit dan di bumi karena sesuai dengan ayat 6: 19. Katakanlah: “Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?” Katakanlah: “Allah.” Dia menjadi saksi antara aku dan kamu. Dan Al Quran ini diwahyukan kepadaku supaya dengan dia aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Quran (kepadanya). Apakah sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada tuhan-tuhan lain di samping Allah?” Katakanlah: “Aku tidak mengakui.” Katakanlah: “Sesungguhnya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah).” Kata mengakui ini menggunakan kata syahada yang juga berarti menyaksikan, yang berarti iman yang benar mestinya tidak menyaksikan adanya ilah lain. Sehingga kalau mengartikan kalimat tauhid dengan maksud uluhiyah semata maka kita (mungkin) secara tidak sadar mengakui ada ilah lain dan harus menambah kata haq dalam kalimat tauhid. Dan dalam ayat 15: 96: “(Yaitu) orang-orang yang menganggap adanya tuhan yang lain di samping Allah; maka mereka kelak akan mengetahui (akibat-akibatnya)”.
Kesimpulan: terjemahan tidak ada tuhan selain Allah sudah tepat dan tidak memerlukan kata haq karena memang tidak ada ilah lain selain Allah. Karena yang mereka sembah selain Allah sesungguhnya hanya berhala yang tidak punya kekuatan apapun dan tidak bisa menunjukkan mereka ke jalan yang benar. Jadi kalau mereka orang musyrik ini memahami kalimat tauhid dengan makna rububiyah yang benar tentunya mereka telah masuk islam dan masuk ke pemahaman tauhid uluhiyah secara benar, seperti peristiwa nabi Ibrahim yang dengan logika sederhana menunjukkan bagaimana memilih tuhan dengan membandingkan potensi-potensi tuhan yang mungkin, dan berakhir dengan kesimpulan bahwa pastilah tuhan adalah tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan dia bukan termasuk orang2 yang mempersekutukan Tuhan, meskipun kita tahu melalui pengetahuan modern sekarang ini bahwa bintang, bulan dan matahari tidak pernah tenggelam di manapun yang hanya ilusi karena perputaran bumi, tapi inilah jalan pikiran mereka yang masih belum sampai pengetahuan modern dan melalui pendekatan tauhid rububiyah ini oleh nabi Ibrahim maka mereka dapat menyimpulkan tauhid uluhiyah. Oleh karena itu nabi Ibrahim digelari “Bapak Tauhid”. Dalam peristiwa ini nabi Ibrahim tidak menyebutkan nama tuhan dengan khusus dan menyebutnya dengan “yang menciptakan langit dan bumi” yang mengisyaratkan adanya tauhid rububiyah dan juga sekaligus tauhid uluhiyah. Dan sebagaian ulama yang mengatakan bahwa kata Allah adalah berasal dari kata sang Tuhan (al ilah) jadi merupakan gelaran dari sang pencipta langit dan bumi dan merupakan salah satu nama dari asma ul husna. Sehingga kalau orang bukan arab jelas menyebut nama Allah dengan kata yang lain misalnya god, dewa atau lainnya, jadi kalau orang musyrik amerika kalau ditanya siapa pencipta langit dan bumi mereka pasti menjawab god bukan Allah karena mereka tidak mengenal kata ini, dan ayat yang menceritakan peristiwa ini tentunya bukan khusus untuk orang arab saja tapi untuk semua bangsa di dunia, yaitu ayat 10:31 yang dalam ayat ini ditambahkan kata sa yang berarti yang akan datang (future tense) yang juga merupakan ramalan bagi orang2 musyrik modern seperti sekarang ini yang tidak mungkin bagi orang2 ini untuk menyebut Allah. Mereka akan menyebut god atau creator atau bahkan smart intelegent. Karena saya pernah bertanya hal seperti ini ke orang yang menamakan dirinya “free thinker” mereka juga menyebut bahwa” I believe god creates everything but I don’t follow any god or any rule of god”. Dan juga saya pernah bertemu dengan orang afrika yang tidak punya agama apapun, juga menyebut dia percaya ada yang menciptakan dan dia menyebut kata god karena dia tidak bisa berbahasa arab dan berkomunikasi bahasa inggris dengan saya. Sehingga kalau kita melihat kata Allah sebagai al Ilah tentunya kita dapat menerapkan ayat ini ke kehidupan modern sekarang ini. Dan juga dapat memahami ayat 5: 3. “Dan Dialah Allah (yang disembah), baik di langit maupun di bumi;” dengan baik dan ayat 43: 84:”Dan Dialah Tuhan (Yang disembah) di langit dan Tuhan (Yang disembah) di bumi dan Dia-lah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui”. Ayat 5:3 menggunakan kata Allah dan ayat 43:84 menggunakan kata ilah tapi redaksi sama dan sejajar dalam maknanya.
Wallahu a’lam.
Untuk tanggapan terhadap komentar Saudara Agus, silakan merujuk artikel Menyoal Pemaknaan Syahadat di website ini. Sebelum memberikan komentar, kami mengharapkan untuk membaca artikel tersebut terlebih dahulu.
thx for ur information
Assalamu’alaikum. Materinya ana izin baca dan bisa ana copy ya.
Assalamualaikum izin copy semua artikelnya
Assalamualaikum Bismillah izin copas save dan share…sungguh bermanfaat bagi ku, keluargaku dan teman yang lainnya
Untuk penulis semoga Allah senantiasa mencurahkan rahmatNya kepada nya Amin.
Jazakumullahu khairan,
Cara baca syahadat
Asyhadu anla ilaha illallah, atau
Asyhadu alla ilaha illallah.
Dan apakah bacaan shalat yg tidak dari al-qur’an menerapkan tajwid?
Mohon penjelasannya ustadz!
Dua-duanya boleh saja, karena tidak mengubah makna. Tajwid itu ada kadar wajib, ada kadar mustahab. Kadar wajibnya selama tidak merusak makna.