Apakah pembantu rumah tangga adalah budak? Karena sebagian menganggap budak yang disebut dalam ayat Al Qur’an dan hadits adalah pembantu rumah tangga.
Cara Kepemilikan Budak
Budak bisa dimiliki oleh seseorang dengan salah satu dari beberapa cara berikut:
Pertama, kepemilikan dari tahanan atau tawanan dari musuh kaum muslimin yaitu orang-orang kafir. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah menjadikan para wanita Bani Quroizhoh (orang kafir) dan keturunannya sebagai budak. Perbudakan para tahanan tadi sebagai sikap balas Islam karena sikap congkak orang-orang kafir yang enggan beribadah kepada Allah Ta’ala. Balasannya mereka dijadikan budak di dunia.
Jadi dapat kita lihat di sini bahwa budak atau hamba sahaya asalnya dari tahanan non muslim. Jadi jelas bukan pembantu rumah tangga.
Kedua, budak bisa pula berasal dari anak budak wanita, di mana anak tersebut adalah hasil hubungan dengan selain tuannya, terserah ayah anak tadi adalah orang yang merdeka atau sama-sama budak. Anak ini jadinya adalah budak milik dari tuan dari ibunya tadi. Karena anak tadi adalah hasil dari ibunya dan hasil itu asalnya masih milik tuannya.
Ketiga, budak bisa diperoleh juga dengan cara membeli dari tuan yang memiliki budak dengan cara yang sah. Selain itu bisa pula dengan jalan mendapat hadiah, wasiat, sedekah, warisan dan cara lainnya yang masih dianggap sah pemindahan hak miliknya.
Asal Manusia Bukanlah Budak
Para ulama pakar fikih katakan bahwa hukum asal manusia adalah merdeka (الحرّيّة) dan bukan budak atau hamba sahaya (الرّقّ). Dari sini, sudah sepantasnya pembantu rumah tangga diperlakukan layaknya manusia merdeka yang masih memiliki hak sebagaimana manusia lainnya. Pembantu rumah tangga bukanlah orang yang boleh begitu saja digauli. Hubungan badan dengan pembantu rumah tangga tanpa melalui jalan nikah adalah termasuk zina.
Dari sini jangan sampai lagi dipahami bahwa pembantu rumah tangga adalah budak atau hamba sahaya. Jadi, ayat berikut dimaksudkan untuk budak atau hamba sahaya, bukan untuk pembantu RT,
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (5) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (6) فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ (7)
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al Mu’minun: 5-7).
Wallahu waliyyut taufiq.
Referensi:
Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, terbitan Kementrian Agama Kuwait, 23/11-13.
—
@KSU-Riyadh KSA, 5 Rajab 1432 H (06/06/2011)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id
Assalamualaikum ustadz, lalu gmn dng PRT wanita jaman skrg ? jk ia berjilbab, bolehkah PRT tsb membuka jilbabnya krn alasan dpt mnyulitkan pekerjaannya spt mencuci, mbersihkan rmh, memasak, dll di rumah majikannya ? bolehkah istri atau anak kita membuka jilbabnya di dlm rumah yg di dlmnya ada PRT pria ?
Jadi perbudakan masih diperbolehkan? Maka apakah saya bisa membeli budak, atau menjualnya? Misalkan ada orang non Muslim yang suka mencela Islam, kemudian saya tawan dia dan jadikan budak, apakah dibolehkan? Atau kemudian saya jual, apakah itu sah pak Ustadz?
Budak didapatkan dengan cara membeli dari pemiliknya atau dari tawanan perang, dalam perang yang syar’i. Bukan sembarang menyandera orang lalu jadi budak, ini kezaliman.
Quote:
Kedua, budak bisa pula berasal dari anak budak wanita, di mana anak tersebut adalah hasil hubungan dengan selain tuannya, terserah ayah anak tadi adalah orang yang merdeka atau sama-sama budak. Anak ini jadinya adalah budak milik dari tuan dari ibunya tadi. Karena anak tadi adalah hasil dari ibunya dan hasil itu asalnya masih milik tuannya.
——–
Makanya ini blunder besar sekali jika para “ulama”mayoritas di Indonesia memerintahkan muslim untuk menasabkan anak hasil zina bukan pada bapak biologisnya sementara hadith yang mereka jadikan sumber itu konteksnya tentang budak dan breastfeeding. Dan Rasul sudah secara jelas sekali di hadith tsb menyatakan dengan lisannya menasabkan anak hasil zina budak perempuan tersebut pada bapak biologisnya. Pada salah paham banget dan misleading banget.
Apakah jika saya menemui dengan seseorang gelandangan dijalan lalu saya menawarinya untuk menjadi budak saya dan dia menyetujui nya, atau saya membeli dari orang tuanya sendiri yang menjual nya kepada saya, atau dia sendiri menawarkan dirinya sebagai budak untuk saya secara sukarela apakah mereka juga bisa di sebut budak?