Tidak menunaikan amanat ilmiah, mungkin kami pribadi atau kita sekalian pernah melakukan sebelumnya. Semoga Allah Ta’ala mengampuni dan menjadi pelajaran bagi yang lain. Tetapi yang pertama kali kami sampaikan bahwa kita harus ber-husnuzhon bahwa bisa jadi kesalahan yang dibuat ini dikarenakan tidak tahu bagaimana amanat ilmiah dalam menulis sebuah tulisan.
Berkembangnya tulis-menulis tidak lepas dari pengaruh kemajuan pengetahuan dan teknologi. Perkembangan percetakan, internet, jejaring sosial dan berbagai media menyebabkan manusia sangat memanfaatkannya baik untuk kepentingan dunia atau kepentingan dakwah sebagai tabungan di akherat. Sesuatu hal yang patut kita syukuri karena dahulu di zaman para ulama, buku sangat berharga sekali. Jika ingin memperbanyak, maka harus disalin dengan tulisan tangan, dengan teliti beserta konsekuensi kesalahan yang kecil dan beberapa coretan untuk memperbaiki. Sampai-sampai dahulu dikenal ungkapan jika meminjamkan buku adalah suatu hal yang sangat merugikan.
Bersamaan dengan nikmat Allah ini, maka terkadang kita terjerumus dalam penulisan yang kurang memperhatikan amanat ilmiah. Yang setelah dipikir dan direnungi sebabnya adalah perasaan ingin dianggap tinggi ilmunya dan mengharap pujian dari manusia.
Bentuk Tidak Amanah dalam Tulisan
1- Menulis berbagai referensi, tetapi tidak mengambil bahan tulisan dari referensi tersebut
Sebaiknya mencantumkan referensi atau maraji’ sesuai dengan buku atau kitab yang dibaca kemudian diambil dan dinukil ilmu dari sumber tersebut. Terkadang kita menulis berbagai macam referensi kitab-kitab dengan tujuan agar pembaca tahu bahwa kita telah banyak menelaah kitab, telah banyak membaca dan melakukan penelitian mendalam.Padahal kita sekedar melihat-lihat sekilas, bahkan yang parah kita tidak membacanya sama sekali.
Sekedar contoh yang kurang tepat, ketika membuat judul tulisan “Keutamaan Tauhid” kemudian mencantumkan sumber yang sangat banyak dan tidak semua sumber ini dibaca.
Referensi:
- Kitabut Tauhid, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
- Qoulul Mufid Syarh Kitabit Tauhid, Syaikh Muhammad bin Shalih ‘Al Utsaimin
- At Tamhid lisyarhi Kitabit Tauhid, Syaikh Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Syaikh
- Qoulus Sadid Syarh Kitabit Tauhid, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’diy
- Fathul Majid Syarh Kitabit Tauhid, Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh
- Mulakhkhos Syarh Kitabit Tauhid, Syaikh Shalih Sholih bin Fauzan bin ‘ Abdillah Al Fauzan
- I’anatul Mustafid bi Syarh Kitabit Tauhid, Syaikh Sholih bin Fauzan bin ‘ Abdillah Al Fauzan
2- Jika sumbernya adalah buku terjemahan maka cantumkan buku tersebut adalah terjemahan
Hal ini juga termasuk kurang menunaikan amanat ilmiah tulisan. Kemungkinan besar tujuannya sama yaitu agar dikira lebih berilmu dan berharap pujian manusia.
Contohnya dalam tulisan,
“Dalam kitab Qoulul Mufid Syarh Kitabit Tauhid karya Syaikh Muhammad bin Shalih ‘Al-Utsaimin, dijelaskan demikian dan demikian”
“Kami menemukan penjelasan yang bagus dalam kitab Fathul Majid Syarh Kitabit Tauhid karya Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh bahwa…”
Jika kita membaca buku terjemahannya, maka kita tuliskan kutipan judul buku terjemahan tersebut, halaman berapa, penerbit dan cetakan keberapa. Karena terjemahan terkadang kurang tepat sehingga jika ada yang ingin menelaah tulisan kita lebih mendalam, mereka terkadang terkecoh karena rujukan yang dipakai sebenarnya adalah buku terjemahan, bukan kitab asli dengan bahasa Arab.
3- Jika kita mengutip dari sebuah tulisan maka cantumkan sumber tulisan tersebut
Sama seperti penjelasan di atas, jika mengutip sebuah kutipan tidak dari sumber asli kitabnya, maka cantumkan sumber tulisan tersebut.
Contohnya, ada kutipan dari tulisan seorang ustadz misalnya dari majalah A.
Ath Thobari rahimahullah berkata, “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian –wahai manusia- adalah yang paling tinggi takwanya pada Allah, yaitu dengan menunaikan berbagai kewajiban dan menjauhi maksiat. Bukanlah yang paling mulia dilihat dari rumahnya yang megah atau berasal dari keturunan yang mulia.” (Tafsir Ath Thabari 21: 386, Jaami’ul Bayan ‘an Ta’wil Ayil Qur’an, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath Thabari, terbitan Dar Hijr)
Jika kita tidak mengecek ke kitab aslinya, maka sebaiknya kita cantumkan sumber kutipan kita, karena ini amanat ilmiah. Bisa jadi terjemahannya kurang tepat atau ada yang terlewatkan. Sebaiknya kita cantumkan,
Ath Thobari rahimahullah berkata, “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian –wahai manusia- adalah yang paling tinggi takwanya pada Allah, yaitu dengan menunaikan berbagai kewajiban dan menjauhi maksiat. Bukanlah yang paling mulia dilihat dari rumahnya yang megah atau berasal dari keturunan yang mulia.” (Tafsir Ath Thobari 21: 386, Jaami’ul Bayan ‘an Ta’wil Ayil Qur’an, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath Thobari, terbitan Dar Hijr, dikutip dari tulisan ustadz fulan, dengan judul.., di majalah… terbitan… halaman sekian)
4- Hanya sekedar menambah atau merubah sedikit tetapi menisbatkan tulisan tersebut pada dirinya
Ini juga sesuatu yang kurang tepat, yaitu meng-copy paste sebuah tulisan kemudian menambah atau merubah sedikit dengan komentar kemudian menisbatkan tulisan itu sebagai hasil karyanya baik dengan terang-terangan atau bahasa kiasan.
Contohnya, di akhir atau di awal tulisan ditulis,
“Ditulis oleh fulan, di kota A, pukul sekian, bertepatan dengan…”
Atau dengan bahasa kiasan,
“Oleh: fulan, di kota A, pukul sekian, bertepatan dengan…”
“Diselesaikan di kota A, oleh fulan”
Bisa jadi maksud kata “oleh” yaitu mempublikasikan, tetapi maksudnya mengharapkan pembaca menyangka bahwa ia yang menulis. Sebaiknya kita sampaikan sumber tulisan dan penulisnya. Kemudian kita jelaskan apa bagian yang kita tambahkan.
Atau yang agak parah, sekedar meng-copy paste tanpa tambahan dari sebuah buku atau tulisan kemudian melakukan hal diatas.
5- Menaruh tulisan di situs atau blog miliknya tanpa izin penulis
Jika penulisnya mengatakan silakan menyebarkan dan meng-copy paste asal mencantumkan sumber, maka tidak mengapa tanpa izin langsung. Termasuk adab, yang kita meminta izin jika menggunakan hak orang lain.
Begitu juga jika itu adalah hak sebuah majalah yang diberikan oleh penulisnya. Di mana jika tulisan tersebut menyebar dengan mudahnya, maka akan merugikan majalah tersebut. Hal ini bukan maksudnya membatasi penyebaran ilmu, akan tetapi ada waktunya boleh disebarkan, misalnya ketika telah diterbitkan oleh majalah tersebut. Kami rasa tidak ada majalah Islam yang berniat dakwah kemudian membatasi tulisan tersebut. Wallahu a’lam
Harapan itu adalah Pujian manusia
“Masya Allah, tulisan yang bagus..”
“Keren, bisa menambah pengetahuan”
“Mantap sekali, pembahasan yang dalam”
Jika kita kurang beriman, mungkin inilah kata-kata dan ungkapan yang menjadi tujuan utama dan paling dinanti-nanti. Bagi yang ikhlas dan berusaha menggapainya, maka ia berharap komentar-komentar di atas adalah kabar gembira yang disegerakan dari Allah. Yaitu berniat beramal dengan keikhlasan awalnya, kemudian datanglah pujian-pujian manusia yang tidak kita harapkan. Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika ditanya tentang seorang yang melakukan kebaikan kemudian dipuji oleh manusia, maka beliau bersabda,
تِلْكَ عَاجِلُ بُشْرَى الْمُؤْمِنِ
“Hal tersebut merupakan kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin.” (HR. Muslim no. 2642)
Kemudian kita jangan terbawa melangit oleh pujian tersebut. Kita harus sering-sering membaca doa ketika dipuji.
اللهم لا تؤاخذني بما يقولون, واغفرلي ما لا يعلمون (واجعلني خيرا مما يظنون)
Allahumma laa tuaa-khidzni bimaa yaquuluun, waghfirli maa laa ya’lamuun (waj’alni khoiron mimmaa yadhunnuun)
“Yaa Allah, janganlah Engkau siksa aku dengan sebab (pujian) yang mereka ucapkan, dan ampunilah aku dari (perbuatan dosa) yang tidak mereka ketahui (dan jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka sangka)”(HR Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no 761 dan dalam Shahihul Adabil Mufrad no 585, dishahihkan oleh Syaikh Albani. Bagian akhir adalah tambahan riwayat Baihaqi dalam Syu’abul Iman 4: 228)
–Yaa Allah, janganlah Engkau siksa aku dengan sebab (pujian) yang mereka ucapkan, yaitu berupa ujub dan sombong atas karunia kemudian tidak bersyukur
– Ampunilah aku dari (perbuatan dosa) yang tidak mereka ketahui, yaitu banyak dosa-dosa yang kita lakukan secara sembunyi-sembunyi dan masih ditutupi oleh Allah, seandainya manusia tahu sedikit saja, mungkin kita tidak berani muncul dihadapan mereka.
– Dan jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka sangka, yaitu lebih baik dari sangkaan mereka saat ini.
Asal Menjawab dan Memberi Fatwa
Yang kita khawatirkan adalah banyak komentar dan pujian yang menyematkan gelar ustadz kepada kita, padahal kita masih seorang penuntut ilmu.
“Jazakallahu khair atas ilmunya ustadz”
“Syukron ustadz”
“Sangat bermanfaat ustadz”
Hal ini tidak mengapa jika orang tersebut adalah ustadz yang memang sudah mumpuni ilmunya. Perlu kita ketahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memuji orang lain di hadapannya kecuali melihat ada mashlahat,
Abu Musa berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar seorang pria berlebih-lebihan dalam memuji seorang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda,
أهْلَكْتُم أو قطعتم ظهرَ الرجل
”Kalian telah membinasakan atau mematahkan punggung orang itu(HR. Bukhari no.78, Kitab Al Adab,no. 54 Bab Maa Yukrohu Minat Tamaduh; Muslim no. 53 Kitab Az Zuhd)
Kemudian karena seringnya dipanggil ustadz, akhirnya kita merasa gengsi jika tidak mampu menjawab suatu pertanyaan, dan akhirnya kita berfatwa tanpa ilmu. Semoga Allah melindungi kita dari hal seperti ini. Amin yaa mujibas saailin.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
—
Disempurnakan di Lombok, pulau seribu masjid
Penulis: dr. Raehanul Bahraen
Editor: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id
bahan renungan buat saya
syukran
jazakumullahu khairan
barakallahu fikum
جزاكم الله بارك الله فيكم izin share
Ya affan ustad, klau yg ustad maxsud blog sy (point 5 ), di http://boudak-pasie.blogspot.com, sy bersedia menghapusnya.
#J4K
semua artikel di web ini boleh disebarkan seluas-luasnya
assalamualaikum
wah maaf berarti saya salah ya? saya suka mengcopy tulisan artikel yang ada di situs ini dan saya simpan di note saya, tapi niat saya bukan untuk puji pujian atau sekedar sharing , tapi saya benar benar butuh untuk diri saya sendiri kadang kadang kalo diri lagi gelisah atau bimbang dengan membaca note saya yang sebagiannya ada artikel artikel dari sini saya suka tenang, terinspirasi dan bersemangat dalam memperbaiki iman. dan saya gemar mengumpulkan artikel artikel islam yang sangat bagus.
jika di perbolehkan beberapa artikel artikelnya yang ada di note saya boleh saya simpan saya sangat berterimakasih dan jika tidak maka saya akan menghapus semua artikelnya
terimakasih dan mohon maaf karena telah mengcopy paste artikelnya
:) semoga Alloh.SWT membalas kebaikan dari penulis artikel artikel di muslim.or.id – Aamiin
#taufik ismail
wa’alaikumussalam, boleh copas artikel kami tapi sebaiknya disertakan sumber artikel yaitu link web kami, sebagaimana nasehat ust raehan di atas
terimakasih alhamdulillah bahaagianya heheheheh
Assalamu’alaykum warohmatulloh wabarokatuh..
Maaf Ustadz, misalkan ada sebuah website yang mencantumkan plugin share (baik melalui facebook, twitter, digsby, blog email, dll) di halamannya, apakah jika kita klik plugin tersebut (yang berarti kita menyebarkan) harus seizin pemilik? mengingat plugin tersebut memudahkan kita untuk menyebarkan (tentunya ada link yang mengarah ke website yang bersangkutan).
Terima kasih atas jawabannya.
Jazakumullohu khoir.
Wassalamu’alaykum warohmatulloh wabarokatuh..
Insya Allah kalau artikel itu web-based (bukan media cetak), penyebarannya lewat menu sharing biasanya akan menyertakan media asalnya. Untuk yang memang begini, insya Allah ada izin ‘urfiy dari penulis maupun webmasternya, sehingga tidak harus setiap kali mau share harus izin dulu, tidak dibalas permohonan izinnya lantas tidak jadi share.
Catatan: tidak masuk dalam maksud kami di atas: media cetak, dan sekedar share lalu tidak mencantumkan penulis dan web asalnya, apalagi mengganti nama penulis menjadi namanya.
CMIIW Ust. Yulian.
mungkin tiap orang beda-beda karakter, kalau saya pribadi tidak ingin mencari popularitas dan khawatir dipuji orang lain dan tidak ingin ada istilah “yang beramar ma’ruf nahi mungkar adalah si fulan”
Beberapa tahun yang lalu, saya punya situs namun diblokir karena dianggapnya SARA tentang membongkar kebusukan ajaran nasrani, banyak yang copas hampir semua artikel saya, jangankan saudara muslim, teman2 kristolog juga banyak yang copas tanpa menyebutkan saya sebagai penulisnya, atau diambil dari situs saya. dan di situs2 lain juga masih terdapat tulisan2 saya sampai sekarang.
Tapi saya gak peduli, dan saya ikhlas, yang penting bisa bermanfaat buat saudara muslim, Jangankan cuma tulisan, harta dan nyawa saya, rela saya korbankan demi Agama Islam.
berarti kalau cuma saya bookmarks di laptop,boleh kan?
Jazakallahu kahiron ustadz…. Sangat bermanfaat semua artikel di muslim.or.id
Izinkan saya mengcopy dan menyebarkannya. Barakallahu fiikum.
Bismillah,
Pak Ustadz, ana izin mengutip tulisan tulisan yang ada di blog ini untuk ana jadikan poster dakwah dan disebar luaskan
Terimakasih :)
ASSALAMU’ALAYKUM USTADZ..
ANA IZIN FOTOKOPI TULISAN INI..
JAZAKALALLAHU KHAIRAN
Assalamualaikum Ustadz izin bertanya..
Apakah kalau sya rewrite artikel orang lain tanpa mencantumkan sumber bagaimana hukumnya?
Contoh , saya rewrite dgn gaya bahasa sendiri beberapa bagian trus bagian lain sya rewrite juga dari website lain dan jadi satu di artikel sya, dan gk mencantumkan sumber yg sya rewrite…
Jadi rewrite ga berlebihan dan dari banyak sumber trus dimodifikasi juga sedemikian rupa lalu tanpa mencantumkan sumber juga…
Berhubung sya punya blog tentang tekno, dan menurut saya ga mungkin juga banyak blog yg dgn berbagai Niche itu hasil pemikiran dia semua tanpa melirik dari sumber lain (tanpa referensi)…masa bisa sampai ribuan kata mana didalamnya ada banyak Niche , tekno, software, dan sebagainya dan kelihatannya penulis nya cuma 1 , kalo penulis nya banyak si wajar Kya situs berita..sya ragu kalo itu hasil pemikiran dia semua tanpa liat sumber lain…diserap artikel dia juga gk ada bacaan sumber referensi seakan semua artikel dengan ribuan kata itu hasil pemikiran sendiri, atau mungkin cuma nyontek dikit Kya yg sya maksud ini..
Jadi model nya kya nyontek dikit doang artikel orang trus di rewrite dan dimodifikasi tapi ga sampe 50% ngutip nya itu juga diketik ulang ga COPAS…
bagaimana hukumnya dalam Islam ,dan ini jga tanpa izin ?
Rewrite dikit² dari banyak artikel tanpa mencantumkan sumber, cuma dikit dan gk lebih dari 50% itu juga di ketik ulang dgn gaya bahasa sendiri , yg di kutip cuma kerangka artikel nya kya pembukaan tengah atau akhir apalah gitu?
Afwan Izin share artikelnya.
jazakallahkhoiron atas ilmunya
Afwan ustadz, gimana kalau dikutip terus saya tambah di akhir misalnya promosi jasa saya.
misalnya bahaya copy paste kemudian saya kutip tulisan dari artikel ini (tapi saya mencantumkan link website ini), kemudian di akhir saya promosi kelas menulis dengan etika yang baik. apakah hal semacam ini dibolehkan? sebagaimana sudah banyak saya lihat content creator di instagram seperti itu.
barakallahufiik
Assalamu’alaikum Wa rahmatullahi Wa barakatuh,,
Kalau mengambil terjemahan hadist apakah harus mencantumkan link nya juga ?
contoh :
“….Teks Terjemahan Hadist…”(HR. Bukhari) Sumber : https//:******* .