Segala puji hanya untuk Allah, Rabb semesta alam, shalawat dan salam semoga tercurah bagi Muhammad Rasulillah, para sahabat dan pengikutnya.
Kerap dalam beberapa diskusi religi, nyata maupun maya, kita mendengar atau membaca dialog seperti ini:
A: Jadi akhi, berdasarkan dalil-dalil tersebut, para Ulama menyimpulkan bahwa memelihara jenggot hukumnya adalah wajib dan memangkasnya adakah haram. Begitu akh…
B: Tapi Ulama lain ada yang membolehkan Akh… Syaikh Fulan pun potong jenggot…
C: Sudahlah, orang kafir sudah sampai ke bulan, kita masih sibuk debat soal jenggot.
Dialog seperti ini kerap muncul dalam diskusi/debat masalah keagamaan lainnya, seperti masalah hukum isbal[1] dan memelihara jenggot, jambang dan rambut di wajah bagi laki-laki, hukum musik dan sebagainya yang memang masih sering diperdebatkan oleh sebagian kalangan kaum muslimin. Yang menarik perhatian dari dialog tersebut dan menjadi topik bahasan dalam tulisan ini adalah perkataan pihak ketiga (C): “…sudahlah, orang kafir sudah sampai ke bulan, kita masih sibuk debat soal jenggot (isbal, dst…)“.
Saudaraku sekalian yang dirahmati Allah, mari kita cermati dengan baik perkataan di atas berdasarkan timbangan metodologi ilmiah dalam Islam.
Ke Bulan, Kedudukannya dalam Islam
Islam mendorong kita untuk menuntut ilmu-ilmu yang bermanfaat. Para ulama[2] mengatakan, bahwa ilmu (yang Islam memotivasi untuk mempelajarinya -pen), terbagi menjadi dua: (1) ilmu yang hukum mempelajarinya adalah fardhu ‘ain (wajib dipelajari oleh setiap individu muslim dan ia tidak boleh bodoh dalam ilmu ini –pen), karena setiap muslim memerlukan ilmu tersebut dalam masalah agama, akhirat dan muamalahnya; (2) ilmu yang hukum mempelajarinya fardhu kifayah, yaitu ilmu tambahan yang faedah mempelajarinya dibutuhkan orang banyak, walau tidak begitu mendesak bagi individu tertentu, sehingga jika sudah ada sejumlah orang yang mempelajarinya dan jumlahnya telah mencukupi kebutuhan, maka gugurlah kewajiban mempelajarinya bagi yang lainnya. Contoh ilmu yang fardhu ‘ain antara lain: ilmu akidah dan tauhid, juga ilmu tentang tata cara wudhu dan shalat yang benar. Setiap orang wajib mempelajari hal-hal tersebut. Karena ia tidak akan bisa berwudhu dan mengerjakan shalat dengan benar selain dengan mempelajari hal-hal mengenai hal tersebut[3]. Contoh ilmu yang fardhu kifayah antara lain: ilmu kedokteran, ilmu perekonomian, ilmu pengelolaan air bersih dan energi (listrik, bahan bakar) dan sebagainya, yang memang faedah mempelajarinya dibutuhkan untuk kemashlahatan orang banyak.
Berdasarkan pembahasan tentang dua ilmu di atas, yang mempelajarinya memang diperintahkan dalam syari’at, lalu masuk dalam kategori manakah ilmu tentang cara mendarat di bulan? Yang pasti bukan fardhu ‘ain karena ilmu ini bukan penunjang agama, akhirat dan muamalah seorang muslim, bukan pula ilmu yang belajar dan pengamalannya akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat kelak. Kalau dikatakan fardhu kifayah, maka pendapat ini lemah dalam sisi urgensi, karena hidup manusia dapat terus berlangsung walau tidak ada yang pernah ke bulan. Bahkan, ke bulan dalam realitanya tidak lebih dari sekedar pertunjukkan kebanggaan negara kafir untuk mengkerdilkan kita (kaum muslimin) dan membuat kita selalu merasa ‘tertinggal’ atau ‘terbelakang’, lantas berupaya mengejar mereka hingga akhirnya kita melupakan kewajiban menuntut ilmu agama.
Sementara, bagaimanakah kedudukan pembahasan masalah halal haram atau wajib tidaknya sesuatu dalam Islam, seperti halal haram memotong jenggot dan isbal untuk laki-laki, halal haram musik dan seterusnya, meskipun dianggap remeh bagi sebagian kaum muslimin?
Merujuk pada definisi dua ilmu yang telah lewat, maka ilmu tentang masalah-masalah di atas termasuk kategori ilmu yang fardhu ‘ain (walau tingkat kewajibannya bisa jadi berbeda antara laki-laki dan perempuan). Hal ini dikarenakan masalah-masalah tersebut menjadi bahasan penting bagi Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, para sahabat dan para ulama (salafush sholih) setelah mereka. Benar salahnya penyikapan kita terhadap masalah di atas akan menunjang baik dan tidaknya agama, akhirat dan muamalah kita. Terlebih lagi, berbagai dalil Al-Qur’an dan hadits seputar masalah haramnya memotong jenggot dan isbal bagi laki-laki, haramnya musik dan sebagainya, kebanyakan mengandung ancaman neraka bagi pelanggarnya. Ini menunjukkan bahwa Islam menganggap penting masalah yang oleh sebagian kita dianggap tidak lebih penting daripada pencapaian orang kafir ke bulan. Yah, kecuali dalil-dalil tersebut tidak lagi penting dalam kehidupan kita di dunia.
Kalau begitu, pantaskah “ke bulan” yang bukan ilmu yang didorong Islam untuk mempelajarinya, dianggap lebih urgent daripada ilmu tentang jenggot, isbal, musik, yang merupakan ilmu yang fardhu ‘ain? Seremeh itukah ancaman neraka pada berbagai dalil yang Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– sebutkan tentang masalah-masalah tersebut untuk, ya sudahlah, tidak usah kita bahas dan sebaiknya ditinggalkan saja karena orang kafir sudah ke bulan, kita masih sibuk berdebat masalah itu?
Ke Bulan, Kedudukannya Bagi Orang Kafir
10 tahun lalu penulis pernah melihat di siaran salah satu TV nasional, film sains dokumenter yang dibuat oleh ilmuwan akademisi di US, yang membantah kebohongan klaim NASA bahwa mereka pernah mengirimkan manusia ke bulan. Dengan berbagai eksperimen dan analisis, baik terhadap kondisi alam untuk mencapai bulan, maupun terhadap video pendaratan ke bulan yang selama ini diklaim oleh NASA, mereka menyimpulkan bahwa sampainya NASA ke bulan hanya bohong belaka.
Kami melihat bahwa jargon “ke bulan” hanya sekedar kebanggaan orang kafir untuk membuat kaum muslimin ‘minder’, hingga akhirnya sibuk mengejar ‘prestasi ke bulan’ dan melupakan urgensi mempelajari agama Islam?
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُم
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani sekali-kali tidak akan rela kepadamu hingga kamu mengikuti agama mereka.” (QS. Al Baqarah: 120)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah bersabda,
]لَتَتّبِعُنّ سَنَنَ الّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ. شِبْراً بِشِبْرٍ، وَذِرَاعاً بِذِرَاعٍ. حَتّىَ لَوْ دَخَلُوا فِي جُحْرِ ضَبَ لاَتّبَعْتُمُوهُمْ” قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللّهِ آلْيَهُودُ وَالنّصَارَىَ؟ قَالَ “فَمَنْ؟”[
“Sungguh kalian benar-benar akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sampai-sampai bila mereka masuk ke liang dhabb (sejenis biawak padang pasir), niscaya kalian pun akan mengikuti mereka.” Kami berkata: “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu orang-orang Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab: “Kalau bukan mereka lalu siapa lagi?” (HR. Bukhari no. 3456 dan Muslim no. 2669, dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu)
Teman, mari bertanya, apakah kita pernah merasakan faedah nyata dari ‘orang kafir bisa ke bulan’? Apakah Anda yakin bahwa mereka yang berhasil ke bulan –seandainya nyata– akan tanpa pamrih membagi manfaatnya pada kita? Atau sebenarnya kita hanya dibuat merasa perlu mengejar jalan mereka?
Seandainya pun nyata, lebih berhargakah ‘ke bulan’ daripada mempelajari tauhid, shalat, perhitungan dan pembagian zakat dan warisan, puasa dan haji beserta masalah nawazilnya (masalah terkini), hukum seputar jual beli, bentuk-bentuk riba, muamalat kontemporer, dan cabang ilmu agama lainnya, seperti halal haram memotong jenggot dan isbal bagi laki-laki, halal haram musik, hingga layak dikatakan, “…sudahlah, itu tidak usah dibahas. Orang kafir sudah ke bulan, kita masih sibuk berdebat masalah itu“?
Akhirnya kami perlu mengatakan, toh kebanggaan kaum kafir semuanya akan berakhir kala datang hari kiamat.
Ke Bulan, Kedudukannya Bagi Si Penengah
Kami bersangka baik, bahwa bisa jadi si penengah dalam dialog yang kami ungkap di awal tulisan ini, hanya ‘sekedar mencari contoh’ kemajuan orang kafir yang belum bisa dicapai umat Islam –artinya tidak terbatas tentang ke bulan saja–, dan ia hanya ‘sekedar ingin mengingatkan’ agar kita tidak sibuk membahas masalah agama hingga melupakan ketertinggalan mereka dari orang kuffar.
Namun yang perlu disadari, syubhat yang timbul dari slogan “ke bulan” ini, manakala terpatri di benak sebagian orang, membentuk mindset bahwa mempelajari ilmu duniawi, seperti membuat inovasi baru dalam teknologi, di zaman ini lebih penting daripada mempelajari agama yang toh, topiknya bagi sebagian orang remeh pula, seperti masalah jenggot, isbal dan sebagainya.
Allahul musta’an, ini pun menjadi fenomena nyata di kalangan kita, kaum muslimin. Banyak di antara kita yang menghabiskan umur untuk mempelajari sains dan teknologi, namun ‘kosong’ dalam ilmu agama. Banyak dari kita yang bergelar master, doktor, bahkan profesor, namun belum benar cara berwudhu dan shalatnya. Cabang-cabang ilmu tentang aqidah, ibadah, muamalah, terlebih lagi ilmu alatnya, seperti qawaid bahasa Arab, ilmu ushul fiqh, ilmu musthalah al-hadits, dan lainnya seakan hanya monopoli orang-orang yang mau ‘jadi ustadz’ dan tidak untuk scientist (ilmuwan). Ya, mungkin karena sebagian kita memang sibuk juga mengejar ‘sampai ke bulan’.
Beragama yang Ilmiah
Kebanyakan perkataan di atas kami temui pada kalangan kaum muslimin yang belum mampu berargumentasi ilmiah yang ditunjang dengan ilmu yang benar. Bisa jadi karena orangnya enggan mempelajarinya, dan bisa jadi karena belajar dengan/dari manhaj (metodologi beragama) yang memang tidak menekankan pemahaman terhadap ilmu-ilmu alat (bahasa Arab, qowa’id, ushul, dan lainnya) sehingga tidak mampu berargumentasi dengan hujjah yang kuat. Akhirnya, ‘ke bulan’ menjadi andalan untuk menghindari diskusi yang seharusnya bisa ilmiah.
Dari sini, kami menghimbau kepada seluruh kaum muslimin, untuk bersungguh-sungguh menuntut ilmu agama dengan baik, dengan/dari manhaj yang lurus. Manhaj yang lurus adalah yang membawa kepada pemahaman agama yang benar ditunjang dengan ilmu-ilmu alatnya. Manhaj yang ketika berbicara suatu masalah agama, tidak lepas dari nukilan nash Al-Qur’an dan hadits.
Terakhir, kami kutip perkataan yang baik, “Wahai para pemuda, jangan sia-siakan waktu Anda untuk terkesima dengan beragama dengan cara haroki. Terkesan indah namun tidak asli. Terkesan aktual dan popular namun tidak hakiki. Terkesan modern dan hebat namun tidak lestari. Seperti mainan anak-anak kecil di masanya, akan lenyap dengan cepat diganti oleh gaya dan trend yang lebih gokil dan terkini[4].”
Fawaid
1- Ilmu agama adalah bekal kebahagiaan bagi manusia dalam kehidupannya di dunia dan akhirat. Seremeh apapun topiknya bagi sebagian orang, mempelajarinya tetaplah merupakan kewajiban bagi umat Islam. Keutamaan dan pahala mempelajarinya tidak akan setara dibandingkan dengan ‘sekedar ke bulan’ ataupun ilmu sains lainnya.
2- Jargon-jargon kemajuan kaum kafir kebanyakan hanya untuk mengkerdilkan kaum muslimin. Berusaha mengejar mereka dengan menghabiskan umur tanpa mempelajari agama tidaklah mendatangkan kemuliaan di sisi Allah ‘azza wa jalla.
3- Kebaikan kaum muslimin tidaklah terletak pada kemajuan teknologi yang mampu mereka ciptakan. Kebaikan mereka terletak pada ilmu agama dan penerapannya dalam kehidupan hari-hari mereka, dengan mencontoh pengamalan generasi pendahulu mereka dalam Islam. Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata,
لا يَصْلُحُ آخِرُ هَذِهِ اْلأمَّةِ إِلا بِمَا صَلُحَ بِهِ أَوَّلُهَا
”Yang bisa memperbaiki keadaan generasi akhir umat ini hanyalah hal yang telah berhasil memperbaiki keadaan genarasi awalnya”.[5]
Semoga Allah menjadikan tulisan ini sebagai sarana dakwah yang ikhlas untuk agama-Nya dan menjadi nasehat yang dapat diterima oleh saudara-saudara kami yang membacanya.
Riyadh, Sabtu, 27 Dzulqo’dah 1433 H (13 Oktober 2012)
Penulis: Muflih Safitra bin Muhammad Saad Aly
Editor: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id
[1] Menjulurkan pakaian/celana/sarung melebihi mata kaki
[2] Di antaranya Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di ketika menjelaskan Qoidah Fiqhiyyah kedua dalam kitab beliau Al-Qawa’id wal-Ushul al-Jami’ah wal-Furuq wat-Taqasim al-Badi’ah an-Nafi’ah (Majmu’ Muallafat Syaikh Al-‘Allamah Abdurrahman as-Sa’di 7: 12, cetakan pertama, 1432 H (2011 M), Muassasah Al-Anood Al-Khairiyyah, Riyadh). Nuskhoh kitab ini beserta tahqiqnya oleh Dr. Khalid bin ‘Ali bin Muhammad al-Musyaiqih dapat didownload di link: http://www.islamhouse.com/p/205540.
[3] Islam mendorong umatnya untuk mempelajari ilmu-ilmu tersebut, meskipun setiap orang berbeda tingkat kewajibannya sesuai kondisinya. Contohnya, seseorang yang akan naik haji tahun ini berkewajiban mempelajari manasik haji dengan tingkat kewajiban yang lebih tinggi daripada orang yang akan naik haji beberapa tahun lagi, dst.
[4] Dari blog: http://andyoctavian.org/2012/10/29/kita-bisa-seperti-mereka-insyaa-allaah/.
[5] Asy Syifa fi Huquuqil Musthofa 2/88, oleh Al Qadhi ‘Iyadh.
subhanallah, sungguh selalu akan ada pembaharu disetiap generasi umat ini yang selalu berpegang pada sunah.
Subhanallah,,membuka cakrawala pemikiran kita dan itulah yang melanda generasi kita kini
mau tanya ustad, beragama dengan cara haroki itu beragama yang seperti apa?
Mohon doa untuk penulisnya agar ditambahkan ilmu dan ketaqwaannya, disukseskan dunia akhiratnya, dan dikaruniai anak yang shalih/ah.
Alhamdulillah,bisa membuat kita bersyukur kepada Allah seperti yang diingatkan-Nya dalam Alquran Surah Ar Rahman sebanyak 22 kali فَبِأَيِّ آلَاء رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ (“Maka ni’mat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?”)
Subhanallah…semoga si penulis selalu di berikan kesehatan oleh Allah dan semoga dapat menyampaikan dakwahnya dimanapun beliau berada…
Kok nama kunyah kita sama ya, Abu Jauzy?
Tanpa mengurangi semangat belajar menulis dan sharing pengetahuan dari pada para penulis, karena website ini telah menjadi salah satu rujukan umat untuk sedikit lebih komprehensif pada beberapa sisi. Allahu a`laam !:
Saran kepada redaktur. Agar artikel ini sebaiknya sebelum diupload perlu penelaahan yang agak lebih panjang/editing dengan ahli yang lain atau science. Terkait dengan ketepatan waqii dan kebijakan, premis dan contoh. Banyak orang-orang ta`dhzim dengan sunnah telibat dalam science. “bahwa sampainya NASA ke bulan hanya bohong belaka” tidak cukup argument pada kesimpulan tsb. Atau beberapa premis yang sedikit kurang tepat.
Semoga Allah SWT memberikan cucuran rahmat pada penulisnya.!
Semoga website ini semakin maju dan lebih menjadi rujukan umat..!
Azis Saifudin
Masukan dari rekan saya pemilik account facebook:
Hanif Hanif
judulnya kurang tepat… dan tidak apple-to-apple
Seolah2 mencapai bulan itu sama dg neraka atau seolah2 kaum muslmin itu mustahil mencapai apa yg dicapai barat. Judul di atas sama saja dg “biarkan mereka kaya, mari kita ke surga”. Itu nggak match. Nggak membuat orang Islam menjadi fight thd masalah2 duniawi sehingga tetap jadi bulan2an.
Saya pernah menerima CV2 lamaran kerja orang2 arab. Semua nilai ujiannya anjlok dan buruk2 kecuali nilai agama. Ini namanya nggak balance.
Mempelajari ilmu agama itu penting dan tidak perlu mengkontradiksikan dg ilmu2 duniawi tapi lebih baik disinergikan.
Jika ada profesor yg nggak tau cara wudhu, ya diajari dan dibenarkan mana yg salah. That’s it. Ngajarinya nggak sampai 5 menit jadi. Nggak perlu dihina, “ah, ente terlalu sibuk dg dunia”. Saya rasa itu bukanlah hal yg baik dan menjadikan orang lari dari agama. Agama itu mudah.
27 minutes ago · Like
Contoh ketika Syaikh Utsaimin ditanya dalam konteks apakah bahasa Inggris itu bahasa orang kafir. Maka beliau menjawab bahwa beliau sendiri ingin belajar bahasa Inggris.
Nah artikel yang ditulis Al Akh barusan memiliki implikasi lebih dharuri. Hemat saya perlu editing judul yang lebih tepat.
#Aziz Saifudin
Pertama. Dari prolog artikel ini, jelas artikel ini bukan tentang penjelasan rincian hukum belajar ilmu dunia, tapi ini artikel bantahan terhadap orang yang meremehkan agama karena melihat ‘maju’-nya keduniaan orang kafir. Hendaknya kita berbicara dan menganggapi pembicaraan sesuai dengan khithab.
Kedua. Yang dibawakan penulis adalah gaya bahasa yang disebut para ulama dengan thariqut tahdid wal wa’id, seperti para firman Allah:
فمن شاء فليؤمن ومن شاء فليكفر
“Barangsiapa yang mau beriman silakan, yang mau kufur silakan”
Bukan berarti kufur itu mubah. Kata para ulama, justru maksud ayat ini adalah ancaman jadi ‘barangsiapa mau beriman silakan, mau kufur silakan, nanti tunggu saja akibatnya diakhirat’.
Jadi artikel di atas pun demikian, biarkan orang kafir bangga dengan dunia mereka, tunggu saja akibat bagi mereka di akhirat. Jadi bukan berarti kita biarkan orang kafir tanpa didakwahi kepada Islam, juga bukan berarti kita tidak perhatian pada ilmu dunia.
Ketiga. Tidak mesti umat Muslim berusaha mencapai apa yang dicapai orang kafir. Karena ilmu dunia yang manfaat dan boleh dipelajari adalah yang bermanfaat bagi kaum muslimin. Sehingga ujung-ujungnya dengan itu kita mengharap surga juga. Jadi tidak semua ilmu dunia itu terpuji. Makanya syaikh Utsaimin ingin bisa bahasa Inggris karena beliau ingin berdakwah kepada orang yang berbahasa Inggris. Jadi jika memang suatu pencapaian dalam ilmu dunia itu memang bisa manfaat bagi Islam dan ummatnya, dan kita ketinggalan oleh orang kafir dalam hal itu, maka kita hendaknya berusaha mengalahkan mereka. Tapi kalo tidak, ya tidak perlu.
Allahu’alam.
Bismillah…
Penjelasan Ustadz Yulian adalah tepat. Dari prolognya, tulisan ini ditujukan untuk orang yang belajar ilmu dunia dan meremehkan orang yang belajar ilmu agama. Dan ini tidak sedikit. Banyak sekali saya menemukan muslim (terutama dari indonesia) yang belajar ilmu dunia di luar negeri yang seperti itu.
Bahkan ada dari mereka yang mengatakan ke saya, “Belajar agama dan rajin ke masjid akan membuat kita menjadi teroris”. Ada pula yang melecehkan MUI karena fatwanya. Padahal mereka tidak bisa membedakan halal/haram. Halal/haram mereka tentukan berdasarkan perasaan mereka belaka.
Buat penulis, jazaakumullah khoiron katsiiro atas nasehatnya. Semoga bertambah ilmu dan ketaqwaannya, sukses dunia-akhirat, dan dianugerahi putra/putri yang sholeh. Amiiin…
Wassalaamu’alaykum.
Ustad Muflih, semoga ustad sekeluarga sehat dan semoga segera di karuniai keturunan. Mohon doa nya untuk murid-murid ustad yang ada di Kaltim semoga kami selalu berpegang teguh kepada Alquran dan sunnah. Semoga setelah pulang dari Riyadh kita bisa berkumpul kembali dan berbagi ilmu.
Jazakumullah khairan untuk masukan dari Pak Aziz.
Jazakumullah khairan juga untuk tanggapan dari Ust. Yulian.
—
Pak Azis, tulisan di atas tidak bermaksud untuk mengarahkan pembaca untuk banyak menimba ilmu agama saja lalu meninggalkan ilmu dunia yang manfaat bagi umat. Bahkan ini ajakan untuk mensinergikannya. Tulisan ini bernafas nasehat bagi setiap orang yang punya takhoshshush di bidang ilmu dunia, dan kurang/enggan menimba ilmu akhirat. Setiap ada pembahasan agama yang mungkin baginyaa tidak penting, maka dia alihkan pembicaraan dengan mengatakan, sudahlah itu tidak usah dibahas, orang kafir sudah ke bulan kita masih bahas ini. Bahkan ada seorang mahasiswa S3 doktoral syari’ah ketika kami bahas tentang musik, dia katakan, wah haram lagi haram lagi. Padahal sebagai seorang yang sedang menempuh doktoral, apalagi bidang agama, hendaknya dia mengemukakan dalil2, bukan kalimat2 yang justru membuat orang enggan mengkaji masalah yang bersangkutan.
Jika ada sesuatu yang bisa menjadi sekedar penguat, kami sendiri dan Ust. Abduh Tuasikal (di website ini kalau tidak salah redaktur), sedang mengejar ilmu dunia, dengan mengambil magister teknik di Saudi Arabia, sambil mensinergikannya dengan ilmu agama dari sebagian masyaikh. Alhamdulillah dalam perjalanannya kedua ilmu ini tidak saling ‘membunuh’ waktu 1 dengan yang lain, dan kami bisa berprestasi dengan IPK tertinggi di angkatan.
Lagi, tidaklah ini bermaksud untuk mengesampingkan ilmu dunia dan semata mementingkan ilmu akhirat.
Tambahan yang sebenarnya bukan inti masalah:
1. Kasus orang Arab, jelas itu hanya kasuistik. Apakah Pak Azis belum pernah mendengar Syaikh Abdullah Ali Bassam yang menggabungkan antara dirosah Islamiyyah yang mumpuni hingga menjadi salah satu Ulama besar rujukan Saudi di masanya, dengan magister di bidang ekonomi dan teknik mesin?
2. S2-S4 yang belum benar wudhu (manhaj ilmu dan agama)-nya, artikel ini adalah bagian dari nasehat itu, karena waqi’nya, kami disini justru menghadapi mereka yang seperti itu, yang jika dinasehati malah mengatakan, sudahlah akhi, orang kafir sudah ke bulan, antum masih sibuk bahas2 begitu.
Sharing sedikit (debatable):
Tiap kalimat dalam artikel di atas, 1 per 1 ana tulis dengan menata niat hati di tiap kalimat itu. Niat hati kadang bercabang 2: kadang nasehat karena menginginkan kebaikan dan hidayah pada orang2 yang dimaksud, kadang semata2 bantahan terhadap cara beragama yang tidak ilmiah.
Bagi ana, niat pertama harus lebih banyak hadir, karena nasehat yang baik akan melahirkan kata2 lembut dan lebih mudah diterima. Semata2 bantahan cenderung melahirkan kata2 kasar dan terasa tidak ikhlas dalam menulisnya.
Jika ada yang baik dalam tulisan di atas, ana berharap itu adalah karena bimbingan Allah dalam menghadirkan niat yang ikhlas dalam nasehat.
Sebaliknya jika ada yang tidak baik, bisa jadi itu karena bisikan syaithan yang menyeru kepada kebencian terhadap saudara muslim yang belum mendapat hidayah beragama dengan manhaj ahlussunnah.
Setelah membaca artikel serta komentar yang ada, saya semakin sadar bahwa menulis untuk berdakwah itu sangatlah sulit. Pertama, meluruskan niat hanya karena mencari ridho Allah. Kedua, berusaha menata kata dalam kalimat, kalimat dalam paragraf, dan menggabungkan paragraf dalam sebuah esai yang mudah dipahami, semua itu tidaklah mudah. Terus terang, ketika membaca artikel tersebut, pada beberapa kalimat saya juga sempat berkomentar sendiri. Namun secara keseluruhan menurut saya artikel tersebut bagus mengingat saat ini banyak sekali orang yang mengaku beragama Islam namun tidak tahu banyak tentang Islam dan apa yang seharusnya dipelajari. Contoh: suatu hari saya pernah ngobrol dengan seorang guru SD Islam. Dia mengirimkan anak2nya ke kursusan bahasa Inggris sejak mereka masih kecil karena menurutnya bahasa Inggris itu sangat penting. Saya sangat setuju dengan pendapat itu, apalagi dengan mampu berbahasa Inggris dengan baik, kita akan mampu menerangkan Islam kepada lebih banyak orang. Namun, saya kaget sekali saat pada suatu hari ibu tersebut berkata kepada saya bahwa ia heran kenapa ada orang belajar bahasa Arab, buat apa? Nah, di situlah inti kesamaan cerita guru tersebut dengan artikel ini (menurut saya). Bahwa seharusnya bahasa Arab dapat dikuasai terlebih dahulu untuk memahami Al-Qur’an dan hadits, barulah dengan bahasa Inggrisnya kita bisa menyebarkan Islam dengan ilmu yang cukup. Begitu sepaham saya.
Terima kasih banyak, menurut saya artikel dan komentar2nya mempuanyai makna sangat dalam.
Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Mohon maaf kalau komentar artikel saya ini salah masuk karena saya mau komentar di artikel tentang “tuntutlah ilmu sampai kenegeri cina”, akan tetapi karena artikel tersebut sudah raib entah kemana dan juga berhubung artikel ini masih bisa dikatakan punya kaitan satu sama lainnya,komentar saya seperti berikut :
اُطْلُبُوْا العِلْمَ وَلَوْ في الصِّينِ
“Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri China.”
Banyak perdebatan mengenai hadist tersebut.ada yang berpendapat hadits sahih,dhoif ditinjau dari beberapa sudut pandang.saya hanyalah orang awam yang ingin sedikit memberi pendapat melalui sudut pandang saya, dimana saya menafsirkannya bukan dari sudut pandang derajat hadits .akan tetapi lebih merujuk kepada Al Quran yakni dalam surah Al Kahfi 60
وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِفَتَاهُ لَا أَبْرَحُ حَتَّى أَبْلُغَ مَجْمَعَ الْبَحْرَيْنِ أَوْ أَمْضِيَ حُقُبًا( Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun”.
Kaitannya dengan hal tersebut sangatlah jelas, hal ini tidak dapat kita pungkiri bahwa kemajuan teknologi dan kemajuan negeri cina yang tumbuh pesat saat ini. akan tetapi perlu diingatkan pula bahwa inti dari hadist tersebut bukanlah mengenai keutamaan negeri cina maupun orang-orangnya akan tetapi bagaimana kita dapat memetik pelajaran atau menimba ilmu dari negeri-negeri tersebut untuk kemajuan umat didunia ini.begitu pula dengan “Dongeng” dari NASA tentang kebulan itu bukanlah hal yang mustahil karena semua hanyalah milik Allah dan tak ada yang tak mungkin bagi Allah (فَيَكُونُ “Jadilah maka jadilah”).
Sebagai tambahan : dalam surah Al Baqarah ayat 255 (ayat Kursi) sudah disebutkan secara jelas “Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
sekali lagi mohon maaf kalau ada kesalahan mohon dikoreksi karena hamba hanyalah Hamba Allah yang jauh dari kesempurnaan dan tak luput dari kekhilafan.
Wabillahi taufiq walhidayah wassalamu alikumwarahmatullahi wabarakatuh
(catatan : klo ada yang menggunakan akun fb saya itu bukanlah akun saya karena akun fb saya sudah lama terkunci dan saya hanya dapat menggunakan email saya sebagai media komunikasi saya)
#Ghafoer
Pertama, artikelnya masih ada di sini https://muslim.or.id/hadits/awas-hadits-hadits-palsu.html
Kedua, hadits tersebut adalah hadits palsu. Hadits palsu itu hakikatnya bukan hadits. Dan tidak ada seorang ulama pun yang mengatakan hadits ini shahih. Jadi karena ini bukan hadits, tidak perlu kita hiraukan dan kita tidak perlu berlelah-lelah mengurai penjelasan tentang kandungannya. Masih banyak sekali hadits-hadits shahih yang belum anda dan kita semua pelajari dan pahami,
Ketiga, berbicara masalah agama itu sangat serius dan hati-hati. Jangan berbicara kecuali memiliki ilmu, yaitu dalil Qur’an dan Hadits serta cara memahami keduanya. Tidak boleh bicara agama sekadar mengandalkan ‘menurut saya’ atau interpretasi pribadi terhadap terjemahan ayat Qur’an.
#Yulian Purnama
Pertama, bukan artikel itu yang kumaksud ini url artikel yang saya maksud https://muslim.or.id/hadits/tuntutlah-ilmu-sampai-ke-negeri-china.html. artikel tersebut sudah raib entah kemana.
Kedua dan ketiga,saya sudah sebutkan bahwa saya tidak mengatakan bahwa hadits tersebut shahih.memang masih banyak hadist lain yang belum saya pelajari tentunya itu memakan waktu yang cukup lama, bukankah Al quran diturunkan kepada Rasulullah secara berangsur-angsur(22 tahun lebih).dan juga yang saya sebutkan disitu bukan hadits atau pepatah lama tetapi itu adalah ayat Quran(Al Kahfi 60) bukankah Al quran merupakan pegangan yang paling tinggi derajatnya?lagi pula kalau ditinjau dari segi ilmu geografis china terletak diantara dua buah samudera yakni samudera hindia dan samudera pasifik sedangkan nabi musa merupakan orang mesir tentunya Beliau mengarungi lautan melalui laut merah kemudian keluar kelautan bebas(samudera hindia)……..!
Akan tetapi inti dari wacana yang saya ingin sampaikan bukanlah tentang keutamaan negara china tetapi lebih kepada Kandungan Al Quran tentang perintah Allah untuk menuntut ilmu agar umat muslim tidak bodoh sehingga jauh dari kekufuran.
(catatan : Al Quran yang saaya pakai adalah Al Quran dan terjemahan hadiah dari Khadim al Haramain asy Syarifain(Pelayan kedua Tanah suci) Raja Fahd ibn’ Abd al’Azis Al Sa’ud)
sekali lagi saya ucapkan terima kasih atas koreksinya dan juga saya mohon maaf apabila ada kalimat saya yang salah.
Assalamu’alaikum
Memuntut ilmu tentu saja wajib, bahkan wajib atas setiap muslim sebagaimana dalam sabda Rasulullah dalam riwayat Imam Ibnu Majah, dan yang dapat dipahami ilmu disini adalah ilmu agama, karena begitu banyak keutamaan mempelajari ilmu agama islam ini daripada ilmu dunia dengan tidak mengesampingkan ilmu dunia tentunya, karena dengan mempelajari ilmu agama pada hakikatnya kita ingin mewujudkan hakikat Ubudiyah pada Allah Azza wa Jalla dan mempersiapkan bekal untuk kehidupan di akhirat kelak, yang ini semua adalah Semulia-mulianya Tujuan Seorang Muslim.
Wallahu’alam
Bismillah,
Kepada penulis dan pengurus web,
Assalaamualaikum warahmatullah wabarakaatuh
Membaca reply dari Mas Penulis web, menunjukkan masih memiliki perspektif pembahasaan satu arah tercermin dari “saya lulusan terbaik di jurusan, saya sekarang S2 di Saudi dan sedang mensinergikan dengan ilmu agama”. Saya maklum, insyallah saya yakin ke depan akan ada perbaikan. Namanya juga masih belajar. Saya kira itu hanya masalah pilihan judul dan beberapa unsur kalimat tertentu saja yang menimbulkan sedikit polemik.
1. Mohon dipahami bahwa pembaca dan pengamat web ini bukan lagi seumur para pengurus. Banyak yang jauh lebih tua dan mungkin pencapaian keilmuwan juga tidak diremehkan sebagai orang awam. Contoh salah satu pemberi saran adalah lulusan master teknik sipil (finite element) dari Ecole Paris. Waktu di Perancis mendapatkan hidayah dan kini menetapi manhaj salaf dan tinggal di Timur Tengah. Mengalahkan debat insinyur dan doktor konsultan asal jerman. Belum lagi pengamat dan pembaca yang lain yang muadzhim sunnah (Saya tidak berharap direply “apa aku harus bilang wow, gitu ?)
2. Mohon kepada pengurus web jika mereply kepada orang yang belum kenal sebaiknya tidak langsung memanggil nama. Tentu akan lebih sopan jika memanggil dengan Al Akh, Al Ukh, Ibu, Bapak dan yang sejenisnya. Bisa jadi pembaca web ini seumur Bapak Anda. Walau lebih bodoh dan jahil dalam agama, tetapi tidak salahnya lebih menghormati orang yang lebih tua. Atau mencoba ramah terhadap pengunjung/tamu walau masih jauh lebih muda atau seumur, bisa mempererat ukhwah dan rahmat.
3. Tidak semua reply harus didisplay di web (termasuk komen saya ini) jika dirasa menimbulkan ekses negatif atau polemik baru. Bisa direply ke langsung komentor via email yang tercantum.
Mungkin saat ini belum bisa dipahami secara penuh, tapi by time mungkin akan ada penyesuaian.
Semoga website ini menjadi salah satu washilah perbaikan umat Islam di INdonesia…!
wassalaamualaikum
ZP
wa3alaikumussalam warahmatullah.
Jazakumullah khairan kepada Pak Zunardip untuk comment dan sarannya, terkhusus untuk saran/kritik kepada kami sebagai penulis.
Beberapa tanggapan kami:
1. Untuk comment: Membaca reply dari Mas Penulis web, menunjukkan masih memiliki perspektif pembahasaan satu arah tercermin dari “saya lulusan terbaik di jurusan, saya sekarang S2 di Saudi dan sedang mensinergikan dengan ilmu agama”.
Semoga bisa dipahami agar Bapak dan saya sama-sama tidak terjebak dalam salah sangka/suuzhon: bahwa perkataan kami di atas hanyalah tanggapan terhadap anggapan komentator sebelumnya, bahwa artikel ini mengarahkan pembaca untuk: “mari belajar agama saja, tidak penting belajar ilmu dunia”.
Karena anggapan tersebut tidaklah benar, maka kami cukup sekedar memberi contoh. Tidak ada keinginan, dan Allah Maha Mengetahui itu, untuk ‘agar mereka tahu’, ‘asal tahu saja’, pamer, dan semacamnya.
Pun seandainya teringat, kami juga ingin memberi contoh tentang Ust. Fauzan yang lulus Tekkim dan belajar di Madinah, juga Akh Andy Octavian yang S3 dan akan belajar di Madinah (insya Allah), dll.
Kami berlindung kepada Allah dari keinginan segala bentuk ‘pamer’ dan ingin dikenal pun dipuji, baik pamer itu terang2an, maupun ‘pura-pura tidak pamer’ agar justru dikenal dan dipuji, atau semacamnya.
2. Memang benar apa yang Bapak sampaikan, tentang menghormati, walau di dunia maya kepada orang yang tidak dikenal/terlihat. Semoga menjadi masukan yang baik untuk penulis, pengelola web dan pembaca lainnya.
Syukron.
Assalamulaikum warahmatullah wabarakatuh
Sebelumnya saya mengucapkan terima kasih atas wacananya, mudah-mudahan berguna. Semoga Allah membalas semua pihak yang terlibat dalam pembuatan wacana ini dengan balasan yang lebih baik.
Kita tentu sepakat bahwa ilmu keduniaan dan ilmu agama keduanya sama-sama penting. Ilmu agama karena ia menerangkan hubungan dan tanggung jawab umat manusia terhadap Allah. Sedangkan ilmu duniawi karena menguak rahasia-rahasia dunia ciptaan Allah ini untuk dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi umat manusia. Mengingat keadaan banyak orang sekarang ini yang terlalu mencibir kegunaan ilmu agama jika dibandingkan dengan ilmu keduniaan, maka penulis sudah tepat dalam meluruskan pandangan kita mengenai amanat wacana ini, yaitu mengingatkan kita umat Islam agar lebih peduli untuk menimba ilmu agama, bukan mengatakan bahwa ilmu keduniaan tidaklah penting.
Akan tetapi dapat dilihat pula dari tanggapan-tanggapan di atas bahwa ada sebagian pembaca yang kurang memahami maksud dari penulis, itu juga hal wajar, karena terdapat beberapa kalimat yang menurut hemat saya kurang baik untuk dicantumkan dan agak bertentangan dengan amanat penulis sendiri. Coba kita lihat judul wacana ini! Masuk surga jelas lebih baik daripada sekedar pergi ke bulan. Tetapi tentu tidak dengan “Membiarkan” begitu saja prestasi pergi ke bulan dimonopoli orang kafir. Tidaklah tepat kalau prestasi tersebut dikatakan hanya sekedar penyombongan diri mereka atas Islam. Dan menurut hemat saya, tidaklah tepat mengatakan bahwa pergi ke bulan tidak bermanfaat hanya karena hidup manusia terus berlangsung tanpa harus pergi ke sana. Penemuan-penemuan yang kita sekarang ini susah untuk hidup tanpanya, misalnya pesawat terbang, ponsel, komputer dan sebagainya, semuanya lahir dari angan-angan dan khayalan yang pada masa itu tidak dibutuhkan. Pengembangan kelistrikan, sebagai contoh, memerlukan ratusan tahun penuh dengan penelitian-penelitian (Misalnya Faraday dan Oersted) yang pada masa itu tidak diketahui hakekat dan manfaat darinya.
Mengenai bagian tulisan yang lain, seperti pada butir ketiga Fawa’id, saya ingin menukil hadis Rasulullah “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia (lain)”. Bukankah memperjuangkan teknologi demi kemaslahatan umat manusia adalah baik, berdasarkan hadis tersebut? Kalau menurut saya, dalam membandingkan ilmu agama dan ilmu keduniaan, keduanya sama-sama penting (Bukan “sama pentingnya”). Saya sependapat bahwa setiap orang harus memahami ilmu agama dan tidak harus “pergi ke bulan” (menguasai semua ilmu duniawi). Dalam hal itulah ilmu agama teristimewakan, tetapi tidak untuk mengatakan kita tidak usah berbangga dan berlomba-lomba dalam teknologi.
Terakhir, dari wacana ini kita semua sama-sama belajar, bahwa membuat wacana seperti ini sangatlah susah dan menata kalimat demi kalimat dalam rangka dakwah seperti ini tidaklah mudah. Dan Allah-lah yang Maha Mengetahui.
Wassalamualaikum warahmatullah wabarakatuh
Alhamdulillah..
Semenjak saya kenal website ini, pemahaman dan kebenaran juga kemurnian aqidah As-Salaf semakin jelas di hati saya..
semoga artikel ini menjadi pahala & amal jariyyah buat penulis.
Jazakallahu khairan akhi..
Assalammualaikum. saya ingin bertanya ada teman saya yang menanyakan kepada saya tentang tuhan itu cewe atau cowo . saya harus jawab apa ? saya takut salah bicara . terima kasih
Wa’alaikumussalam, Allah Ta’ala itu bukan makhluk dan tidak seperti makhluk. Karena Dzat Allah itu adalah perkara gaib, maka kita wajib mencukupkan diri dengan sifat-sifat yang disebutkan dalam Al Qur’an.