Tauhid adalah sesuatu yang sudah akrab di telinga kita. Namun tidak ada salahnya kita mengingat beberapa keutamaan dan pentingnya tauhid. Karena dengan begitu bisa menambah keyakinan kita atau meluruskan tujuan sepak terjang kita yang selama ini yang mungkin keliru. Karena melalaikan masalah tauhid akan berujung pada kehancuran dunia dan akhirat.
[lwptoc]
Tujuan Diciptakannya Makhluk Adalah untuk Bertauhid
Allah Ta’ala berfirman, “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. Adz Dzariyaat: 56).
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, yaitu tujuan mereka Kuciptakan adalah untuk Aku perintah agar beribadah kepada-Ku, bukan karena Aku membutuhkan mereka (Tafsir Al Qur’anul ‘Adzhim, Tafsir surat Adz Dzariyaat).
Makna menyembah-Ku dalam ayat ini adalah mentauhidkan Aku, sebagaimana ditafsirkan oleh para ulama salaf.
Tujuan Diutusnya Para Rasul Adalah untuk Mendakwahkan Tauhid
Allah Ta’ala berfirman, “Sungguh telah Kami utus kepada setiap umat seorang Rasul (yang mengajak) sembahlah Allah dan tinggalkanlah thoghut.” (QS. An Nahl: 36).
Thoghut adalah sesembahan selain Allah.
Syaikh As Sa’di berkata, Allah Ta’ala memberitakan bahwa hujjah-Nya telah tegak kepada semua umat, dan tidak ada satu umatpun yang dahulu maupun yang belakangan, kecuali Allah telah mengutus dalam umat tersebut seorang Rasul. Dan seluruh Rasul itu sepakat dalam menyerukan dakwah dan agama yang satu yaitu beribadah kepada Allah saja yang tidak boleh ada satupun sekutu bagi-Nya (Taisir Karimirrohman, Tafsir surat An Nahl).
Beribadah kepada Allah dan mengingkari thoghut itulah hakikat makna tauhid.
Tauhid Adalah Kewajiban Pertama dan Terakhir
Rasul memerintahkan para utusan dakwahnya agar menyampaikan tauhid terlebih dulu sebelum yang lainnya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ta’ala ‘anhu, “Jadikanlah perkara yang pertama kali kamu dakwahkan ialah agar mereka mentauhidkan Allah.” (Riwayat Bukhori dan Muslim).
Nabi juga bersabda, “Barang siapa yang perkataan terakhirnya Laa ilaaha illalloh niscaya masuk surga.” (Riwayat Abu Dawud, Ahmad dan Hakim dihasankan Al Albani dalam Irwa’ul Gholil).
Tauhid Adalah Kewajiban yang Paling Wajib
Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan Allah mengampuni dosa selain itu bagi orang-orang yang Dia kehendaki.” (QS. An Nisaa’: 116).
Sehingga syirik menjadi larangan yang terbesar. Sebagaimana syirik adalah larangan terbesar maka lawannya yaitu tauhid menjadi kewajiban yang terbesar pula. Allah menyebutkan kewajiban ini sebelum kewajiban lainnya yang harus ditunaikan oleh hamba.
Allah Ta’ala berfirman, “Sembahlah Allah dan janganlah kamu menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, dan berbuat baiklah pada kedua orang tua.” (QS. An Nisaa’: 36)
Kewajiban ini lebih wajib daripada semua kewajiban, bahkan lebih wajib daripada berbakti kepada orang tua. Sehingga seandainya orang tua memaksa anaknya untuk berbuat syirik maka tidak boleh ditaati.
Allah Ta’ala berfirman, “Dan jika keduanya (orang tua) memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya…” (QS. Luqman: 15)
Hati yang Saliim Adalah Hati yang Bertauhid
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketahuilah di dalam tubuh itu ada segumpal daging, apabila ia baik maka baiklah seluruh tubuh. Ketahuilah bahwa ia adalah hati.” (Riwayat Bukhori dan Muslim).
Allah Ta’ala berfirman, “Hari dimana harta dan keturunan tidak bermanfaat lagi, kecuali orang yang menghadap Allah dengan hati yang saliim (selamat).” (QS. Asy Syu’araa’: 88-89).
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, yaitu hati yang selamat dari dosa dan kesyirikan (Tafsir Al Qur’anul ‘Adzhim, Tafsir surat Asy Syu’araa’).
Maka orang yang ingin hatinya bening hendaklah ia memahami tauhid dengan benar.
Tauhid Adalah Hak Allah yang Harus Ditunaikan Hamba
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hak Allah yang harus ditunaikan hamba yaitu mereka menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun…” (Riwayat Bukhori dan Muslim).
Menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya artinya mentauhidkan Allah dalam beribadah. Tidak boleh menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun dalam beribadah, sehingga wajib membersihkan diri dari syirik dalam ibadah. Orang yang tidak membersihkan diri dari syirik maka belumlah dia dikatakan sebagai orang yang beribadah kepada Allah saja (diringkas dari Fathul Majid).
Ibadah adalah hak Allah semata, maka barangsiapa menyerahkan ibadah kepada selain Allah maka dia telah berbuat syirik. Maka orang yang ingin menegakkan keadilan dengan menunaikan hak kepada pemiliknya sudah semestinya menjadikan tauhid sebagai ruh perjuangan mereka.
Tauhid Adalah Sebab Kemenangan di Dunia dan di Akhirat
Para sahabat dari kalangan Muhajirin dan Anshor radhiyallahu ta’ala ‘anhum adalah bukti sejarah atas hal ini. Keteguhan para sahabat dalam mewujudkan tauhid sebagai ruh kehidupan mereka adalah contoh sebuah generasi yang telah mendapatkan jaminan surga dari Allah serta telah meraih kemenangan dalam berbagai medan pertempuran, sehingga banyak negeri takluk dan ingin hidup di bawah naungan Islam. Inilah generasi teladan yang dianugerahi kemenangan oleh Allah di dunia dan di akhirat.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Orang-orang yang terdahulu (masuk Islam) dari kalangan Muhajirin dan Anshor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah telah ridho kepada mereka dan mereka pun telah ridho kepada Allah. Allah telah menyiapkan bagi mereka surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At Taubah: 100)
Namun sangat disayangkan, kenyataan umat Islam di zaman ini yang diliputi kebodohan bahkan dalam masalah tauhid! Maka pantaslah kalau kekalahan demi kekalahan menimpa pasukan Islam di masa ini. Ini menunjukkan bahwa ada yang salah dalam akidah.
Baca juga: Hubungan Diantara Tiga Macam Tauhid
Ketahuilah Bahwa Penghuni Surga Itu Sedikit
Yang jadi masalah adalah ketika penghuni surga jumlahnya sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah penghuni neraka sebagai mana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Allah berfirman: “Wahai Adam!” maka ia menjawab: “Labbaik wa sa’daik” kemudian Allah berfirman: “Keluarkanlah dari keturunanmu delegasi neraka!” maka Adam bertanya: “Ya Rabb, apakah itu delegasi neraka?” Allah berfirman: “Dari setiap 1000 orang 999 di neraka dan hanya 1 orang yang masuk surga.” Maka ketika itu para sahabat yang mendengar bergemuruh membicarakan hal tersebut. Mereka bertanya: “Wahai Rasulullah siapakah di antara kami yang menjadi satu orang tersebut?” Maka beliau bersabda: “Bergembiralah, karena kalian berada di dalam dua umat, tidaklah umat tersebut berbaur dengan umat yang lain melainkan akan memperbanyaknya, yaitu Ya’juj dan Ma’juj. Pada lafaz yang lain: “Dan tidaklah posisi kalian di antara manusia melainkan seperti rambut putih di kulit sapi yang hitam, atau seperti rambut hitam di kulit sapi yang putih.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Padahal kita ketahui bahwa kaum muslimin saat ini adalah hampir separuh penduduk dunia dan terus bertambah, sedangkan kaum kuffar di Eropa jumlahnya kian berkurang karena mereka ‘malas’ untuk menikah dan punya anak. Bahkan ada di antara negara-negara Eropa yang memberikan tunjangan agar penduduknya mau menikah dan punya anak.
Kabar yang sedikit menggembirakan kita adalah kenyataan bahwa Ya’juj dan Ma’juj yang akan keluar menjelang hari kiamat itu jumlahnya sangat banyak, hingga mampu meminum air danau thobariah hingga kering, sebagaimana dikabarkan dalam hadits yang shahih. Akan tetapi kita tidak mengetahui berapa perbandingan sebenarnya antara orang yang mengaku islam dengan orang-orang kafir. Sedangkan orang yang mengaku Islam dan mengucapkan kalimat syahadat belum tentu masuk surga. Sebab…
Mengucapkan Kalimat Syahadat Bukan Jaminan Masuk Surga
“Wah, ngawur ente!!” (berdasarkan hadits “Siapa yang mengucapkan laa ilaaha illallah akan masuk surga”). Mungkin itu komentar yang muncul, setelah membaca sub judul di atas. Akan tetapi yang kami maksudkan di sini adalah, bahwa hanya sekedar perkataan tidaklah bermanfaat bagi kita jika kita tidak memahami dan mengamalkan maknanya. Karena kaum munafik juga mengatakan kalimat tersebut, mereka juga sholat, puasa, mengeluarkan zakat, dan pergi haji seperti kaum muslimin yang lainnya. Akan tetapi, mengapa kaum munafik ditempatkan pada jurang neraka yang paling dasar? Allah berfirman,
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَن تَجِدَ لَهُمْ نَصِيراً
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka.” (QS. An-Nisaa’: 145)
Yang lebih mengherankan, apa yang menyebabkan mereka tidak bisa menjawab 3 pertanyaan yang mudah (siapa Rabbmu? apa agamamu? dan siapa nabimu? di dalam kubur?).
Jawaban mereka adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
هاه، هاه، لا أدري، سمعت الناس يقولون شئ فقلته
“Hah… hah… aku tidak tahu, aku mendengar orang mengatakan sesuatu, kemudian aku mengatakan hal tersebut.”
Pertanyaannya memang mudah, tetapi menjawabnya sangatlah sulit. Karena hati manusia di akhirat merupakan hasil dari perbuatannya di dunia. Jika di dunia dia meremehkan agamanya, maka dia tidak akan bisa mengatakan bahwa agamanya adalah Islam. Sekarang, jika kaum munafik yang mengucapkan syahadat kemudian mengamalkan sholat, puasa, zakat, dan haji, tidak dianggap telah mengamalkan makna syahadat, maka apa sih makna syahadat yang (harus kita amalkan) sebenarnya?
Makna Kalimat Syahadat “Laa Ilaaha Illallah“
Makna kalimat syahadat tersebut bukanlah pengakuan bahwa Allah adalah pencipta, pemberi rezeki dan pengatur seluruh alam semesta ini. Karena orang Yahudi dan Nasrani juga mengakuinya. Akan tetapi mereka tetap dikatakan kafir. Bahkan kaum musyrikin yang diperangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga meyakini hal tersebut. Sebagaimana difirmankan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam banyak ayat di Al Quran, di antaranya adalah:
قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنْ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنْ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنْ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ
Katakanlah (wahai Muhammad): “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah”. Maka katakanlah “Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?” (QS. Yunus: 31)
Bahkan kaum musyrikin tersebut mengatakan bahwa penyembahan mereka terhadap berhala-berhala yang merupakan patung orang-orang shalih itu adalah dengan tujuan untuk mendapatkan syafaat mereka dan kedekatan di sisi Allah subhanahu wa ta’ala (sebagaimana para penyembah kuburan para wali di sebagian negeri kaum muslimin). Hal tersebut dinyatakan dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala berikut:
وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى
Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (QS. Az-Zumar: 3)
وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللَّهِ
Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan mudarat dan manfaat bagi mereka, dan mereka berkata: “Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah.” (QS. Yunus: 18)
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ
“Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah.” (QS. Yusuf: 106)
Yaitu mengimani, bahwa Allah subhanahu wa ta’ala adalah pencipta, pemberi rezeki dan pengatur alam semesta, akan tetapi mempersekutukan-Nya dalam peribadatan. Secara ringkas makna syahadat “Laa ilaaha illallah” adalah tidak ada sembahan yang haq (benar) kecuali Allah.
Seorang yang bersaksi dengan kalimat tersebut harus meninggalkan pengabdian kepada selain Allah dan hanya beribadah kepada Allah saja secara lahir maupun batin. Sama saja, baik yang dijadikan sembahan selain Allah itu malaikat, nabi, wali, orang-orang shalih, matahari, bulan, bintang, batu, pohon, jin, patung dan gambar-gambar. Jika kita masih merasa tenang dengan menganggap diri kita adalah ahli tauhid serta memandang remeh untuk mendalami dan medakwahkannya maka perhatikanlah beberapa hal berikut:
Tujuan Penciptaan Jin dan Manusia Adalah untuk Mentauhidkan Allah
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka (hanya) menyembahku.“ (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Seseorang tidaklah dianggap telah beribadah kepada Allah jika dia masih berbuat syirik, sebab amalan ibadah dari orang yang mempersekutukan Allah akan dihapuskan dan tidak bermanfaat sedikit pun di sisi Allah.
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنْ الْخَاسِرِينَ
Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar: 65)
Karena tauhid adalah menunggalkan Allah dalam peribadatan, maka syirik membatalkan tauhid sebagaimana berhadats dapat membatalkan wudhu. Jika sholatnya orang yang berhadats tidaklah sah, dalam arti kata belum dianggap telah melakukan sholat sehingga harus diulangi, maka begitu pun syirik jika mencampuri tauhid, akan merusak tauhid tersebut dan membatalkannya.
Tauhid Merupakan Tujuan Diutusnya Para Rasul
Sebelumnya manusia adalah umat yang satu, berasal dari Nabi Adam ‘alaihissalam. Mereka beriman dan menyembah hanya kepada Allah saja. Kemudian datanglah syaitan menggoda manusia untuk mengada-adakan bid’ah dalam agama mereka. Bid’ah-bid’ah kecil yang semula dianggap remah saat generasi berganti generasi, bid’ahnya pun semakin menjadi. Hingga pada akhirnya menggelincirkan mereka kepada bid’ah yang sangat besar, yaitu kemusyrikan.
Iblis terbilang cukup ‘sabar’ dalam melancarkan aksinya selama sepuluh abad untuk menggelincirkan keturunan Adam ‘alaihissalam kepada kemusyrikan -sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu (lihat “Kisah Para Nabi”, Ibnu Katsir)- Hingga tatkala seluruhnya tenggelam dalam kemusyrikan, Allah subhanahu wa ta’ala mengutus Nuh ‘alaihi salam.
Demikianlah, setiap kali kemusyrikan merajalela pada suatu kaum, maka Allah mengutus rasul-Nya untuk mengembalikan mereka kepada tauhid dan menjauhi syirik.
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُواْ اللّهَ وَاجْتَنِبُواْ الطَّاغُوتَ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thoghut (sembahan selain Allah).” (QS. An Nahl: 36)
وَمَا أَرْسَلنَا مِن قَبلِكَ مِنْ رََسُولٍ إِلا نُوحِي إلَيهِ أنَّه لا إِلهَ إلا أنَا فَاعْبُدُونِ
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: bahwa tidak ada sembahan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.” (QS. Al Anbiya: 25)
Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, Allah subhanahu wa ta’ala tidak lagi mengutus rasul. Hal ini bukanlah dalil bahwa kemusyrikan tidak akan pernah terjadi lagi seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagaimana dikatakan beberapa orang. Akan tetapi Allah subhanahu wa ta’ala menjamin bahwa akan senantiasa ada segolongan dari umat ini yang berada di atas tauhid dan mendakwahkannya, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim.
Tauhid Adalah Kewajiban Pertama Bagi Manusia Dewasa dan Berakal
Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa mendahulukan perintah tauhid dan menjauhi syirik, sebelum memerintahkan yang lainnya dalam setiap firmannya di Al Quran.
وَاعْبُدُواْ اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئًا وَبِالوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي القُرْبَى وَاليَتَامَى وَالمَسَاكِيْنَ وَالْجَارِ ذِي القُرْبَى وَالجَارِ الجُنُبِ والصَّاحِبِ بِالجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيْلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan suatu apapun. Dan berbuat baiklah pada kedua orang tua (ibu & bapak), karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabiil dan hamba sahayamu.” (QS. An Nisa: 36)
Pelanggaran Tauhid Adalah Keharaman yang Terbesar
قُلْ تَعَالَوْاْ أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلاَّ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئًا
“Katakanlah: marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: Janganlah kamu mempersekutukan suatu apapun dengan Dia, dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua…” (QS. Al An’am: 151)
Allah mendahulukan penyebutan pengharaman syirik sebelum yang lainnya, karena keharaman syirik adalah yang terbesar.
Tauhid Harus Diajarkan Sejak Dini
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada Ibnu Abbas tentang tauhid sejak beliau masih kecil.
إذا سألت فاسأل الله و إذ استعنت فستعن بالله
“Jika engkau hendak memohon, maka mintalah kepada Allah, jika engkau hendak memohon pertolongan, maka memohonlah kepada Allah.” (HR. Tirmidzi)
Tauhid Adalah Materi Dakwah yang Pertama Kali Harus Diserukan
Saat mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إنك تأتي قوما من أهل الكتاب فليكن أول ما تدعوهم إليه شهادة أن لا إله إلا الله – و في رواية : إلي أن يوحدوا الله
“Sesungguhnya kamu akan mendatangi kaum Ahli Kitab, maka hendaklah dakwah yang pertama kali engkau serukan kepada mereka adalah syahadat Laa ilaaha illallah (dalam riwayat lain disebutkan: agar mereka menauhidkan Allah).” (HR. Bukhari, Muslim)
Jika kita masih menganggap bahwa, itu jika yang menjadi objek dakwah kita adalah orang kafir. Jika kaum muslimin maka tidak demikian. Maka ingatlah, betapa banyak kaum muslimin yang jika tidak mendapatkan kesembuhan dari penyakit secara medis mereka berbondong-bondong mengunjungi dukun atau yang dikenal dengan istilah sekarang sebagi paranormal.
Ingatlah, betapa banyak kaum muslimin yang tinggal di pesisir pantai yang melakukan penyembelihan kurban kepada selain Allah (baca: Nyi Roro Kidul) yang mereka istilahkan dengan sedekah laut. Ingatlah, betapa banyak kaum muslimin yang menyembelih kerbau untuk ditanam kepalanya di bawah jembatan yang hendak mereka bangun, sebagai persembahan agar mereka tidak diganggu oleh jin penunggu daerah tersebut?
Berapa banyak kemusyrikan-kemusyrikan yang merajalela di tengah umat ini, sedangkan sebagian kaum muslimin yang lain mengatakan bahwa hal tersebut adalah ‘kebudayaan’ bangsa yang harus dilestarikan? Betapa sedikitnya kaum muslimin yang memahami dan mengamalkan tauhid? Lahan dakwah tauhid masih terlalu luas, akankah kita berdiam diri dan tetap meremehkan masalah ini? Wallahu waliyyut taufiiq.
Baca juga: Makna Tauhid
—
Rujukan:
- Firqotun Naajiyah (Syaikh Muhammad bin Jamil Zaini)
- Syarah Qowaidul Arba’ (Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Aalu Syaikh)
- Mutiara Faidah Kitab Tauhid (Ustadz Abu Isa Abdullah bin Salam)
—
Penulis: Abu Yahya Agus Wahyu (Alumni Ma’had Ilmi)
Murojaah: Ustaz Afifi Abdul Wadud
Artikel: Muslim.or.id
Kita harus banyak belajar masalah Tauhid dengan membaca kisah-kisah para Sahabat dari kalangan Anshor dan Muhajirin
Mengapa seruan da’wahnya meminta sedikit waktu. Padahal sudah jelas ayat 51:56 bahwa kita diciptakan untuk mengabdi kepada Allah. Ayat tersebut harus disikapi dengan moral yang tinggi. Karena bila tidak, memang benar seakan Allah yang membutuhkan kita, padahal kita yang membutuhkan Allah. Sebagai contoh, manusia yang bekerja disebuah instansi ataupun perusahaan yang mendapatkan gaji. Lantas apa kesadaran apa yang terbentuk pada orang tersebut. Tentunya : 1. Dia sadar bahwa dia seorang karyawan, 2. Dia harus bekerja sebaik mungkin untuk mendapatkan nilai lebih di mata bossnya. Inilah moral ataupun akhlaq yang terbentuk dari seorang karyawan. Lantas apa moral yang sudah terbentuk dari kita, dimana Allah telah menciptakan kita, memberikan tempat tinggal serta memberikan rizki kepada kita ?? Makanya ini layak untuk kita pikirkan (-ed) bersama.
Assalamualaikum…
Duhai Allah Yang Menguasai Alam Semesta ini…sebaiknya para ulama dan para guru terus mengajarkan tentang ke tauhidan, karena sangat penting nya, apalagi dunia ini sudah banyak sekali yang menyekutukan Allah Yang Maha Esa. mudah2an Allah membimbing para ulama agar terus dan terus mengajarkan tauhid kepada kita……mungkin dengan kita belajar tentang tauhid akan menyatukan umat islam yang selalu merasa dirinya sudah benar….Allah Dekat dengan kita.
Mohon dapat lebih diperjelas mana yg masukkategori syirik. Karena jika hanya berdasarkan dalil-dalil umum, maka kita akan sering berbenturan dengan pengetahuan yg kita peroleh. Seperti jika menyembah kepada selain Allah adalah syirik, maka mengapa malaikat diperintahkan untuk sujud kepada Adam ketika Adam diciptakan? Kemudian, jika menciumi kuburan orang-orang shaleh dikatakan syirik, mengapa batu hitam di Ka’bah dianjurkan untuk dicium ketika Thawaf? Kemudian jika berharap selain Allah dikatakan syirik, mengapa bertawassul kepada orang-orang shaleh diperkenankan?
Mohon dapat dijelaskan
Salam
Maaf, ada yg ingin sy koreksi dari pernyataan Ustadz di atas. Yakni Ustdaz mengatakan bahwa keberhasilan pemerintahan Islam dahulu di jaman sahabat dan tabi’in adalah dikarenakan ketauhidan (lawan dari syirik) mereka sehingga banyak negeri yg takluk dan bergabung serta menyatakan keislaman mereka. Benarkah demikian bahwa ketidaksyirikan para sahabat dan tabiin yang menyebabkan kemenangan sehingga Ustadz menyatakan di akhir kalimat:
“Namun sangat disayangkan, kenyataan umat Islam di zaman ini yang diliputi kebodohan bahkan dalam masalah tauhid! Maka pantaslah kalau kekalahan demi kekalahan menimpa pasukan Islam di masa ini. Ini menunjukkan bahwa ada yang salah dalam akidah”
Jika demikian halnya, maka seharusnya kemenangan peperangan dan kebesaran negeri tidak mungkin didapat oleh negeri yang melakukan kesyirikan. Benar bukan?
Namun ternyata banyak sekali contoh negeri-negeri yg pernah mendapatkan kemakmuran dan berlawanan dengan pernyataan Ustadz di atas. Di negeri ini saja sebelum Islam dikenal, dimana penyembahan terhadap berhala masih merajai, pernah terdapat pemerintahan yg konon sangat terkenal dan makmur. Peperangan-peperangan selalu dimenangkan. Daerah-daerah lain bahkan negeri-negeri tetangga pun ditaklukan. Salah satunya adalah kerajaan Majapahit. Apa yang ingin kita tafsirkan dengan kenyataan ini? Beragama tauhidkah mereka? Tidak syirikkah mereka?
Selain itu juga banyak contoh-contoh lain sebagaimana maklum.
Jadi menurut saya, kemenangan demi kemenangan yg diperoleh oleh pemerintah Islam jaman dahulu adalah tidak ada kaitannya dengan kesyirikan atau keaqidahan yang lemah. Banyak faktor yg menyebabkannya dan terlalu sempit jika dihubungkan dengan keaqidahan.
Salam
Mas Armand, jika Anda baca kisah Majapahit maka Anda akan mendapatkan kenyataan bahwa kejayaan kerajaan tersebut tidak berlangsung lama. Tragedi berdarah dan berbagai huru-hara tidak pernah lepas dari Majapahit. Saya yakin Anda juga membaca kisah pahit tentang berakhirnya kerajaan Majapahit :)
Sejarah sudah membuktikan bahwa suatu negara yang penuh dengan kesyirikan tidak akan berlangsung lama. Sekian abad Romawi, Yunani dan Persia menjadi negara besar dan jaya, namun sekarang tenggelam dengan akhir yang mengenaskan…
Mas Abdul Jabar,
Pemain basket dunia beralih menjadi komentator? :)
Artinya kita mahfum di satu titik, bahwa kerajaan Majapahit yg sy contohkan pernah mengalami masa-masa kejayaannya. Lama atau tidak relatif dan subjektif bukan?
Fokus yang ingin sy tanyakan adalah mengapa kerajaan Majapahit mampu memenangi banyak pertempuran dan mengalami kejayaan, padahal sementara itu mereka melakukan kesyirikan?
Jika kemudian Majapahit mengalami kehancuran, alasan tentu bukan karena kesyirikan, karena dengan kesyirikan pun mereka mengalami kejayaan.
Jadi jika kita bandingkan seperti ini;
Islam pernah mengalami kejayaan. Majapahit pernah mengalami kejayaan. Apa yg menjadikan keduanya pernah jaya? Ketidaksyirikankah? Pasti bukan.
Salam
Bismillah,
@Armand Saudaraku
Antum tidak salah ketika mengatakan bahwa Allah memberikan kemenangan terhadap orang kafir atau negara kafir, karena itu sebuah bentuk dari azab Allah kepada kaum muslimin ketika mereka semakin jauh dari Al Qur’an dan As Sunnah.
Coba kita lihat jaman jahiliyyah dulu, sebelum agama tauhid ini masuk, bukankah di berbagai belahan dunia dikuasai oleh orang kafir ?, lalu ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salam menyiarkan islam, dan umat berbondong-bondong masuk ke dalam dien ini, maka Allah menimpakan kepada mereka kemenangan, walaupun jumlah mereka sedikit.
Sudah masyhur kisah perang Badr…300an orang melawan ribuan musyrikin…Allah menimpakan kemenangan kepada kaum muslimin, sebab mereka mematuhi Allah dan Rasul-Nya.
Kemudian pada perang Uhud, Allah menimpakan kekalahan kepada kaum muslimin, sebab sebagian dari mereka tidak mentaati Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salam. Walaupun setelah itu Allah memberikan kepada mereka kemenangan.
Apabila pada waktu perang Uhud kaum muslimin ditimpa kekalahan karena ada sebagian orang yang tidak mematuhi Allah dan Rasul-Nya (masalah ghanimah), maka bagaimana dengan jaman sekarang ?,
dimana banyak kaum muslimin yang semakin jauh dari agama, menyelisihi banyak perintah Allah dan Rasul-Nya, meracuni aqidah mereka dengan syirik, bid’ah, khurafat, dsb
Tentu Kemalangan atau kekalahan yang di timpakan kepada kaum muslimin lebih besar lagi…lebih dahsyat lagi.
Ketahuilah bahwa dunia beserta isinya, termasuk didalamnya ciptaan Allah yang berupa kekafiran, kesesatan, dsb adalah cobaan bagi setiap orang-orang mukmin.
Yang menjadi Obyek untuk menerima ujian atau cobaan adalah orang-orang mukmin, sedangkan orang-orang kafir diciptakan sebagai salah satu bahan ujian untuk orang-orang mukmin.
Oleh karena itu jauh dekatnya kaum muslimin dari Al Qur’an dan As Sunnah, menjadi patokan besar kecilnya cobaan yang ditimpakan kepada mereka, semakin jauh mereka dari Al Qur’an dan As Sunnah, semakin kuat kuku-kuku orang kafir mencengkeram mereka.
Sultan Shalahuddin Al Ayyubi -rahimahullah- ketika sedang berjalan pada malam hari di bentengnya mengatakan :
“dari sinilah kemenangan akan datang” (ketika beliau menjumpai sebagian pasukannya sedang menunaikan shalat malam)
lalu beliau menjumpai sebagian pasukannya sedang tertidur lelap. maka beliau berkata “dari sinilah kekalahan akan datang”
Beliau juga pernah berkutbah di depan pasukannya :
“Janganlah kalian bermaksiat kepada Allah, karena sesungguhnya kita mengharapkan kemenangan dari Allah atas maksiat yang mereka (musuh) lakukan”
Kita tahu bahwa yang sedang di hadapi oleh Sultan Salahuddin adalah orang-orang kafir (pasukan salib), orang-orang yang melakukan sebesar-besarnya maksiat (menyekutukan Allah), orang-orang yang melampaui batas, orang-orang yang kekal di dalam neraka.
Tapi kenapa Sultan Salahuddin berkutbah seperti itu ?
Bukankah maksiat yang dilakukan kaum muslimin jauh lebih kecil dari yang dilakukan oleh orang kafir (menyekutukan Allah) ?
Kenapa tidak dikatakan kepada kaum muslimin,
“Tenang saja, kita pasti menang melawan mereka, walopun kita mencuri, berzina, judi, dsb…yang penting kita tidak menyekutukan Allah…” ??
Al Qur’an dan As Sunnah diturunkan sebagai pedoman hidup orang-orang yang beriman, perintah dan larangan yang ada di dalamnya ditujukan khusus untuk orang-orang yang beriman, dan dengan itu pula Allah menguji keimanan mereka..
Apabila mereka taat maka Allah akan menimpakan kejayaan kepada mereka, sedangkan apabila mereka berbuat maksiat, maka balasannya setimpal dengan maksiat yang mereka lakukan, dan Allah sekali-kali tidak berbuat zhalim, akan tetapi mereka yang menganiaya diri sendiri.
Kejayaan hanya bisa dicapai dengan kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah, bukan dengan sebab yang lain, coba tanyakan pada diri kita, apa yang tidak dimiliki oleh para Shahabat r.a. ??
Kejayaan, kemuliaan, keagungan ada dalam genggaman mereka, dunia mengikuti mereka seperti seorang budak yang patuh kepada tuannya, jasad mereka berjalan dibumi, tetapi hati mereka tergantung di langit.
Bandingkan dengan realita yang terjadi sekarang, kaum muslimin semakin jauh dari Al Qur’an dan As Sunnah, semakin meniru kebiasaan-kebiasaan mereka (orang kafir), mulai dari cara berpakaian, perilaku, cara beragama, ibadah..dsb, sungguh benar apa yang pernah dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salam, bahwa umat ini perlahan-lahan akan mengikuti mereka (orang kafir), sampai-sampai ketika mereka masuk ke dalam lubang biawak sekalipun akan kita ikuti.
Dalam QS. an-Nur : 55, Allah berfirman,
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengamalkan amal shalih, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhaiNya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap beribadah kepadaku dengan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku.”
Perhatikan baik-baik, ayat diatas merupakan kunci kejayaan umat ini, dan Allah tidak akan menyalahi janji-Nya.
“Tidak akan menjadi jaya umat islam yang sekarang ini, kecuali dengan segala sesuatu yang menjadikan jaya umat terdahulu”
Wallohu ta’ala a’lam
Semoga Allah memberikan hidayah-Nya kepada kita semua, agar umat ini kembali berjaya seperti dulu.amin
Assalamu’alaikum
Buat akhi armand, sebenarnya tidak hanya majapahit, ada kekaisaran Cina, Mongolia, Inggris Raya, Romawi, Persia, Alexander dll.
Kenapa mereka bisa jaya? Simpel saja pak, karena mereka lebih kuat, lebih hebat strateginya, lebih modern persenjataannya dibanding negeri2 lain pada masa mereka. Dan lawan mereka adalah sesama orang kafir, jadi disini sunnah kauniyah / hukum sebab-akibat berlaku. Siapa yg lebih kuat dia akan menang, jika sama2 kuat siapa yg lebih cerdik dia menang. Maka tidak dikenal dlm sejarah kerajaan2 itu, yang lemah menang melawan yg kuat. (Ingat, majapahit bs mengalahkan kediri dg bantuan tentara China)
Maka jika pertanyaannya bisakah Indonesia berjaya seperti majapahit dimasa lalu? jawabnya bisa, dengan cara sebagaimana yg ditempuh majapahit, dan lawan yg setipe dengan majapahit (sama-sama kafirnya)
Namun jika pertanyaannya bisakah kita mencapai kemenangan sebagaimana badar (300-an dg senjata sederhana vs 1000an senjata lengkap) atau mu’tah (3000an vs 200rb-an dan korban dr muslimin hanya belasan orang) atau semacamnya, dan jikalau kalah hanya seperti perang Uhud, maka tunjukkanlah kepadaku akhi, manakah negeri yg bs seperti itu? Maka adakah sejarah mencatat, seorang super cerdik dr kaum kafirin yg berusaha menyerang 200rb-an orang bersenjata lengkap, dg panglima perang berpengalaman dengan bermodal 3rb orang bersenjata sederhana?
Barangsiapa ingin menggapai kejayaan dunia, maka tidaklah harus dia meraihnya dari Islam ketika kaum muslimin jauh dari agamanya. Siapa yg ingin menggapai kejayaan dunia dan akhirat, maka adakah jalan yg lebih baik dari yang diajarkan Allah? Adakah yg lebih tepat janjinya dibanding Allah Jalla a ‘Ala?
Maka terserah kitalah semua pilihan. Akan tetapi satu yg pasti, tidak mungkin Islam ini jaya, kecuali dengan cara yg Allah tentukan (yaitu mengikuti manhaj salfusholih). Dan pasti hina umat Islam, ketika meninggalkan manhaj salafusholih sebagaimana yg Allah ancamkan. Maka adakah yg tahu, bagaimana melawan kehinaan yg Allah timpakan? Jika tidak ada yg tahu, taatilah cara yg Allah berikan maka Allah akan mengganti kehinaan ini menjadi kejayaan
Wallahu A’lam
Wassalamu’alaikum
trimakasih artikelna, smoga bermanfaat bagi umat..amiin
mohon izin copy ya..nuhun
Tantangan bertaukhid di jaman sekarang memang besar sekali, tapi kita tetap harus bisa mempertahankan ketauhidan kita.
terima kasih artikelnya
izin copast ya..jzklh khair
Jazakallah
izin membagikan.