Dapat dipastikan bahwa banyak dari pembaca kaget saat membaca sejarah perkembangan Syi’ah. Tentunya kami tidak menulis sejarah untuk sekedar tambah wawasan, akan tetapi agar mengambil ‘ibrah dan pelajaran, lalu dapat berinteraksi dengan berbagai krisis yang menyelimuti kita dengan cara lebih baik dan visi yang lebih jelas.
Oleh karenanya, mengabaikan sejarah tadi merupakan kejahatan terhadap generasi mendatang. Kita seakan menutup diri dari cahaya saat enggan mempelajari akar masalah ini, apalagi kita telah diperintah jauh sebelumnya untuk mempelajari kisah umat-umat terdahulu dan menerapkan pelajaran yang dikandungnya pada realita kita sekarang.
Allah Ta’ala berfirman,
فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Maka ceritakanlah kisah-kisah tersebut agar mereka berfikir.” (Qs. Al A’raf: 176)
Karenanya, masalah ini semestinya tidak berhenti pada sekedar menceritakan, namun harus direnungkan pula. Kemudian menentukan langkah apa yang mesti kita ambil untuk memahami realita dan membangun masa depan kita.
Pertama-tama, saya ingin membuka artikel ini dengan dua peringatan penting:
Pertama, agar anda memahami dan mendapat faedah dari artikel ini, anda harus membaca artikel sebelumnya tentang pokok keyakinan Syi’ah. Sebab di sana ada akar sejarah perkembangan mereka, dan pokok-pokok akidah mereka yang membantu anda untuk memahami kronologi yang terjadi di lapangan.
Kedua, sampai saat ini saya baru sekedar membacakan sejarah dan menyampaikan riwayat-riwayat yang shahih. Saya belum memberi ulasan final yang menjelaskan bagaimana sikap kita yang sebenarnya terhadap Syi’ah, dan bagaimana hubungan yang mesti dijalin. Tema yang penting ini akan kusendirikan dalam tulisan berikutnya atas izin Allah. Dan menurutku sangat besar manfaatnya bagiku bila mendapat opini para pembaca tentang bentuk hubungan yang mesti terjalin antara kita dan mereka (syi’ah), terutama jika berangkat dari latar belakang sejarah dan agama yang telah kami jelaskan.
Kembali ke masalah Syi’ah…
Pasca wafatnya Hasan Al ‘Askari (yang dinobatkan sebagai imam ke-11 oleh mereka), Syi’ah memasuki masa kebingungan besar yang terkenal dalam sejarah dengan periode ‘hairatusy syi’ah’. Dalam masa tersebut mereka saling terpecah menjadi banyak firqah (sekte), dan setiap firqah memoles agamanya semaunya demi mendapat keuntungan politis yang lebih baik… dan konon firqah yang paling terkenal adalah firqah “itsna ‘asyariyah” (12 imam), yang telah kita singgung dalam tulisan sebelumnya.
Namun firqah Itsna Asyariah ini bukanlah satu-satunya di lapangan, di sampingnya juga tumbuh firqah lain yang lebih berbahaya. Munculnya firqah yang satunya ini pernah menjadi malapetaka bagi umat Islam. Firqah ini bernama Isma’iliyyah.
Syi’ah Isma’iliyah telah sesat terlampau jauh hingga mayoritas ulama mengeluarkannya dari Islam. Munculnya sekte Isma’iliyah adalah lewat skenario hebat seorang Yahudi yang ingin membuat makar bagi umat Islam, orang tersebut bernama Maimun Al Qaddah.
Mulanya orang ini menampakkan diri sebagai muslim dan mendekati Muhammad bin Isma’il bin Ja’far Ash Shadiq, bahkan berteman akrab dengannya. Muhammad bin Isma’il termasuk ahlul bait, karena merupakan cucu dari Ja’far Ash Shadiq, imam keenam kaum Syi’ah Itsna Asyariyah. Ayahnya adalah Isma’il, saudara Musa Al Kazhim yang notabene imam ketujuh menurut Syi’ah Itsna Asyariyah.
Maimun telah melakukan sesuatu yang luar biasa, yang menunjukkan betapa jahatnya makar dia terhadap umat Islam. Tujuan makar tersebut ialah menghancurkan Islam walau sekian abad kemudian setelah kematiannya! Maimun menamakan anaknya dengan nama anak Muhammad bin Isma’il, yaitu Abdullah. Ia berwasiat kepada sang anak agar kelak menamai anak cucunya dengan nama-nama anak cucu Muhammad bin Isma’il. Hingga suatu ketika nanti kaum Yahudi tersebut akan mengklaim dirinya sebagai ahlul bait anak cucu Muhammad bin Isma’il bin Ja’far Ash Shadiq!
Bahkan tidak sekedar itu, mereka kelak akan mengklaim bahwa Al Imamah Al Kubra (kepemimpinan terbesar) yang seharusnya memimpin umat Islam seluruhnya, haruslah dari keturunan Isma’il bin Ja’far Ash Shadiq, bukan dari keturunan Musa Al Kazhim bin Ja’far Ash Shadiq sebagaimana yang diklaim oleh Syi’ah Itsna Asyariyah. Maimun si Yahudi akhirnya mendapatkan cita-citanya… firqah Isma’iliyah pun berkembang, dan anak cucunya mulai meracik pemikiran dan keyakinan sesat mereka yang bertentangan dari A-Z dengan akidah Islam. Keyakinan terburuk mereka di antaranya ialah bahwa Allah menitis kepada Imam mereka saat itu, hingga mereka menganggapnya sebagai Ilah. Mereka juga meyakini adanya reinkarnasi arwah, alias bahwa arwah yang telah tiada, lebih-lebih arwah para imam akan hidup kembali di tubuh orang lain yang masih hidup. Mereka meyakini bahwa semua imam mereka akan kembali ke dunia setelah wafat. Di samping itu mereka juga sangat liberal dan menganggap halal semua maksiat. Mereka terang-terang menghujat sahabat, bahkan menghujat Rasulullah yang kepadanya mereka menisbatkan diri.
Di antara misi terbesar mereka ialah melakukan pembunuhan tersembunyi terhadap tokoh-tokoh Ahlussunnah wal Jama’ah di dunia Islam, dan kami akan menjelaskan betapa besar sepak terjang mereka selanjutnya.
Dakwah Isma’iliyah dengan segala pemikiran merusaknya pun semakin marak. Ia tersebar di tengah-tengah kaum muslimin yang bodoh dan memanfaatkan kecintaan masyarakat terhadap ahlul bait. Mereka berhasil meyakinkan sejumlah orang bodoh tadi bahwa mereka adalah anak cucu Rasul (?)! Sejumlah besar orang keturunan Persia juga terlibat dalam dakwah mereka yang menampakkan keislaman, namun menyembunyikan kemajusian.
Di antara orang Persi tadi adalah Husein Al Ahwazi, yang tergolong pendiri dan da’i Ismai’iliyah paling terkenal. Ia konon beraktivitas di wilayah Basrah, dan di sana ia berkenalan dengan tokoh yang sangat jahat dalam sejarah Islam, namanya Hamdan bin Asy’ats.
Orang terakhir ini asal usulnya masih diperselisihkan… ada yang bilang bahwa ia majusi asal Persia, namun ada yang bilang dia yahudi asal Bahrain. Hamdan bin Asy’ats lalu menjuluki dirinya dengan nama ‘Qirmith’, dan seiring dengan berjalannya waktu ia membentuk kelompok khusus yang dinisbatkan kepadanya. Kelompok ini bernama ‘Qaramithah’ yang merupakan cabang dari Isma’iliyah meski sebenarnya lebih berbahaya lagi.
Sekte Qaramithah meyakini bahwa harta dan wanita adalah milik bersama. Mereka menghalalkan semua kemunkaran seperti pembunuhan, perzinaan, pencurian dan merekalah yang bertindak sebagai perampas, perampok, dan penyamun. Lalu secara ikut-ikutan, seluruh penyamun dan pemberontak pun bergabung dengan mereka, hingga mereka menjadi salah satu firqah yang paling berbahaya dalam sejarah umat Islam.
Semua perkembangan ini –dan perkembangan-perkembangan lain yang belum dijelaskan– terjadi di paruh kedua abad 3 hijriyah. Kemudian setelah itu muncul lagi firqah-firqah besar yang masing-masing mengaku paling benar. Mereka saling berselisih dalam hal akidah, prinsip, hukum-hukum dan semuanya. Ketiga firqah tadi; yaitu Syi’ah Itsna Asyariyah, Syi’ah Ismai’iliyah, dan Syi’ah Qaramithah, sama-sama memusuhi Ahlussunnah di samping juga saling bermusuhan satu sama lain karena tidak puas dengan keyakinan pihak lain. Hal ini wajar mengingat ketiganya tumbuh dari hawa nafsu dan bid’ah dalam agama.
Sampai periode ini, semua firqah tadi sekedar gerakan-gerakan yang menimbulkan kekacauan dalam tubuh umat Islam, dan belum memiliki kekuasaan yang mampu mengatur jalannya sejarah. Tapi seiring berakhirnya abad ketiga hijriyah dan permulaan abad keempat, kondisi mulai berubah drastis dan menimbulkan dampak yang sangat berbahaya…
Konon yang paling awal mencapai kekuasaan dari ketiga firqah tadi adalah sekte Qaramithah, mengingat mereka lah yang paling ganas dan buas. Salah seorang da’i mereka yang bernama Rustum bin Husein berhasil mendirikan daulah Qaramithah di Yaman. Ia lalu menyurati orang-orang di berbagai tempat dan mengajak mereka kepada akidahnya. Bahkan suratnya ada yang sampai ke wilayah Maghrib (Maroko & sekitarnya)! Akan tetapi daulah ini segera lenyap seiring dengan munculnya Qaramithah model lain, yaitu di Jazirah Arab, tepatnya di wilayah Bahrain (Bahrain tempo dulu bukan kerajaan Bahrain yg ada sekarang, tapi mencakup sebelah timur Jazirah Arab). Di wilayah ini berdirilah daulah Qaramithah yang sangat mengancam eksistensi kaum muslimin. Mereka melakukan pembantaian terhadap jemaah haji, dan yang paling sadis di antaranya ialah serbuan mereka ke Masjidil Haram saat hari tarwiyah (8 Dzulhijjah) tahun 317 H. Di sana mereka membantai jemaah haji dalam mesjid, dan mencuri Hajar Aswad setelah menghancurkannya!
Mereka lalu mengirim Hajar Aswad tadi ke ibukota daulah mereka di daerah Hajar, timur jazirah Arab dan Hajar Aswad tetap berada di sana selama 22 tahun penuh, hingga akhirnya dikembalikan ke Ka’bah tahun 339 H!
Sedangkan sekte Isma’iliyah mendapatkan bumi maghrib sebagai lahan subur mereka. Di sana pemikiran Rustum bin Husein yang tadinya menguasai Yaman mulai berkembang. Hal itu terjadi lewat seseorang yang bernama Abu Abdillah Asy Syi’i. Kita sama-sama tahu bahwa kedua sekte alias Isma’iliyah dan Qaramithah sama-sama menganggap Isma’il bin Ja’far Ash Shadiq sebagai imam; karenanya, salah seorang cucu Maimun Al Qaddah yang bernama Ubeidullah bin Husein bin Ahmad bin Abdillah bin Maimun Al Qaddah mendapat kesempatan emas untuk mendirikan daulah di Maghrib. Ia berangkat ke Maghrib dan bersama sejumlah pengikutnya mengumumkan berdirinya daulah Isma’iliyah, lalu menjuluki dirinya dengan nama Al Mahdi. Ia mengaku sebagai imamnya ajaran Isma’iliyah, dan mengaku sebagai anak cucu Isma’il bin Ja’far Ash Shadiq, dan mengatakan bahwa imam-imam sebelumnya dari leluhurnya hingga Isma’il bin Ja’far Ash Shadiq konon bersembunyi selama ini.
Ia berusaha menarik simpati masyarakat dengan menamakan daulahnya dengan daulah Fathimiyah, yang secara dusta mengaku keturunan Fathimah binti Rasulillah! Padahal asal usulnya adalah Yahudi!!
Dakwahnya berkembang pesat memanfaatkan kebodohan dan simpati masyarakat terhadap hakikat mereka. Mereka mulai melebarkan sayap kekuasaanya hingga mencakup Afrika Utara. Mereka menyebarkan berbagai bid’ah, kemunkaran, dan caci makian terhadap sahabat. Mereka mengatakan bahwa roh-roh dapat menitis dan reinkarnasi, dsb. Ekspansi daulah ini berhasil menguasai Mesir pada tahun 359 H, lewat salah seorang panglima mereka yang bernama Jauhar As Siqilli Al Isma’iliy di masa Al Mu’izz lidienillah Al Ubeidy. Inilah nama yang tepat untuk mereka: ‘al ubeidy’, nisbat kepada Ubeidillah Al Mahdi; dan bukannya ‘al Fathimiy’!
Al Mu’izz lidienillah Al Ubeidy lalu masuk ke Mesir dan mendirikan kota Cairo. Ia juga menguasai mesjid Al Azhar demi menyebarkan faham Syi’ah Isma’iliyah di sana. Ia membantai ulama-ulama Ahlussunnah dan menampakkan caci makian terhadap para sahabat. Hal itu terus dilanjutkan oleh imam-imam Isma’iliyah setelahnya. Bahkan sebagian dari mereka lebih gila lagi dengan mengaku sebagai Ilah, seperti Al Haakim biamrillah. Mereka konon banyak membangun mesjid untuk menyebarkan pemikiran mereka. Mereka tetap menguasai Mesir, Syam, dan Hijaz selama dua abad, hingga kebusukan mereka akhirnya dihapus oleh Shalahuddien Al Ayyubi pada tahun 567 H, dan beliau membebaskan Mesir dari kekuasaan sekte Isma’iliyah.
Adapun firqah ketiga yaitu sekte Itsna Asyariyah, meskipun sarat dengan berbagai macam bid’ah, mereka relatif lebih ringan bahayanya dibanding dua firqah sebelumnya. Mereka mengaku beriman kepada Allah (?) kepada Rasul-Nya (?) dan kepada hari kebangkitan, namun membikin bid’ah-bid’ah dan kemunkaran besar yang menjijikkan dalam agama. Sebagian da’i mereka berhasil merasuki sejumlah keluarga besar di wilayah Persia dan Irak, hingga akibatnya mereka dapat mencapai kekuasaan di berbagai daerah.
Mereka berhasil merasuki keluarga Bani Saman yang berasal dari Persia hingga keluarga ini menjadi syi’ah, dan mereka konon menguasai banyak wilayah di Persia (Iran yg sekarang). Daulah Bani Saman ini berlangsung sejak tahun 261 H hingga 389 H, akan tetapi kesyi’ahan mereka baru nampak di awal abad keempat hijriyah kira-kira.
Mereka juga merasuki keluarga Bani Hamdan yang berasal dari Arab, dari kabilah Bani Tighlab yang mulanya menguasai wilayah Mosul di Irak sejak tahun 317 H hingga 369 H. Kekuasaan mereka terus berkembang hingga meliputi kota Halab (Aleppo, Suriah) pada tahun 333 hingga 392 H. Sedangkan penetrasi mereka yang paling berbahaya ialah terhadap keluarga Bani Buwaih yang berasal dari Persia. Mereka berhasil mendirikan sebuah daulah di wilayah Persia, lalu berkembang hingga akhirnya menguasai khilafah Abbasiyah tahun 334 H, dengan tetap membiarkan Khalifah Bani Abbas di pusatnya agar tidak memicu pemberontakan kaum muslimin Ahlussunnah terhadap mereka. Selama lebih dari seratus tahun penuh mereka menguasai khilafah Abbasiyah, dari tahun 334 hingga 447 H, hingga muncullah orang-orang Turki Seljuk yang bermazhab Ahlussunnah, dan menyelamatkan Irak dari kekuasaan syi’ah ini.
Dalam rentang waktu tersebut, kaum syi’ah menampakkan betapa besar dendam mereka terhadap ulama-ulama Ahlussunnah dan khalifah mereka. Mereka bahkan menulis caci-makian terhadap sahabat di gerbang-gerbang mesjid. Mereka bahkan mencaci Abu Bakar dan Umar secara nyata dalam khutbah-khutbah mereka, dan ini merupakan periode yang sangat menyedihkan dalam sejarah kita umat Islam.
Sebagaimana yang kita saksikan, abad keempat memang murni abad syi’ah. Kaum Syi’ah Buwaihiyun berhasil menguasai sejumlah wilayah Iran dan seluruh wilayah Irak. Sedangkan kaum Samaniyun menguasai Iran timur, sejumlah wilayah Afghanistan dan timur dunia Islam. Adapun Hamdaniyun menguasai wilayah antara Mosul hingga Aleppo, dan Qaramithah menguasai timur Jazirah Arab, dan kadang-kadang sampai ke Hijaz, Damaskus, dan Yaman. Adapun daulah Ubeidiyyah (yang sering disebut Fathimiyah), maka lebih liar lagi… mereka berhasil menguasai Afrika Utara bahkan mencaplok Palestina, Suriah dan Lebanon!
Di akhir abad keempat hijriyah, daulah Qaramithah runtuh. Lalu di pertengahan abad kelima hijriyah (th 447), daulah Bani Buwaih juga sirna. Sedangkan daulah Isma’iliyah Ubeidiyah tetap eksis hingga pertengahan abad keenam (th 567 H), dan dengan begitu dunia Islam kembali ke kuasaan Ahlussunnah di seluruh wilayahnya, meskipun dakwah kaum Syi’ah Itsna Asyariyah tetap ada di sejumlah wilayah Persia dan Irak, namun tanpa kekuasaan.
Kondisi tetap seperti itu hingga tahun 907 H, ketika Isma’il Ash Shafawi mendirikan daulah Syi’ah Shafawiyah Itsna Asyariyah di Iran. Istilah ‘shafawiyah’ ialah nisbat kepada leluhurnya yang bernama Shafiyuddin Al Ardabiliy, seorang keturunan Persia yang wafat tahun 729 H. Daulah ini semakin melebarkan kekuasaannya, dan menjadikan kota Tabriz (yg terletak di barat laut Iran sekarang) sebagai ibukotanya. Daulah Shafawiyah terlibat perang sengit dengan tetangganya, yaitu Khilafah Turki Utsmani yang bermazhab Sunni. Kaum Shafawiyyin bahkan bersekutu dengan orang-orang Portugis untuk melawan Utsmaniyyin dan berhasil menduduki sejumlah wilayah di Irak yang semula dikuasai Utsmaniyyin. Mereka hampir berhasil menyebarkan faham syi’ah di sana, kalau saja Sultan Turki Utsmani yang bernama Saliem I berhasil mengalahkan mereka dalam sebuah pertempuran besar yang bernama Perang Jaldeiran tahun 920 H. Sultan Saliem I berhasil memukul telak mereka dan mengusir mereka dari Irak.
Hari-hari terus berlalu dan perseteruan berlanjut antara Shafawiyyin dan Utsmaniyyin. Sebagian besar pertempuran mereka terpusat di bumi Irak, dan hal ini berlanjut selama lebih dari dua abad. Daulah Shafawiyah berkuasa di Iran sejak tahun 907-1148 H, kemudian jatuh pada pertengahan abad ke-18 masehi, tepatnya tahun 1735. Akibatnya, Iran terpecah menjadi beberapa wilayah yang diperebutkan antara Turki Utsmani, Rusia, Afghanistan dan beberapa panglima perang bawahan Sultan Abbas III, yang merupakan Sultan terakhir daulah Shafawiyah.
Daulah Utsmaniyah pun mulai memasuki periode lemahnya… ia dikeroyok oleh kaum Eropa dan Rusia, dan hal ini mengakibatkan lemahnya kekuasaan Utsmani terhadap wilayah barat Iran. Wilayah ini silih berganti dipimpin oleh banyak pemimpin, namun mereka selalu loyal kepada orang Barat. Sesekali mereka loyal kepada Inggeris yang menguasai India dan Pakistan, sesekali kepada Perancis, dan di lain waktu kepada Rusia.
Pada tahun 1193 H/1779 M, Agha Muhammad Gajar mengambil alih kekuasaan di Iran. Ia berasal dari keturunan Persia dan bermazhab syi’ah meski cenderung kepada sekulerisme. Dia tidak mengajak orang kepada mazhab Itsna Asyariyah dan tidak memerintah dengan ajaran tersebut. Kekuasaan Iran silih berganti dipegang oleh anak cucunya dengan luas wilayah yang mengalami pasang-surut. Mereka konon menggunakan gelar ‘Shah’, hingga keluarga ini jatuh saat Reza Pahlevi mengadakan pemberontakan terhadap mereka tahun 1343 H/1925 M.
Reza Pahlevi lalu mengumumkan dirinya sebagai Shah Iran atas bantuan Inggeris. Akan tetapi Inggeris lalu menjatuhkannya tahun 1941 M karena perselisihan di antara mereka. Inggeris mencopotnya dan menggantinya dengan puteranya yang bernama Muhamad Reza Pahlevi, yang menjadi penguasa sekuler Iran hingga tahun 1399 H/1979 M. Setelah itu bangkitlah Revolusi Syi’ah Itsna Asyariyah yang dipimpin oleh Khomeini untuk mengembalikan kekuasaan syi’ah di wilayah Persia (Iran).
Demikianlah kisah kekuasaan syi’ah atas dunia Islam sejak munculnya firqah-firqah syi’ah hingga zaman kita sekarang. Dari ini semua, jelaslah bagi kita bahwa gerakan-gerakan syi’ah seluruhnya muncul dalam bentuk pemberontakan dan konfrontasi terhadap pemerintahan Sunni. Mereka selalu memakai ‘baju agama’ dengan mengaku cinta kepada ahlul bait atau mengaku keturunan ahlul bait. Kita juga menyaksikan bahwa dalam seluruh periode tadi tidak pernah sekalipun terjadi pertempuran antara firqah-firqah syi’ah tadi dengan musuh-musuh Islam; baik terhadap kaum Salibis Rusia, Inggeris, Perancis dan Portugis, maupun terhadap kaum Tartar (Mongol) dan lainnya. Akan tetapi yang kita saksikan adalah kerjasama nyata yang terjadi berulang kali antara syi’ah dengan musuh-musuh Islam sepanjang sejarah.
Pun demikian, kita tidak menyalahkan generasi yang sekarang akibat kesalahan leluhur mereka, namun kita mendiskusikan akidah, pemikiran, dan manhaj mereka yang sama persis dengan akidah, pemikiran, dan manhaj leluhur mereka. Inilah problem utama dan akar masalahnya… Selama mereka semua meyakini bahwa kepemimpinan harus dipegang oleh keturunan tertentu, dan meyakini bahwa Imam-imam mereka itu ma’shum, dan menghujat Abu Bakar, Umar, Utsman dan seluruh sahabat beserta ummahatul mu’minin… selama itu semua masih mereka lakukan, maka kita tidak boleh berprasangka baik kepada mereka. Akan tetapi kita mesti mengatakan bahwa anak cucu masih mengikuti ajaran leluhurnya…
Menurut Anda, bagaimana sikap kita terhadap syi’ah? Bagaimana kita harus bermuamalah dengan mereka? Adakah sebaiknya kita diamkan mereka atau kita jelaskan apa adanya? Apakah sebaiknya kita acuhkan masalah ini ataukah kita pelajari? Inilah yang akan kita bahas dalam tulisan berikutnya…
Semoga Allah memuliakan Islam dan kaum muslimin…
***
Penulis: Dr. Ragheb Sirjani
Penerjemah: Abo Hozaifah Al Atsary
Artikel www.muslim.or.id
Assalamualaikum…….
saya mau tanya sejarah habaib-habaib yang banyak di indonesia, apakah mereka bener-bener mempunyai garis keturunan dengan Rasulullah Salallahu alahi Wasalam, kebanyakan mereka mendakwah kan kepada kebidahan, dan apakah agama takiah kaum syiah masih dipegang mereka? mohon penjelasannya!
Jazakumullah khair
Kepada Abu Safina…
Tentang Habaib yg banyak di Indonesia, perlu diketahui bahwa asal-usul mereka adalah dari Hadramaut (Yaman Selatan). Memang sebagian besar dari mereka mengaku keturunan Ali bin Abi Thalib, sebab itulah mereka juga disebut Bani Alawi atau Alawiyyin (sebagaimana yang diakui oleh sdr. Novel Alaydrus dalam bukunya: Jalan nan Lurus, sekilas pandang tarekat Bani Alawi). Tapi saya tidak berani memastikan apakah semua yg ngaku ‘habib’ berarti keturunannya Ali.
Tentang akidah mereka, menurut penulis kitab Idaamul Quut fi dzikri buldaani Hadramaut, yang juga ‘habib’ namanya Abdurrahman bin Ubeidillah Assegaf (w. 1375 H), dalam halaman 897 beliau mengatakan bahwa orang-orang Alawiyyin di Hadramaut terbagi dlm tiga periode: pertama, sejak leluhur mereka yg bernama Ahmad bin Isa Al Muhajir hingga Al Faqih Al Muqaddam. Al Muhajir yakni yg hijrah dari Irak ke Hadramaut dan menjadi cikal bakal Alawiyyin di sana. periode ini menurut beliau masih berpenampilan seperti para sahabat dan memanggul senjata, singkatnya mereka masih berakidah Ahlussunnah wal jama’ah.
Periode kedua, adalah sejak Al Faqih Al Muqaddam ke Al Aydrus. Al Faqih Al Muqaddam adalah tokoh mereka yang pertama kali meletakkan senjata dan menganut tasawuf.
Periode ketiga adalah, setelah Al Aydrus hingga abad ketiga belas Hijriyah, yang telah terwarnai dengan tasawuf tulen.
Tidak tahu pasti kapan mereka mulai datang ke Indonesia, tapi yg jelas mereka datang setelah terwarnai ajaran sufi, bukan membawa faham Ahlussunnah yang murni, seperti yang diakui juga oleh Novel Alaydrus dlm bukunya tadi. Dan sebagaimana kita ketahui, tasawuf merupakan gerbang dari banyak aliran sesat dan sarat dengan bid’ah khurafat. Oleh karenanya, setiap aliran sesat bisa saja menyusup lewat tasawuf, lewat kedok cinta kpd ahlul bait, dst… sebagaimana yang dilakukan oleh syi’ah. Apalagi ada kemiripan antara tarekat Bani Alawi dengan syi’ah, yaitu keduanya sama-sama mengajarkan umat untuk cinta kpd Ahlul bait (baca: menyanjung para habaib), dgn cium tgn kpd mereka, menghadiri acara haul mereka,dsb… ini jelas suatu kemaslahatan yang akan mereka pertahankan, dan sedikit banyak cocok dgn ajaran syi’ah yg juga mengultuskan ahlul bait.
Makanya tidak heran jika banyak dari dedengkot-dedengkot syi’ah baik nasional maupun internasional berasal dari mereka. contohnya Hussein Al Habsyi asal Bangil (dia sudah binasa, bukan yang buta dan pernah dipenjara itu), dia pernah langsung baiat dgn Khomeini, dan pendiri YAPI, salah satu organisasi syiah tertua di Indonesia. Demikian pula Quraisy Shihab, Haidar Bagir, dll. Mereka juga dari kalangan Habaib.
Menyedihkan memang, tatkala orang yg mengaku anak cucu Rasulullah justeru menjadi musuh ajaran beliau. Bukannya mereka menghidupkan sunnah-sunnah Nabi, namun justeru melestarikan bid’ah khurafat di masyarakat. Saya rasa sebab dari ini semua adalah hawa nafsu dan kepentingan duniawi… mereka khawatir kehilangan pamor di masyarakat kalau meninggalkan ajaran leluhurnya, mengingat sikap mereka yg sangat eksklusif dlm menjaga nasab dan tradisi. Bahkan karena eksklusivisme inilah akhirnya berdiri Yayasan Al Irsyad sebagai tandingan atas Jami’at Khair yang mereka dirikan. Al Irsyad berdiri sebagai gerakan pembaharuan atas pemikiran-pemikiran kolot yg mereka tanamkan di masyarakat Indonesia, baik yg pribumi maupun keturunan Arab. Di antara pemikiran tsb ialah tidak bolehnya seorang wanita ‘alawiyah dinikahi oleh pria yang bukan ‘alawi, walaupun ia orang Arab. Tentu ini bukan ajaran Islam, tapi fanatisme jahiliyah yang harus direformasi, sebab Nabi sendiri menikahkan dua orang puterinya (Ruqayyah & Ummu Kultsum) kpd Utsman bin Affan yg notabene adalah Bani Umayyah, bukan Ahlul Bait, Kemudian Ali bin Abi Thalib menikahkan puterinya yg bernama Ummu Kultsum (yg berasal dari Fatimah ra) kpd Umar bin Khatthab yg bukan dari Bani Hasyim, namun dari Bani Adiy, dan masih banyak lagi contoh lainnya. Dari sinilah akhirnya muncul dua kubu: Habaib dan Masyayikh. Habaib dg tradisi tasawufnya, sedangkan Masyayikh (non Habaib) dgn gerakan pembaharuannya, seperti Al Irsyad.
Memang bisa dibilang 99% dari para habaib tadi yg tinggal di Indonesia adalah penganut tarekat (sufi). Itu karena mereka sangat terikat dgn tradisi keluarga yg kolot tadi. Tapi beda dg kondisi mereka yg terpelajar dan ingin membuka fikirannya. atau mereka yg tinggal di malaysia, saudi, atau negara-negara maju, mereka tidak lagi terikat dgn tradisi kolot tsb shg banyak yg kembali menjadi salafi, atau paling tidak bukan sufi lagi.
Tentang taqiyyah, saya tidak berani memastikan bhw mereka bertaqiyyah spt orang syi’ah, krn mayoritas mereka bukan syi’ah namun sufi, dan sufi masih berbeda dgn syi’ah krn kaum sufi masih menghargai para sahabat dan tabi’in, bahkan terkadang mengkeramatkan kuburan mereka. Ini jelas berbeda dgn keyakinan syi’ah yg mengkafirkan para sahabat tadi. Tapi kalau sdh diindikasikan syi’ah, ya siapa pun orangnya pasti akan bertaqiyyah, terlepas dari habib-kah dia atau bukan.
Demikian penjelasan ana, semoga membantu, wallaahu ta’aala a’lam.
to Abu Hudzaifah
Sukron atas keterangannya…
bagaimana dengan buku2 sejarah kebudayaan islam yang selama ini diajarkan di madrasah?apakah buku2 tsb bisa dijadikan rujukan?
saya masih bingung dengan 12 imam syi’ah itsna asy’ariyah?apakah kedua belas imam tersebut memang berakidah syi’ah?atau syi’ah berdusta atas ke12 imam tersebut?
selain itu, apa benar berdirinya daulah abbasiyah karena adanya bantuan dari syi’ah?
terima kasih..
Assalamu’alaikum,
Saya jg kadang bingung dengan 12 imam syiah, apakah mereka jg berakidah syiah?? Tp yg udh pernah saya baca, Ja’far Ash-Shaddiq, imam ke-6 syiah ternyata berakidah ahlus sunnah wal jama’ah, dan beliau -rahimahullah- ternyata adalah jg keturunan Abu Bakar as-Shaddiq radiyallahu ‘anhu. Nasab dari Abu Bakar diperoleh dari ibunya Imam Ja’far yaitu Ummu Farwah.
http://abuhaekal.multiply.com/journal/item/12
Ja’far ash shaddiq juga adalah guru dari Imam Abu Hanifah dan Imam Malik -rahimahullah-. Bayangkan, jika Imam Ja’far berakidah syiah, apakah Imam Abu Hanifah dan Imam Malik mau berguru pada beliau???
Mengenai para habaib, saya terkadang sedih melihat mereka karena mengaku2 mencintai Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam tapi mereka bnyk mengajarkan kebid’ahan dan khurafat spt misalnya perayaan Maulid Nabi (mungkin Maulid ini jg asalnya dari tradisi syiah ( https://muslim.or.id/manhaj/antara-cinta-nabi-dan-perayaan-maulid-nabi-2.html ), haul (peringatan kematian) para habib secara berlebihan, dan tirakat2 yg benar2 jauh dari ajaran Sunnah Rasulullah yg haq.
Sungguh benar sebuah ungkapan, “agama itu tidak dirusak oleh zaman…tp oleh umatnya sendiri”. Naudzubillah…
Ada komentar menarik dari seorang sosiolog yang menyoroti duia per’habib’an, yaitu munculnya suatu fenomena yang dinamakan ‘feodalime agama’ yang terjadi di kalangan mereka. Dinamakan ‘feodalisme agama’ karena mereka bertingkah laku layaknya kaum feodal atau bangsawan tapi dalam bidang agama.
Mereka berkeyakinan bahwa mereka adalah golongan kelas satu dalam agama ini dikarenakan nasab mereka yang bersambung pada rasulullah saw. sedang selain mereka adalah warga kelas dua, orang Arab non alawipun mereka anggap kelas dua.
Fenomena seperti ini jelas tidak sehat karena dalam Islam yang terpenting adalah amal shalih, bukan garis keturunan. lihat saja di antara para Nabi alaihimussalam ada yang memiliki anak yang kafir, nasab sekali-kali tidak dapat menolong seseorang.
Kpd Sdr Neonitz…
Ttg buku2 sejarah yg jadi rujukan di madrasah, itu memerlukan studi khusus untuk dihukumi layak atau tidak-nya. saya sendiri belum membaca semua… tapi biasanya semua buku sejarah memiliki karakter sama, yaitu menyebutkan segalanya baik shahih maupun tidak. Oleh karenanya, buku2 tsb TIDAK BOLEH DIJADIKAN DALIL ATAS HAL-HAL YG BERKAITAN DGN MASALAH AKIDAH, HALAL-HARAM, DAN IBADAH. sebab ketiga hal ini harus berdasarkan dalil yg shahih, dan TEMPATNYA BUKAN DALAM BUKU2 SEJARAH. oleh karenanya, kesalahan metodologi yg sering dilakukan oleh banyak penulis, terutama dari kalangan ahlul bid’ah ialah berdalil dari kitab-kitab sejarah tanpa memverfikasi kebenarannya.
kmd ttg 12 imam Syi’ah, perlu kita ketahui bhw yg diakui dlm sejarah hanya ada 11 imam, krn para sejarawan Ahlussunnah mengatakan bhw Hasan Al ‘Askari -yg dinobatkan sebagai Imam ke-11 kaum syi’ah- adalah org yg tdk berketurunan… TAPI berhubung syi’ah harus memiliki genap 12 Imam, maka dibikinlah riwayat2 palsu yg mengatakan bhw beliau memiliki anak yg dinamakan Al Mahdi, yg sejak umur 5 tahun bersembunyi di gua Samarra di Irak sana… dan nanti akan keluar di akhir zaman utk membasmi bangsa Arab, menerapkan hukum Dawud AS (bukan Sunnah Rasulullah Muhammad), menghidupkan kembali Abu Bakr, Umar, Utsman dan Aisyah (Bukan Abu Jahal, Abu Lahab, Fir’aun dan Haman), kmd mencambuk mereka krn mereka dianggap bersekongkol merebut kekhalifahan dari Ali bin Abi Thalib, dst… sebagaimana yg tersebut dlm kitab2 SYi’ah.
Tentunya ini semua adalah kebohongan bin kedustaan atas ke-11 imam tsb, dan yg paling sering didustai adalah Ja’far Ash Shadiq. Mrk semua menurut Ahlussunnah adalah tokoh2 Ahlussunnah, namun tidak berarti bhw mrk adalah org paling ‘alim di masanya, bahkan banyak juga ulama2 lain yg setingkat atau lebih ‘alim dari mereka, sebagaimana yg disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
Sikap kita sebagai ahlussunnah ialah mencintai ke-11 imam tsb sebagai ahlul bait Nabi –demikian pula ahlul bait lainnya dari keturunan Abbas bin Abdulmutthalib, Bani Muttalib, dll yg tidak diakui oleh Syi’ah sbg ahlul bait– oleh karenanya, yg harus dicintai dan dihormati sbg ahlulbait termasuk Bani Abbas, Bani ‘Aqil (saudara kandung ‘Ali yg juga muslim dan punya keturunan hingga kini), dan Bani Mutthalib (diantaranya adalah Imam kita Imam Syafi’i).
kmd ttg berdirinya Daulah Abbasiyah, seingat yg saya baca di AL Bidayah wan Nihayah-nya Ibnu Katsir, Daulah Abbasiyah berdiri dgn cara kudeta berdarah yg dilakukan oleh Bani Abbas lewat panglima mrk yg bernama Abu Muslim Al Khurrasani (asal Khurasan, Persia atau Iran skrg), bukan dgn bantuan syi’ah. Bahkan di awal2 berdirinya, tepatnya di zaman Khalifah Abu Ja’far Al Manshur yg menjabat sebagai khalifah kedua selama 20 tahun (136-156 H) kalo ga’ salah, Banyak dari keturunan Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra yg memberontak kpd Bani Abbas, padahal keduanya sama-sama Ahlul Bait dari Bani Hasyim. kesimpulannya, banyak dari peristiwa sejarah yg oleh pihak tertentu dipolitisir untuk kepentingan mereka. wallahu a’lam bisshawab.
Demikian kira2 jawaban saya yg sedikit ‘ngalor-ngidul’ tapi ada faedahnya insya Allah…
terima kasih pada abu hudzaifah yang telah menjawab pertanyaan saya.
saya ingin tanya lagi.
kalo di jogja(tepatnya daerah UGM) di mana saya bisa meminjam buku2 sejarah islam karena saya sangat tertarik dengan sejarah islam dan buku2 karya siapa yang paling mendekati kebenaran dalam bidang sejarah islam?
Assalaamu’alaikum wr wb…
Kpd Neonitz, ana kurang tahu krn ana sendiri bukan orang jogja dan tidak pernah tinggal di Jogja, tapi coba aja ke Perpustakaannya Alm AR Baswedan, mungkin ada di sana.
Buku-buku sejarah kalo yg berbahasa Indo ana tidak tahu, tp kalo bhs Arab ya seperti Al Bidayah wan Nihayah Ibn Katsir, Tarikhul Islam Adz Dzahabi (paling luas), Al Kaamil Fit Taarikh (Ibnul Atsier) dll… tapi YG HARUS ANTUM INGAT, buku sejarah itu mengumpulkan apa saja, alias tidak selektif thd riwayat2 yg dinukil, jadi tdk bisa jadi rujukan dlm mslh akidah, halal-haram, dan ibadah sebelum dipastikan keshahihannya. Ala kulli haal, yg paling baik adalah buku2 Adz Dzahabi karena beliau sering mengomentari hal-hal yg perlu dikomentari. Wallaahu a’lam bish shawaaab
Assalamu’alaikum
Mohon diupload dan dibahas mengenai penghianatan syiah saat tentara mongol menyerang Irak dan pada peristiwa lainnya agar mata kaum muslimin lebih terbuka.
Jazakumulloh khair
rgds
hanif
tempat disimpannya hajar aswad ketika dicuri tepatnya di kota Qathif di propinsi timur Saudi Arabia dekat dengan kota Dammam. Demikian yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Ramzan Al-Hajri dalam salah satu pelajarannya. Beliau bahkan tahu persis letaknya di Qathif dimana mereka -dahulu- membuat seperti Ka’bah tandingan. Kota Qathif ini sampai sekarang merupakan salah satu pusat syiah di Saudi Arabia.
@Abu Hudzaifah : ane ijin copy tulisannye ye. jazakallahu khairan
Syi’ah Isma’iliyah telah sesat terlampau jauh hingga mayoritas ulama mengeluarkannya dari Islam.Bagaimana dengan Syi’ah Itsna Asyariyah/syiah imamiah , apakah mereka masih islam?
#abu hizba
Akidah syiah imamiyyah adalah akidah kekafiran sehingga siapa saja dari pengikut syiah imamiah yang tahu pasti keadaan agamanya maka dia bukanlah seorang muslim.
Jika dia bodoh maka statusnya adalah sebagaimana ketentuan syariat terkait orang yang tidak tahu
terima kasih ustadz, izin copast jazakalloh
Bismillah. Berdasarkan kisah kekuasaan yang bisa didapatkan oleh Kaum Syiah di berbagai negara tersebut diatas, sepertinya ada hal menarik entah itu kerjasama dengan negara penjajah atau penghianatan yang dilakukan oleh Syiah sendiri kepada sekutunya dalam merebut suatu kekuasaan tersebut sebelum Salahuddin Al Ayyoubi memberantas. Hal hal ini sepertinya menarik untuk dicari tau penjebaran nya