Nasihat penting bagi orang-orang yang baru ngaji sunnah. Simak pembahasan lengkapnya di artikel berikut ini.
[lwptoc]
Kami sempat melakukannya di awal-awal kami mengenal dakwah ahlus sunnah wal jama’ah karena kebodohan kami akan ilmu. Kemudian kami ingin membaginya supaya ikhwan-akhwat bisa mengambil pelajaran dan mengingatkan mereka yang telah lama mengenal anugrah dakwah ahlus sunnah khususnya kami pribadi. Beberapa hal tersebut ada sepuluh berdasar pengalaman kami. Berikut penjelasannya.
Merasa lebih tinggi derajat dan akan terbebas dari dosa karena sudah merasa mengenal Islam yang benar
Ketika awal-awal mengenal dakwah ahlus sunnah bisa jadi ada rasa bangga dan sombong bahwa ia telah mendapat hidayah dan merasa ia sudah selamat dunia-akhirat. Padahal ini baru saja fase yaqzhoh [bangun dari tidur], awal mengangkat jangkar kapal, baru akan mulai mengarungi ilmu, amal, dakwah dan bersabar di atasnya.
Ingatlah, janganlah kita menganggap diri kita akan selamat dari dosa dan maksiat hanya karena baru mengenal dakwah ahlus sunnah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَلَا تُزَكُّوا أَنفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
“Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui siapa orang yang bertakwa.” (QS. An-Najm: 32)
Muhammad bin Ya’qub Al-Fairuz Abadi rahimahullah menukil penafsiran Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma tentang ayat ini:
فَلَا تبرئوا أَنفسكُم من الذُّنُوب {هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقى} من الْمعْصِيَة وَأصْلح
“Jangan kalian membebaskan diri kalian dari dosa dan Dialah yang paling mengetahui siapa yang bertakwa/takut dari maksiat dan membuat perbaikan” [Tanwirul Miqbaas min tafsiri Ibni Abbaas 1/447, Darul Kutubil ‘Ilmiyah, Libanon, Asy-Syamilah]
Seharusnya jika kita menisbatkan pada dakwah salafiyah maka ingatlah pesan salaf [pendahulu] kita yaitu sahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu,
لو تعلمون ذنوبي ما وطئ عقبي اثنان، ولحثيتم التراب على رأسي، ولوددت أن الله غفر لي ذنبا من ذنوبي، وأني دعيت عبد الله بن روثة. أخرجه الحاكم وغيره.
“Kalau kalian mengetahui dosa-dosaku maka tidak akan ada dua orang yang berjalan di belakangku dan sungguh kalian akan melemparkan tanah di atas kepalaku, dan aku berangan-angan Allah mengampuni satu dosa dari dosa-dosaku dan aku dipanggil Abdullah bin Kotoran.” (HR. Hakim dalam Al-Mustadrok 3:357, no 5382, Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf 7:103, no 34522 dan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman 1: 504, no 848, shahih)
Terlalu semangat menuntut ilmu agama sampai lupa kewajiban yang lain
Semua ikhwan-akhwat baru ngaji pasti semangat menuntut ilmu, karena banyak ilmu agama yang selama ini mereka yakini kurang tepat dan mereka dapatkan jawabannya dalam manhaj dakwah salafiyah yang ilmiyah. Akan tetapi ada yang terlalu semangat menuntut ilmu sampai lupa kewajibannya. Contoh kasus:
- Ikhwan kuliah di kampus, ia diberi amanah oleh orang tuanya untuk belajar di kota A, menyelesaikan studinya, pulang membawa gelar dan membahagiakan keduanya. Kedua orang tua bersusah payah membiayainya. Akan tetapi ia sibuk belajar agama di sana – di sini dan lalai dari amanah orang tua yang WAJIB juga ditunaikan. Nilainya hancur dan terancam Drop Out. Tentu saja orang tuanya bertanya-tanya dan malah menyalahkan dakwah salafiyah yang ia anut. Ia pun tidak menjelaskan dengan baik-baik kepada kedua orang tuanya.
- Seorang suami yang sibuk menuntut ilmu agama dan menelantarkan istri dan anaknya. Melakukan safar tholabul ilmi ke berbagai daerah, langsung membeli kitab-kitab yang banyak dan mahal. Padahal ia agak kesusahan dalam ekonomi dan tidak memberikan pengertian kepada istri dan anak-anaknya.
Kita seharusnya memperhatikan firman Allah:
وَلاَ تُسْرِفُواْ إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-An’am: 141). Artinya, mempelajari ilmu juga harus bisa memperhatikan kewajiban lainnya, yaitu kewajiban bakti pada orang tua dan memberi nafkah pada keluarga. Dan jika kita perhatikan, orang-orang seperti ini hanya [maaf] “panas-panas tahi ayam”. Semangat hanya beberapa bulan saja setelah itu kendor bahkan futur [malas dan jenuh].
Kaku dalam menerapkan ilmu agama padahal Islam adalah agama yang mudah
Allah Ta’ala mengkhendaki kemudahan bagi hamba-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”. (QS. Al-Baqarah: 185)
Sebagian ikhwan-akhwat yang baru ngaji mungkin dikarenakan masih sedikitnya ilmu terlalu kaku menerapkan ilmu agama sehingga sehingga nampaknya islam adalah agama yang sulit dan tidak fleksibel. Contoh kasus:
- Seorang akhwat ingin memakai cadar agar bisa menerapkan dan melestarikan sunnah agama islam. Akan tetapi semua keluarganya melarangnya bahkan keras karena nanti disangka teroris dan lingkungan akhwat tersebut sangat aneh dengan cadar. Ia sudah menjelaskan dengan baik-baik tetapi keluarganya yang sangat awam masih belum bisa menerima. Orang tuanya bahkan tidak ridha dan hubungan silaturahmi dengan keluarga menjadi terputus. Dalam kasus ini:
Apabila ia menyakini bahwa cadar hukumnya sunnah maka diterapkan kaidah:
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
“Menolak mafsadat didahulukan daripada mendatangkan mashlahat”. Jika ia memakai cadar maka mendatangkan mashlahat yaitu melaksanakan sunnah, jika ia tidak pakai cadar maka menolak mafsadat yaitu tidak ridhanya ortu dan putus silaturhami. Maka dengan kaidah ini ia wajib menolak mafsadat dengan tidak memakai cadar. Selain itu hukum wajib didahulukan dari hukum sunnah.
- Begitu juga dengan kasus seorang akhwat kuliah di luar kota, ia harus safar tanpa mahram dan tidak tahan kuliah ikhtilat [bercampur-baur laki-laki dan perempuan], maka ia memutuskan tidak melanjutkan kuliah. Sehingga diminta pulang oleh orang tuanya. Akan tetapi di tempatnya tidak ada kajian dan mejelis ilmu sehingga ia menjadi futur karena ia baru-baru “ngaji”. Sedangkan di kota tempat ia kuliah ada banyak majelis ilmu. Maka keputusan ia berhenti kuliah kurang tepat. Karena diterapkan kaidah:
إذا تعارض ضرران دفع أخفهما
”Jika ada dua mudharat (bahaya) saling berhadapan maka di ambil yang paling ringan“
Dan banyak kasus yang lain. Intinya kita harus banyak-banyak berdiskusi dengan ustadz dan orang yang berilmu jika mendapatkan sesuatu dalam agama yang berat dan sesak terasa jika kita jalankan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّهِ
“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakalah kepada Allah.” (QS. Ali Imron: 159)
Baca juga: Sudah Lama “Ngaji” Tetapi Akhlak Tidak Baik
Keras dan kaku dalam berdakwah
Mungkin ini disebabkan karena terlalu semangat ingin meyebarkan dakwah manhaj salafiyah. Akan tetapi karena sedikitnya ilmu tentang tata cara berdakwah, dakwah terkesan kaku dan keras. Contoh kasus:
- Seorang pemuda yang baru mengenal dakwah, ketika pulang langsung menceramahi orang tuanya dan kakeknya. Dan berkata, “ini haram, itu bid’ah, ini syirik”. Tentu saja kakeknya akan berkata, “Kamu anak ingusan kemaren sore, baru saya ganti popokmu, sudah berani ceramahi saya?”.
- Seorang ikhwan yang baru tahu hukum tahlilan setelah kematian adalah bid’ah. Kemudian ia datang kekumpulan orang yang melakukannya dalam suasana duka. Ia sampaikan ke majelis tersebut bahwa ini bid’ah. Maka bisa jadi ia pulang tinggal nama saja.
- Seorang akhwat yang ingin mendakwahkan temannya yang masih sangat awam atau baru masuk islam. Ia langsung mengambil tema tentang cadar, jenggot, isbal, bid’ah, hadist tentang perpecahan dan firqoh. Ia juga langsung membicarakan bahwa aliran ini sesat, tokoh ini sesat dan sebagainya. Seharusnya ia mengambil tema tauhid dan keindahan serta kemudahan dalam islam.
Seharusnya berdakwah dengan cara yang lembut serta penuh hikmah. Dan berdakwah ada tingkatan, cara dan metodenya. Berpegang pada prinsip yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan,
يَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا وَبَشِّرُوا وَلَا تُنَفِّرُوا
“Mudahkan dan jangan mempersulit, berikan kabar gembira dan jangan membuat manusia lari” (HR. Bukhari, Kitabul ‘Ilmu no.69)
Suka berdebat dan mau menang sendiri bahkan menggunakan kata-kata yang kasar
Karena terlalu semangat berdakwah akan tetapi tanpa disertai ilmu. Maka ada sebagian ikhwan-akhwat baru ngaji sering terjatuh dalam kebiasaan suka berdebat. Dan parahnya, ia baru hanya tahu hukumnya saja, tidak mengetahui dan menghafal dalil serta tidak tahu metode istidlal [mengambil dalil]. Jadi yang ada hanya berdebat saling “ngotot” tentang hukum sesuatu. Apalagi mengeluarkan katakata yang kasar sampai mencaci-maki dan menyumpah-serapah.
Memang ada yang sudah hafal dalilnya dan mengetahui metode istidlal (cara pendalilan). Akan tetapi, ia tidak membaca situasi dakwah, siapa objek dakwah, waktu berdakwah ataupun posisi dia saat mendakwahkan.
Dan ada juga yang berdebat karena ingin menunjukkan bahwa ia ilmunya tinggi, banyak menghafal ayat dan hadist, mengetahui ushul fiqh dan kaidah-kaidahnya.
Memang saat itu kita menang dalam berdebat karena manhaj salafiyah ilmiyah. Akan tetapi tujuan berdakwah dan nasehat tidak sampai. Orang tersebut sudah dongkol atau sakit hati karena kita berdebat dengan cara yang kurang baik bahkan menggunakan kata-kata yang kasar. Hatinya tidak terima karena merasa sudah dipermalukan, akibatnya ia gengsi menerima dakwah. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ،
“Agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat”. (HR. Muslim 55/95)
Yang dimaksud dengan nasihat adalah menghendaki kebaikan. Jadi bukan tujuannya menunjukan kehebatan berdalil dan menang dalam berdebat.
Mengenai suka berdebat, para nabi dan salafus shalih sudah memperingatkan kita tentang bahayanya. Nabi Sulaiman ‘alaihis salam berkata kepada anaknya,
يَا بُنَيَّ، إِيَّاكَ وَالْمِرَاءَ، فَإِنَّ نَفْعَهُ قَلِيلٌ، وَهُوَ يُهِيجُ الْعَدَاوَةَ بَيْنَ الْإِخْوَانِ
“Wahai anakku, tinggalkanlah mira’ (jidal, mendebat karena ragu-ragu dan menentang) itu, karena manfaatnya sedikit. Dan ia membangkitkan permusuhan di antara orang-orang yang bersaudara.” (Syu’abul Iman: 8076 Al-Baihaqi, cetakan pertama, Darul Rusdi Riyadh, Asy-syamilah)
Mengenai berkata-kata kasar, maka ini tidak layak keluar dari lisan seseorang yang mengaku menisbatkan diri pada manhaj salaf. Renungkan firman Allah Ta’ala,
اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى ْ فَقُولَا لَهُ قَوْلاً لَّيِّناً لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى
“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”. (QS. At-Thoha: 43-44).
Kepada orang selevel Fir’aun saja harus berdakwah dengan kata-kata yang lemah lembut, apalagi kita akan mendakwahkan saudara kita seiman? Maka gunakanlah kata-kata yang lembut dan bijaksana lagi penuh hikmah.
Menganggap orang di luar dakwah ahlus sunnah sebagai saingan bahkan musuh
Ikhwan-akhwat baru ngaji yang sedang semangat-semangatnya berdakwah ada sebagian yang melihat orang diluar dakwah ahlus sunnah adalah saingan mereka. Padahal mereka adalah sasaran dakwah juga bukan saingan dakwah. Mereka adalah saudara seiman kita. Mereka berhak medapatkan hak-hak persaudaraan dalam islam. Seharusnya kita lebih mengasihi dan menyayangi mereka karena mereka punya semangat membela dan menyebarkan islam hanya saja mereka sudah terlanjur salah dalam memahami Islam. Mereka tidak seberuntung kita medapatkan anugrah dakwah ahlus sunnah. Contohnya:
- Di kampus, ketika bertemu dengan teman-teman yang berdakwah tidak dengan dakwah ahlus sunnah, maka mukanya sangar, cemberut, tidak mau menyapa dan tidak membalas salam. Tidak mau duduk bermajelis dengan mereka dan merasakan suasana kekeluargaan islami. Dan parahnya, malah dengan orang kafir mereka lebih akrab dan hangat. Ketahuilah mereka saudara-sudara seiman kita yang lebih patut mendapat perhatian dan dakwah dari kita. Tidak heran jika saudara-saudara kita mengatakan, “Kok kita sesama orang islam saling gontok-gontokan, tapi berbaikan dengan orang kafir”
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan bertakwalah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujurat: 10)
- Di kampung, ada ustadz/kiayi haji/tuan guru/tokoh masyarahat yang berdakwah tidak dengan dakwah ahlus sunnah. Maka ada sebagian ikhwan-akhwat yang seolah-olah meremehkan mereka, menganggap mereka aliran sesat, ilmunya salah dan ngawur, tidak menghormati mereka. Padahal belum tentu kita lebih baik dari mereka. Bisa jadi mereka amalnya sedikit yang benar tapi sangat ikhlas, mengalahkan amal kita yang –sekiranya benar insya Allah- tapi tidak ikhlas dan dipenuhi dengan riya’ dan dengan rasa sombong mampu beramal. Seharusnya kita memposisikan mereka sesuai dengan posisi mereka, menghormati mereka dan memilih kata-kata dakwah yang baik dan tidak terkesan menggurui.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda memerintahkan agar kita memposisikan manusia sesuai dengan kedudukuannya masing-masing. Salah satu penerapan beliau adalah surat beliau kepada raja Romawi Heraklius:
باسم الله الرحمان الرحيم
من محمد رسول الله إلى عظيم الروم
“Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, dari Muhammad utusan Allah kepada pembesar/ tokoh besar Romawi”
Kemudian jika mereka tidak menerima dakwah kita maka ada sebagian ikhwan-akhwat yang langsung menganggapnya sebagai musuh. Mereka akan merusak agama islam, mencap sebagai ahli bid’ah dan syirik dan tahu kaidah pembid’ahan dan pengkafiran. Padahal mereka tetap saudara kita dan masih berhak mendapatkan hak-hak persaudaraan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا تحاسدوا ولا تَناجَشُوا ولا تباغضوا ولا تدابروا ولا يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ,وكونوا عباد الله إخواناً. اَلْمُسْلِمُ أَخُو المسلمِ: لا يَظْلِمُهُ ولا يَخْذُلُهُ ولا يَكْذِبُهُ ولا يَحْقِرُهُ
“Jangan kalian saling hasad, jangan saling melakukan najasy, jangan kalian saling membenci, jangan kalian saling membelakangi, jangan sebagian kalian membeli barang yang telah dibeli orang lain, dan jadilah kalian sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara muslim bagi lainnya, karenanya jangan dia menzhaliminya, jangan menghinanya, jangan berdusta kepadanya, dan jangan merendahkannya.(HR. Muslim no. 2564)
Jika mereka tidak menerima, maka tugas kita hanya menyampaikan saja. Mereka terima Alhamdulillah , jika tidak diterima jangan dipaksa dan dimusuhi. Karena kita hanya memberikan hidayah ‘ilmu wal bayan berupa penjelasan, sedangkan hidayah taufiq hanya ditangan Allah. Seharusnya kita mendoakan mereka semoga mandapatkan hidayah, bukan dimusuhi.
Lihatlah tauladan kita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala pergi ke Thaif untuk berdakwah sekaligus meminta perlindungan kepada mereka dari tekanan kafir Quraisy setelah meninggalnya paman beliau Abu Thalib. Akan tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diusir dengan lemparan batu, caci-maki dan ejekan. Tubuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia sampai berdarah-darah. Perasaan beliau makin sedih karena saat itu tahun-tahun ditinggal juga oleh istrinya Khadijah radhiallahu ‘anha, pendukung dakwah beliau. Kemudian datanglah malaikat Jibril ‘alaihissalam memberi tahu bahwa malaikat penjaga bukit siap diperintah jika beliau ingin menimpakan bukit tersebut kepada orang-orang Thaif. Malaikat tersebut berkata,
يَا مُحَمَّدُ، فَقَالَ، ذَلِكَ فِيمَا شِئْتَ، إِنْ شِئْتَ أَنْ أُطْبِقَ عَلَيْهِمُ الأَخْشَبَيْن
“Wahai muhammad, terserah kepada engkau, jika engkau mnghendaki aku menghimpitkan kedua bukit itu kepada mereka”
Tapi apa yang keluar dari lisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Doa kepada penduduk Thoif. Beliau berdoa,
بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ مِنْ أَصْلاَبِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ وَحْدَهُ، لاَ يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا
“Bahkan aku berharap Allah akan mengeluarkan dari tulang sulbi mereka keturunan yang akan menyembah Allah semata, tidak disekutukanNya dengan apa pun” [kisah yang panjang bisa dilihat di shahih Bukhari no. 3231]
Subhanallah, kita sangat jauh dari cara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah. Dan terbukti doa beliau mustajab. Penduduk Thoif tidak lama menjadi salah satu pembela islam dan mengikuti peperangan jihad membela islam.
Mengenai berwajah sangar, seram dan cemberut terus seolah-olah prajurit perang yang marah. Mungkin ini salah persepsi sebagian ikhwan-akhwat karena mereka sering dan terlalu banyak melihat syirik, bid’ah dan maksiat dimana-mana. Seolah-olah menunjukan mereka ingin mengingkari semuanya. Tetapi Islam tidak mengajarkan demikian, seorang muslim berprinsip “Berwajah ceria bersama manusia dan berlinang air mata akan dosanya saat sendiri bermunajat kepada rabb-nya”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا، وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ
“Janganlah engkau remehkan suatu kebajikan sedikitpun, walaupun engkau bertemu dengan saudaramu dengan wajah yang ceria/bermanis muka”. (HR. Muslim no. 2626)
Baca juga: Ngaji Aqidah Sampai Kapan?
Berlebihan membicarakan kelompok tertentu dan ustadz/tokoh agama tertentu
Ada sebagian ikhwan-akhwat yang terlalu tenggelam dan sibuk membicarakan masalah perpecahan dan firqoh. Memang kita harus mempelajarinya agar tahu mana yang selamat, akan tetapi kita jangan terlalu menyibukkan diri membicarakan kelompok-kelompok tersebut. Tema yang terlalu sering diangkat dalam kumpul-kumpul, majelis dan pengajian adalah sesatnya kelompok ini, jangan ikut kajian dengan kelompok itu, menerapkan hajr/memboikot di sana-sini tanpa tahu kaidah meng-hajr. Akhirnya sibuk dan lalai mempelajari tauhid, aqidah, akhlak, fiqh keseharian dan bahasa arab.
Seharusnya ada prioritas dalam belajar. Hendaknya kita lebih memprioritaskan pembicaraan tentang tauhid dan akidah. Itulah seruan pertama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ingin berdakwah. Beliau bersabda kepada Muadz yang diutus ke Yaman,
إنك تأتي قوما من أهل الكتاب، فليكن أول ما تدعوهم إليه شهادة أن لا إله إلا الله ” – وفي رواية: إلى أن يوحدوا الله
“Sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum Ahli kitab maka hendaklah dakwah yang pertama kali engkau sampaikan kepada mereka adalah syahadat Laa ila Illallah, dalam riwayat yang lain: supaya mereka mentauhidkan Allah”. (Muttafaqun ‘alaih)
Selain membicarakan kelompok, sebagian ikhwan-akhwat juga sibuk membicarakan kesalahan dan kejelekan ustadz/tokoh tertentu. Mencap sebagai ahli bid’ah tanpa tahu kaidah pembid’ahan atau mencap kafir tanpa tahu kaidah pengkafiran. Tidak mau ikut pengajian ustadz fulan. Bahkan sampai tingkat ulama. Syaikh fulan terjatuh dalam aqidah Murji’ah, syaikh fulan ikut merestui kelompok sesat, syaikh fulan sudah ditahzir/diperingati oleh syaikh fulan. Parahnya, info yang sampai ke dia hanya qiila wa qoola, berita-berita yang tidak jelas dan belum tahu apakah sudah tabayyun/klarifikasi atau belum. Akhirnya sibuk mencari-cari aib orang lain. Membicarakan kesalahan orang lain.
Seharusnya kita lebih banyak mencari kesalahan kita, merenungi dosa-dosa kita yang banyak. Seharunya kita ingat perkataan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
يبصر أحدكم القذاة في أعين أخيه، وينسى الجذل- أو الجذع – في عين نفسه
“Salah seorang dari kalian dapat melihat kotoran kecil di mata saudaranya tetapi dia lupa akan kayu besar yang ada di matanya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 592. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shahih)
Ustadz/tokoh tersebut jika memang ia salah, belum tentu kita lebih baik dari mereka. Bisa jadi amal mereka sedikit yang benar tapi sangat ikhlas. Sedangkan kita, seandainya banyak amal kita yang sesuai sunnah tapi tidak ikhlas, dipenuhi riya’ dan rasa sombong mampu beramal banyak. Ajaran islam mengajarkan agar kita tawaddhu’, rendah hati dan mengaggap orang lain lebih baik dari kita.
‘Abdullah Al Muzani rahimahullah berkata,
إن عرض لك إبليس بأن لك فضلاً على أحد من أهل الإسلام فانظر، فإن كان أكبر منك فقل قد سبقني هذا بالإيمان والعمل الصالح فهو خير مني، وإن كان أصغر منك فقل قد سبقت هذا بالمعاصي والذنوب واستوجبت العقوبة فهو خير مني، فإنك لا ترى أحداً من أهل الإسلام إلا أكبر منك أو أصغر منك.
“Jika iblis memberikan was-was kepadamu bahwa engkau lebih mulia dari muslim lainnya, maka perhatikanlah. Jika ada orang lain yang lebih tua darimu, maka seharusnya engkau katakan, “Orang tersebut telah lebih dahulu beriman dan beramal sholih dariku, maka ia lebih baik dariku.” Jika ada orang lainnya yang lebih muda darimu, maka seharusnya engkau katakan, “Aku telah lebih dulu bermaksiat dan berlumuran dosa serta lebih pantas mendapatkan siksa dibanding dirinya, maka ia sebenarnya lebih baik dariku.” Demikianlah sikap yang seharusnya engkau perhatikan ketika engkau melihat yang lebih tua atau yang lebih muda darimu.” (Hilyatul Awliya’ 2/226, Abu Nu’aim Al Ashbahani, Asy-Syamilah)
Tidak serius belajar bahasa arab
Mungkin ikhwan-akhwat yang baru ngaji sekalipun sudah tahu bahwa hukum mempelajari bahasa Arab, yaitu fardhu. Ada juga yang merinci fardhu ‘ain bagi mereka yang mampu belajar dan bagi orang-orang yang akan banyak berbicara agama seperti calon ustadz dan aktifis dakwah. Kemudian fardhu kifayah bagi mereka yang tidak mampu otaknya seperti orang yang sangat tua. Fadhu ‘ain juga pada ilmu yang mencukupkan ia paham agamanya dan fadhu kifayah pada ilmu tambahan seperti ilmu syair. Sebagaimana perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah:
“Di sana ada bagian dari bahasa Arab yang wajib ‘ain dan ada yang wajib kifayah. Dan hal ini sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Abu Bakar bin Abi Syaibah, dari ‘Isa bin Yunus dari Tsaur, dari Umar bin Yazid, beliau berkata: Umar bin Khottob menulis kepada Abu Musa Al-Asy’ari (yang isinya), “Pelajarilah As-Sunnah, pelajarilah bahasa Arab dan I’roblah Al-Qur’an karena Al-Qur’an itu berbahasa Arab.” (Iqtidho ’Shirotal Mustaqim hal 527 jilid I, tahqiq syaikh Nashir Abdul karim Al–‘Aql, Wizarot Asy Syu-un Al Islamiyah wal Awqof)
Bahasa Arab sangat penting, karena sarana memahami islam. Sehingga kita bisa mudah menghapal Al-Quran dan hadist, mudah tersentuh dengan Al-Quran, memahami buku-buku ulama. Hanya orang yang menguasai bahasa arab yang bisa merasakan manisnya menuntut ilmu.
Tetapi ada sebagian ikhwan-akhwat yang lalai belajar bahasa Arab, tidak serius dan ada juga yang menyerah belajar bahasa arab. Hal ini membuat mereka kurang kokoh dalam beragama. Dan setelah diperhatikan, Ikhwan-akhwat yang kemudian kendor menunut ilmu dan hilang semangat belajar agama bahkan futur adalah mereka yang tidak serius belajar bahasa arab.
Prosesnya mungkin seperti ini: pertama mereka semangat ikut kajian di sana-sini, kemudian mulai bosan dengan kajian yang temanya itu-itu saja. Dan berpikir materi seperti ini bisa dibaca di rumah dan di internet. Akhirnya hilang dari pengajian dan kumpulan orang-orang shalih. Kemudian dengan membacapun agak bosan [inipun kalau ia rajin membaca], karena buku-buku terjemahan dan artikel materinya sangat terbatas. Akhirnya ia malah disibukkan dengan hal-hal yang kurang bermanfaat seperti facebook dan internet berjam-jam, ngobrol-ngobrol tentang akhwat padahal belum mau nikah dan lain-lain. Bahkan terjerumus dalam hal-hal yang haram. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata:
وَنَفْسُكَ إِنْ أَشْغَلَتْهَا بِالحَقِّ وَإِلاَّ اشْتَغَلَتْكَ بِالبَاطِلِ
“Jika dirimu tidak disibukkan dengan hal-hal yang baik, pasti akan disibukkan dengan hal-hal yang batil” (Al Jawabul Kaafi hal 156, Darul Ma’rifah, cetakan pertama, Asy-Syamilah).
Berbeda dengan mereka yang mengusai bahasa arab. Mereka semakin tertantang untuk belajar banyak ilmu dan tingkatan ilmu yang lebih tinggi seperti ilmu mustholah hadist, kaidah fiqh, ushul fiqh, mendengarkan muhadharah/ceramah syaikh dan menelaah kitab-kitab ulama yang tebal dan berjilid-jilid. Sehingga mereka selalu disibukkan dengan ilmu, amal dan dakwah. Finally, mereka pun bisa merasakan kebahagian dan manisnya ilmu syar’i.
Tidak segera mencari lingkungan dan teman yang baik
Lingkungan dan teman sangat penting, karena sangat berpengaruh dengan diri kita. Ikhwan-akhwat yang baru ngaji biasanya masih mudah goyang dan tidak stabil, karena diperlukan teman-teman yang shalih dan baik. Bisa dilakukan dengan tinggal di wisma atau kost-kostan khusus ikhwan dan khusus akhwat. Atau jika memungkinkan pindah kelingkungan sekitar pondok atau perumahan yang banyak ikhwannya. Atau jika tidak bisa, sering-sering silaturahmi ke ikhwan-akhwat yang shalih dan shalihah serta berkumpul bersama mereka. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar(jujur).” (QS. At Taubah: 119)
Jika tidak, maka sudah sering terdengar cerita banyak ikhwan-akhwat yang dulunya semangat ngaji sekarang sudah futur dan hilang dari peredaran dakwah. Lingkungan dan teman yang baik memang dibutuhkan bagi semua orang.
Mengenai teman yang baik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ ، وَكِيرِ الْحَدَّادِ ، لاَ يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيهِ ، أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ ، وَكِيرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً
“Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang sholih dan orang yang jelek adalah bagaikan berteman dengan pemilik minyak misk dan pandai besi. Jika engkau tidak dihadiahkan minyak misk olehnya, engkau bisa membeli darinya atau minimal dapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau dapat baunya yang tidak enak.” (HR. Bukhari no. 2101)
Perlu diperhatikan bahwa hati manusia lemah, apalagi jika sendiri. Perlu dukungan, saling menasehati antar sesama. Selevel Nabi Musa ‘alaihissalam saja memohon kepada Allah agar punya teman seperjuangan yang bisa membantunya dan membenarkan perkataannya, yaitu Nabi Harun alaihissalam . Beliau berkata dalam Al-Quran,
وَأَخِي هَارُونُ هُوَ أَفْصَحُ مِنِّي لِسَاناً فَأَرْسِلْهُ مَعِيَ رِدْءاً يُصَدِّقُنِي إِنِّي أَخَافُ أَن يُكَذِّبُونِ
“Dan saudaraku Harun dia lebih fasih lidahnya daripadaku, maka utuslah dia bersamaku sebagai pembantuku untuk membenarkan (perkataan)ku; sesungguhnya aku khawatir mereka akan mendustakanku”.(QS. Al-Qashash: 34)
Hilang dari pengajian dan kumpulan orang-orang shalih serta tenggelam dengan kesibukan dunia
Penyebab terbesar futur adalah point ini. Majelis ilmu adalah tempat mere-charge keimanan kita, setelah terkikis dengan banyaknya fitnah dunia yang kita hadapi.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ
“Tidaklah suatu kaum berkumpul di satu rumah Allah, mereka membacakan kitabullah dan mempelajarinya, kecuali turun kepada mereka ketenangan, dan rahmat menyelimuti mereka, para malaikat mengelilingi mereka dan Allah memuji mereka di hadapan makhluk yang ada didekatnya”. (HR. Muslim nomor 6793)
Dan orang-orang shalih adalah pendukung dan penguat iman kita dengan saling menasehati. Di mana dengan berteman dengan mereka, maka kita akan sering mengingat akhirat dan menjadi tegar kembali dalam beragama. sebagaimana Ibnul Qoyyim rahimahullahu berkata,
وكنا إذا اشتد بنا الخوف وساءت منا الظنون وضاقت بنا الأرض أتيناه، فما هو إلا أن نراه ونسمع كلامه فيذهب ذلك كله وينقلب انشراحاً وقوة ويقيناً وطمأنينة
“Kami (murid-murid Ibnu Taimiyyah), jika kami ditimpa perasaan takut yang berlebihan, atau timbul dalam diri kami prasangka-prasangka buruk, atau (ketika kami merasakan) kesempitan hidup, kami mendatangi beliau, maka dengan hanya memandang beliau dan mendengarkan ucapan beliau, maka hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan berganti dengan perasaan lapang, tegar, yakin dan tenang.” (Al Waabilush Shayyib hal 48, cetakan ketiga, Darul Hadist, Asy-Syamilah)
Tidak sedikit kita mendengar berita:
- Ikhwan yang dulunya semangat mengaji dan menjadi panitia-panitia kajian, kemudian bekerja di perusahaan kota A dengan gaji yang menggiurkan sekarang sudah potong jenggot, isbal, berpacaran dan seolah-olah menjauh dari ikhwan-ikhwan jika di sms atau ditelpon.
- Akhwat yang dulunya semangat menuntut ilmu, memakai jilbab lebar, memakai cadar bahkan purdah, kemudian melanjutkan studi S2 atau S3 dikota B atau di luar negeri, kemudian terdengar kabar bahwa ia sudah memakai jilbab ala kadar yang kecil “atas mekkah bawah amerikah”.
Terkadang kita tidak percaya dengan berita-berita seperti ini. Bagaimana mungkin dulu ia adalah guru bahasa arab, imam masjid dan jadi rujukan pertanyaan, sekarang menjadi seperti itu. Semua ini bisa jadi karena tenggelam dengan kesibukan dunia dan terkikis fitnah secara perlahan-lahan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memisalkannya seperti tikar, beliau bersabda,
تُعْرَضُ الْفِتَنُ عَلَى الْقُلُوبِ كَالْحَصِيرِ عُودًا عُودًا
“Fitnah-fitnah akan mendatangi hati bagaikan anyaman tikar yang tersusun seutas demi seutas”. (HR.Muslim no 144)
Demikian yang dapat kami jabarkan. Dan dampak dari beberapa kesalahan tersebut adalah:
- Merasakan kesempitan hidup setelah mengenal dakwah ahlus sunnah
- Dakwah tidak diterima oleh orang lain
- Merusak nama dakwah salafiyah ahlus sunnah dan memberi kesan negatif
- Memecah belah persatuan umat Islam
Kemudian marilah kita banyak-banyak berdoa agar diberi istiqomah beragama yang merupakan anugrah terbesar.
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ
“Yaa muqollibal qulub tsabbit qolbi ‘ala diinik” artinya: ‘Wahai Zat yang membolak-balikkan hati teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu’ (HR. Tirmidzi no 2066. Ia berkata: “Hadits Hasan”, dishahihkan oleh Adz-Dahabi)
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Baca juga: Bukan Salafi Karena Beda Guru Ngaji
—
Disempurnakan di Lombok, pulau seribu masjid
6 Syawwal 1432 H, bertepatan 5 September 2011
Semoga Allah meluruskan niat kami dalam menulis.
Penyusun: Raehanul Bahraen
Editor: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel: Muslim.or.id
benar benar tulisan yang sesuatu. mantab banget membacanya. saya termasuk yang dahulu menjauhi dakwah ini dan sekarang mulai tertarik lagi setelah membaca web web seperti ini dan mendengarkan radio Rodja ,yang menunjukan keindahan dan kemudahan Islam.
barakallohu fikum
Subhanallah, pembahasan yang keren dari asatidz Salafi. Semoga para pelajar seperti kami mampu berdakwah dengan fiqhud da’wah yang benar.
Assalaamu’alaykum…
bener banget ustadz, ana juga dulu di awal-awal ngaji bersikap seperti itu..
persis pepatah,
> “bagaikan padi, makin berisi makin mnunduk”
atau
> “Tong Kosong, Nyaring Bunyinya”
atau
“air beriak tanda tak dalam”
semoga Allah berkenan mengampuni ikhwan/akhwat yang berlaku demikian,
syukron ustadz…
wassalaam
alhamdulillah, sungguh mencerahkan. smoga kita bisa istiqomah.
Alhamdulillah, semoga menjadi pelajaran berharga untuk perjalanan dakwah yang lebih baik lagi.. amin.
Subhanallah… Sip tulisannya.. sangat mengena dihati…
Assalamu’alaikum
Alhamdulillah, tulisan yang bagus, jadi ingat kejadian ketika selesai shalat berjamaah ada anak muda yang menolak salam/jabat tangan sesorang yang sudah tua, dan berkata “tidak boleh”. Orang tua tersebut jadi tersinggung, padahal hukum menjawab salam adalah wajib.
Artikel yang mantap, Ustadz. Antum benar sekali, ana ketika pertama kali belajar ilmu agama dengan manhaj salafy juga berkelakuan seperti di atas. Namun seiring dengan berjalannya waktu dengan pertolongan Allah Ta’ala, sedikit demi sedikit perilaku tersebut bisa ana eliminasi. Seharusnya dengan semakin banyak belajar, khususnya me-model generasi salafus shalih, maka perilaku tersebut seharusnya semakin jauh berkurang
subhaanallah.. tulisan yg mencerahkan.
memang seorang da’i bukanlah hakim yg memvonis. dlm menda’wahkan Islam harus dgn cara yg lemah lembut, menyentuh hati, dan menggetarkan jiwa.
diperlukan ilmu syar’i yg mumpuni, juga diramu dgn pemahaman realita di masyarakat.
bekerja sama dgn jama’ah dakwah lain dalam hal2 yg disepakati. juga saling toleransi dlm hal2 yg blm disepakati.
dgn begitu, persatuan ummat dan peradaban serta kejayaan Islam kan jadi kenyataan. insyaAllah..
Masya Allah, sebuah teguran yang sejuk dan menghenyak sisi terdalam untuk tersadarkan. Barakallohufikum bagi para penulis artikel diatas..semoga Allah mengokohkan kita semua diatas manhaj salaf.
Jazaakallahu khairan
merasa lebih tinggi derajatnya… hingga ujub.. dan tidak sadar dijangkiti penyakit riya’ …
MOHON MAAF KEPADA SAUDARA2KU YG PERNAH KUSAKITI !!.. DULU SAYA BODOH …. dan semakin belajar semakin tahu kalo saya sangat bodoh….
kalo sudah lama ngaji tidak sadar akan hal ini, hati2 akhi, itu talbis iblis….
Siapa yang menyangka, kalau anak muda disebelah kita yg sholatnya dgn ‘pakaian seadanya’ justru dialah yg ikhlas dan diterima oleh Allah… namun kita ? dengan jubah, wangi2an, siwak, celana cingkrang telah berbuat ujub dan Riya’
bismillah, assalamu’alaikum warohmatullahi wa barokatuh
setau anaa dulu ya, sumber tulisan ini berasal dari:http://elhijrah.blogspot.com/2011/09/beberapa-kesalahan-yang-sering.html
namun di situs ini tidak mencantumkan sumbernya. apakah dari situs ini asal tulisan ini? ternyata tidak, dilihat dari tanggalnya adalah 26 okt 2011.
mau nanya, apa boleh copy paste tanpa mencantumkan sumbernya? seolah-olah kalau tidak mencantumkan sumbernya maka terlihat tulisan itu dari saya, dan orang yang membacanya seolah terkesan. padahal bukan tulisan dari saya. bukankah ini mengambil hak orang dan mencari ketenaran dari tulisan orang yang tidak diambil sumbernya. barokallahufikum kalau ada dari komentar anaa ini yang salah mohon diluruskan.
#wahidin
Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh, tulisan tersebut adalah buah tangan al akh Raehanul Bahraen yang merupakan kontributor di web ini.
Tulisan tersebut juga diserahkan langsung oleh penulisnya kepada redaksi kami, juga di edit dan di muraja’ah ulang oleh redaksi kami. Demikian semoga bisa dipahami.
Alhamdulilah… terima kasih, ustadz…!
alhamdulillah…
tulisan yang ditunggu-tunggu akhirnya hadir juga, mudah-mudahan membuka mata hati kita semua, semoga tambah banyak yang baca, dan semakin banyak yang sadar akan kekurangan yang kita punya,
jazakumullahu khoiron untuk semua orang yang ikut andil dalam tulisan ini,
mudah-mudahan Allah memberikan rahmat-Nya untuk kita semua, mempersatukan kita di atas sunnah nabi-Nya, aamiin.
untuk akh wahidin..
setelah ana buka situs [http://elhijrah.blogspot.com/2011/09/beberapa-kesalahan-yang-sering.html] yang antum muat, ternyata disebutkan sumbernya akh,
di akhir tulisan tercantum..
“Disempurnakan di Lombok, pulau seribu masjid
6 Syawwal 1432 H, Bertepatan 5 September 2011
Penyusun: Raehanul Bahraen”
@admin,
di tampilan web yang baru, kolom komentarnya error.
di artikel ini (https://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/ketika-mulai-%E2%80%9Cngaji%E2%80%9D-terlalu-semangat-keras-dan-kebablasan.html) muncul / komentar tahun 2009, sbb:
#
wong dheso
28 Jan 2009 [Permalink]
Mengamalkan ilmu perlu kekuatan iman contohnya : menjaga sholat malam
#
AnA
29 Jan 2009 [Permalink]
ana izin copy y…ga cuma artikel ini ja…artikel2 yg lainnya juga…gpp kan?
source Insya Allah selalu disertakan…
jakallahu khairan
#
decky
01 Feb 2009 [Permalink]
assalamu ‘alaikum wr. wb.
bagaimana cara yang benar agar ana dpt beramal dakwah yang baik di lingkungan kampus..
krn saat2 ini ana sedang ada permasalahan dengan teman aktivis satu kampus tentang dakwah…
ana memang baru belajar dengan ilmu salaf, tadinya ana banyak dicekoki dengan kata2 haroki yang manis..
sebenarnya bagaimana sih dakwah itu sendiri, tahapan apa yang dilakukan seorang aktivis,
#
FATAHUDDIN
15 Apr 2009 [Permalink]
Assalamu alikum, wr.wb. and salam kenal; saya sangat suka dengan ilmu-ilmu yg berkaitan dgn syariat2 agama.
dan komentar itu muncul di setiap post lainnya
#abdullah
Syukran atas infonya, sudah kami perbaiki, namun untuk komentar tanggal 29 dan 28 mungkin ada yang ‘salah alamat’, artinya muncul di artikel yang salah.
#wahidin
Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Al-Akh Yulian Purnama bahwa tulisan yang ada di blog saya tepatnya http://elhijrah.blogspot.com/ merupakan tulisan karya Al-Akh Raehanul Bahraen dan saya hanya mencopy nya dari catatan fb beliau atas izin beliau. Dengan demikian sumber yang dicantumkan http://www.muslim.or.id sudah sebagaimana mestinya yaitu penulisnya langsung Al-Akh Raehanul Bahrain sebagaimana yg saya cantumkan juga di blog.
@wahidin
benar apa yang dikatakan akh Yulian purnama, awalnya tulisan saya berupa note, kemudian saya menyerahkan kepada muslim.or,id agar di edit dan dipublikasikan. kebetulan ikhwan yang mengelola situs
http://elhijrah.blogspot.com
meminta agar dicopas diblognya, saya mengizinkan,dan kebetulan lebih dahulu terbit di blog tersebut.
tulisan di muslim.or.id ini mungkin bisa dibilang resminya.
assalaamu’alaikum,,
hehehe iya gitu jangan dicontohkan sendiri atuh, kok ane rasa malah dicontohkan sendiri ya? heehehe ^^v
Artikel yang bermanfaat, insya Allah
Sebuah nasihat yang sangat bermanfaat terutama buat diriku dan temanku yang dahulu telah mengenalkanku manhaj salaf dan kini dia telah futur.aku merindukan dia kembali ngaji lagi sebagaimana dahulu dia semangat mengajakku mengenal manhaj salaf…ijin copas tadz..
Dan sy senang sekali, yg menulis diatas ternyata begitu peka & peduli dgn sesama muslim.
kita memang harus adil kpd siapapun, bijak terhadap apapun, & bisa mnghargai segala sesuatu sesuai kadarnya serta berupaya yg terbaik dgn segenap kemampuan utk mengajak yg kita sayangi kpd jalan yg haq.
Kalaulah kita sedikit meluangkan waktu utk memperhatikan para du’at non salafiyin bgmn cara mrk berda’wah…knp lbh disukai & lbh maju dr salafi, niscaya kita akan menemukan sesuatu yg patut dijadikan contoh.
Misalnya (& ini adlh contoh nyata dr seorang yg sy kenal dgn baik): ada seorang da’i muda yg mulai ngontrak di daearh padalarang tepatnya di blkg pasar tagog, dimana dia hny mengenal seorang teman sj, tp krn pandai mengambil hati beberapa temannya dr temannya ini yg notabene para kuli pasar, & jg pandai mengambil hati bbrp tetangga sesama pengontrak yg hampir semua berprofesi pedagang kecil…mrk akhirnya tertarik utk ngaji ke da’i muda ini..ngajinya bukan mendalami kitab yg beratus-ratus halaman, tp cuma ngaji qur’an biasa, ngaji iqro, belajar tata cara sholat…lg pula mana tertarik orang islam yg awam banget(jauh dr agama)mau belajar tauhid. Dan da’i muda ini sehabis ngaji selalu menyediakan sedikit cemilan sekedar gorengan, bubur kacang, kolek, air kopi dll kpd jama’ahnya. sedikit demi sedikit da’i muda ini mulai mengajarkan kitab fikih yg tipis, malah dr dompetnya sendiri dia membelikan kitab utk semua para muridnya..dan sedikit demi sedikit pula mulai diajarinya tauhid kemudian akhlaq. Dan sedikitpun da’i muda ini tak meminta upah apapun…org yg ngajinya adlh kalangan bawah yg pendidkan sekolahnya rendah….mrk mau ngaji sj itu sdh bagus banget !
Sebuah TPA didekat rmhku, mrk bisa mengelolanya dgn prosesional dgn fasilitas yg cukup bagus, bahkan prnh mendapatkan gelar PAUD terbaik se kota cimahi (kalo paginya sekolah paud, sorenya tpa)& utk khususnya pelajaran agama(tpa) mrk tak mematok bayaran…mau bayar berapapun/tdk terserah keikhlasan para ortu murid.
ada lagi teman kami yg cuma prnh jd sanrti di ponpes tradisional, mulai berkelana mencari lahan pekerjaan, ngontrak disuatu tampat, dia rajin sekali ke msjd, mulai bisa mencuri hati warga sekitarnya…akhirnya dipercaya utk mengajari anak2 belajar iqro, sedikit demi sedikit muridnya bertambah, lalu merambah ke para orangtuanya utk mengaji, tp krn dia nyadar diri “bahwa ilmunya amat pas2an” sdngkan warga mulai mempercayainya sbg ust, krn tdk mau mengecewakan warganya..dia mau berusaha belajar lg kpd yg dianggapnya lbh alim, dia perdalami lg bhs arab & kitab2 yg mu’tabar.
****sy pikir, ini salah satu cara efektif agar tdk futur ngaji. “yakni: berani & percaya diri utk berbagi ilmu kpd org disekitaran rmh kita sj dulu, baik itu keluarga/tetangga.
Kadang sy temui jama’ah salafi yg merasa minder utk berbagi ilmu(mengadakan halaqoh pengajian) krn merasa blm mumpuni, blm bergelar LC, pdhl sy tau kalau keilmuannya sdh cukup utk sekedar mengajarkan iqro/tata cara sholat/tauhid yg sederhana.
kalo kIta blm mampu menguasai ilmu mustholah hadist apalagi mengajarkannya, knp kita tak garap pelajaran iqro secara gratis kpd masyarakat. lagipula ibaratnya mana mungkin anak TK dikasih pelajaran SMA. Ajarkanlah apa yg kita mampu..utk tahap selanjutnya kita serahkan/referensikan jama’ah kita kpd ust yg lbh dalam ilmunya.
Dan ada seorang teman kami jg(sama2 sekampung-org garut) yg cuma lulusan ponpes tradisional, ketika ditawari utk jd ust didaerah pedalaman lampung…dgn semangatnya dia terima tawaran tsb, walopun hrs berkelana sbg bujangan seorang diri diperantauan dgn ilmu yg pas2an…akhirnya menurutnya, dia dipercaya jd tokoh masyarakat di lingkungannya, dan dia jg bekerja serabutan di perkebunan. Krn merasa malu dgn ilmu yg pas2an dia rela mengeluarkan bnyk pulsa utk mengontak gurunya menanyakan berbagai masalah agama…& meminta bantuan kami utk dibelikan kitab2 yg bermutu.
Dan taukan apa yg dikatakan teman kami ini…bahwa di daerah2 pedalaman itu banyak sekali yg membutuhkan ust sbg pembimbing mrk.
Apa anda jg tau kalo warga pesisiran pantai jarang terjamah oleh org yg benar2 alim, yg mau berda’wah dipesisiran pantai itu amat sedikit.
& sangat miris sekali dgn kebiasaan nelayan muslim negri ini…bahwa minuman keras merupakan budaya yg mendarah daging, alasannya bahwa di tengah laut itu dingin..sedangkan kalo minum alkohol tubuh jd lbh hangat, blm lg budaya ritual sajennya, inilah mungkin yg menyebabkan ‘knp nelayan muslim kita ini bnyk yg hidupnya nelangsa’
Jangankan pedalaman/pesisiran pantai diperkotaan sj kalo kita cermati sebetulnya banyak sekali masjid2 yg kesepian & membutuhkan ust yg mengurusnya/meramaikan dgn sholat jama’ah & kajian. kamipun bbrp kali mendapatkan tawaran utk mengurus msjd menjadi marbotnya.
para salafiyin sekalian yg memang unggul dlm ilmu agama, & yakin berada di jalan firqotunnajiyah…tp knp anda sprtnya kalah berda’wah dimasyarakat dibanding yg non salafi, & knp anda krg bisa memikat hati mrk ?! sebenarnya salah masyarakatnya atau salah ‘cara’ anda-nya !
atau kita mungkin baru beraninya da’wah di internet..komen sana-komen sini/bagi2 brosur dauroh ke org2.
kalo kita memang mumpuni di bidang agama, rajin ke masjid, peka dgn lingkungan sosial kita, & pandai mengambil hati masyarakat…INSYAALLOH sebetulnya tdk sulit menjadi ustd berda’wah lillahi ta’ala membimbing diri/keluarga & masyarakat kita demi mengharapkan wajahNYA
Dan jangan anggap remeh mengajarkan iqro/membaca qur’an…krn apabila apabila murid bisa berhasil membaca qu’an dgn sebab pelantaraan kita….kalo murid tsb mengamalkan bacaan quran sampai akhir hayatnya, maka tak bisa terbayangkan betapa sangat besar pahalanya !!
kita yg mungkin tak mampu bersedekah dgn harta, kenapa msh bakhil bersedekah dgn ilmu & waktu kita??
kalo mrk sj yg pas2an ilmunya & bukan bermanhaj salaf…’BISA’ utk terjun langsung secara nyata kpd masyarakat, kenapa bnyk diantara ikhwan salafiyin yg sudah sekian lama ngaji, sudah mampu menghapal bbrp juz Qur’an & banyak menghapal hadist, lurus aqidahnya…kok…bisa terkalahkan dan yg lbh parah malah futur ngajinya ??? ALLOHU AKBAR
Assalamualaikum ustad, saya baru kenal manhaj salaf, alhamdulillah. Pernah ada yang menasihati saya, “perhatikan dari siapa engkau mengambil ilmu”. Dulu saya pernah ikut liqo, karena jadwalnya selalu bertabrakan dengan waktu menjemput sekolah anak saya dan jaraknya yang cukup jauh, akhirnya saya sempat absen. Dan alhamdulillah, di saat absen itulah, saya mulai mengenal manhaj salaf ini. Saat ini, saya beberapa kali diajak ikut liqo oleh sebuah beberapa simpatisan parpol yang mengusung “dakwah”. Saya selalu menolak dengan alasan waktunya yang belum sesuai. Saya melakukan seperti demikian karena dengan segala kelemahan saya, saya khawatir bila mengikuti banyak pengajian “gado-gado”, nanti saya tidak bisa membedakan mana yang haq dan mana yang bathil, terutama apabila pembimbingnya membawakan hadits yang dhoif/palsu dimana saya tidak mengetahuinya (seperti sebagian doa alma’tsurat). Tetapi saya tetap bertegur sapa dengan mereka dan menghormati mereka, saya hanya merasa khawatir bila harus duduk dalam majelis ilmu mereka. Bagaimana sikap yang benar ya ustad? Terimakasih.
#Mily
Wa’alaikumussalam, yang anda lakukan sudah benar
Ibadah yang di barengi dengan perasaan adalah jalan masuknya setan…
klo setannya sudah buat kapling di hati, lebih bahaya lagi…
Merasa aman dari azab…
Merasa aman dari dosa…
Merasa banyak amal…
dll…
duhaiii… jiwa yang tidak tenang…….
Alangkah indahnya nasehat ini.. dan alangkah mengenanya kepada diri-diri ini. Alhamdulillah, saat hal itu terjadi mk kami telah diingatkan oleh paa ustadz khususnya Ustadz Abdul Hakim dan UStadz Yazid ketika mengetahui sebagian dari ikhwan di awal2 tahun 1990-an yg baru mengenal dakwah salaf kemudian begitu semangatnya menyebarkannya dg ilmu yg minim dan sikap yg keras termasuk thd orang tua.. maka nasehat keduanya membuat sadar diri ini bhw alangkah minim danlemahnya ilmu diri ini dan kurang adabnya thd orang-orang yg seharusnya dihormati dan didakwahi dengan lemah lembut serta penuh kesabaran… Semoga tulisan ini menjadikan ikhwan/akhwat yg baru maupun yg lama telah mengenal Manhaj yg haq ini agar merenunginya dan menjadikan ibrah khususnya bagi diri sendiri..
izin untuk copy yaa buat temen temen saya.jazakallah khoir
Izin untuk meng copy, sebagai nasihat diri, jazakalloohu khoir
izin untuk meng-copy…jazakumullah khair…
Nasehat yang indah, izin mengcopy ke blog saya…jazakumullohu khoiron katsir
izin share di facebook yah.. karena ini sangat bermanfaat.. syukran, jazakumullahu khairan
klo ane dari kanan seperti terjangkiti penyakit dengki.. dari kiri serangan syahwat.. dari depan tentang masa depan di keluarga dan keluarga besar, yang modalnya silaturahim-nya sudah kurang baik.. dari belakang teman-teman sekolah yang telah meramu kepribadian hingga menjadi seperti sekarang..
astaghfirullah… doakan ana… semoga Allah melindungi kita semua..
Assalamu’alaikum,minta ijin untuk mengcopy paste,Jazakumullohu khoiron
memang inilah poin-poin yang harus dimiliki seorang muslim/ah dalam berdakwah.
karena sebaik apapun kebaikan yang kita bawa akan menjadi sia-sia apabila tidak dibawakan dengan benar.
Syukron atas masukannya.
Jazakallah khair ats ulasan ini. Membuka mata hati sy sbg pengjr baik untuk ilmu2 agama dan dunia. Jg tt hati2 dlm berdebat, mhn izin untuk dicopy untk nara sumber pribadi. Hormat sy kpd penulis.Barakallahu fiihi.
alhamdulilah….sangat bermanfaat uztad. semoga kita semua termasuk para pembaca istiqomah di jalan yang lurus.aamiiin
Assalamualaikum wr.wb…
Mohon izin share agar saling mengingatkan :)
Wa’alaikumus salam wa rahmatullah wa barakatuh, silahkan
Assalamu’alaikum pa ustadz
Masalah kijing dan semen di atas kubur
bagai mana bila kijing atau semen sudah terpasang di atas kubur
haruskah di bongkar ?
Lalu bolehkah menggunakan batu atau tanaman sebagai tanda kuburan ibu saya ?
Wa’alaikumus salam, intinya harus dipertimbangkan bahaya dan manfa’atnya/maslahatnya. Memang membangun kuburan hukumnya haram dan menjadi sarana kesyirikan .Namun jika membongkarnya diduga kuat akan menimbulkan bahaya yg lebih besar,maka mengingkari kemungkaran ketika itu tidak disyari’atkan bahkan terlarang. Tunda dulu,beri pengertian keluarga, jelaskan dalilnya. Dan konsultasikan lebih rinci ke Ustadz terdekat, agar bisa ikut membimbing langsung menyelesaikan masalah,jangan bertindak sendiri tanpa bimbingan orang yang berilmu , lurus manhajnya dan pandai menimbang bahaya dan maslahat.
Jazakallahu Khairan
Wa iyyaakum
alhamdulillah… manfaat bangat ini buat saya
Subhanallah mencerahkan..
Izin share di blog agar semakin banyak tersebar dan bermanfaat….
Jazakallahu khayran ustadz atas tulisan ini. Betul2 sangat mengena, saya sampai berlinang air mata di tengah malam. Pertengahan tahun lalu saya baru mengenal manhaj Salaf, lalu ke ilmu2 tentang firqoh2 dan yg lebih dalam lagi. Lalu belakangan ini saya merasa ada yg aneh dengan sikap saya dalam beragama. Seperti ada rasa ujub dan terlalu kritis terhadap semua orang, baik awam maupun tokoh2. Saya jg jadi berambisi utk mengajak orang ke posisi dimana saya berada skrg lewat sosmed, tapi caranya terlihat sombong sepertinya. Tulisan ini seakan menjawab kegundahan beberapa bulan terakhir ini. Semoga Allah memperbaiki akhlak saya kembali. Saya rindu dengan diri saya 5 tahun yg lalu ketika pertama kali kembali ke Islam. Saya merasa sebelum hidayah Islam, hidup saya berlumuran dosa, kebodohan, dan segala keburukan. Sehingga ada ketulusan yg mendalam ketika saya shalat dan berdoa. Bahkan hati kala itu sangatlah lembut.. mudah menangis melihat kebaikan, kedzaliman, kesederhanaan, dll. Lisan mudah mendoakan org lain. Selalu berusaha melihat kebaikan org lain. Sampai2 saya uninstall sosial media karena saya tidak ingin menilai rendah dan berprasangka buruk thd org2 yg belum dapat hidayah. Menjauhi berita2 di internet. Waktu itu sy hanya fokus pada perbaikan diri dan membantu keperluan keluarga. Menabung amal yg mudah dijangkau dan menjauhi dosa sebisa mungkin. Amalan saya yg dulu jauh sekali seperti hari ini. Bahkan dulu saya blum bisa mengaji dgn tajwid yg benar, hari ini sudah mulai menghafal Al Quran. Tapi amalan2 yg dulu sangat amat tulus dan hanya berharap ridho Allah. Sampai belakangan ini topik agama marak, lalu sy berpikir sy pun ingin ikut berdakwah. Tapi ternyata ilmu dan adab sy masih prematur. Dan sy jadi bingung apakah ini semua demi Allah, atau demi ambisi saya saja. Astaghfirullah. Semoga Allah ampuni saya dan kita semua. Dan semoga Allah menjadikan kita manusia yg berakhlak mulia. Amiin Ya Robbal A’lamin. Izin copy dan share tulisannya ya..