Allah ta’ala berfirman tentang diri-Nya,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syuura: 11)
Syaikh Abdurrahman bin Naashir As-Sa’di rahimahullah mengatakan di dalam kitab tafsirnya, “[Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya] maknanya tidak ada yang menyerupai Allah ta’ala dan tidak ada satu makhluk pun yang mirip dengan-Nya, baik dalam Zat, nama, sifat maupun perbuatan-perbuatan-Nya. Hal ini karena seluruh nama-Nya adalah husna (paling indah), sifat-sifatNya adalah sifat kesempurnaan dan keagungan……”
Beliau melanjutkan, “[dan Dia Maha Mendengar] maknanya Dia Maha Mendengar segala macam suara dengan bahasa yang beraneka ragam dengan berbagai macam kebutuhan yang diajukan. [Dia Maha Melihat] maknanya Allah bisa melihat bekas rayapan semut hitam di dalam kegelapan malam di atas batu yang hitam……”
Beliau melanjutkan, “Ayat ini dan ayat yang semisalnya merupakan dalil Ahlu Sunnah wal Jamaah untuk menetapkan sifat-sifat Allah dan meniadakan keserupaan sifat Allah dengan sifat makhluk. Di dalam ayat ini terdapat bantahan bagi kaum musyabbihah (kelompok yang menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk -ed) yaitu dalam firman-Nya:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.”
Juga bantahan bagi kaum mu’aththilah (kelompok yang menolak penetapan sifat Allah -ed) dalam firman-Nya
وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ
“Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
(Taisir Karimir Rahman)
[lwptoc]
Tidak Ada Sesuatu Pun yang Serupa Dengannya
Saudaraku, ayat ini adalah ayat yang sangat penting yang dijadikan para ulama sebagai pedoman dalam hal keimanan terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allah. Perlu kita ketahui bersama bahwa dalam mengimani nama-nama dan sifat Allah, kita harus bersikap sebagaimana sikap seorang muslim yang baik. Imam Syafi’i mengatakan, “Aku beriman kepada Allah dan segala berita yang datang dari Allah sesuai dengan maksud Allah. Aku beriman kepada Rasulullah dan berita yang datang dari Rasulullah sesuai dengan maksud Rasulullah.” (lihat Lum’atul I’tiqad, Imam Ibnu Qudamah). Oleh sebab itu yang kita jadikan pegangan dalam memahami ayat ataupun hadits adalah petunjuk dari Allah dan Rasul-Nya. Bukankah Allah ta’ala telah menerangkan bahwa al-Qur’an adalah petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa. Allah juga menerangkan bahwa Nabi Muhammad benar-benar menunjukkan kepada jalan yang lurus. Oleh karena itu marilah kita cermati ayat di atas dengan seksama.
Pada penggalan ayat yang pertama Allah menyatakan (لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ). Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. (المِثْل) dalam bahasa Arab bermakna Asy-Syibhu wan Nadhiir (serupa dan sepadan) (lihat Mu’jamul Wasiith, cet Maktabah Islamiyah, hal. 854). Maka arti dari ayat ini adalah tidak ada sesuatu pun yang serupa dan sepadan dengan Allah. Pada penggalan ayat yang kedua Allah menyatakan (وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِي) Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (السَّمِيعُ) berasal dari kata (سَمِعَ) yang artinya mendengar. Sedangkan (البَصِيرُ) berasal dari kata (بَصَرَ ) yang artinya melihat. Nah, perhatikanlah terjemahan ayat ini dengan baik dan simaklah soal jawab berikut ini.
- Bukankah di dalam ayat ini Allah menyatakan tidak ada sesuatu pun yang serupa dan sepadan dengan-Nya? Anda tentu akan menjawab iya
- Bukankah di dalam ayat ini Allah menyatakan bahwa Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat? Anda tentu akan menjawab iya
- Nah, sekarang apakah kemampuan mendengar yang dimiliki Allah sama dengan kemampuan mendengar yang dimiliki makhluk? Tentu Anda akan menjawab tidak
- Apakah kemampuan melihat yang dimiliki Allah sama dengan kemampuan melihat yang dimiliki makhluk? Tentu Anda akan menjawab tidak
- Apakah makhluk memiliki sifat mendengar dan melihat? Anda tentu menjawab iya.
- Apakah sifat mendengar dan melihat yang ada pada makhluk serupa dengan sifat mendengar dan melihat yang ada pada Allah ? Anda tentu menjawab tidak.
- Apakah letak kesamaan antara sifat Allah dan sifat makhluk itu? Jawabnya adalah sama namanya, akan tetapi hakikatnya berbeda.
- Nah, dari sini, maka kalau Allah menyebutkan di dalam ayat atau hadits bahwa Allah memiliki sebuah sifat tertentu yang nama sifat tersebut sama dengan nama sifat yang ada pada makhluk, apakah kita akan mengatakan bahwa sifat Allah itu sama dengan sifat makhluk? Tentunya tidak. Karena sama nama belum tentu hakikatnya sama. Manusia punya kaki, gajah punya kaki. Akan tetapi hakikat kaki gajah berbeda dengan kaki manusia. Sesama makhluk saja bisa terjadi sama nama dengan hakikat yang berbeda. Maka antara makhluk dengan Allah tentu jauh lebih berbeda. Makhluk disifati dengan berbagai kekurangan sedangkan Allah disifati dengan berbagai kesempurnaan. Apakah sama Zat yang sempurna dengan yang penuh kekurangan? Tentu tidak! Maka demikian pula dalam menyikapi sifat wajah. Allah telah menyebutkan di dalam Al Quran maupun As Sunnah bahwa Dia memiliki wajah maka kita katakan pula bahwa wajah Allah tidak sama dengan wajah makhluk, meskipun sama namanya yaitu wajah. Lalu apa susahnya (mengakui bahwa Allah memiliki wajah -ed)?
Dalil dari Al-Qur’an
Kalau kita mencermati ayat-ayat al-Qur’an maka niscaya akan kita temukan sekian banyak ayat yang menyebutkan tentang wajah Allah. Di antaranya adalah:
“… Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari wajah Allah.” (QS. Al-Baqarah: 272)
“Dan orang-orang yang sabar karena mencari wajah Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang Itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik)” (QS. Ar-Ra’d: 22)
“Maka berikanlah kepada Kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula) kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari wajah Allah; dan mereka Itulah orang-orang beruntung.” (QS. Ar-Ruum: 38)
“Dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mengharapkan wajah Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).” (QS. Ar-Ruum: 39)
“Dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (QS. Ar-Rahman: 27)
“Tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari wajah Tuhannya yang Maha tinggi.” (QS. Al-Lail: 20)
Dalil dari As-Sunnah
Kalau kita membuka hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka niscaya akan kita dapatkan sekian banyak hadits yang menyebutkan tentang keberadaan wajah Allah, diantaranya adalah: HR. Bukhari : 54, 407, 431, 113, 1197, 1213, 2917, 3153, 3608, 3623, 3643, 3741, 3773, 3990, 3991, 4057, 4982, 5236, 5599, 5635, 5817, 5861, 5896, 5943, 5967, 6236, 6425, HR. Muslim : 828, 1052, 1562, 1759, 1760, 3076, 5297 (karena hadits yang berbicara tentang hal ini terlalu banyak maka kami mencukupkan diri untuk menyebutkan nomor haditsnya saja, itupun yang ada dalam Shahih Bukhari dan Muslim saja belum ditambah dengan referensi dari kitab-kitab yang lainnya)
Penjelasan Ulama
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menjelaskan: “Wajah (Allah) merupakan sifat yang terbukti keberadaannya berdasarkan dalil Al-Kitab, As-Sunnah dan kesepakatan ulama salaf.” Kemudian beliau menyebutkan ayat ke-27 dalam surat Ar-Rahman… (lihat Syarh Lum’atul I’tiqad, hal. 48) Beliau menjelaskan di dalam kitabnya yang lain: “Nash-nash yang menetapkan wajah dari Al-Kitab dan As-Sunnah tidak terhitung banyaknya, semuanya menolak ta’wil kaum mu’aththilah yang menafsirkan wajah dengan arah, pahala atau dzat. Sedangkan keyakinan yang dipegang oleh para pengikut al-haq yaitu menetapkan bahwasanya wajah adalah sifat dan bukan dzat. Dan penetapan sifat tersebut tidaklah melahirkan konsekuensi dzat Allah ta’ala tersusun dari berbagai anggota tubuh (seperti makhluk -pent) sebagaimana yang dikatakan oleh kaum Mujassimah. Akan tetapi sifat itu benar-benar sifat Allah yang sesuai dengan keagungan-Nya. Wajah-Nya tidak menyerupai wajah apapun. Dan wajah apapun tidak ada yang menyerupai wajah-Nya…” (lihat Syarah ‘Aqidah Wasithiyah)
Apakah Kata Wajah Itu Bermakna Hakiki ?
Ketahuilah saudaraku, sesungguhnya hukum asal suatu kata di dalam ayat maupun hadits harus dimaknai dengan makna hakiki. Tidak boleh menyimpangkan makna hakiki kepada makna lainnya kecuali apabila ada dalilnya yang tepat. Demikian pula hukum asal kata dalam ayat atau hadits adalah dimaknai sebagaimana adanya (zhahir nash). Tidak boleh menta’wilnya kecuali apabila ada dalilnya yang tepat. (silakan baca kitab-kitab Ushul Fiqih) Oleh sebab itu kita katakan bahwa kata wajah adalah bermakna wajah yang sebenarnya, bukan majas dan bukan makna yang lainnya.
Kalau muncul pertanyaan:
“Bukankah kalau kita menetapkan Allah punya wajah berarti kita telah menyerupakan Allah dengan makhluk? Bukankah Allah berfirman laisa kamitsilihi syai’un ?!”
Maka kami jawab:
Apakah dalam pandangan kalian, Allah melihat dan mendengar? Kalau kalian menjawab iya. Karena Allah sendiri menyatakan wahuwas samii’ul bashiir.
Maka kami tanyakan:
Apakah sifat mendengar dan melihat yang Allah miliki sama dengan makhluk? Maka kalian akan menjawab: Tidak.
Kami tanyakan:
Kenapa kok tidak sama, padahal sama namanya yaitu mendengar dan melihat? Maka mungkin kalian akan menjawab: Karena sifat mendengar dan melihat yang ada pada makhluk terbatas adapun sifat mendengar dan melihat yang ada pada Allah sempurna ?
Maka kami tanyakan:
Kenapa sifat tersebut sempurna ?
Maka kalian akan menjawab: Karena dimiliki oleh Dzat yang Maha sempurna Pencipta dan Penguasa alam semesta.
Nah, sekarang kami katakan kepada kalian:
Maka kalian pun harus bersikap yang sama dalam menerima sifat wajah yang sudah ditetapkan oleh Allah di dalam al-Qur’an dan Sunnah.
Allah punya wajah. Makhluk punya wajah. Akan tetapi wajah Allah tidak sama dengan wajah makhluk. Karena wajah Allah itu sempurna. Lalu apa susahnya kita meyakininya ? Kalau kalian tidak bersikap seperti ini maka itu artinya kalian tidak konsisten.
Oleh sebab itu orang yang menyimpangkan makna kata wajah kepada makna yang lainnya kami bantah dengan beberapa alasan :
Pertama:
Penafsiran seperti itu bertentangan dengan zhahir nash
Kedua:
Penafsiran seperti itu tidak didukung oleh dalil yang sah lagi tegas
Ketiga:
Penafsiran seperti itu bertentangan dengan kesepakatan ulama salaf
(lihat bantahan lainnya dalam Fathu Rabbil Bariyah, hal. 57-58)
Lalu bagaimana dengan ayat ‘Kullu syai’in haalikun illa wajhah’
Arti dari ayat tersebut adalah: Segala sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya. (QS. Al-Qashash:88 ) Nah, kalau memang kata wajah itu bermakna wajah yang sebenarnya lalu apakah ini artinya pada hari kiamat kelak segala sesuatu selain wajah Allah termasuk di dalamnya tangan Allah juga akan hancur, ah masa Allah tidak bisa menjaga tangan-Nya sendiri dari kehancuran ?! Maka kami jawab:
Jawaban Pertama:
Ini adalah mahfum mukholafah, mafhum ini berlaku jika tidak bertentangan dengan dalil yang lain. Berdasarkan kaidah ushul fiqih yang ada kita tidak boleh menyimpangkan makna kata wajah kepada makna lainnya. Inilah hukum asalnya. Selain itu tidak ada dalil sah lagi tegas yang mendukungnya. Selain itu penafsiran semacam itu juga bertentangan dengan metode penafsiran ulama salaf.
Jawaban Kedua:
Kalau kalian beralasan bahwa apabila kita memaknai wajah Allah sebagai wajah sebenarnya kemudian jika makna itu diterapkan pada ayat di atas maka itu artinya tangan Allah juga ikut hancur maka sungguh ini adalah pemahaman yang sangat keliru !!!
Cobalah perhatikan ayat yang lain:
Allah ta’ala berfirman yang artinya: “Allah adalah pencipta segala sesuatu”
Saya bertanya: Apakah Allah juga menciptakan diri-Nya sendiri? Tentu tidak !! Bukankah kata ‘segala sesuatu’ itu juga mencakup Allah, lalu mengapa kalian keluarkan Allah dari makna ayat ini ?!
Lihat ayat yang lain:
Allah ta’ala berfirman yang artinya: “Dan Kami ciptakan segala yang hidup dari air.”
Saya bertanya: Apakah malaikat dan jin juga termasuk yang diciptakan dari air ? Tentu saja tidak !! Lalu mengapa kalian tidak memasukkannya padahal jin dan malaikat juga termasuk cakupan istilah ‘segala sesuatu’ ?!
Lihat ayat yang lain:
Allah ta’ala berfirman tentang bencana angin yang dikirimkan kepada kaum ‘Aad, “Angin itu menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Rabbnya.”
Saya bertanya: Apakah langit dan bumi juga ikut hancur ? Tentu saja tidak !! Bukankah langit dan bumi juga termasuk cakupan kata ‘segala sesuatu’ ? Lalu mengapa kalian mengeluarkannya dari kata yang umum ini ?!!
Oleh sebab itu maka kami katakan pernyataan segala sesuatu akan hancur kecuali wajah Allah bukanlah berarti tangan Allah juga ikut hancur, karena hal itu bertentangan dengan dalil naqli maupun aqli.
Jawaban Ketiga:
Taruhlah makna kata wajah dalam ayat kullu syai’in haalikun illa wajhah adalah bukan wajah yang sebenarnya lalu bagaimana kalian akan memaknai hadits-hadits berikut ini:
Hadits pertama:
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa, “Wa as’aluka ladzdzatan nazhari ila wajhika wasy syauqa ila liqaa’ika.” Artinya: “Dan aku memohon kenikmatan memandang wajah-Mu serta kerinduan untuk menemui-Mu.” (HR. An-Nasa’I dalam Ash-Shughra (1305), disahihkan Al-Albani dalam Takhrij As-Sunnah: 424, lihat Fathu Robbil Bariyah, hal. 57) Apakah kata wajah ini akan dimaknai pahala, atau dzat atau yang lainnya ?!!
Hadits kedua:
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menafsirkan ayat lilladziina ahsanul husna wa ziyaadah (orang-orang yang berbuat baik maka mereka akan mendapatkan tambahan) Beliau menjelaskan bahwa makna tambahan dalam ayat tersebut adalah memandang wajah Allah (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, 8/223 Maktabah Syamilah) Apakah kata wajah ini akan dimaknai pahala, atau dzat atau yang lainnya ?!!
Wallahu a’lam bisshawaab
***
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id
Ana minta dalil dari atsar sahabat ttg wajah Alloh & Qoul Imam Abu Hanifah & Imam Malik ttg hal yang sama.Jazakalloh.URGENT!!!
Saya suka membaca artikel yang berkaitan dengan tauhid, karena dapat meningkatkan iman saya dan saya menikmatinya, sehingga menciptakan ketenagan dalam menjalani kehidupan ini. Terima kasih
Wassalam,
Muhammad Nasir
“Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari wajah Allah.”
Bagaimana tafsiran sebenarnya ayat diatas? Bisakah dimaknai mencari wajah Allah = mengharapkan pahalaNya tapi tidak dengan menafikan sifat wajah Allah yang hakiki.
Meski sebenarnya balasan yang paling besar adalah dengan melihat wajah Allah di akhirat kelak.
Bukankah Allah Al Haq Azza Wa Jalla telah menurunkan AlQur’an sebagai dalil yang Haq disisiNya. Dalam nash Qur’an memang disebutkan “Wajah Allah”. Namun, nash bahasa dlm Qur’an jg sekali-kali dipahami secara literal dan parsialistik. Bukankah Allah menurunkan Qur’an bagi Ulil Albab?,
Bukankan ayat Qur’an dibuat dan diseru dengan perumpamaan2 yang nyata -menyuruh dan menyeru kita pada hakikat akal (dalil naqli)?. Tidaklah sama Wajah Allah dengan segala materi & penciptaan yang terdapat di seantero alam semesta. Jelas tdk akan sama..
Nah, artikel di atas sudah cukup baik untuk menjelaskan sifat2 Allah tsb. Dan penjelasan itu sangat selaras dengan Surah Al-Ikhlas. Logika rasional kita tak akan mampu “memeta”, tapi nurani iman kita InsyaAllah pasti kan menerima.
Wassalam.
Azzamzami ad Din
Padang
Sekedar tambahan untuk jawaban pertanyaan terakhir…
Penyebutan kata wajah (tanpa menyebutkan yang lain) dalam banyak nash, itu masuk dalam kaidah: “dzikrul ba’dhi wa irodatul kulli” (menyebutkan sebagian, tapi yang dimaksud adalah seluruhnya)…
misalnya dalam Alqur’an, perintah memerdekakan budak, Alloh berfirman: “… maka merdekakanlah leher seorang budak!” maksudnya adalah perintah memerdekakan seorang budak yang sempurna, bukan hanya lehernya saja… dan masih banyak contoh yang lain (bisa banyak ditemui di kitab-kitab nahwu)… menurut ana jawaban ini lebih mudah dan jelas… Wallohu a’lam
ANa setuju, seperti juga kadang kita berkata, “saya bertemu muka dengan si fulan.” Maka maksudnya tentu orang itu lengkap jasadnya tidak muka saja. Maka Alloh lebih mulia dari perumpamaan ini dan sungguh Alloh dan RosulNya telah mengabarkan bhw ALloh memiliki dua tangan, betis, wajah, tertawa, marah, takjub, dll hal yg semua itu sesuai dengan kemuliaan ALloh. Dan saksikanlah ana dan seluruh turunan ana (Insya ALlohu Ta’ala) beriman atas semua ini sesuai dengan kemuliaan Alloh tanpa mengatkwilnya dll.
assalamu’alaikum
ya Allah jadikankanlah kami semua orang yang bisa menatap wajah-MU kelak di hari akhir
Demi Dzat yang WajahNya ingin ku tatap selamanya di Jannah
TUNJUKAN KE AGUNGN MU ALLAH
YA ALLAH ANPUNILAH DOSA KAMI YA ALLAH DAN MASUKANLAH KAMI KE SYURGAMUUUU
Assalamualaikum wr.wb.
pertanyaan ini sangatlah mudah dijawab apabila kita telah sampai pada ilmunya… Nah disinilah letak begitu pentingnya kita Makrifatullah (mengenal Allah), karena dengan kita tidak mengenal Allah maka fikiran kita akan tersesat dan hanya berangan-angan dan prasangka belaka…
Tidak seharusnya apabila kurang ilmu kita tentang Makrifatullah berani membicarakan tentang Dzat Allah, karena membicarakan Dzat Allah harus dengan ilmu yang tinggi dan bijaksana…
tapi terlepas dari itu semua saya akan mencoba menjawab pertanyaan yang sebetulnya sangat mudah dijawab tapi dibuat berbelit-belit…
Apakah Allah mempunyai wajah?
Jawaban saya : Ya
Apakah Allah mempunyai tangan?
Jawaban saya : Ya
Apakah Allah mempunyai mata?
Jawaban saya : Ya
Apakah Allah mempunyai mulut?
Jawaban saya : Ya
Apakah Allah mempunyai telinga?
Jawaban saya : Ya
Apakah Allah mempunyai hidung?
Jawaban saya : Ya
Apakah Allah mempunyai kaki?
Jawaban saya : Ya
apa alasannya? : bukankan wajah, tangan, mulut, telinga, hidung, kaki, bahkan seluruh badan kita dari ujung kaki sampai ujung rambut adalah milik Allah? Tidak ada sebutir debu pun yang bukan kepunyaan Allah…
Seperti apa Dzat Allah? Seperti apapun yang dikehendaki-Nya dan Dia Maha Kuasa menjadikan segala sesuatu dengan sempurna…
Nah sekarang saya malah balik tanya pada anda :
Apakah kita punya wajah, mulut, mata, telinga, hidung, tangan dan kaki?
Tentu apabila segalanya hanya milik Allah semata berarti kita tidak memiliki apapun bukan!
Tiada lain segalanya hanya diberikan kuasa sebagai titipan karena wajah dapat berubah dengan kehendak Allah, semakin tua usia kita rambutpun semakin memutih, apakah kita bisa menahan putihnya rambut kita dan keriputnya kulit kita?
Membayangkan Dzat Allah melalui ciptaan-Nya :
Bayangkan apabila anda suatu hari wafat, dikubur ke dalam tanah, sungguh Allah Maha Hidup membangkitkan tubuh yang membusuk yang anda pakai sekarang ini menjadi berbagai makhluk hidup yang beraneka rupa seperti tanaman, binatang, bakteri dan segala yang dikehendaki-Nya…
bukankah ini bukti bahwa tubuh kita pun bukanlah milik kita? bukankah ini sebagai tanda-tanda bahwa Dzat Allah tidak dapat digambarkan dan Dzat Allah itu Satu?
sungguh Dzat Allah ialah Dzat Yang Maha Esa (Tunggal) yang tidak berbatas dan hanya Dia lah penguasa segala makhluk…
bagaimana mungkin Dzat yang tidak terbatas bisa digambarkan apalagi dilihat? Kecuali yang dapat dilihat hanyalah ciptaan-Nya atau Makhluknya saja!!!
Allah adalah yang awal dan yang akhir tempat segala makhluk harus kembali…
Allah Dzat yang meliputi dan menguasai langit dan bumi serta isinya…
bukankah dari segala ciptaannya terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berfikir?
Barang siapa mengenali dirinya pastilah dia mengenali pula Tuhannya…
semoga bermanfaat…
wassalamualaikum wr.wb.
*Adam
Jawaban anda lebih berbelit-belit, tanpa dalil dan hanya pendapat pribadi saja.
Kami harap dapat dinukilkan, dari ‘alim yg mana pemahaman itu?
adakah dari Sahabat Ridwanullah ‘alayhim?
Tabi’in & Tabi’ut tabi’in?
Imam 4 madzhab?
Jika tidak ada bukti dalil, maka pendapat anda otomatis tertolak dalam ranah ilmiah.
كل شيء هالك إلا وجهه إلا ملكه ويقال إلا ما أريد به وجه الله
Bermaksud:
Segala sesuatu akan hancur musnah kecuali WajahNya . Dan dikatakan, kecuali apa yang dikehendaki oleh Wajah Allah.
Ada perbahasan antara Pakistani, jika semua musnah kecuali WajahNya … maka dimanakah Kaki, tangan dan zat/sifat yang lain semasa itu…. apakah hancur juga sebab ayat ini mengatakan kecuali WajahNya…
Lalu bagaimana dengan ayat ‘Kullu syai’in haalikun illa wajhah’
Arti dari ayat tersebut adalah: Segala sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya. (QS. Al-Qashash:88 ) Nah, kalau memang kata wajah itu bermakna wajah yang sebenarnya lalu apakah ini artinya pada hari kiamat kelak segala sesuatu selain wajah Allah termasuk di dalamnya tangan Allah juga akan hancur, ah masa Allah tidak bisa menjaga tangan-Nya sendiri dari kehancuran ?! Maka kami jawab:
Jawaban Pertama:
Ini adalah mahfum mukholafah, mafhum ini berlaku jika tidak bertentangan dengan dalil yang lain. Berdasarkan kaidah ushul fiqih yang ada kita tidak boleh menyimpangkan makna kata wajah kepada makna lainnya. Inilah hukum asalnya. Selain itu tidak ada dalil sah lagi tegas yang mendukungnya. Selain itu penafsiran semacam itu juga bertentangan dengan metode penafsiran ulama salaf.
Jawaban Kedua:
Kalau kalian beralasan bahwa apabila kita memaknai wajah Allah sebagai wajah sebenarnya kemudian jika makna itu diterapkan pada ayat di atas maka itu artinya tangan Allah juga ikut hancur maka sungguh ini adalah pemahaman yang sangat keliru !!!
Cobalah perhatikan ayat yang lain:
Allah ta’ala berfirman yang artinya: “Allah adalah pencipta segala sesuatu”
Saya bertanya: Apakah Allah juga menciptakan diri-Nya sendiri? Tentu tidak !! Bukankah kata ‘segala sesuatu’ itu juga mencakup Allah, lalu mengapa kalian keluarkan Allah dari makna ayat ini ?!
Lihat ayat yang lain:
Allah ta’ala berfirman yang artinya: “Dan Kami ciptakan segala yang hidup dari air.”
Saya bertanya: Apakah malaikat dan jin juga termasuk yang diciptakan dari air ? Tentu saja tidak !! Lalu mengapa kalian tidak memasukkannya padahal jin dan malaikat juga termasuk cakupan istilah ‘segala sesuatu’ ?!
Lihat ayat yang lain:
Allah ta’ala berfirman tentang bencana angin yang dikirimkan kepada kaum ‘Aad, “Angin itu menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Rabbnya.”
Saya bertanya: Apakah langit dan bumi juga ikut hancur ? Tentu saja tidak !! Bukankah langit dan bumi juga termasuk cakupan kata ‘segala sesuatu’ ? Lalu mengapa kalian mengeluarkannya dari kata yang umum ini ?!!
Oleh sebab itu maka kami katakan pernyataan segala sesuatu akan hancur kecuali wajah Allah bukanlah berarti tangan Allah juga ikut hancur, karena hal itu bertentangan dengan dalil naqli maupun aqli.
Jawaban Ketiga:
Taruhlah makna kata wajah dalam ayat kullu syai’in haalikun illa wajhah adalah bukan wajah yang sebenarnya lalu bagaimana kalian akan memaknai hadits-hadits berikut ini:
Hadits pertama:
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa, “Wa as’aluka ladzdzatan nazhari ila wajhika wasy syauqa ila liqaa’ika.” Artinya: “Dan aku memohon kenikmatan memandang wajah-Mu serta kerinduan untuk menemui-Mu.” (HR. An-Nasa’I dalam Ash-Shughra (1305), disahihkan Al-Albani dalam Takhrij As-Sunnah: 424, lihat Fathu Robbil Bariyah, hal. 57) Apakah kata wajah ini akan dimaknai pahala, atau dzat atau yang lainnya ?!!
Hadits kedua:
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menafsirkan ayat lilladziina ahsanul husna wa ziyaadah (orang-orang yang berbuat baik maka mereka akan mendapatkan tambahan) Beliau menjelaskan bahwa makna tambahan dalam ayat tersebut adalah memandang wajah Allah (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, 8/223 Maktabah Syamilah) Apakah kata wajah ini akan dimaknai pahala, atau dzat atau yang lainnya ?!!
Wallahu a’lam bisshawaab
Assalaamu’alaikum warohmatullahi wabarokaatuh.
Afwan ustadz ana ingin bertanya bagaimana dengan terjemah Alquran yang ada di Indonesia kebanyakan mengartikan ayat-ayat tentang Wajah Allah dengan Keridhaan dan Dzat Allah.
Bahkan saya memeriksa pada terjemah Bahasa Indonesia tafsir Ibnu Katsir pada ayat-ayat tersebut diartikan Keridhaan.
Bagaimana kita menyikapinya ustadz?
Jazakallahu Khair.
Wa’alaikumus salam wa rohmatullahi wa barokatuh,
Sikap kita tetap menerjemahkannya dengan “Wajah”, Namun jika pada suatu Ayat tertentu ttg wajah Allah trdapat konsekuensi tambahan makna lain, ya kita tetapkan makna pokoknya,yaitu “Allah memiliki wajah” ditambah dg penetapan “makna konsekuensinya”. Misal : Surat Al-Lail:20, selain diartikan “wajah-Nya”, juga diyakini bahwa Ayat tersebut menunjukkan konsekuensi makna : “mengharap keridhoan Allah”. Jadi makna yg pokok harus ditetapkan, yaitu wajah Allah.
Jazakallahu khoiro Ustadz Sa’id Abu Ukkasyah..
Saya juga semalam baru mendapatkan penjelasan dari Ustadz Abu Abdil Muhsin Firanda pada video tafsir suroh Al-Ghaasiyah bahwa dalam Bahasa Arab tidaklah digunakan wajah sebagai majas kecuali memang benar objeknya memiliki wajah. Jadi kita harus mengimani Allah memiliki Wajah dan kadang Wajah-Nya disebutkan dalam Alquran untuk mewakili Dzat-Nya atau keridhoan-Nya.
Namun saya khawatir pemahaman Aqidah Asma wa Sifat seperti ini sungguh sedikiiiit diketahui Muslimin Indonesia karena di Al-Qur`an terjemahan juga tidak dijelaskan apalagi di pengajian2 yang belum tersentuh Manhaj Salaf yg banyak di masyarakat.
Barakallahu fiikum kepada para asatidz Manhaj Salaf yang semangatnya tak luntur mendakwahkan Islam yang Haq ini.
Jadi Alloh itu bukanlah Makhluk, tetapi Maha Pencipta Maha Kuasa.
Tiada yang serupa dengan-Nya
Luarbiasa artikelnya!!! saya jd dapat pencerahan :)
Profesor For All
Assalamu’alaikum ustadz,
Apakah tepat jika ada yang mengatakan “Tuhan tidak berupa” ? Mohon penjelasanya ustadz.
Jazakallah Khairan
Wa’alaikumus salam, kalau yg dimaksud dari ungkapan itu adalah Allah tidak berwajah, maka salah, karena bertentangan dg Alquran.
good..saya setuju ini..
Mudahnya dalam memahami ” kullu syai’in haalikun illa wajhah ” wajah disitu maknanya atau maksudnya ya الله sendiri, dan ini bukan takwil yang mengingkari sifat الله, sebab maksud dari perkataan itu memang itu, hal itu sebagaimana perkataan ” kita tunggu sekian lama kok gak kelihatan batang hidungnya orang ini ” batang hidung disitu maksudmya ya “manusia” secara keseluruhan bukan hanya hidungnya.
Bagaimana dengan ta’wil imam Bukhari tentang wajah Allah dgn ta’wil mulkahu ??
Kitab sahih Bukhari juz3 no.206 ,,,,
Assalamu’alaikum…
sesuai dengan penjelasan di atas, terdapat banyak ayat al Quran yang menggunakan kata “كل” namun ketika dipraktekkan ternyata beberapa di antaranya maknanya bertentangan dengan Dalil lain, sehingga lafad “كل” tidak lagi bermakna “semua” secara hakiki…
Pertanyaannya… dalam kaidah bahasa Arab, apakah ada ketentuan bahwa lafad “كل” itu kadang memang tidak bisa dimaknai “semua” secara hakiki?
Mohon Jawaban dan pencerahannya..
wassalamu’alaikum
Saya beriman Allah mempunya wajah
Saya beriman allah punya wajah ,dua tangan, dua kaki dan dua mata
Saya beriman Allah punya 2 tangan kanan semua,telapak tangan,jari jari,2kaki,2mata,betis,wajah