Sebagian kaum muslimin mengidentikkan antara syura dan demokrasi, menganggap sama antara keduanya, atau minimal membenarkan demokrasi karena musyawarah/syura juga diakui dalam sistem demokrasi. Artikel ini berusaha memaparkan syura secara ringkas dan nantinya akan berujung pada pemaparan sisi-sisi perbedaan antara syura dan demokrasi yang merupakan produk sekulerisme.
[lwptoc]
Definisi Syura
Menurut bahasa, syura memiliki dua pengertian, yaitu menampakkan dan memaparkan sesuatu atau mengambil sesuatu [Mu’jam Maqayis al-Lughah 3/226].
Sedangkan secara istilah, beberapa ulama terdahulu telah memberikan definisi syura, diantara mereka adalah Ar Raghib al-Ashfahani yang mendefinisikan syura sebagai proses mengemukakan pendapat dengan saling merevisi antara peserta syura [Al Mufradat fi Gharib al-Quran hlm. 207].
Ibnu al-Arabi al-Maliki mendefinisikannya dengan berkumpul untuk meminta pendapat (dalam suatu permasalahan) dimana peserta syura saling mengeluarkan pendapat yang dimiliki [Ahkam al-Quran 1/297].
Sedangkan definisi syura yang diberikan oleh pakar fikih kontemporer diantaranya adalah proses menelusuri pendapat para ahli dalam suatu permasalahan untuk mencapai solusi yang mendekati kebenaran [Asy Syura fi Zhilli Nizhami al-Hukm al-Islami hlm. 14].
Dari berbagai definisi yang disampaikan di atas, kita dapat mendefinisikan syura sebagai proses memaparkan berbagai pendapat yang beraneka ragam dan disertai sisi argumentatif dalam suatu perkara atau permasalahan, diuji oleh para ahli yang cerdas dan berakal, agar dapat mencetuskan solusi yang tepat dan terbaik untuk diamalkan sehingga tujuan yang diharapkan dapat terealisasikan [Asy Syura fi al-Kitab wa as-Sunnah hlm. 13].
Pensyari’atan Syura dalam Islam
Islam telah menuntunkan umatnya untuk bermusyawarah, baik itu di dalam kehidupan individu, keluarga, bermasyarakat dan bernegara.
Dalam kehidupan individu, para sahabat sering meminta pendapat rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah-masalah yang bersifat personal. Sebagai contoh adalah tindakan Fathimah yang meminta pendapat kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Mu’awiyah dan Abu Jahm berkeinginan untuk melamarnya [HR. Muslim : 1480].
Dalam kehidupan berkeluarga, hal ini diterangkan dalam surat al-Baqarah ayat 233, dimana Allah berfirman,
فَإِنْ أَرَادَا فِصَالا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلادَكُمْ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (٢٣٣)
“Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan“. [Al Baqarah : 233].
Imam Ibnu Katsir mengatakan, Maksud dari firman Allah (yang artinya), ” Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya” adalah apabila kedua orangtua sepakat untuk menyapih sebelum bayi berumur dua tahun, dan keduanya berpendapat hal itu mengandung kemaslahatan bagi bayi, serta keduanya telah bermusyawarah dan sepakat melakukannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya. Dengan demikian, faidah yang terpetik dari hal ini adalah tidaklah cukup apabila hal ini hanya didukung oleh salah satu orang tua tanpa persetujuan yang lain. Dan tidak boleh salah satu dari kedua orang tua memilih untuk melakukannya tanpa bermusyawarah dengan yang lain [Tafsir al-Quran al-‘Azhim 1/635].
Baca Juga: Noda Hitam Demokrasi
Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, Al Quran telah menceritakan bahwa syura telah dilakukan oleh kaum terdahulu seperti kaum Sabaiyah yang dipimpin oleh ratunya, yaitu Balqis. Pada surat an-Naml ayat 29-34 menggambarkan musyawarah yang dilakukan oleh Balqis dan para pembesar dari kaumnya guna mencari solusi menghadapi nabi Sulaiman ‘alahissalam.
Demikian pula Allah telah memerintahkan rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam untuk bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam setiap urusan. Allah Ta’ala berfirman,
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ (١٥٩)
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu, Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. [Ali ‘Imran : 159].
Di dalam ayat yang lain, di surat Asy Syura ayat 38, Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Rabb-nya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka”. [Asy Syura : 36-39].
Maksud firman Allah Ta’ala (yang artinya), “sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka” adalah mereka tidak melaksanakan suatu urusan sampai mereka saling bermusyawarah mengenai hal itu agar mereka saling mendukung dengan pendapat mereka seperti dalam masalah peperangan dan semisalnya [Tafsir al-Quran al-‘Azhim 7/211].
Seluruh ayat al-Quran di atas menyatakan bahwasanya syura (musyawarah) disyari’atkan dalam agama Islam, bahkan sebagian ulama menyatakan bahwa syura adalah sebuah kewajiban, terlebih bagi pemimpin dan penguasa serta para pemangku jabatan. Ibnu Taimiyah mengatakan, “Sesungguhnya Allah Ta’ala memerintahkan nabi-Nya bermusyawarah untuk mempersatukan hati para sahabatnya, dan dapat dicontoh oleh orang-orang setelah beliau, serta agar beliau mampu menggali ide mereka dalam permasalahan yang di dalamnya tidak diturunkan wahyu, baik permasalahan yang terkait dengan peperangan, permasalahan parsial, dan selainnya. Dengan demikian, selain beliau shallallahu’alaihi wa sallam tentu lebih patut untuk bermusyawarah” [As Siyasah asy-Syar’iyah hlm. 126].
Sunnah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menunjukkan betapa nabi shallallahu’alaihi wa sallam sangat memperhatikan untuk senantiasa bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam berbagai urusan terutama urusan yang terkait dengan kepentingan orang banyak.
Beliau pernah bermusyawarah dengan para sahabat pada waktu perang Badar mengenai keberangkatan menghadang pasukan kafir Quraisy.
Selain itu, rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bermusyawarah untuk menentukan lokasi berkemah dan beliau menerima pendapat al-Mundzir bin ‘Amr yang menyarankan untuk berkemah di hadapan lawan.
Dalam perang Uhud, beliau meminta pendapat para sahabat sebelumnya, apakah tetap tinggal di Madinah hingga menunngu kedatangan musuh ataukah menyambut mereka di luar Madinah. Akhirnya, mayoritas sahabat menyarankan untuk keluar Madinah menghadapi musuh dan beliau pun menyetujuinya.
Dalam masalah lain, ketika terjadi peristiwa hadits al-ifki, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam meminta pendapat ‘Ali dan Usamah perihal ibunda ‘Aisyah radhiallahu ‘anhum.
Demikianlan, nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bermusyawarah dengan para sahabatnya baik dalam masalah perang maupun yang lain.
Baca Juga: Inilah Alasan Mengapa Pemimpin Hasil Pilpres Harus Tetap Ditaati
Urgensi dan Faedah Syura
Ibnu ‘Athiyah mengatakan, “Syura merupakan aturan terpenting dalam syari’at dan ketentuan hukum dalam Islam” [Al Muharrar al-Wajiz]. Apa yang dikatakan oleh beliau mengenai syura benar adanya karena Allah ta’ala telah menjadikan syura sebagai suatu kewajiban bagi hamba-Nya dalam mencari solusi berbagai persoalan yang membutuhkan kebersamaan pikiran dengan orang lain. Selain itu, Allah pun telah menjadikan syura sebagai salah satu nama surat dalam al-Quran al-Karim. Kedua hal ini cukup untuk menunjukkan betapa syura memiliki kedudukan yang penting dalam agama ini.
Amir al-Mukminin, ‘Ali radhiallahu ‘anhu juga pernah menerangkan manfaat dari syura. Beliau berkata, “Ada tujuh keutamaan syura, yaitu memperoleh solusi yang tepat, mendapatkan ide yang brilian, terhindar dari kesalahan, terjaga dari celaan, selamat dari kekecewaan, mempersatukan banyak hati, serta mengikuti atsar (dalil) [Al Aqd al-Farid hlm. 43].
Urgensi dan faedah syura banyak diterangkan oleh para ulama, diantaranya imam Fakhr ad-Din ar-Razy dalam Mafatih al-Ghaib 9/67-68. Secara ringkas beliau menyebutkan bahwa syura memiliki faedah antara lain adalah sebagai berikut :
- Musyawarah yang dilakukan nabi shallallahu’alaihi wa sallam dengan para sahabatnya menunjukkan ketinggian derajat mereka (di hadapan nabi) dan juga hal ini membuktikan betapa cintanya mereka kepada beliau dan kerelaan mereka dalam menaati beliau. Jika beliau tidak mengajak mereka bermusyawarah, tentulah hal ini merupakan bentuk penghinaan kepada mereka.
[su_spacer] - Musyawarah perlu diadakan karena bisa saja terlintas dalam benak seseorang pendapat yang mengandung kemaslahatan dan tidak terpikir oleh waliy al-amr (penguasa). Al Hasan pernah mengatakan,
[su_spacer]
مَا تَشَاوَرَ قَوْمٌ إِلَّا هُدُوا لِأَرْشَدِ أَمَرِهِمْ
[su_spacer]
“Setiap kaum yang bermusyawarah, niscaya akan dibimbing sehingga mampu melaksanakan keputusan yang terbaik dalam permasalahan mereka” [Al Adab karya Ibnu Abi Syaibah 1/149].
[su_spacer] - Al Hasan dan Sufyan ibn ‘Uyainah mengatakan, “Sesungguhnya nabi diperintahkan untuk bermusyawarah agar bisa dijadikan teladan bagi yang lain dan agar menjadi sunnah (kebiasaan) bagi umatnya”
[su_spacer] - Syura memberitahukan kepada rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan juga para penguasa setelah beliau mengenai kadar akal dan pemahaman orang-orang yang mendampinginya, serta untuk mengetahui seberapa besar kecintaan dan keikhlasan mereka dalam menaati beliau. Dengan demikian, akan nampak baginya tingkatan mereka dalam keutamaan.
Baca Juga: Fatwa Syaikh Abdul Malik bin Ahmad Ramadhani Tentang Pemilu
12 Perbedaan antara Syura dan Demokrasi
Telah disebutkan sebelumnya bahwa artikel ini berusaha untuk memaparkan sisi-sisi perbedaan antara syura dan demokrasi mengingat beberapa kalangan menyamakan antara keduanya. Meskipun, komparasi antara keduanya tidaklah tepat mengingat syura berarti meminta pendapat (thalab ar-ra’yi) sehingga dia adalah sebuah mekanisme pengambilan pendapat dalam Islam dan merupakan bagian dari proses sistem pemerintahan Islam (nizham as-Siyasah al-Islamiyah).
Sedangkan demokrasi adalah suatu pandangan hidup dan kumpulan ketentuan untuk seluruh konstitusi, undang-undang, dan sistem pemerintahan, sehingga bukan sekedar proses pengambilan pendapat [Syura bukan Demokrasi karya M. Shiddiq al-Jawi].
Dengan demikian, yang tepat adalah ketika kita membandingkan antara system pemerintahan Islam dengan demokrasi itu sendiri.
Perbedaan antara sistem pemerintahan Islam yang salah satu landasannya adalah syura dengan sistem demokrasi terangkum ke dalam poin-poin berikut :
- Umat (rakyat) dalam suatu sistem demokrasi dapat didefinisikan sebagai sekumpulan manusia yang menempati suatu wilayah tertentu, dimana setiap individu di dalamnya berkumpul dikarenakan kesadaran untuk hidup bersama, dan diantara faktor yang membantu terbentuknya umat adalah adanya kesatuan ras dan bahasa [Mabadi Nizham al-Hukm fi al-Islam hlm. 489].
[su_spacer]
Sedangkan dalam sistem Islam, definisi umat sangatlah berbeda dengan apa yang disebutkan sebelumnya, karena dalam mendefinisikan umat, Islam tidaklah terbatas pada faktor kesatuan wilayah, ras, dan bahasa. Namun, umat dalam Islam memiliki definisi yang lebih luas karena akidah islamiyah-lah yang menjadi tali pengikat antara setiap individu muslim tanpa membeda-bedakan wilayah, ras, dan bahasa. Dengan demikian, meski kaum muslimin memiliki beraneka ragam dalam hal ras, bahasa, dan wilayah, mereka semua adalah satu umat, satu kesatuan dalam pandangan Islam [Asy Syura wa ad-Dimuqratiyyah al-Ghariyyah hlm. 25].
[su_spacer] - Sistem demokrasi hanya berusaha untuk merealisasikan berbagai tujuan yang bersifat materil demi mengangkat martabat bangsa dari segi ekonomi, politik, dan militer. Sistem ini tidaklah memperhatikan aspek ruhiyah.
[su_spacer]
Berbeda tentunya dengan sistem Islam, dia tetap memperhatikan faktor-faktor tersebut tanpa mengenyampingkan aspek ruhiyah diniyah, bahkan aspek inilah yang menjadi dasar dan tujuan dalam sistem Islam.Dalam sistem Islam, aspek ruhiyah menjadi prioritas tujuan dan kemaslahatan manusia yang terkait dengan dunia mereka ikut beriringan di belakangnya [Asy Syura wa ad-Dimuqratiyyah al-Ghariyyah hlm. 25].
[su_spacer] - Di dalam sistem demokrasi, rakyat memegang kendali penuh. Suatu undang-undang disusun dan diubah berdasarkan opini atau pandangan masyarakat. Setiap peraturan yang ditolak oleh masyarakat, maka dapat dimentahkan, demikian pula peraturan baru yang sesuai dengan keinginan dan tujuan masyarakat dapat disusun dan diterapkan.
[su_spacer]
Berbeda halnya dengan sistem Islam, seluruh kendali berpatokan pada hukum Allah suhanahu wa ta’ala. Masyarakat tidaklah diperkenankan menetapkan suatu peraturan apapun kecuali peraturan tersebut sesuai dengan hukum Islam yang telah diterangkan-Nya dalam al-Quran dan lisan nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian juga dalam permasalahan ijtihadiyah, suatu peraturan dibentuk sesuai dengan hukum-hukum politik yang sesuai dengan syari’at [An Nazhariyaat as-Siyaasiyah al-Islamiyah hlm. 338].
[su_spacer] - Kewenangan majelis syura dalam Islam terikat dengan nash-nash syari’at dan ketaatan kepada waliyul amr (pemerintah). Syura terbatas pada permasalahan yang tidak memiliki nash (dalil tegas) atau permasalahan yang memiliki nash namun indikasi yang ditunjukkan memiliki beberapa pemahaman. Adapun permasalahan yang memiliki nash yang jelas dan dengan indikasi hukum yang jelas, maka syura tidak lagi diperlukan. Syura hanya dibutuhkan dalam menentukan mekanisme pelaksanaan nash-nash syari’at.
[su_spacer]
Ibnu Hajar mengatakan, “Musyawarah dilakukan apabila dalam suatu permasalahan tidak terdapat nash syar’i yang menyatakan hukum secara jelas dan berada pada hukum mubah, sehingga mengandung kemungkinan yang sama antara melakukan atau tidak. Adapun permasalahan yang hukumnya telah diketahui, maka tidak memerlukan musyawarah [Fath al-Baari 3/3291].
[su_spacer]
Adapun dalam demokrasi, kewenangan parlemen bersifat mutlak. Benar undang-undang mengatur kewenangannya, namun sekali lagi undang-undang tersebut rentan akan perubahan [Asy Syura wa Atsaruha fi ad- Dimuqratiyah hlm. 427-428].
[su_spacer] - Syura yang berlandaskan Islam senantiasa terikat dengan nilai-nilai akhlaqiyah yang bersumber dari agama. Oleh karena itu, nilai-nilai tersebut bersifat tetap dan tidak tunduk terhadap berbagai perubahan kepentingan dan tujuan. Dengan demikian, nilai-nilai tersebutlah yang akan menetapkan hukum atas berbagai aktivitas dan tujuan umat.
[su_spacer]
Di sisi lain, demokrasi justru berpegang pada nilai-nilai yang relatif/nisbi karena dikontrol oleh beranka ragam kepentingan dan tujuan yang diinginkan oleh mayoritas [Asy Syura wa Atsaruha fi ad- Dimuqratiyah hlm. 427-428].
[su_spacer] - Demokrasi memiliki kaitan erat dengan eksistensi partai-partai politik, padahal hal ini tidak sejalan dengan ajaran Islam karena akan menumbuhkan ruh perpecahan dan bergolong-golongan.
[su_spacer] - Syari’at Islam telah menggariskan batasan-batasan syar’i yang bersifat tetap dan tidak boleh dilanggar oleh majelis syura. Berbagai batasan tersebut kekal selama Islam ada.
[su_spacer]
Adapun demokrasi tidak mengenal dan mengakui batasan yang tetap. Justru aturan-aturan yang dibuat dalam sistem demokrasi akan senantiasa berevolusi dan menghantarkan pada tercapainya hukum yang mengandung kezhaliman menyeluruh yang dibungkus dengan slogan hukum mayoritas [Fiqh asy-Syura wal al-Istisyarah hlm. 12].
[su_spacer] - Demokrasi menganggap rakyatlah yang memiliki kekuasaan tertinggi dalam suatu negara yang berdasar pada hukum mayoritas, suara mayoritaslah yang memegang kendali pensyari’atan suatu hukum dalam menghalalkan dan mengharamkan. Adapun di dalam sistem syura, rakyat tunduk dan taat kepada Allah dan rasul-Nya kemudian kepada para pemimpin kaum muslimin [Asy Syura la ad-Dimuqratiyah hlm. 40-41, Ad Dimuqratiyah Din hlm. 32].
[su_spacer] - Syura bertujuan untuk menghasilkan solusi yang selaras dengan al-haq meski bertentangan dengan suara mayoritas, sedangkan demokrasi justru sebaliknya lebih mementingkan solusi yang merupakan perwujudan suara mayoritas meski hal itu menyelisihi kebenaran [Hukm ad-Dimuqratiyah hlm. 32].
[su_spacer] - Kriteria ahli syura sangatlah berbeda dengan kriteria para konstituen dan anggota parlemen yang ada dalam sistem demokrasi. Al Mawardi telah menyebutkan kriteria ahli syura, beliau mengatakan, “Pertama, memiliki akal yang sempurna dan berpengalaman; Kedua, intens terhadap agama dan bertakwa karena keduanya merupakan pondasi seluruh kebaikan; Ketiga, memiliki karakter senang member nasehat dan penyayang, tidak dengki dan iri, dan jauhilah bermusyawarah dengan wanita; Keempat, berpikiran sehat, terbebas dari kegelisahan dan kebingungan yang menyibukkan; Kelima, tidak memiliki tendensi pribadi dan dikendalikan oleh hawa nafsu dalam membahas permasalahan yang menjadi topik musyawarah [Adab ad-Dunya wa ad-Din hlm. 367; Al ‘Umdah fi I’dad al-‘Uddah hlm. 116; Al Ahkam as-Sulthaniyah hlm. 6; Al Ahkam as-Sultaniyah karya Abu Yala hlm. 24; Ghiyats al-Umam hlm. 33].
[su_spacer]
Adapun dalam sistem demokrasi, setiap warga negara memiliki porsi yang sama dalam mengemukakan pendapat, baik dia seorang kafir, fasik (pelaku maksiat), zindik, ataupun sekuler. Al ‘Allamah Ahmad Muhammad Syakir mengatakan, “Diantara konsep yang telah terbukti dan tidak lagi membutuhkan dalil adalah bahwasanya rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan para pemangku pemerintahan setelah beliau untuk bermusyawarah dengan mereka yang terkenal akan keshalihannya, menegakkan aturan-aturan Allah, bertakwa kepada-Nya, menegakkan shalat, menunaikan zakat dan berjihad di jalan-Nya.
[su_spacer]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyebut perihal mereka dalam sabdanya,
[su_spacer]
لِيَلِنِي مِنْكُمْ أُولُو الْأَحْلَامِ وَالنُّهَى
[su_spacer]
“Hendaklah yang dekat denganku (dalam shaf shalat) adalah mereka yang cerdas serta berakal” [HR. Muslim: 974].
[su_spacer]
Mereka bukanlah kaum mulhid (atheis), bukanpula mereka yang memerangi agama Allah, tidakpula para pelaku maksiat yang tidak berusaha menahan diri dari kemungkaran, dan juga bukan mereka yang beranggapan bahwa mereka diperbolehkan menyusun syari’at dan undang-undang yang menyelisihi agama Allah serta mereka boleh menghancurkan syari’at Islam [‘Umdat at-Tafsir 1/383-384].
[su_spacer] - Ahli syura mengedepankan musyawarah dan nasehat kepada pemimpin serta mereka wajib untuk menaatinya dalam permasalahan yang diperintahkannya. Dengan demikian, kekuasaan dipegang oleh pemimpin. Pemimpinlah yang menetapkan dan memberhentikan majelis syura bergantung pada maslahat yang dipandangnya [Al ‘Umdah fi I’dad al-‘Uddah 112].
[su_spacer]
Sedangkan dalam demokrasi, kekuasaan dipegang oleh parlemen, pemimpin wajib menaati dan parlemen memiliki kewenangan memberhentikan pemimpin dan menghalangi orang yang kredibel dari pemerintahan.
[su_spacer] - Apabila terdapat nash syar’i dari al-Quran dan hadits, maka ahli syura wajib berpegang dengannya dan mengenyampingkan pendapat yang menyelisihi keduanya, baik pendapat tersebut merupakan pendapat minoritas ataupun mayoritas.
[su_spacer]
Al Bukhari berkata dalam Shahih-nya, “Para imam/pemimpin sepeninggal nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bermusyawarah dengan orang-orang berilmu yang amanah dalam permasalahan yang mubah agar mampu menemukan solusi yang termudah. Apabila al-Quran dan hadits telah jelas menerangkan suatu permasalahan, maka mereka tidak berpaling kepada selainnya dalam rangka mengikuti nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abu Bakr telah berpandangan untuk memerangi kaum yang menolak membayar zakat, maka Umar pun mengatakan, “Bagaimana bisa anda memerangi mereka padahal rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan laa ilaha illallah. Jika mereka telah mengucapkannya, maka darah dan harta mereka telah terjaga kecuali dengan alasan yang hak dan kelak perhitungannya di sisi Allah ta’ala.” Maka Abu Bakr pun menjawab, “Demi Allah, saya akan memerangi orang yang memisah-misahkan sesuatu yang justru digabungkan oleh rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Kemudian Umar pun mengikuti pendapat beliau.
[su_spacer]
Abu Bakr tidak lagi butuh pada musyawarah dalam permasalahan di atas, karena beliau telah mengetahui ketetapan rasulullah terhadap mereka yang berusaha memisahkan antara shalat dan zakat serta berkeinginan merubah aturan dan hukum dalam agama [Shahih al-Bukhari 9/112; Asy-Syamilah].
[su_spacer]
Adapun di dalam demokrasi, maka nash-nash syari’at tidaklah berharga karena demokrasi dibangun di atas asas al-Laadiniyah/al-‘Ilmaniyah (ateisme). Oleh karenanya, demokrasi seringkali menyelisihi berbagai ajaran prinsipil dalam agama Islam seperti penghalalan riba, zina, dan berbagai hukum yang tidak sejalan dengan apa yang diturunkan Allah ta’ala.
[su_note note_color=”#deeeff”]Kesimpulannya adalah tidak ada celah untuk menyamakan antara sistem yang dibentuk dan diridhai Allah untuk seluruh hamba-Nya dengan sebuah sistem dari manusia yang datang untuk menutup kekurangan, namun masih mengandung kekurangan, dan berusaha untuk mengurai permasalahan, namun dia sendiri merupakan masalah yang membutuhkan solusi [Asy Syura wa ad-Dimuqratiyyah al-Gharbiyyah hlm. 32].[/su_note]
Meskipun ada persamaan antara syura dan demokrasi sebagaimana yang dinyatakan oleh sebagian kalangan. Namun, terdapat perbedaan yang sangat substansial antara keduanya, mengingat bahwa memang syura adalah sebuah metode yang berasal dari Rabb al-basyar (Rabb manusia), yaitu Allah, sedangkan demokrasi merupakan buah pemikiran dari manusia yang lemah yang tentunya tidak lepas dari kekurangan.
Wallahu al-Muwaffiq.
Baca Juga: Mengapa Mudah Mengkafirkan Pemerintah?
—
Sumber rujukan :
- Asy Syura fi al-Kitab wa as-Sunnah wa ‘inda Ulama al-Muslimin karya Prof. Dr. Muhammad bin Ahmad bin Shalih ash-Shalih
- Asy Syura fi Dhlaui al-Quran wa as-Sunnah karya Prof. Dr. Hasan Dhliya ad-Din Muhammad ‘Atr
- Fitnah ad-Dimuqratiyah karya al-Imam Ahmad Walad al-Kiwari al-‘Alawi asy-Syinqithi
- Makalah Nazharat Mu’ashirah fi Fiqh asy-Syura karya Prof. Dr. Ahmad ‘Ali al-Imam
- Syura bukan Demokrasi karya M. Shiddiq al-Jawi
—
Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim
Artikel muslim.or.id
Ustadz, di negara kita menganut sistem demokrasi.
Bagaimana kita menyikapinya?
1. Jika menolak, berarti kita tidak menaati pemerintah. Padahal saya pernah baca di suatu artikel adanya kewajiban untuk menaati pemerintah. Juga bisa di-cap separatis oleh pemerintah dan masyarakat lain.
2. Jika menerimanya, berarti menerima produk sistem yang bukan berasal dari Islam. Masihkah kita taati pemerintah yang berasalkan dari sistem ini?
3. Jika yang memenangkan Pemilu, dan yang memimpin pemerintaahan, di negara ini, suatu saat adalah golongan ahli bid’ah yang ikut dalam sistem demokrasi, apakah kita tetap harus mentaati mereka? Apakah kita tetap masih dapat mendakwahkan bahwa bid’ah yang mereka anut adalah sesat seperti selama ini? Padahal itu sama saja dengan mencela mereka (pemerintah), di sisi lain kita dilarang mencela pemerintah, sekalipun pemerintah tersebut dzalim.
Mohon pencerahan ilmunya. Terimakasih
@Sdr Taufik
Ada pertanyaan yg pernah diajukan ke situs ini yang mirip dengan pertanyaan saudara. Saya kutipkan kembali semoga dapat dipahami. Pertanyaan ini diajukan kepada Ustadz Arifin Badri. Berikut pertanyaan yang diajukan kepada beliau.
Mari kita bicara realitas yang lebih detil:
Presiden kita sekarang adalah hasil proses pemilu yang demokratis yang menurut antum sdh jelas tanpa ragu akan keharaman demokrasi tersebut. Tentunya antum juga tahu bahwa penguasa kita sekarang bukan hanya dihantarkan oleh pemilu yang demokratis yang haram itu, tapi sekaligus penguasa kita hari ini ‘melanjutkan’ dan bahkan ‘menumbuhsuburkan’ demokrasi itu sendiri. Sebagai contohnya, dengan tetap berjalan dan berfungsinya DPR, Pilkada dll. Menurut antum apakah kebijakan penguasa kita sekarang ini yang menumbuhsuburkan demokrasi yang jelas haramnya (menurut antum) itu, termasuk kekufuran yang nyata yang berarti boleh dibuka aibnya dengan ditulis dimana2, di website baik langsung atau tidak langsung dengan membongkar kebobrokannya yaitu bahwa penguasa sekarang telah jelas2 menyebarluaskan sesuatu yang diharamkan oleh Islam yaitu ‘demokrasi’. Atau kita harus menutup rapat2 borok ini. Kalau mengikuti nasehat antum, mestinya demokrasi di Indonesai (yang bukan teori tapi sudah prakteknya) tidak boleh dibongkar di masyarakat tapi harus disampaikan secara 4 mata kepada penguasa kita (afwan kalau salah). Tapi kenyataannya justru kebalikannya, antum justru membongkar aib penguasa kita yang pro demokrasi ini. Jadi sikap kita bagaimana? Apakah mendiamkan (mentaati) penguasa yang terus menumbuh suburkan demokrasi yang jelas haram itu, karena dia adalah penguasa yang sah, ataukah dibongkar habis-habisan tentang borok demokrasi yang sedang digencarkan oleh penguasa tersebut. Dalam hal ini kalau boleh saya menilai: antum nampaknya ambivalen (mendua). Kenapa? Karena mengungkap keburukan penguasa misalnya dengan demonstrasi atas kenaikan BBM antum kritik habis-habisan sebagai tidak sejalan dengan manhaj salaf, tapi disisi lainnya antum menyebarluaskan bahaya dan bobroknya demokrasi kepada ummat Islam (baik cetak, terbitan, tasjilat, online, kajian, daurah) dengan begitu gencarnya. Artinya antum bisa dikatakan tidak taat kepada penguasa. Buktinya, saya yakin Ikhwah salafy juga tidak ikut pemilu, padahal itu adalah perintah penguasa kita. Berarti antum membangkang perintah penguasa. Saya kira walaupun tidak eksplisit, tidak sulit bagi orang awam untuk menyimpulkan bahwa salafy dengan demikian juga telah mengoreksi habis-habisan kebijakan penguasa yang membiarkan demokrasi tumbuh subur. Sesuatu yang selama ini ikhwah salaf sangat ingin menjauhi (kritik terbuka) nya. Benarkah demikian? Apakah tidak membingungkan? Kalau memang demokrasi sudah jelas haramnya, kenapa antum tidak segera datang ke penguasa menyampaikan masalah haramnya demokrasi dan pemilu ini (atau barangkali sudah, afwan saya belum tahu)? Kok malah disebar-sebarkan kepada ummat sehingga ummat semuanya tahu bahwa penguasa kita sekarang ini bergelimang dengan kebijakan yang diharamkan oleh Islam. Ataukah memang manhaj salaf dakwahnya hanya nasyrul fikrah/ilmi tanpa aplikasi/tindakan, atau barangkali belum waktunya masih menunggu saat yang tepat untuk tidak hanya’bicara’? Apalagi antum sudah berpendapat bahwa kalau sesuatu yang jelek itu sampai ke tangan penguasa maka kemadharatannya semakin luas dan sulit untuk dikendalikan.
Berikut jawaban dari ustadz.…..
Pada kesempatan kali ini saya akan menyebutkan firman Alloh berikut yang merupakan pedoman yang senantiasa dipegangi oleh Ahlusunnah wal Jamaah dalam menyikapi pemerintahan atau khilafah yang ada:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur`an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
(QS An Nisa’ 59)Para pembaca, yang semoga senantiasa dirahmati Alloh, pada ayat ini Alloh memerintahkan kita semua untuk taat kepada Alloh, yaitu dengan mengikuti kitab-Nya, dan menaati Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengikuti sunnahnya, serta menaati para pemimpin (ulul ‘amri) di antara kita, baik ulul ‘amri dari kalangan ulama atau umara (penguasa). Ini adalah kewajiban kita semua untuk senantiasa taat kepada Alloh, Rosululloh dan para pemimpin di antara kita.
Akan tetapi walau demikian, pada ayat ini Alloh ta’ala mengulang perintah untuk taat, yaitu kata “taatilah” sebanyak dua kali, yaitu taat kepada Alloh dan taat kepada Rosululloh sholallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi ketika menyebutkan ulul ‘amri, Alloh tidak mengulang kata taatilah .
Hal ini mengisyaratkan kepada kita bahwa kewajiban taat kepada Alloh dan Rasul-Nya bersifat mutlak karena sebagai konsekuensi pengakuan dan keimanan kita kepada Alloh dan Rasul-Nya adalah senantiasa taat dan untuk tidak beramal selain dengan syariat yang Alloh dan Rasul-Nya ajarkan. Sedangkan ketaatan kepada ulul ‘amri tidak bersifat mutlak, akan tetapi ketaatan kepada mereka hanya wajib atas kita sebatas dalam hal yang ma’ruf atau selama tidak melanggar dengan kewajiban ta’at kepada Alloh dan Rasul-Nya.
Pemahaman semacam ini dengan tegas telah disabdakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:
“Dari sahabat Ibnu Umar rodhiallohu ‘anhu dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, “Wajib atas setiap orang muslim untuk mendengar dan menaati, baik dalam hal yang ia suka atau yang ia benci, kecuali kalau ia diperintahkan dengan kemaksiatan, maka tidak boleh mendengar dan menaati”. (HR Bukhori dan Muslim)
Hal ini atau prinsip ini bukan hanya berlaku dalam hubungan interaksi antara rakyat dan pemerintah dan ulama akan tetapi berlaku dalam segala urusan, sampai-sampai dalam hubungan antara anak dan orang tuanya prinsip ini tetap berlaku dan wajib diindahkan oleh setiap muslim. Perhatikanlah firman Alloh berikut ini:
“Dan jika keduanya (Ayah dan ibu) memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu patuhi keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS Luqman: 15)
Dan masih banyak lagi dalil serta keterangan ulama Ahlusunnah tentang prinsip ketaatan kepada sesama manusia, baik pemerintah, atau orang tua, atau atasan dalam sebuah organisasi, atau perusahaan atau lainnya, yang semuanya menguatkan apa yang saya utarakan ini, yaitu ketaatan kepada sesama manusia hanya boleh dilakukan selama tidak melanggar syariat Alloh.Berangkat dari prinsip ini, umat islam di mana-mana tidak berkewajiban, bahkan tidak boleh untuk menaati peraturan atau perintah siapa pun yang melanggar syariat Alloh dan Rasul-Nya. Dan saya yakin para pembaca juga sependapat dengan apa yang telah saya utarakan di atas. Dan sebagai penerapannya, umat islam di Indonesia atau di manapun mereka berada tidak boleh untuk menaati atau menjalankan peraturan atau undang-undang yang jelas-jelas melanggar syariat islam, misalnya prostitusi dilegalkan, dan dilindungi, yaitu dengan adanya komplek-komplek yang melayani praktek maksiat tersebut, riba dengan adanya berbagai macam model perbankan, dimulai dari bank yang jelas-jelas menyatakan riba atau yang memakai kedok bank syariat atau perkreditan, penerapan sistem demokrasi, juga emansipasi wanita, persamaan hak dan kewajiban antara komponen masyarakat, tanpa pandang bulu agama dan ajarannya dst.Bukan hanya tidak boleh menaati, akan tetapi umat islam berkewajiban mengingkari berbagai kemaksiatan tersebut, masing-masing sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya, dan sesuai dengan manhaj atau metode yang diajarkan oleh Rasulullah dalam mengingkari kemungkaran (berdakwah).
“Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaknya ia mengubahnya dengan tangannya (kekuatannya), jika tidak bisa, maka dengan lisannya dan bila tidak bisa maka dengan hatinya”. (HR Muslim)
Rosululloh shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ini membagi manusia menjadi tiga golongan:
Golongan pertama, adalah orang-orang yang mampu untuk menghilangkan kemungkaran dengan tangannya (kekuatannya), yaitu pemerintah atau pemimpin atau yang diberi wewenang dalam hal ini, seperti lembaga-lembaga dan gubernur serta panglima.
Golongan kedua, orang-orang yang mengingkari dengan lisannya, yaitu yang tidak memiliki kekuasaan, tapi memiliki kemampuan untuk menjelaskan.
Dan golongan ketiga, orang-orang yang mengingkari kemungkaran dengan hatinya, yaitu mereka yang tidak memiliki kekuasaan dan kemampuan untuk menjelaskan.
Di antara manfaat dibaginya manusia menjadi tiga golongan semacam ini, adalah tercapainya tujuan yaitu terlaksanakannya atau tersampaikannya nasihat kepada yang hendak dinasihati tanpa terjadi ketimpangan, sebab bila ada orang yang melebihi kapasitasnya dalam mengingkari kemungkaran, niscaya akan terjadi ketimpangan bahkan kerusakan, misalnya: orang yang tidak berilmu mengingkari dengan cara membantah, menulis atau menganalisa dst, niscaya yang terjadi adalah kemungkaran baru, sebab orang tersebut pasti akan berkata-kata tanpa dasar ilmu, sehingga akan sesat dan menyesatkan.
Begitu juga bila ia mengingkari dengan kekuatan, niscaya akan terjadi kerusakan, yaitu melampaui batas, bersikap anarkis, atau menyingkirkan kemungkaran dengan kemungkaran lain yang sama atau lebih besar, misalnya yang sering terjadi di masyarakat, ketika ada pencuri yang tertangkap oleh masa, maka karena tidak berilmu mereka membakar atau membunuh atau menyiksa pencuri tersebut,padahal sikap itu jelas tidak islami dan diharamkan dalam syariat, bahkan termasuk berhukum dengan selain hukum islam, karena hukuman pencuri adalah dengan dipotong tangannya, bukan dicincang atau dibakar hidup-hidup dst.Oleh sebab itu, bila dalam mengingkari kemungkaran kita mengandalkan kekuatan masa, mengerahkan masa, berdemonstrasi yang sebenarnya mereka tidak berhak untuk mengingkari dengan kekuatan atau tangan, maka akan terjadi kemudhorotan yang besar, diantaranya, terjadinya kemacetan di jalan raya, mungkin terjadi penjarahan terhadap pertokoan, perusakan massal dst. Padahal kemaslahatannya seringnya tidak ada atau terlalu kecil bila dibanding dengan kerugiannya.
Dan saya yakin para pembaca pernah menyaksikan atau minimal membaca atau mendengar kejadian yang terjadi di masa reformasi beberapa tahun lalu. Tentu ini adalah sikap yang tidak islami dan termasuk berhukum kepada selain hukum Alloh, dan berhukum kepada hukum rimba atau masa, wallohul musta’aan.Dan di antara kaidah Ahlusunnah yang senantiasa diajarkan dan diperhatikan oleh para ulama dalam setiap hal ialah kaidah:“Kewajiban merealisasikan kemaslahatan dan menghindarkan kemudhorotan.“Dalam penerapannya yang berkaitan dengan mengingkari kemaksiatan, para ulama menjelaskan bahwa bila suatu amalan, termasuk pengingkaran terhadap suatu kemaksiatan akan berdampak buruk dan lebih berat nilai negatifnya dibanding maslahat yang dapat dicapai, maka pengingkaran tersebut tidak boleh dilakukan, baik pengingkaran tersebut dilakukan dengan kekuatan atau lisan atau tulisan. Sebab tujuan diturunkan syariat Islam kepada umat manusia adalah demi merealisasikan kemaslahatan bagi mereka dan menghindarkan kemudhorotan dari mereka.Oleh karena itu setiap langkah dan upaya yang akan kita tempuh dalam mengingkari kemungkaran harus kita timbang dengan kaidah ini, apa maslahat yang akan tercapai, dan apa mudhorot yang akan timbul dari pengingkaran tersebut.Ini kaidah umum berlaku terhadap setiap pelaku kemungkaran, baik penguasa atau rakyat biasa. Oleh karena itu bila suatu saat ada suatu keadaan/situasi atau ada orang yang mampu mengingkari kemungkaran yang dilakukan oleh pemerintah dengan menggunakan tangan/kekuatan tanpa menimbulkan kerusakan atau dampak negatif yang lebih besar, maka hal itu diperbolehkan, sebagai contoh bila yang melakukan kemungkaran adalah seorang bupati atau gubernur, dan yang mengingkari adalah Menteri Dalam Negeri atau presiden, maka boleh bagi mereka untuk mengingkari dengan kekuatan, atau terus terang, atau dengan tangan, sebab pengingkaran itu (atas izin Alloh) tidak akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Atau bila orang yang mengingkari itu adalah orang tua penguasa tersebut atau orang yang disegani atau yang semisal.
Hal ini berdasarkan kisah berikut:
Ketika Marwan bin Hakam rohimahulloh (khalifah kala itu) hendak berdiri di mimbar dan mendahulukan khotbah ‘ied sebelum sholat (yang benar adalah sholat ‘ied terlebih dahulu kemudian khotbah) maka Abu Sa’id Al Khudri rodhiallohu ‘anhu menarik tangan khalifah Marwan agar ia sholat terlebih dahulu, walaupun akhirnya Khalifah Marwan tetap ngotot mendahulukan khotbah sebelum Sholat, dan berkata kepada sahabat Abu Sa’id Al Khudri: “Sesungguhnya apa yang engkau ketahui (sunnah tentang mendahulukan sholat sebelum khotbah) telah ditinggalkan”. Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dan Muslim.
Walau Abu Sa’id Al Khudry mengingkari dengan tangannya, dan di hadapan khalayak ramai, akan tetapi karena kedudukan beliau sebagai sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam di hadapan kaum muslimin kala itu menjadikan sikap beliau ini tidak menimbulkan kerusakan yang lebih besar.
Bila permasalahan ini telah dipahami dengan baik, maka masih ada dua permasalahan besar dalam prinsip Ahlusunnah yang harus kita camkan baik-baik,
Pertama: Kemaksiatan yang sedang kita bahas yaitu demokrasi, dan berhukum dengan selain hukum Alloh ta’ala adalah kemaksiatan yang jelas-jelas haram, dan termasuk dosa besar, akan tetapi yang perlu diingat adalah: perbuatan ini bukan hanya dilakukan oleh pemerintah, akan tetapi dilakukan oleh banyak orang yang ada di masyarakat, baik itu pemerintah, atau organisasi atau perorangan atau kepala rumah tangga dll. Jadi kewajiban berhukum kepada hukum Alloh adalah kewajiban setiap orang yang memiliki kesempatan/ wewenang untuk mengambil keputusan, baik ia sebagai pelaksana pemerintahan, atau bukan. Begitu juga halnya dengan sistem demokrasi, diterapkan oleh pemerintah juga diterapkan oleh lembaga non pemerintah bahkan diterapkan oleh perorangan, misalnya dalam kehidupan berkeluarga atau yang serupa. Sehingga ketika kita mengatakan bahwa demokrasi itu haram dan sesat, tidak berarti yang dimaksud hanya sikap dan sistem yang dijalankan oleh pemerintah yang ada,
akan tetapi kemungkaran ini dilakukan oleh banyak orang pemerintah dan selainnya. Untuk lebih jelasnya, mari kita renungkan bersama sebab turunnya ayat 44 Surat Al Maaidah:
Yaitu ketika ada seorang laki-laki dan seorang wanita yahudi (yang telah menikah) berzina, dihukumi oleh kaumnya dengan dilumuri wajahnya dengan arang dan kemudian diarak keliling, padahal dalam kitab At Taurat mereka, hukuman zina adalah rajam. Dan ketika hal ini sampai kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bertanya kepada mereka: Dalam kitab At Taurat kalian, apa hukuman orang yang berzin? Mereka menjawab: Kami mempermalukan mereka di hadapan orang umum, kemudian dicambuk, maka sahabat Abdulloh bin Salam berkata kepada mereka: Kalian telah berdusta, sesungguhnya dalam At Taurat ada ayat tentang rajam, maka mereka mendatangkan At Taurat, lalu dibuka, akan tetapi salah seorang dari mereka meletakkan tangannya di atas ayat yang memerintahkan rajam, maka Abdulloh bin Salam memerintahkannya untuk mengangkat tangannya, dan terlihatlah ayat tentang rajam, maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar kedua orang yahudi tersebut dirajam. Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud dll.
Dari kisah sebab turunnya ayat tersebut, kita bisa simpulkan bahwa berhukum kepada hukum Alloh bukan hanya kewajiban pemerintah atau khalifah saja, akan tetapi merupakan kewajiban seluruh manusia, sebab orang-orang yahudi tersebut tidaklah memiliki negara, akan tetapi hanya sebuah kabilah, ditambah lagi konteks ayat tersebut umum, tidak ada batasan dengan pemerintah atau yang lainnya, maka barang siapa yang mengatakan bahwa ayat tersebut hanya berkenaan dengan pemerintah atau khalifah, maka ia harus mendatang dalil.
Untuk lebih memperjelas kesimpulan ini mari kita baca ayat 65 surat An Nisa’ :
“Maka demi Tuhanmu, mereka tidaklah beriman, hingga mereka menjadikanmu sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”
Dan untuk memperjelas pemahaman ini, mari kita simak kisah berikut yang menggambarkan bagaimana pemahaman sahabat Nabi sekaligus anak paman beliau, yaitu Abdulloh bin Abbas tentang kewajiban berhukum dengan hukum Alloh, beliau bercerita:
“Tatkala orang-orang haruriyyah (khowarij) telah bermunculan, mereka memisahkan diri dari kaum muslimin dengan berkumpul di daerah mereka, dan jumlah mereka adalah enam ribu orang, maka aku berkata kepada Ali bin Abi Tholib rodhiallohu ‘anhu: “Wahai Amirul Mukminin, aku mohon engkau menunda pelaksanaan sholat zuhur, karena aku hendak mendatangi mereka dan menasehati mereka”. Maka Ali berkata: “Aku takut atas dirimu”. Aku menjawab: “Tidak akan terjadi apa-apa”. Lalu aku berangkat menuju kepada mereka, dan mendatangi mereka pada saat pertengahan hari, sedangkan mereka sedang tidur siang, lalu aku mengucapkan salam kepada mereka, dan mereka pun spontan menjawab: “Selamat datang, kami ucapkan untukmu, wahai Ibnu Abbas, apakah yang menjadikanmu datang kemari?”. Aku berkata kepada mereka: “Aku datang kepada kalian dari sisi para sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan menantunya, atas merekalah Al Quran diturunkan, sehingga mereka lebih tahu daripada kalian tentang tafsirnya, sedangkan tidak seorang pun di antara kalian yang tergolong dari mereka (sahabat), sungguh aku akan menyampaikan kepada kalian apa yang sebenarnya mereka katakan/yakini, dan hendaknya kalian pun menyampaikan apa yang kalian katakan/yakini”. Lalu aku berkata kepada mereka: “Apakah yang kalian benci dari sahabat Rosululloh shalallahu ‘alaihi wa sallam dan anak pamannya?” Mereka menjawab: “Ada tiga hal”. Aku berkata: “Apakah itu?” Mereka menjawab: “Adapun yang pertama: karena ia (Ali bin Abi Tholib) telah menjadikan seorang manusia sebagai hakim (berhakim) dalam urusan Alloh, padahal Alloh telah berfirman:
Artinya:
“Tiadalah hukum/keputusan, kecuali hukum Alloh”, apa urusan manusia dalam hukum Alloh?” .Aku berkata kepada mereka: “Adapun anggapan kalian, bahwa Ali telah berhakim kepada seorang manusia dalam urusan Alloh, maka aku akan membacakan kepada kalian ayat dari Al Quran, yang menyatakan bahwa Alloh telah menyerahkan hukum-Nya kepada manusia dalam urusan yang berharga seperempat dirham, dan Alloh memerintahkan agar mereka memutuskan dalam urusan tersebut, Alloh berfirman :
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian membunuh binatang buruan, sedangkan kalian dalam keadaan berihram. Dan barang siapa yang dengan sengaja membunuhnya, maka hukumannya adalah mengganti dengan binatang ternak yang seimbang dengan binatang buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang adil diantara kalian“. (QS Al Maaidah: 95),
maka atas nama Alloh ta’ala, apakah keputusan manusia dalam seekor kelinci dan yang serupa dari binatang buruan lebih utama? Ataukah keputusan mereka dalam urusan pertumpahan darah dan perdamaian di antara mereka, sedangkan kalian tahu, bahwa seandainya Alloh menghendaki, niscaya Ia akan memutuskan, dan tidak perlu menyerahkan keputusan (hukuman pembunuh binatang buruan dalam keadaan berihram) kepada manusia?” Mereka menjawab: “Tentang keputusan dalam hal pertumpahan darah dan perdamaian lebih utama.” (Ibnu Abbas melanjutkan perkataannya) Dan dalam urusan seorang istri dengan suaminya, Alloh Azza wa Jalla berfirman:
“Dan bila kalian khawatir ada persengketaan antara keduanya, maka utuslah seorang hakim dari keluarga laki-laki (suami) dan seorang hakim dari keluarga wanita (istri). Jika keduanya menghendaki perbaikan, niscaya Alloh memberikan taufik kepada keduanya”. (QS An Nisa’: 35)Maka, atas nama Alloh, apakah keputusan manusia dalam urusan perdamaian antara mereka dan mencegah terjadinya pertumpahan darah di antara mereka lebih utama ataukah, keputusan mereka dalam urusan seorang wanita? Apakah aku sudah berhasil menjawab tuduhan kalian? Mereka menjawab: Ya¦ dst. (riwayat At Thabrani, Al Hakim, Al Baihaqi dll).
Jadi dengan singkat, berhukum kepada hukum Alloh adalah sebuah sistem/manhaj yang harus diterapkan oleh setiap muslim ,baik tercakup dalam instansi pemerintah atau tidak. Sehingga penjelasan bahwa demokrasi adalah haram, tidak serta-merta menyerang pemerintah atau membeberkan kesalahan mereka di hadapan masyarakat umum, akan tetapi pemahaman kitaah (karena kita menganggap bahwa berhukum dengan hukum Alloh itu hanya kewajiban pemerintah) yang menjadikannya “seakan-akan- hanya tertuju kepada pemerintah.Pendek kata, dalam tema ini (penjelasan bahwa demokrasi adalah haram,) kita sedang mengingkari sebuah sistem yang diterapkan oleh masyarakat, baik pemerintah atau lainnya. Dan tidak secara khusus membongkar kesalahan pemerintah, sehingga sikap kita ini sama halnya dengan sikap kita ketika mengatakan atau membahas bahwa khomer adalah haram, judi haram, perzinaan adalah haram.Kedua: yaitu membedakan antara mengingkari dengan menyebutkan pelakunya secara langsung dari mengingkari dengan menyebutkan pelakunya. Bila kita mengingkari dengan tidak menyebutkan pelakunya, maka hal itu bebas dilakukan oleh setiap orang yang berkompeten dalam permasalahan yang dimaksud, misalnya dengan mengatakan bahwa riba adalah haram, perzinaan adalah haram, dan khomer adalah haram, demokrasi adalah haram perjudian adalah haram dst. Sebab kemaksiatan ini pelakunya banyak, bukan hanya pemerintah saja, akan tetapi banyak elemen masyarakat yang melakukannya. Dan cara pengingkaran ini (insya Alloh) tidak akan menimbulkan mafsadah yang besar, dan diharapkan dengannya terkuranginya perbuatan maksiat di masyarakat.Akan tetapi bila mengingkari dengan menyebutkan pelakunya, misalnya: Ahmad berzina, atau memakan riba, harta haram, atau lainnya, maka pengingkaran ini pada dasarnya adalah haram hukumnya/tidak boleh dilakukan karena ini adalah termasuk perbuatan ghibah, kecuali bila pelaku perbuatan mungkar tersebut tidak bisa dihentikan dari kemungkarannya kecuali dengan cara menyebutkan namanya, misalnya dengan cara melaporkannya ke pihak yang berwenang atau orang yang dapat menghentikan kemungkarannya atau yang dapat menasihatinya. Atau bila tidak disebut namanya ditakutkan akan banyak masyarakat yang terpedaya olehnya atau hanyut oleh kesesatan dan kemaksiatannya.
“Dari sahabat Abdulloh bin Umar rodhiallohu ‘anhu: Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus suatu pasukan di bawah kepemimpinan Khalid bin Walid untuk menyerang bani Judzaimah, akan tetapi mereka (bani Judzaimah) tidak bisa mengucapkan: Aslamnaa (kami telah masuk Islam), sehingga mereka berkata: Kami telah berganti agama, kami telah berganti agama, maka(melihat yang demikian) Khalid bin Walid tetap membunuh dan menawan mereka. Kemudian ia membagi-bagikan tawanan perang kepada setiap pasukannya. Dan pada suatu hari ia (Khalid) memerintahkan kami untuk membunuh setiap tawanan perang yang ada di tangannya, (melihat hal itu sahabat Ibnu Umar) berkata: Sungguh demi Alloh aku tidak akan membunuh tawanan yang ada padaku, dan juga sahabat-sahabatku tidak boleh ada yang membunuh tawanan yang ada padanya. Setibanya kami di Madinah, kami menyebutkan kejadian ini kepada Nabi shalAllohu ‘alaihi wa sallam, maka beliau bersabda: Ya Alloh, sesungguhnya aku berlepas diri kepada-Mu dari tindakan Khalid bin Walid (beliau mengucapkan doa ini du kali).”(Bukhari).
Pada kisah ini Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari perbuatan Khalid bin Walid dengan cara menyebutkan namanya langsung, dan pasti sikap beliau ini tidak akan menimbulkan mafsadah atau kekacauan.Semoga penjelasan saya ini sedikit membuka wawasan kita tentang metode berfikir/manhaj Ahlusunnah tentang Fiqhud Dakwah dan Inkarul Munkar, dan mohon maaf bila terlalu bertele-tele dan ada kata-kata yang kurang berkenang atau kurang bisa dipahami. Wallohu a’lam bisshowab
Artikel yang sangat bagus dan bermanfaat..
Ada beberapa yang menurut saya perlu ditambahkan,di barat sendiri demokrasi tidaklah dipahami lagi seperti pemaparan diatas, misalnya ada konsep demokrasi deliberative (permusyawaratan) yg lebih menekankan dialog antara rakyat dan penguasa ketimbang sistem seperti pemilu, parpol dst. Kritik ini benar jika ditujukan kepada konsep demokrasi liberal yg oleh barat sendiri sudah dikritik karena sangat Barat centrist dan tidak mengakomodasi nilai kultural atau agama. jadi menurut penganut paham demokarasi deliberative sistem apapun boleh sesuai dengan agama dan kultural ttp yg penting adalah adanya dialog antara penguasa dan rakayat dalam hal yg menyangkut masalah publik
@Budi Kurniawan
Anggaplah trend demokrasi yang dipraktekkan di Barat sudah bergeser untuk lebih mengedepankan dialog, namun terdapat unsur-unsur demokrasi yg secara umum berseberangan dengan aturan Islam seperti penetapan siapakah yg layak menjadi anggota majelis syura dengan anggota parlemen dlm suatu sistem demokrasi.
Dalam prakteknya, ketika dialog menemui jalan buntu, akan ditempuh proses voting yang tetap memenangkan suara mayoritas meski hal itu bertentangan dengan syari’at.
Selain itu, demokrasi sangatlah identik dengan kemauan rakyat sebagaimana pengertiannya yang populer, apa yang diinginkan oleh rakyat meski bertentangan aturan Islam berusaha untuk diwujudkan.
Wallahu ta’ala a’lam.
mantafff
ijin share ya
thanks bget…..sneng akhir nya slesai jga nich tugas ya…wlau ga lngkap sich……. :)