Baca pembahasan sebelumnya: Antara Cinta Nabi dan Perayaan Maulid Nabi (Bag. 2)
[lwptoc]
Sikap Ahlus Sunnah dalam Menyikapi Perayaan Maulid Nabi
[Pertama] Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni Ad Dimasqi mengatakan, “Adapun melaksanakan perayaan tertentu selain dari hari raya yang disyari’atkan (yaitu Idul Fithri dan Idul Adha) seperti perayaan pada sebagian malam dari bulan Rabi’ul Awwal (yang disebut dengan malam Maulid Nabi), perayaan pada sebagian malam Rojab, hari ke-8 Dzulhijjah, awal Jum’at dari bulan Rojab atau perayaan hari ke-8 Syawal -yang dinamakan orang yang sok pintar (alias bodoh) dengan ‘Idul Abror-; ini semua adalah bid’ah yang tidak dianjurkan oleh para salaf (sahabat yang merupakan generasi terbaik umat ini) dan mereka juga tidak pernah melaksanakannya.” (Majmu’ Fatawa, 25/298)
[Kedua] Muhammad bin ‘Abdus Salam Khodr Asy Syuqairiy membawakan pasal “Di bulan Rabi’ul Awwal dan Bid’ah Maulid”. Dalam pasal tersebut, beliau rahimahullah mengatakan, “Bulan Rabi’ul Awwal ini tidaklah dikhusukan dengan shalat, dzikr, ‘ibadah, nafkah atau sedekah tertentu. Bulan ini bukanlah bulan yang di dalamnya terdapat hari besar Islam seperti berkumpul-kumpul dan adanya ‘ied sebagaimana digariskan oleh syari’at. … Bulan ini memang adalah hari kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sekaligus pula bulan ini adalah waktu wafatnya beliau. Bagaimana seseorang bersenang-senang dengan hari kelahiran beliau sekaligus juga kematiannya [?] Jika hari kelahiran beliau dijadikan perayaan, maka itu termasuk perayaan yang bid’ah yang mungkar. Tidak ada dalam syari’at maupun dalam akal yang membenarkan hal ini.
Jika dalam maulid terdapat kebaikan, lalu mengapa perayaan ini dilalaikan oleh Abu Bakar, ‘Umar, Utsman, ‘Ali, dan sahabat lainnya, juga tabi’in dan yang mengikuti mereka [?] Tidak disangsikan lagi, perayaan yang diada-adakan ini adalah kelakuan orang-orang sufi, orang yang serakah pada makanan, orang yang gemar menyiakan waktu dengan permainan sia-sia dan pengagung bid’ah…”
Lalu beliau melanjutkan dengan perkataan yang menghujam, “Lantas faedah apa yang bisa diperoleh, pahala apa yang bisa diraih dari penghamburan harta yang memberatkan [?]” (As Sunan wal Mubtada’at Al Muta’alliqoh Bil Adzkari wash Sholawat, 138-139)
[Ketiga] Seorang ulama Malikiyah, Syaikh Tajuddin ‘Umar bin ‘Ali –yang lebih terkenal dengan Al Fakihaniy- mengatakan bahwa maulid adalah bid’ah madzmumah (bid’ah yang tercela). Beliau memiliki kitab tersendiri yang beliau namakan “Al Mawrid fil Kalam ‘ala ‘Amalil Mawlid (Pernyataan mengenai amalan Maulid)”.
Beliau rahimahullah mengatakan, “Aku tidak mengetahui bahwa maulid memiliki dasar dari Al Kitab dan As Sunnah sama sekali. Tidak ada juga dari satu pun ulama yang dijadikan qudwah (teladan) dalam agama menunjukkan bahwa maulid berasal dari pendapat para ulama terdahulu. Bahkan maulid adalah suatu bid’ah yang diada-adakan, yang sangat digemari oleh orang yang senang menghabiskan waktu dengan sia-sia, sangat pula disenangi oleh orang serakah pada makanan. Kalau mau dikatakan maulid masuk di mana dari lima hukum taklifi (yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram), maka yang tepat perayaan maulid bukanlah suatu yang wajib secara ijma’ (kesepakatan para ulama) atau pula bukan sesuatu yang dianjurkan (sunnah). Karena yang namanya sesuatu yang dianjurkan (sunnah) tidak dicela orang yang meninggalkannya. Sedangkan maulid tidaklah dirayakan oleh sahabat, tabi’in dan ulama sepanjang pengetahuan kami. Inilah jawabanku terhadap hal ini. Dan tidak bisa dikatakan merayakan maulid itu mubah karena yang namanya bid’ah dalam agama –berdasarkan kesepakatan para ulama kaum muslimin- tidak bisa disebut mubah. Jadi, maulid hanya bisa kita katakan terlarang atau haram.” (Al Hawiy Lilfatawa lis Suyuthi, 1/183)
Pembelaan Sebagian Orang Dalam Masalah Maulid
[Pertama] Maulid adalah Bentuk Rasa Syukur, Pengagungan dan Penghormatan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Cukup kami jawab, kalau memang maulid adalah bentuk syukur, mengapa sejak generasi sahabat hingga imam mazhab yang empat tidak ada yang melakukan perayaan ini[?] Apakah keimanan mereka lebih rendah dibanding orang-orang sekarang yang merayakannya[?] Apakah orang ini menyangka lebih mendapat petunjuk daripada generasi awal tersebut[?]
Semoga kita dapat merenungkan perkataan para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah berikut.
لَوْ كَانَ خَيرْاً لَسَبَقُوْنَا إِلَيْهِ
“Seandainya amalan tersebut baik, tentu mereka (para sahabat) sudah mendahului kita untuk melakukannya.”
Inilah perkataan para ulama pada setiap amalan atau perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat. Mereka menggolongkan perbuatan semacam ini sebagai bid’ah. Karena para sahabat tidaklah melihat suatu kebaikan kecuali mereka akan segera melakukannya. (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, pada tafsir surat Al Ahqof ayat 11)
Juga kami katakan, “Mengapa ucapan syukur, penghormatan dan pengagungan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya sekali dalam setahun, hanya pada 12 Rabi’ul Awwal? Mengagungkan, mencintai beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bersyukur bukan hanya sekali setahun, namun setiap saat dengan mentaati dan selalu ittiba’ pada beliau.”
[Kedua] Maulid Nabi adalah Bid’ah Hasanah (Bid’ah yang baik)
Perkataan ini muncul karena mereka melihat para ulama yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah sayyi’ah atau dholalah (sesat/jelek). Jadi menurut mereka tidak semua bid’ah itu sesat.
Ingatlah saudaraku, bid’ah dalam hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dikenal sama sekali adanya bid’ah hasanah. Bahkan yang dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan diyakini oleh sahabat, setiap bid’ah adalah sesat.
Perhatikanlah sabda Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam berikut.
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim no. 867)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
اتَّبِعُوا، وَلا تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيتُمْ، كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ
“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), janganlah membuat bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat.” (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 8770. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya adalah perawi yang dipakai dalam kitab shohih)
Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً
“Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.” (Lihat Al Ibanah Al Kubro li Ibni Baththoh, 1/219, Asy Syamilah)
Lihatlah perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Kita akan melihat bahwa mereka mengatakan semua bid’ah itu sesat, tanpa ada pengecualian.
Bagaimana jika ada yang mengatakan bahwa ‘Umar bin Al Khaththab pernah menyatakan bahwa shalat tarawih yang dia hidupkan adalah “sebaik-baik bid’ah”? Dari perkataan beliau ini menurut mereka, ada bid’ah hasanah (yang baik).
Sanggahan: Ingatlah para sahabat tidak mungkin melakukan bid’ah. Yang dimaksud dengan bid’ah dalam perkataan ‘Umar adalah bid’ah secara bahasa Arab yang berarti sesuatu yang baru.
Jika ada yang masih ngotot bahwa tidak semua bid’ah sesat, ada di sana bid’ah yang baik (hasanah), maka cukup kami katakan: Kalau ‘Umar menghidupkan shalat tarawih dan beliau katakan sebagai bid’ah, hal ini ada dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melaksanakan shalat tarawih di awal-awal Ramadhan. Namun karena takut amalan tersebut dianggap wajib, maka beliau tidak menunaikannya lagi. Jadi, intinya ‘Umar memiliki dasar dari perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sekarang, apa maulid Nabi memiliki dasar dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana shalat tarawih yang dihidupkan oleh ‘Umar[?] Jawabannya tidak sama sekali. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah merayakan hari kelahirannya, begitu pula para sahabat, tabi’in, dan para imam madzhab tidak ada yang merayakannya. Sehingga maulid tidak bisa kita sebut bid’ah hasanah. Yang lebih tepat maulid adalah bid’ah madzmumah (tercela) sebagaimana yang dikatakan oleh Asy Syuqairiy dan Al Fakihaniy yang telah kami sebutkan di atas.
[Ketiga] Niatannya Supaya Lebih Mengenal Sosok Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Mungkin ada yang berseloroh, kalau melakukannya dengan niatan ibadah maka bid’ah, tapi kalau sekedar memperingati agar lebih mengenal sosok Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka mubah, bahkan bisa jadi sunnah atau wajib, karena setiap muslim wajib mengenal Nabinya.
Kita katakan kepadanya bahwa itu tidak benar! Sungguh ironis, seorang yang mengaku cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengenalinya kok hanya setahun sekali?! Mengenal sosok beliau tidaklah dibatasi oleh bulan atau tanggal tertentu. Jika ia dibatasi oleh waktu tertentu, apalagi dengan cara tertentu pula, maka sudah masuk ke dalam lingkup bid’ah. Lebih dari itu, sangat mustahil atau kecil kemungkinannya bila tidak disertai niat merayakan hari kelahiran beliau, yang ini pun sesungguhnya sudah masuk ke dalam lingkup tasyabbuh (meniru-niru) orang-orang Nashrani yang dibenci oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri. Mereka (orang Nashrani) merayakan kelahiran Nabi Isa melalui natalan, sedangkan mereka merayakan kelahiran Nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui natalan. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ [1/269] mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus)
Sudikah kita mengenal dan mengenang Nabi, namun beliau sendiri tidak suka dengan cara yang kita lakukan?! Dan siapa bilang harus mengenal sosok Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam cuma melalui acara maulid yang hanya diadakan sekali setahun[?] Bukankah masih ada cara lain yang sesuai tuntutan dan tidak tasyabbuh (meniru-niru) orang kafir.
[Keempat] Nabi memperingati hari kelahirannya dengan berpuasa
Sebagian beralasan dengan puasa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Senin, karena pada hari tersebut adalah hari kelahirannya. Ini berarti hari kelahiran boleh dirayakan. Ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanyakan mengenai puasa pada hari Senin, beliau pun menjawab,
ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ عَلَىَّ فِيهِ
“Hari tersebut adalah hari kelahiranku, hari aku diangkat sebagai Rasul atau pertama kali aku menerima wahyu.” (HR. Muslim [Muslim: 14-Kitab Ash Shiyam, 36-Bab Anjuran Puasa Tiga Hari Setiap Bulannya])
Sanggahan: Bagaimana mungkin dalil di atas menjadi dalil untuk merayakan hari kelahiran beliau[?] Ini sungguh tidak tepat dalam berdalil. Lihatlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melaksanakan puasa pada tanggal kelahirannya yaitu tanggal 12 Rabiul Awwal, dan itu kalau benar pada tanggal tersebut beliau lahir. Karena dalam masalah tanggal kelahiran beliau masih terdapat perselisihan. Yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan adalah puasa pada hari Senin bukan pada 12 Rabiul Awwal[!] Seharusnya kalau mau mengenang hari kelahiran Nabi dengan dalil di atas, maka perayaan Maulid harus setiap pekan bukan setiap tahun.
Penutup
Akhirnya, sulit dibenarkan jika perayaan Maulid Nabi dengan segala modelnya diklaim sebagai bentuk kebaikan dalam rangka mentaati dan mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Justru kebenaran ada pada pihak yang tidak merayakan Maulid, demi ketaatan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menjaga kebersihan ajaran Islam. Bukankah masih banyak sunnah-sunnah Rasul yang masih terbengkalai dan belum kita sentuh? Sungguh ironis, sekian banyak sunnah dilupakan, bahkan dilecehkan, sementara bid’ah maulid dibela mati-matian. Semoga kita terhindar dari pengaruh tipu daya para penyeru bid’ah dan kesesatan, yang lebih cenderung berbuat bid’ah bahkan terkadang tidak memahami sunnah Nabinya.
Terkahir. Saudaraku, kami menyinggung masalah Maulid ini bukanlah maksud kami untuk memecah belah kaum muslimin sebagaimana disangka oleh sebagian orang jika kami menyinggung bid’ah dan semacamnya. Yang hanya kami inginkan adalah bagaimana umat ini bisa bersatu di atas kebenaran dan di atas ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang benar. Yang kami inginkan adalah agar saudara kami mengetahui kebenaran dan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang kami ketahui. Kami tidak ingin saudara kami terjerumus dalam kesalahan sebagaimana tidak kami inginkan pada diri kami. Kami hanya ingin agar umat Islam mengetahui ajaran Islam yang benar dan mengetahui kekeliruan yang sering terjadi di tengah-tengah umat. Semoga maksud kami ini sama dengan perkataan Nabi Syu’aib,
إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (Qs. Hud [11]: 88)
Ingat sekali lagi bahwa cinta Nabi dibuktikan dengan meneladani dan mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan dengan menyelisihi perintah atau melakukan sesuatu yang tidak ada tuntunannya.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala wa alihi wa shohbihi wa sallam.
Rabu, 6 Rabi’ul Awwal 1430 H
Yang sangat butuh pada ampunan dan rahmat Rabbnya
Muhammad Abduh Tuasikal (http://rumaysho.wordpress.com)
[Jazahullahu khoiron pada Ustadzuna Aris Munandar yang telah mengedit tulisan ini. Semoga Allah memberkahi ilmu dan umur beliau]
Referensi:
- Al I’tishom, Abu Ishaq Ibrahim bin Musa Asy Syatibi, Asy Syamilah
- Al Bida’ Al Hawliyah, ‘Abdullah bin ‘Abdil ‘Aziz bin Ahmad At Tuwaijiry, Darul Fadhilah,cetakan pertama, 1421 H
- Al Hawiy Lilfatawa Lis Suyuthi, Jalaluddin ‘Abdurrahman bin Abi Bakr As Suyuthi, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah, Beirut, cetakan pertama, 1421 H
- Al Maulid, Syaikh Samir Al Maliki, Asy Syamilah
- As Sunan wal Mubtada’at Al Muta’alliqoh Bil Adzkari wash Sholawat, Muhammad bin ‘Abdus Salam Khodr Asy Syaqiriy,Darul Fikr
- Huququn Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baina Al Ijlal wal Ikhlal, Dimuqoddimahi oleh Dr. Syaikh Sholeh bin Fauzan Al Fauzan
- Iqtidho’ Ash Shirothil Mustaqim Lilmukholafati Ash-habil Jahim, Ahmad bin ‘Abdul Halim Al Haroni Ad Dimasqiy, Wizarot Asy Syu-un Al Islamiyah wal Awqof
- Jami’ul Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, Darul Hadits Kairo
- Majmu’ Fatawa, Ahmad bin ‘Abdul Halim Al Haroni Ad Dimasqiy, Darul Wafa’
- Syarh At Thohawiyah, Syaikh Sholeh bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Syaikh, Asy Syamilah
- Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Abul Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir Al Qurosyiy Ad Dimasyqiy, Dar Thobi’ah, cetakan kedua, 1420 H
- Wafayatul A’yan wa Anba-i Abna-iz Zaman, Abul ‘Abbas Syamsuddin Ahmad bin Muhammad Abu Bakr bin Khallikan, Tahqiq: Ihsan ‘Abbas, Dar Shodir-Beirut
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id
Betul sekali, hadits “Hari tersebut adalah hari kelahiranku, hari aku diangkat sebagai Rasul atau pertama kali aku menerima wahyu.” (HR. Muslim [Muslim: 14-Kitab Ash Shiyam, 36-Bab Anjuran Puasa Tiga Hari Setiap Bulannya]) sangat sering dijadikan hujjah bagi mereka yang merayakan maulid Nabi.
Jazaakallohu khairan atas pencerahannya…
Saya sangat tertarik dengan apa yang disampaikan, semoga ini menjadi ladang dakwah dan penebar taufik kepada kita semua, Amin
subhanallah inilah dakwah bilhikmah (berdasarkan ilmu, Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw).
dan bukti dari Islam kita adalah kalimat syahadat “Muhammadar Rosulullah”, maka konsekuensinya kita harus mengikuti Sunnah Rasulullah Saw.
kalau kita mengingkarinya (menambah dan mengurangi, Bid’ah), berartii kita telah ma’shiyat.
wallahua’lam bishshawab.
Subhanallah….cocok dgn pendapat Sdr.Sirojul Munir,…Konsekuen akan Syahadat kita !
Lebih dari cukup contoh dalam berkehidupan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasullullah SAW.
Mudah-mudahan semakin banyak ikhwan-ikhwan kita yang terbuka hatinya bahwa ke-“laziman” seperti acara mauludan ini sama dgn ke-“zoliman” pada diri mereka…dengan segala kesabaran mari kita mohon kepada Allah SWT agar input/nasehat kita dapat membukakan pintu hati saudara-saudara kita utk meninggalkan hal-hal bid’ah tsb….,amin
Dzun nun almisri berkata: diantara tanda cinta kepada Alloh adalah mengikuti kekasihNYA muhammad sollallohu ‘alaihi wasallam, dalam ahlaknya, perbuatannya,perintahnya dan sunnahnya.
wahai saudaraku seiman yang aku cintai,sungguh jika kita ditanya, siapakah manusia yang paling mulia setelah rasululloh, maka tentu jawabannya adalah: para sahabatnya.
siapakah orang yang paling ittiba'(mencontoh) kepada Rasululloh?tentu jawabannya adalah: para sahabatnya.
maka wahai saudaraku, jika memperingati maulid nabi adalah diperintahkan oleh Rasululloh, maka sungguh para sahabat rasululloh akan mendahului kita dalam merayakannya..tapi tidak ada satupun dari sahabat yang merayakan peringatan maulid tersebut.
maka jelaslah ini adalah perkara yang bid’ah(di ada-adakan dam agama) dan tidak bisa kita anggap ini kan baik, karna agama bukan berdasarkan anggapan atau rasio semata.
wahai saudaraku renungkallah perkataan imam darul hijrah Malik rahimahullah, beliau berkata: barangsiapa yang berbuat bid’ah dalam islam yang dia anggap itu adalah baik, maka dia telah menuduh rasululloh telah menghianati Risalah, dan Alloh berfirman:yg artinya:(pada hari ini telah aku sempurnakan agama bagi kalian)pent,maka apa-apa yang bukan termasuk pada hari itu adalah perkara agama,maka tidaklah juga pda hari ini trmasuk perkara agama.
Masalah TBC ini memang masalah yg sangat krusial dan sensitif dikalangan umat Islam di negeri ini khususnya dan didunia pada umumnya. Tidak jelas mengapa dikalangan sebagian besar umat Islam dinegeri ini apabila ada jru dakwah membicarakan masalah Tkhahayul, bid’ah , khurafat sbg sesuatu yg ‘menjurus’ kekemusyrikan
menjadi begitu sensitif dan merasa terusik ‘akidahnya’thdp sesuatuyg diyakini dan dimuliakannya. Sebagai satu contoh pembunuhan sadis dg menyeret (pelaku pencurian ‘barang sakral’ disuatu makam ( dianggap wali) di satu daerah tertentu dengan usus terburai memakai kend. truck sepanjang beberapa km !! Ironisnya lagi sang pencuri mengambil barang yg disakralkan itu utk dijadikan Azimat!! Karenanya mungkin perlu dipikirkan metodologi yg tepat utk bisa menjalankan misi dakwah pemurnian akidah/tauhid ini.
Ana minta izin untuk dicopy y
Ane setuju ama muslim.or.id maksudnya manhaj salafnya. emang bapak moyang ane demen ngerayain maulidan tp ane gak mau taklid buta, alhamdulillah di kampung ane ada ustad yg pemahamannya sama dg muslim.or.id jd pendapat ini tdk mengada-ada.
iya alhamdulillah,tp mengapa msh banyak yg melaksanakannya…n yg pemahamannya bahwa peringatan maulid nabi itu baik dilaksanakan mereka cenderung membenci org yg teleh paham bahwa itu tdk ada salafnya…
bagaiman memberikan pengertian /pemahaman kpd mereka yg rata rata dr mereka kolot kolot n kalu sudah itu ya itu tanpa mau belajar dahulu..apakah tidak sebaiknya mereka menghargai bg yg paham bhw maulid itu bid’ah n dia sambil belajar n bertanya…tdk asal membenci dan menebarkn klebencian…
aq berlindung kpd Allah.
perayaan maulid sekarang ini lebih mirip dengan acara ibadah umat kristiani(nasrani), ato bahkan yahudi yaitu diadakannya acara nyanyi2 sambil berdiri menggoyang goyangkan badan,lalu makan2 dan minum2(walaupun buka khamr). jadi acara ini lebih mirip pesta hura hura.dan ini yg menjadi keragu-raguan saya. yg alhamdulillah telah dijawab oleh berbagai buku ato literatur lainnya termasuk muslim.or.id.
Terima kasih untuk pencerahannya.
Ana minta ijin utk di share di facebook.
Assalamualaikum
Ana mohon izin mengcopy lagi
Mari kita bersama sama menyebarkan artikel ini untuk dakwah
syukron
Wassalam
cukup baik tapi ikhwan perlu diperhatikan makna peringatan dan perayaan, supaya tdk ada kerancuan dlm memaknai maulid, Baarokallohu fiekum.
Di dekat rumah saya, di sebuah lapangan, setiap tahun selalu diadakan perayaan maulid, dengan loudspeaker besar mengarah ke rumah saya. Haduh…… sedih banget deh, apalagi saat anak saya sedang sakit. Yang datang umumnya justru bukan warga komplek kami, tapi dari tempat yang jauh-jauh. Kami tak berani mengingatkan bahwa bid’ahnya perayaan itu. Mereka menjalankan ajaran yang jelas-jelas bid’ah tetapi meninggalkan ajaran yang jelas-jelas benar : Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Muslim (yang baik) adalah yang tidak mengganggu muslim lainnya dengan lisan dan tangannya.” (HR. Muslim)
Assalammu’alaikum wr.wb.
Wahai saudaraku apabila merayakan maulid nabi adalah bid’ah.
Bagaimana dengan orang-orang yang merayakan acara :
1.Tahun baru islam? dan isra’ mi’roj?
Mohon jawabannya beserta dalil-dalilnya ya.
#al-irsyad
Wa’alaikumussalam. Kedua acara tersebut juga bid’ah, dan orang merayakan acara tersebut lah yang seharusnya memberikan dalil. Jika tidak ada dalil tentang perayaannya, maka tidak boleh dirayakan.
Baca juga http://ustadzkholid.com/fiqih/peringatan-isra-miraj/
assalamualikum,
mohon ijin untuk copy.
Jazakumullahu khoiron
ustadz…syukron penjelasannya…..bagaimana dengan golongan para habaib di Indonesia….dari mana kah asal mereka? Benarkah mereka keturunan Rasulullah SAW (bagaimana bisa?) Mohon penjelasannya……
@ Mona
Cukup kami katakan sebuah hadits (riwayat Muslim), “Man Batthoa bihi ‘amaluh lam yusri’ bihi nasabuh” (Barangsiapa yg lambat amalannya, mk tdk ada manfaat apa2 bagusnya nasab (silsilah keturunan).
Jadi jika memang mereka keturunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tetap mereka harus ikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan jangan asal2an buat amalan sendiri karena mereka bukanlah Nabi.
Assalamualaikum, afwan mau tanya.
Bagaimana dengan hukum dzikir berjamaah?karena ada juga yang beralasan bahwa dia tidak merayakan maulid tapi selama ada majelis dzikir dan tujuannya untuk ibadah maka dia akan ikut.
Syukron katsiyro utk setiap jawabannya mohon dengan dalil2nya.
Barokkalahu fiikum
#Abdurrahman
Wa’alaikumussalam, majelis dzikir yang berpahala dan bermanfaat adalah majelis dzikir yang sesuai sunnah, diantaranya adalah majelis ilmu syar’i. Adapun majelis dzikir yang bid’ah tidak berpahala bahkan mendatangkan dosa.
Ada-ada saja. Hari ini masih ada orang yang tidak suka maulid. yang merayakan maulid saja masih belum bisa meneladani rosul, bagaimana yang tidak merayakan maulid?
salam..
terimaksih untuk artikelnya yang sangat bermanfaat,
mohon izin untuk copy dan disebarluaskan,
agar bisa jadi bahan pencerahan bagi ummat..
syukran
ajzalakumullahu ajran wa tsawaaban
mohon penjelesannya mengenai bid’ah. apakah semua bid’ah itu sesat?
@ Sutia
Iya.
Ini dalilnya
Diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah matanya memerah, suaranya begitu keras, dan kelihatan begitu marah, seolah-olah beliau adalah seorang panglima yang meneriaki pasukan ‘Hati-hati dengan serangan musuh di waktu pagi dan waktu sore’. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jarak antara pengutusanku dan hari kiamat adalah bagaikan dua jari ini. [Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berisyarat dengan jari tengah dan jari telunjuknya]. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim no. 867)
Assalamu’alaikum…
menyangkut masalah bid’ah di atas, di ktakan bahwa perayaan tahun baru islam juga termasuk di dalamnya, tapi bagaimana jika sekedar memberi ucapan “selamat Tahun Baru Islam” saja?
Apa itu masih termasuk bid’ah?
terimakasih udztad
#Lintang Restu
Ya, membuat perayaan baru dalam Islam. Karena dalam Islam hari raya itu ranah ibadah.
Assalamualaikum…
Ustad, mengenai puasa Rasulullah pada hari senin dan Beliau menyebutkan bahwa itu berhubungan dengan hari kelahirannya, maka apabila saya dilahirkan pada hari jum’at atau sabtu, maka apakah termasuk sunnah jika saya melakukan puasa pada hari kelahiran saya tersebut ?
#Hendra Leonar
Tidak itu khusus bagi beliau, buktinya tidak ada sahabat Nabi yang mengamalkan demikian.