Di zaman online ini, model bisnis dengan teknik dropship menjadi marak. Karena pesatnya media komunikasi membuat proses bisnis dropship ini menjadi lebih mudah. Namun bagaimana hukum bisnis dengan cara dropship dalam Islam?
Baca Juga:Renungan Untuk Para Pelaku Bisnis
Definisi Dropship
Dropship sebenarnya kependekan dari drop-shipping. Ia adalah metode jual-beli yang dilakukan oleh seorang retailer ketika ia dalam hal ini tidak memiliki barang di tempatnya, namun ia meneruskan pesanan dari pembeli kepada pemilik barang. Sebagaimana disebutkan oleh Wikipedia:
Drop shipping is a supply chain management method in which the retailer does not keep goods in stock but instead transfers the customer orders and shipment details to either the manufacturer, another retailer, or a wholesaler, who then ships the goods directly to the customer. (Sumber: Wikipedia).
Retailer biasanya menjual barang dengan memberikan deskripsi barang kepada calon pembeli. Baik berupa tulisan, gambar atau secara lisan. Kemudian retailer akan mendapatkan keuntungan dari selisih harga antara harga dari pemilik barang dengan harga yang diterapkan kepada konsumen.
Maka, dari sini kita bisa simpulkan beberapa poin:
- Dropship dilakukan oleh retailer
- Retailer tidak memiliki barang
- Retailer memberikan deskripsi barang kepada calon pembeli
- Retailer meneruskan pesanan kepada pemilik barang
- Barang dikirimkan kepada pembeli bisa jadi dari produsen, atau dari wholesale, atau dari retailer itu sendiri.
Dalam praktiknya, model transaksi dropship ada beberapa macam namun sifat-sifat ini umumnya ada dalam semua model dropship yang dipraktekkan masyarakat.
Baca Juga: Transaksi Jual Beli Hutang Dengan Hutang
Beberapa Pendekatan Fikih
Untuk menentukan hukum fikih mengenai metode transaksi dropship ini, maka perlu didefinisikan dulu akad apa yang terjadi dalam transaksi dropship. Dan ada beberapa pendekatan yang memungkinkan dalam hal ini. Yaitu sebagai berikut:
- Akad Samsarah (makelar)
Akad samsarah kita kenal dengan istilah makelar atau keagenan. Definisi akad samsarah dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah (10/151):
السمسرة : هي التوسط بين البائع والمشتري , والسمسار هو : الذي يدخل بين البائع والمشتري متوسطاً لإمضاء البيع , وهو المسمى الدلال , لأنه يدل المشتري على السلع , ويدل البائع على الأثمان
“Samsarah adalah perantara antara penjual dan pembeli. Simsar adalah orang yang menjadi penengah antara penjual dan pembeli untuk menjalankan proses transaksi. Disebut juga dallal, karena ia mengantarkan pembeli kepada barang yang ia cari, dan mengantarkan penjual kepada penjualan”.
Akad samsarah ini dibolehkan dalam syariat. Al Bukhari mengatakan dalam Shahih Bukhari:
بَاب أَجْرِ السَّمْسَرَةِ . وَلَمْ يَرَ ابْنُ سِيرِينَ وَعَطَاءٌ وَإِبْرَاهِيمُ وَالْحَسَنُ بِأَجْرِ السِّمْسَارِ بَأْسًا . وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ : لا بَأْسَ أَنْ يَقُولَ : بِعْ هَذَا الثَّوْبَ فَمَا زَادَ عَلَى كَذَا وَكَذَا فَهُوَ لَكَ . وَقَالَ ابْنُ سِيرِينَ : إِذَا قَالَ بِعْهُ بِكَذَا فَمَا كَانَ مِنْ رِبْحٍ فَهُوَ لَكَ ، أَوْ بَيْنِي وَبَيْنَكَ فَلَا بَأْسَ بِهِ . وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( الْمُسْلِمُونَ عِنْدَ شُرُوطِهِمْ )
“Bab akad samsarah. Dibolehkan oleh Ibnu Sirin, Atha’, Ibrahim, dan Al Hasan. Ibnu Abbas mengatakan: tidak mengapa seorang berkata: jualkanlah baju ini, kelebihannya sekian-sekian silakan engkau ambil. Ibnu Sirin mengatakan: jika seseorang berkata: jualkanlah barang ini dengan harga sekian, keuntungannya sekian menjadi milikmu, atau antara engkau dan aku bagiannya sekian, maka ini tidak mengapa. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: kaum Muslimin wajib menepati syarat-syarat yang mereka sepakati”.
Baca Juga: Adakah Batasan Mencari Untung dalam Jual Beli?
Para ulama ijma tentang bolehnya samsarah dengan nilai komisi yang fixed. Semisal seorang mengatakan, “silakan jualkan rumah ini, komisimu 50 juta rupiah”. Karena ini komisi yang ma’lum (diketahui). Namun mereka khilaf mengenai samsarah dengan komisi berupa nisbah (prosentase). Jumhur ulama melarangnya karena termasuk gharar. Imam Malik mengatakan:
فأمَّا الرجل يُعْطَى السلعةَ فيقال له: «بِعْها ولك كذا وكذا في كُلِّ دينارٍ» لشيءٍ يُسَمِّيه فإنَّ ذلك لا يصلح؛ لأنه كُلَّما نَقَصَ دينارٌ مِن ثَمَنِ السلعة نَقَصَ مِن حقِّه الذي سَمَّى له؛ فهذا غررٌ لا يدري كم جَعَل له
“Adapun seseorang yang memberikan barang lalu mengatakan: silakan jualkan barang ini lalu dari setiap 1 dinar, keuntunganmu sekian persen. Maka ini tidak diperbolehkan. Karena setiap kali harga barang turun maka turun juga komisinya. Maka ini gharar, ia (makelar) tidak mengetahui berapa yang akan didapatkannya” (Al Muwatha, 2/685).
Maka transaksi dropship bisa disebut samsarah jika memenuhi kriteria berikut:
- Retailer atau dropshipper berlaku sebagai simsar (makelar) yang ia menjadi penengah antara penjual dan pembeli.
- Harga jual sesuai kesepakatan antara penjual dan makelar. Makelar tidak boleh mengubah harga di luar kesepakatan.
- Komisi dari penjual haruslah komisi yang fixed, bukan berupa persentase dari harga barang.
Jika transaksi dropship memenuhi syarat ini maka hukumnya boleh.
- Akad Salam
Akad salam atau disebut juga akad salaf adalah jual beli yang didasari dari deskripsi barang, belum berupa yang nyata, dengan pembayaran di awal. Disebutkan dalam Fiqhus Sunnah (3/171):
السلم: بيع شيئ موصوف في الذمة بثمن معجل
“Akad salam adalah jual beli suatu barang yang disebutkan sifat-sifatnya dengan penyerahan barang tertunda, namun pembayaran kontan di awal”.
Akad salam dibolehkan dalam syariat dengan dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah. Dalil dari Al Qur’an, Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang telah ditentukan, hendaklah kamu menulisnya.” (QS. Al-Baqarah: 282).
Ibnu Abbas radhiallahu’anhu mengatakan:
أشهد أن السلف المضمون إلى أجل مسمى قد أحله الله في الكتاب وأذن فيه
“Aku bersaksi bahwa akad salaf yang penyerahannya dilakukan dalam tempo tertentu telah dihalalkan dan diizinkan oleh Allah dalam Al Qur’an (kemudian beliau membaca ayat di atas)” (HR. Al Hakim, Al Baihaqi, dishahihkan Al Albani dalam Al Irwa [1369]).
Dalil dari As Sunnah, dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhu, beliau berkata:
قَدِمَ النبي صلى الله عليه و سلم الْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ بِالتَّمْرِ السَّنَتَيْنِ وَالثَّلَاثَ. فقال: من أَسْلَفَ في شَيْءٍ فَفِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إلى أَجَلٍ مَعْلُومٍ
“Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, penduduk Madinah ketika itu sudah biasa memesan buah kurma dalam waktu dua atau tiga tahun. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa memesan sesuatu, maka hendaknya ia memesan dalam takaran yang jelas, timbangan yang jelas, dan tempo yang jelas” (Muttafaqun ‘alaihi).
Contoh akad salam adalah sebagai berikut. Budi ingin membeli seekor kambing, maka ia berkata kepada Anto: “Carikan saya kambing, warnanya putih, sehat, usianya lebih dari 2 tahun, dan gemuk. Silakan kamu cari dari penjual manapun, saya beli seharga 4 juta, ini dia saya serahkan uangnya. Tolong serahkan kambingnya dalam 2 hari”.
Sebagaimana penduduk Madinah mereka memesan kurma dengan pembayaran di muka, lalu kurma diserahkan 2 atau 3 tahun.
Syarat sahnya akad salam disebutkan dalam Al Mulakhas Al Fiqhi (283) :
- Disebutkannya sifat-sifat dari musallam fihi (barang yang diperjual-belikan dalam akad salam) secara rinci.
- Disebutkan jenis dari musallam fihi
- Disebutkan berat, takaran atau panjang dari musallam fihi
- Disebutkan tempo batas akhir penyerahan musallam fihi
- Musallam fihi harus merupakan barang yang dimungkinkan untuk didapatkan dalam tempo yang disepakati
- Penyerahan uang di muka secara kontan di majelis akad
- Musallam fihi bukanlah barang yang mu’ayyan (aset pasif) seperti pohon, rumah atau semisalnya. Karena barang seperti ini bisa jadi rusak sebelum batas tempo penyerahan.
Baca Juga: Hukum Jual Beli Kucing
Dengan pendekatan ini, maka bisa kita lihat bahwa dropship bisa dimasukkan sebagai akad salam. Retailer atau dropshipper sebagai musallim, barangnya sebagai musallam fihi, dan dalam dropship retailer menyebutkan sifat-sifat dari barang. Namun syarat-syarat agar dropship bisa dianggap sebagai akad salam adalah sebagai berikut:
- Disebutkan sifat-sifat barang secara rinci beserta jenis dan ukurannya
- Pembayaran harus kontan di muka
- Harus disebutkan tempo batas akhir penyerahan barang
- Barang bukan berupa aset pasif
Jika syarat-syarat ini dipenuhi maka dropship hukumnya boleh karena termasuk akad salam.
- Wakalah bil Ujrah
Wakalah artinya perwakilan. Disebutkan dalam Al Fiqhul Muyassar (232):
الوكالة تفويض شخص غيره ليقوم مقامه فيما تدخله النيابة
“Wakalah adalah seseorang mengutus orang lain untuk menggantikannya dalam urusan-urusan yang bisa digantikan”.
Dan diantara urusan yang bisa diwakilkan adalah urusan jual beli. Diantara dalil bolehnya wakalah dalam jual beli, firman Allah Ta’ala:
فَابْعَثُوا أَحَدَكُمْ بِوَرِقِكُمْ هَذِهِ إِلَى الْمَدِينَةِ
“Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini…” (QS. Al Kahfi: 19).
Juga dalam hadits Jabir radhiallahu’anhu, ia berkata:
أردت الخروج إلى الخيبر. فقال النبي صلى الله عليه و سلم: إذا أتيت وكيلي فخذ منه خمسة عشر وسقا
“Aku berniat untuk pergi ke Khaibar, maka Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: jika engkau bertemu dengan wakilku, maka ambil darinya 15 wasaq…” (HR. Abu Daud no. 3632, Ad Daruquthni, 4/155).
Juga dalam hadits Urwah bin Al Ja’d radhiallahu’anhu, ia berkata:
عرض للنبي صلى الله عليه و سلم جلب, فأعطاني دينارا فقال: يا عروة, ائت الجلب فاشتر لنا شاة
“Ditawarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beberapa barang. Lalu Beliau memberiku satu dinar dan bersabda: Wahai Urwah, datangilah barang-barang itu dan belilah seekor kambing untuk kita.” (HR. Bukhari no. 3642).
Dan ulama ijma akan bolehnya wakalah dalam jual beli.
Baca Juga: Transaksi Jual-Beli Di Masjid
Namun dalam Al Fiqhul Muyassar (hal. 232) disebutkan syarat sah wakalah, yaitu sebagai berikut :
- Wakil (yang mewakilkan) dan muwakkil (yang diwakilkan) haruslah orang yang baligh dan berakal
- Wakalah terjadi pada perkara-perkara yang sah untuk diwakilkan
- Tidak melakukan wakalah pada perkara-perkara yang merupakan hak Allah seperti shalat dan wudhu
- Batas kekuasaan wakil adalah sebatas yang diizinkan oleh muwakkil
- Wakil tidak boleh menyerahkan mandat pada orang lain lagi, kecuali diizinkan oleh muwakkil
- Wakil statusnya adalah orang yang memegang amanah, dan orang yang memegang amanah wajib mengganti rugi jika ada kerugian akibat kelalaiannya
Dan dibolehkan adanya ujrah (komisi) dari wakalah sesuai dengan kesepakatan kedua pihak. Sehingga, transaksi dropship bisa disebut sebagai wakalah jika memenuhi syarat-syarat berikut:
- Reseller atau dropshipper adalah orang yang mewakili penjual, telah diizinkan oleh penjual untuk menjualkan barangnya secara resmi
- Reseller atau dropshipper tidak menentukan harga dan kebijakan terkait barang kecuali atas izin penjual
- Reseller atau dropshipper bersedia mengganti rugi jika ada kerugian akibat kelalaiannya
Jika kita perhatikan, model kerjasama seperti ini sering disebut dengan agen resmi atau distributor resmi. Jika dropshipper sebagai agen atau distributor resmi maka hukumnya boleh karena memenuhi syarat-syarat di atas.
- Murabahah
Murabahah adalah jual-beli yang harga dan untungnya sama-sama diketahui oleh pembeli dan penjual. Disebutkan dalam Al Fiqhul Muyassar (218):
المرابحة : بيع السلعة بثمنها المعلوم بين المتعاقدين, بربح معلوم بينهما
“Murabahah adalah jual-beli yang harga dan keuntungannya diketahui oleh penjual dan pembeli”.
Contoh praktek murabahah yang sering terjadi di masyarakat kita adalah sebagai berikut:
- A ingin membeli kulkas di toko XYZ seharga 2 juta rupiah, namun tidak memiliki uangnya
- A datang kepada B untuk meminta B membeli kulkas tersebut dari toko XYZ
- B menyetujui permintaan A, mereka sepakat bahwa setelah B membeli kulkas dari toko XYZ, B akan menjual kepada A
- Mereka sepakat bahwa B akan menjual kulkas kepada A seharga 2,5 juta, dibayar 5 kali.
- B membeli kulkas ke toko XYZ
- Toko XYZ mengirim kulkas ke rumah B
- B mengirim kulkas ke rumah A, dan A membayar cicilan pertama
Murabahah dibolehkan syariat berdasarkan keumuman ayat:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al Baqarah: 275)
Juga firman-Nya:
إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu“ (QS. An Nisa: 29).
Disebutkan syarat sahnya akad murabahah dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah (36/319-322) :
- Akad pertama adalah akad yang sah
- Harga awal diketahui kedua belah pihak
- Barang bukan termasuk komoditi riba
- Keuntungan diketahui kedua belah pihak
Konsekuensi dari syarat pertama, barang yang dibeli harus diserah-terimakan terlebih dahulu dengan pembeli pertama. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إذا اشتريت مبيعا فلا تبعه حتى تقبضه
“Jika engkau membeli barang, maka jangan dijual sebelum serah-terima“ (HR. Ahmad no. 15399, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’ no.342).
Maka dalam contoh di atas, B boleh menjual barang kepada A setelah ada serah-terima barang dari toko XYZ kepada B, sehingga kulkas ditaruh di rumah B.
Dengan demikian, transaksi dropship bisa dianggap murahabah jika terpenuhi syarat-syarat berikut:
- Reseller atau dropshipper dan pembeli sama-sama tahu harga awal barang
- Reseller atau dropshipper dan pembeli sama-sama tahu besar keuntungan yang diambil dropshipper
- Harus ada serah-terima barang dulu antara pemilik barang dengan dropshipper
Yang model jual beli seperti ini sering disebut al murabahah lil amir bisy syira’. Dan jika syarat-syarat ini terpenuhi maka menjadi transaksi dropship yang dibolehkan.
Baca Juga: Tinjauan Syariat Terhadap Jual-Beli Kredit
Apakah Termasuk Menjual Barang Yang Tidak Dimiliki?
Dari Hakim bin Hizam radhiallahu’anhu, ia berkata:
يا رسول الله يأتيني الرجل فيسألني البيع ليس عندي ، أبيعه منه ثم أبتاعه له من السوق ؟ فقال : ( لا تبع ما ليس عندك )
“Wahai Rasulullah, seseorang datang kepadaku lalu ia memintaku untuk menjual barang yang belum aku miliki. Yaitu saya membelinya dari pasar lalu aku menjual barang tersebut kepadanya. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam lalu bersabda: jangan engkau menjual barang yang bukan milikmu“ (HR. Tirmidzi no.1232, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).
Ibnu Hajar Al Asqalani menjelaskan bentuk menjual barang yang belum dimiliki:
قال ابن المنذر : وبيع ما ليس عندك يحتمل معنيين :أحدهما : أن يقول : أبيعك عبدا أو دارا معينة وهي غائبة ، فيشبه بيع الغرر لاحتمال أن تتلف أو لا يرضاها . ثانيهما : أن يقول : هذه الدار بكذا ، على أن أشتريها لك من صاحبها ، أو على أن يسلمها لك صاحبها ” .قال ابن حجر : ” وقصة حكيم موافقة للاحتمال الثاني
“Ibnul Mundzir mengatakan: menjual barang yang belum dimiliki ada dua bentuk. Pertama, seseorang berkata: “saya menjual kepadamu budak atau rumah tertentu” namun rumah atau budak tersebut tidak ada. Maka ini seperti jual-beli gharar karena adanya resiko rugi atau ketidak-ridhaan salah satu pihak. Kedua, seseorang mengatakan: “rumah ini aku membelinya untukmu dari pemiliknya (padahal belum terjadi)” atau mengatakan, “rumah ini telah diserahkan pemiliknya untukmu (padahal belum)”. Ibnu Hajar mengatakan: kisah Hakim bin Hizam pas dengan bentuk kedua” (Fathul Bari, 6/460).
Demikian juga menjual barang orang lain yang dititipkan, atau disewakan, atau digadaikan, termasuk menjual barang yang tidak dimiliki. Dan ini hukumnya haram karena dilarang Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam hadits. Ibnul Qayyim mengatakan:
وَأَمَّا قَوْلُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لِحَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ (لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ) فَيُحْمَلُ عَلَى مَعْنَيَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَبِيعَ عَيْنًا مُعَيَّنَةً وَهِيَ لَيْسَتْ عِنْدَهُ، بَلْ مِلْكٌ لِلْغَيْرِ، فَيَبِيعُهَا ثُمَّ يَسْعَى فِي تَحْصِيلِهَا وَتَسْلِيمِهَا إلَى الْمُشْتَرِي.
وَالثَّانِي: أَنْ يُرِيدَ بَيْعَ مَا لَا يَقْدِرُ عَلَى تَسْلِيمِهِ ، وَإِنْ كَانَ فِي الذِّمَّةِ، وَهَذَا أَشْبَهُ، فَلَيْسَ عِنْدَهُ حِسًّا وَلَا مَعْنًى، فَيَكُونُ قَدْ بَاعَهُ شَيْئًا لَا يَدْرِي هَلْ يَحْصُلُ لَهُ أَمْ لَا؟
“Perkataan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam kepada Hakim bin Hizam: “jangan menjual yang belum menjadi milikmu” ini memiliki dua kemungkinan makna: Pertama, seseorang menjual suatu barang secara spesifik padahal itu bukan miliknya namun milik orang lain. Ia menjualnya, setelah itu ia baru berusaha membelinya dari pemiliknya lalu menyerahkannya kepada pembeli. Kedua, ia ingin menjual barang yang ia tidak mampu untuk serahkan walaupun dengan tempo (tidak langsung). Ia tidak mampu baik secara fisik maupun secara maknawi. Maka ia telah menjual sesuatu yang ia tidak ketahui apakah bisa didapatkan atau tidak?” (I’lamul Muwaqqi’in, 2/20).
Baca Juga: Hukum Membeli Diskon Natal dan Hari Raya Non-Muslim
Maka dari empat skema dropship yang dibahas di atas, apakah termasuk menjual barang yang bukan miliknya? Perhatikan poin-poin berikut:
- Dalam akad samsarah, maka simsar tidak menjual barang yang belum ia miliki karena ia hanya sebagai penengah antara pemilik barang dan pembeli.
- Dalam akad wakalah bil ujrah, agen sebagai wakil mewakili pemilik barang. Sehingga ia menempati posisi pemilik barang dalam transaksi. Sehingga ia tidak termasuk menjual barang yang belum ia miliki.
- Dalam akad murabahah, pembeli pertama wajib menyelesaikan dahulu transaksi hingga sempurna barang menjadi miliknya dan sudah terjadi qabdhun (serah-terima barang), sebelum menjual kembali kepada pembeli kedua. Jika syarat ini dipenuhi maka ia menjual barang yang sudah ia miliki. Adapun jika tidak terpenuhi maka ia termasuk menjual barang yang belum dimiliki.
Yang tersisa adalah akad salam. Dan inilah yang musykil dalam benak sebagian orang. Hal ini dijelaskan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah:
وَأَمَّا السَّلَمُ فَمَنْ ظَنَّ أَنَّهُ عَلَى خِلَافِ الْقِيَاسِ ، تَوَهَّمَ دُخُولَهُ تَحْتَ قَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – (لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ) فَإِنَّهُ بَيْعٌ مَعْدُومٌ، وَالْقِيَاسُ يَمْنَعُ مِنْهُ .
وَالصَّوَابُ : أَنَّهُ عَلَى وَفْقِ الْقِيَاسِ، فَإِنَّهُ بَيْعٌ مَضْمُونٌ فِي الذِّمَّةِ ، مَوْصُوفٌ ، مَقْدُورٌ عَلَى تَسْلِيمِهِ غَالِبًا..
وَقِيَاسُ السَّلَمِ عَلَى بَيْعِ الْعَيْنِ الْمَعْدُومَةِ ، الَّتِي لَا يَدْرِي أَيَقْدِرُ عَلَى تَحْصِيلِهَا أَمْ لَا، وَالْبَائِعُ وَالْمُشْتَرِي مِنْهَا عَلَى غَرَرٍ، مِنْ أَفْسَدِ الْقِيَاسِ صُورَةً وَمَعْنًى
“Adapun akad salam, sebagian orang menganggap ia menyelisihi qiyas, karena termasuk dalam sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam: jangan menjual yang belum menjadi milikmu. Karena menyangka jual beli salam adalah bai’ ma’dum (jual beli barang yang tidak ada). Dan qiyas melarang hal ini. Maka jawabannya, akad salam tetap sesuai dengan qiyas. Karena ia hakikatnya menjual barang yang dideskripsikan sifatnya untuk diserahkan dalam tempo tertentu dan mampu untuk diadakan secara umum. Maka mengqiyaskan akad salam dengan bai’ ma’dum yang tidak diketahui apakah bisa diadakan atau tidak sehingga penjual dan pembeli dalam keadaan gharar (ketidak-pastian), ini adalah qiyas yang paling rusak, baik secara deskripsi ataupun secara makna” (I’lamul Muwaqqi’in, 2/20).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin juga menjelaskan:
السلم هو على شيء موصوف في الذمة ، فالفرق أن قوله صلى الله عليه وسلم ( لا تبع ما ليس عندك ) يقصد المعين .أما الموصوف في الذمة : فهذا غير معين . ولهذا نطالب الذي باع الشيء الموصوف بالذمة ، نطالبه بإيجاده على كل حال
“Akad salam itu menjual barang yang maushuf fi dzimmah (dideskripsikan sifatnya dengan tempo tertentu). Bedanya dengan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam: jangan menjual yang belum menjadi milikmu, yang dimaksud dalam hadits ini adalah barang yang sudah ada dan spesifik. Adapun barang yang maushuf fi dzimmah itu tidak spesifik. Oleh karena itu orang yang menjual dengan akad salam diminta untuk menghadirkan barang yang dideskripsikan tersebut dengan bagaimana pun caranya.” (Syarhul Kafi fi Fiqhil Imam Ahmad, 1/1274, Asy Syamilah).
Kesimpulannya, jual beli salam tidak termasuk jual beli barang yang tidak dimiliki karena penjual tidak menjual suatu barang secara spesifik namun ia hanya menjual suatu barang yang mencocoki deskripsi yang disebutkan secara umum, tanpa menyebutkan suatu barang secara spesifik.
Maka transaksi dropship yang menggunakan akad salam, namun tidak memenuhi kriteria akad salam, diantaranya:
- Penjual tidak mengetahui apakah ia mampu menghadirkan barang yang dijual
- Penjual dengan pasti tidak bisa menghadirkan barang yang dijual
- Yang disebutkan bukan deskripsi barang namun suatu barang secara spesifik, semisal “motor Pak Fulan”, “rumah pak Fulan”, “baju bekas bu Fulanah”, dan semisalnya.
Ini termasuk menjual barang yang tidak dimiliki yang dilarang dalam hadits.
Baca Juga:
Demikian, semoga tulisan ringkas ini bisa bermanfaat. Wabillahi at taufiq was sadaad.
Penulis: Yulian Purnama
Artikel: Muslim.Or.Id
Na’am.. namun adakah langkah-langkah atau kiat dizaman sekarang ini yang mana muammalah semakin kompleks namun banyak para pedagang atau pembeli kurang dalam memahami syariat?
Mau tidak mau harus belajar
Assalaamu’alaikum. Dalam akad jual beli salam, di sana disebutkan bahwa musallam fihi harus disebutkan sifatnya secara rinci, contoh panjangnya. Bagaimana jika kita hanya menyebutkan ukurannya seperti ini:
Jumbo, standard, atau anak-anak tanpa menyebutkan panjangnya dalam angka. Apakah yang seperti ini dibolehkan?
Wa’alaikumussalam, yang penting mendeskripsikan secara jelas
Terima kasih atas artikelnya yang menenangkan hati.
Barakallah fii
ماشاء الله
Tulisan yang sangat bermanfaat bagi orang awam seperti saya. Bahasanya ringan dan mudah dipahami. Semoga Allah mudahkan kaum muslimin agar terhindar dari perkara haram dan perkara yang dapat mengantarkan ke hal yang haram.
جزاكم الله خيرا وبارك الله فيكم
Saya dropsiper mas mo nanya saya kan Ambil foto produk dari supplier d shope saya ijin dulu ke suppliernya trus saya pajang d Bukalapak dan saya jual d sana
Klo ada yg beli saya belikan d supplier nya d shope langsung d kirim kan ke buyer saya yg ada d Bukalapak itu gmna ya
Boleh
Assalamu’alaikum.
maaf kebanyakan dropship online sekarang ini mereka pengiriman nya langsung dari supplier ke pembeli, tanpa sampai ke tangan dropshipper dulu,
من ابتاع طعاما فلا يبعه حتى يقبضه
Artinya: “Siapa saja yang membeli makanan, janganlah ia jual kecuali setelah ia terima (makanan tersebut).” (Muttafaq ‘alaih)
Ini yg membuatku masih ragu karena ada hadits yg melarang menjual sebelum serah terima atau larangan menjual ditempat dibelinya, mohon pencerahannya, jazakumullah khairan
Wa’alaikumussalam, sudah saya bahas di artikel di bagian “Apakah Termasuk Menjual Barang Yang Tidak Dimiliki?” silakan dibaca kembali dengan teliti
kalau saya dropshipper, tp saya ga minta ijin siapa2 untuk menjual barang orang, karena saya misalnya mengambil barang dari banyak supplier yang mana saja yg penting stoknya ada. barang tidak dikirim ke dropshipper tapi langsung ke konsumen apa boleh? karena terlalu banyak supplier yang mungkin jd supplier saya gimana kondisi dtok barang nya
Boleh sebagaimana sudah dijelaskan di atas
Saya sebagai dropshipper tetapi tidak meminta izin kepada penjual di shopee atau lazada dan barangnya dikirim ke alamat saya dan nanti saya yang antarkan kepada para pembeli. Bagaimana itu ustadz? Mohon dijawab saya sekarang bingung mau kerja apa :(
Boleh kalau memenuhi syarat-syarat yang disebutkan di atas
Dan saya juga melakukan pembayaran dengan cara COD. Jazaakallahu khoiran ustadz wabarakallahufiik
Tapi kebanyakan dropshipper menaikkan harganya sendiri dari harga supplier.
Dan dropshipper pasti akan mengatakan pada calon pembelinya barang yg djual yg sesuai spesifikasi yg telah dipajang. Misal baju model A, warna biru, dll. Bukankah hal ini berarti masuk dalam kategori menjual barang yg belum dimiliki??
Tentu saja ini gugur dari kriteria Akad Salam, karena kalau mau pakai akad salam tentu transaksi yg terjadi adalah antara dropshipper dg pembeli, dg menyebutkan bahwa barang belum ada di tangan saya.
Sementara faktanya para dropshipper menjual barang yg dia pajang di toko seolah2 mengesankan bahwa itu adalah barang miliknya, karena tidak terdapat keterangan bahwa barang tersebut baru akan dibelikan ketika pembeli mentransfer harga barang kontan.
Fakta lainnya yg terjadi adalah dropshipper pasti akan menaikkan harga sendiri, bukankah kalau mau menaikkan harga sendiri harus memiliki barangnya terlebih dulu atau dg akad salam??
Sementara kriteria akad salam telah gugur dg kondisi tersebut, seperti yg saya sebutkan di atas.
Maka seharusnya tidak boleh menaikkan harga sendiri.
Solusi yg bisa dipakai adalah dg menjadi makelar (perantara) antara pembeli dengan pemilik barang (akad samsarah). Akadnya harus jelas di awal, berapa besar komisi/keuntungan yg akan didapatkan oleh dropshipper ini. Harus jelas di awal, dan tidak boleh menaikkan harga sendiri.
Begitu sih yg saya pelajari dari penjelasan Ustadz Erwandi dan juga Rumaysho..
Mungkin ustadz kurang memahami bagaimana sebenarnya transaksi dropship yg terjadi di masa kini, makanya ustadz bilang boleh-boleh saja.
Karena memang transaksi dropship itu macem2 bgt..
Mengutip dari isi artikel di atas, yg isinya seperti ini:
Maka transaksi dropship yang menggunakan akad salam, namun tidak memenuhi kriteria akad salam, diantaranya:
1. Penjual tidak mengetahui apakah ia mampu menghadirkan barang yang dijual
2. Penjual dengan pasti tidak bisa menghadirkan barang yang dijual
3.Yang disebutkan bukan deskripsi barang namun suatu barang secara spesifik, semisal “motor Pak Fulan”, “rumah pak Fulan”, “baju bekas bu Fulanah”, dan semisalnya.
MAKA TRANSAKSI DROPSHIP YG MARAK TERJADI SAAT INI TIDAK MEMENUHI KRITERIA AKAD SALAM, KARENA POIN NOMOR 3 DI ATAS. Dimana yg disebutkan oleh pembeli rata2 adalah SUATU BARANG SECARA SPESIFIK.
Misal;
Jual baju model A, warna biru, gambar produknya seperti ini, ukurannya seperti ini, produk sesuai poto. Dan tidak disebutkan bahwa barang belum ada.
Maka bukankah praktek seperti ini termasuk menjual barang yg belum dimiliki yg mana tidak termasuk juga akad salam, dan akad samsarah??
Mohon direnungkan kembali ustadz, karena saya sudah pengalaman jualan dropship..
Kasusnya terjadi seperti ini;
Customer saya order ke saya gara2 saya pajang poto produk, tentu saja statusnya ready stock. Produk saya hargakan 200ribu (karena saya naikkin harganya sendiri). Lalu cust saya order produk tersebut sesuai yg di poto warna biru misalnya.
Customer taunya produk akan sesuai poto, ukuran, warna, dll. Karena cust taunya memang produk yg dibeli itu adalah produk yg dipotokan. Setelah itu barulah saya membelikannya pada supplier saya dg harga 100ribu misalnya, namun saat order ternyata stok di supplier tiba2 kosong karena kehabisan. Lalu ujung2nya customer saya kecewa karena kemarin bilang stoknya ada, kenapa skrg tiba.
Saya rasa inilah salah satu hikmahnya kenapa tidak boleh menjual barang yg tidak dimiliki, yg dalam kenyataannya praktek dropship rata2 seperti ini.
Setelah menyimak pengalaman saya di atas, bagaimana tanggapan ustadz? Berarti bener kan praktek dropship di atas telah gugur dari kriteria akad salam?? Karena barang yg disebutkan adalah suatu barang secara spesifik yg mana customer juga taunya barang itu ready stock bukan belum ada..
Mohon maaf bila salah.
Baarakallohu fiik..
Maaf anda keliru memahami akad salam. Mohon jangan pakai logika sendiri, tapi pakai keterangan para ulama.
Sebenarnya sudah dibahas di artikel atas, mengapa dropship tidak termasuk menjual barang yang tidak dimiliki. Tergantung, barangnya maushuf atau mu’ayyan. Jika maushuf maka akad salam, jika mu’ayyan makan termasuk menjual barang yang tidak dimiliki. Semoga bisa dihapami.
Saya mau menggunakan akad salam
Tapi gak mungkin pembeli memberikan uang kontan 100% di awal….
Assalamualaikum, izin bertanya
Apakah diperbolehkan dalam sistem drop-shipping jika supplier langsung mengirimkan produk kepada pembeli, tanpa harus sampai ditangan dropshipper terlebih dahulu?
Jazaakallah khairan atas jawabannya
Boleh
ustadz, saya ingin bertanya. Kita sebagai dropshipper kan menaikkan harga sendiri, nah hukum menaikkan harga itu boleh atau tidak?
Assalaau’alaikum ustadz kalau kredit barang tanpa bunga apa termasuk murabahah, jazakallahu khoir
Wa’alaikumussalam, beda
Bolehkah sistem dropship yg pembelinya menggunakan metode COD, dan saya selaku dropship membeli barang ke supplier lalu Suplier kirim barangnya lansung ke pembeli, *Note ( sudah ada kesepakatan di awal antara saya dan dan supplier untuk menguatkan barang nya)
gak boleh kak. hukum COD melanggar ketentuan akad salam. Kecuali ordernya offline bisa COD
Assalamualaikum, Saya mau bertanya.
Saya adalah pemilik brand. Saya membuka keagenan dengan syarat harus belanja 700rban, terserah mau belanja apa. Tanpa biaya pendaftaran. Alias cuma belanja sekian.
Apakah boleh sistem ini?
Jazakallahu khayran
bolehkah pelaku samsarah menalangi pembayaran terlebih dahulu ke supplier, baru kemuadian pelaku mengantarkan barang ke pembeli dan menerima uang dari pembeli
Kalau demikian, yang terjadi bukan samsarah.
Assallammualaikium..ustad mohon penjelasannya..dari yang di papar diatas saya kurang paham…jadi klu saya menjual produk secara online..dgn mengirimkan gambar tapi barang belum saya miliki.lalu ada yang order baru saya beli ke distrubutor..tapi saya menjualnya dengan ijin dari distributor..dan harga saya naikan apakah boleh..
Assalamu’alaykum ustadz
Apa boleh saya menjadi dropshipper, di mana saya mengambil supplier dari shopee, lalu saya pasang produknya di tokopedia dan harga produknya sudah saya sepakati dengan supplier. Dan ketika ada yang order di saya, saya beli dulu produknya di shopee dengan alamat si pembeli, sehingga supplier nantinya langsung mengirim barangnya ke pembeli. Apakah ini diperbolehkan?
Bismillaah,
Assalamu’alaikum Ustadz.
Bagaimana sekiranya saya menjualkan punya orang lain dengan seizin beliau di olshop. Semua gambar dan spesifikasi produk dari si pimilik produk. Kemudian si penjual memberi tahu harga ke saya misalkan produk laptop A = Rp 3.000.000,- dan saya dipersilahkan menaikkan harga 200.000,- sampai 300,000- Kemudian saya disuruh beliau pakai nama toko lain, bukan pakai nama toko si penjual tersebut sementara saya sendiri tidak punya toko.
Bolehkah saya buat nama toko komputer sendiri di olshop dengan permintaan si penjual Ustadz?
Jazakalllahu khair wa baarakallaahu fiik Ustadz..
Maksud saya halalkah dengan cara seperti ini?
Afwan Ustadz Yulian, saya ingin lebih paham perihal akad salam. Dijelaskan di atas bahwa dalam akad murabahah, pembeli pertama wajib menyelesaikan dahulu transaksi hingga sempurna barang menjadi miliknya dan sudah terjadi qabdhun (serah-terima barang), sebelum menjual kembali kepada pembeli kedua.
Mohon penjelasan atau rujukan tambahan perihal akad salam yang membolehkan barang langsung dikirimkan ke pembeli tanpa melalui dropshipper, agar saya lebih paham dan lebih tenang.
Syukran.
Assalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh
Jika saya menjual barang begini:
Saya menjual barang yang juga saya memilikinya sehingga saya tau barangnya seperti apa
Kemudian saya pasang iklan di online marketplace dengan spesifikasi yang ada, lalu saat ada pembeli yang membayar barulah saya belikan di supplier.
Dalam akad salam, penjual menerima uang kontan dari pembeli. Dalam online yang ada sekarang, uang yang dibayarkan ditahan oleh pihak marketplace sampai penjual mengirimkan barangnya dan terkirim, barulah uang tersebut bisa diambil oleh penjual.
Seakan-akan sama tapi beda, apakah boleh ustadz?
Dengan sistem jual beli online sekarang yang semakin advance.. Dimana ada sistem retur dan garansi uang kembali di marketplace2 besar., maka kecil sekali kemungkinan pembeli dirugikan.. Mungkin kecewa iya, tapi tidak rugi uang karena bisa diretur barangnya dan uangnya dikembalikan. Alhamdulillah ulama sekarang banyak yg sudah bisa mengikuti perkembangannya dan memberikan penilaian serta fatwa/legitimasi dari sisi syariat agar tercipta ketenangan di hati umat. Terima kasih
Assalamualaikum ustadz, maaf ustadz saya masih belum paham, saya ingin berjualan tapi tidak memiliki modal dan barang, ada satu toko yang mengizinkan saya untuk menjual barangnya dengan keuntungan saya sendiri yang mengatur keuntungan atau harganya, barangnya saya jual di toko online, jika ada yang beli saya datang ke toko itu untuk membelinya terlebih dahulu dengan mengutang ke toko tersebut dan saya jual , jika dari toko online uangnya sudah di transfer saya baru bayarkan kepada toko itu , bagaimana ustadz apakah boleh ?
Assalmualaikum. Ustadz mau nanya saya diateibutor buku. Saya memiliki dropshiper dikampus sebagai agen saya. Dimasa pandemik ini saya kirim langsung kepada pembeli atas nama agen agen saya dikampus. Jadi pengiriman atas nama agen saya tersebut. Bagaimana hukumnya ustad. Syukron.
Saya masih kurang mengerti tentang Dropship ini karena beberapa hal
1. Harga jual dropship di tentukan sendiri oleh dropshipper yang mana seharusnya harga jual dropshipper harusnya di tentukan oleh suplier
2. Pembeli wajib tau harga dari suplier dan tau berapa keuntungan yang di tarik oleh dropshipper karena ini adalah barang yang bukan milik dropshipper
Kutipan artikel akad salam
Contoh akad salam adalah sebagai berikut. Budi ingin membeli seekor kambing, maka ia berkata kepada Anto: “Carikan saya kambing, warnanya putih, sehat, usianya lebih dari 2 tahun, dan gemuk. Silakan kamu cari dari penjual manapun, saya beli seharga 4 juta, ini dia saya serahkan uangnya. Tolong serahkan kambingnya dalam 2 hari”.
Dalam praktek dropshipper, bukan pembeli yang meminta kita mencarikannya barang sebagaimana contoh yang di paparkan di atas, namun lebih pada kita menawarkan barang (sebagai penjual).
Pembeli pun tidak tau bahwa barang yang kita jual adalah bukan barang milik kita
Sehingga dropship menurut saya bisa halal bila
1. Harga jual di tentukan suplier
2. Pembeli wajib tahu keuntungan yang di tarik dari tiap barang (tahu harga awal)
Mohon maaf bila saya salah dalam memahami paparan ayat dan hadist di atas, mohon pencerahan
Akad Samsarah ini ada dalam praktek bisnis online Affiliate/afiliasi di mana walau menggunakan presentasi dalam penetapan komisi, namun harga yang di tawarkan berlaku fixed sehingga komisi sudah jelas jumlah dan nilainya
Akad salam juga tidak memenuhi praktek dropshipper sebagaimana komentar saya sebelumnya
Dropship juga tidak memenuhi akad Murabahah karena barang yang di jual bukan milik penjual tapi milik orang lain (suplier)
Dan yang paling baik untuk dropshipper adalah akad Samsarah yaitu
1. Meminta suplier menentukan harga jual barangnya
2. Menjelaskan kepada pembeli kalau ia seorang dropshipper dan menarik keuntungan sekian yang di tentukan oleh pemilik barang (suplier)
* Yang saya sebutkan kasus Anto itu contoh saja, bukan pembatasan kasus akad salam.
* Soal harga bisa jadi itu kesepakatan antara pembeli dan penjual.
* Dan dalam akad salam, masalah pembeli mengetahui penjual punya barang atau tidak ini tidak jadi soal. Yang penting dia sanggup memenuhi permintaan barang.
* Mewajibkan pembeli harus tahu keuntungan, ini bukan akad salam namanya, tapi murabahah. Sudah dibahas di atas.
Assalamualaikum Ustadz, Ana minta Izin share artikelnya, untuk grup keluarga besar kami, sangat bermanfaat. Semoga Berkah Ilmunya. Syukron.
Assalamualaikum Ustadz, Ana minta Izin share artikelnya, untuk grup keluarga besar kami, sangat bermanfaat. Semoga Berkah Ilmunya. Syukron.
Assalamualaikum ustadz.
Semoga Allah menjaga anda.
Saya mendaftar di sebuah website untuk menjadi dropshipper. Biaya pendaftarannya adalah Rp. 290.000, (misal). Setelah terdaftar, saya mendapatkan diskon harga sebesar 15% sebagai dropshipper. Lalu, saya menjual produk tersebut ke Marketplace dan Sosial Media (atas alamat supplier agar tidak dibebani ongkir yang besar saat customer memesan produk di Marketplace) dengan harga normal di website supplier (harga sebelum diskon 15%) atau lebih tinggih karena dropshipper diizinkan untuk menaikkan harga produk oleh supplier. Jika ada customer yang membuat pesanan di Marketplace atau memesan lewat sosial media, saya memesan produk dari website supplier untuk meminta dikirimkan ke customer saya atas nama toko saya. Apakah sistem dropship seperti ini perbolehkan ustadz?
Mohon jawabannya ustadz.
Jazakallahu Khairan..
Assalamualaikum warahmatullah,
afwan ustad , saya belum memahami poin ini no 3
Maka transaksi dropship yang menggunakan akad salam, namun tidak memenuhi kriteria akad salam, diantaranya:
1.Penjual tidak mengetahui apakah ia mampu menghadirkan barang yang dijual
2.Penjual dengan pasti tidak bisa menghadirkan barang yang dijual
3.Yang disebutkan bukan deskripsi barang namun suatu barang secara spesifik, semisal “motor Pak Fulan”, “rumah pak Fulan”, “baju bekas bu Fulanah”, dan semisalnya.
apakah seperti merk barang dan spesifikasinya itu masuk no 3: misal Jual Hardisk Samsung 500gb
apakah itu termasuk spesifik. sehingga tidak diperbolehkan?
Bismillaah
‘Afwan Ustadz, saya mohon ijin bertanya…
Saya membuat toko online untuk berjualan buku yang hampir semuanya adalah buku-buku Preorder.
Adapun alur barang kuranglebih begini, Ustadz :
1. Penerbit
Penerbit membuka PO buku yang akan diproduksinya. Spesifikasi, batas waktu dan semua marketing kit disampaikan oleh Penerbit.
2. Supplier
Supplier memesan kepada Penerbit sejumlah buku yang sedang di PO-kan tersebut dengan akad istishna.
Kemudian sambil menunggu proses produksi dari Penerbit, supplier membuka peluang kepada kami untuk menjadi resellernya.
Supplier menyelenggarakan 2 akad kepada resellernya yaitu :
a. Akad wakalah (dropship). Pengiriman buku langsung ke alamat customer bisa dengan nama supplier maupun diatasnamakan reseller. Akan tetapi pengiriman hanya akan dilakukan setelah customer membayar. (Apakah ini benar akad wakalah, Ustadz?)
b. Akad Salam (reseller). Pengiriman buku dialamatkan ke reseller setelah reseller membayar buku.
3. Reseller (kami)
Kami mendaftar kepada supplier untuk menjadi resellernya atas buku-buku yang sedang di PO-kan.
Kami sebagai reseller menawarkan melalui gambar-gambar secara online kepada customer.
Dalam hal ini kami bermaksud menggunakan akad salam. Yaitu customer memesan dan membayar buku secara tunai di awal. Kemudian kami melanjutkan pemesanan tersebut kepada supplier sekaligus pembayarannya sesuai dengan skema diskon yang ditetapkan supplier untuk reseller.
Setelah buku ready, penerbit mengirimkan buku ke supplier kemudian supplier mengirimkan buku ke reseller kemudian reseller mengirimkan buku ke customernya masing-masing.
Adapun untuk dropship maka buku dikirim dari supplier langsung ke customer tanpa dikirimkan dulu ke reseller.
Apakah skema akad-akad yang terjadi antara Penerbit – Supplier – Reseller – Customer sudah sesuai syariat?
Jika masih ada yang menyelisihi syariat, bagaimana seharusnya ya Ustadz?
Jazakumullaahu khairan atas penjelasannya
Assalamu’alaikum ustadz, izin bertanya maaf jika di luar topik akad salam
Saya bekerja di sebuah perusahaan kontraktor. Kadang tawaran pekerjaannya ada yg EPC (Engineering, Procurement, Construction) alias buat dari desain sampai jadi sesuatu dan terpasang (contoh peralatan pabrik), kadang juga ada hanya EP saja alias desain sampai pengadaan saja, sedangkan constructionnya dikerjakan oleh org lain yg sudah dihire oleh client.
Pertanyaannya ustadz, apakah untuk kasus EP ini hukumnya boleh atau tidak ya dengan pembayaran dicicil? Client ke kami dicicil, kami pun bayar ke vendor item menggunakan DP dan dilunasi saat akan pengiriman. Apakah termasuk akad instinsha? Karena pekerjaan kami disini mendesain dan kalkulasi (sesuai ketentuan client), lalu membelikan barang2 sesuai desain yg disetujui, tapi tidak menyatukannya. Di sisi lain, kami tetap harus melakukan supervisi saat org lain sedang menyatukan/mengkonstruksi item2 yg sudah kami belikan tsb, untuk memastikan bahwa item2 tsb dipasang sesuai dengan desain yg kami tentukan.
Jazakallahu khair ustadz
bismillah. ustad, ana ingin bertanya, jika dg akad samsarah tapi untuk menjadi makelar atau penghubungnya, kita dikenakan biaya untuk menjadi makelarnya. apa itu boleh ustad?
Assalamualaikum ustadz.
Terima kasih atas artikelnya, semoga meberi kontribusi positif bagi ummat Islam sekalian.
Terus terang saya sempat bingung adanya perbedaan pendapat antara 2 ustadz ahli Hukum Ekonomi Islam tentang hal ini.
Saya lebih cenderung kepada pendapat Ust Dr A.B, namun masih ada ganjalan tentang menjual barang yang belum dimiliki.
Baru saja saya baca hadits dari Abu Hurairah …. ambillah apa yang halal darinya dan tinggalkan yang haram (HR Abu Ya’la).
Kemudian saya berazzam untuk mencari lebih jauh, dan akan menerima apapun hasilnya.
Qoddarallah mendapatkan artikel antum yang menjelaskan tentang hal ini. Alhamdulillah sedikit bisa mengatasi keragu raguan yang ada.
*) cuma sekedar cerita apa yang saya alami pagi ini. Wallahu a’lam
Assalamu’alaikum
Maaf saya agak kurang paham… Saya ingin bertanya 2 hal:
Untuk perumpamaan, si A ingin memesan kue kepada si B, namun si B belum memiliki bahan-bahannya, kemudian si B membeli bahan dulu untuk membuat kue, setelah kuenya jadi lalu diberikan kepada si A dan si A pun membayar saat kue sudah diserahkan kepadanya.
1. Ini termasuk akad apa?
2. Jika ada perubahan kesepakatan dalam penjualan tersebut, misal si B mendadak ingin uang pembeliannya diserahkan kepadanya sebelum kue itu diserahkan kepada si A untuk membeli keperluan bahan/untuk keperluan lainnya. Lalu si A ridho memberi uang kepada si B karena si A mengenal si B orangnya amanah. Apakah ini diperbolehkan?
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Jazakallahu khoir atas artikelnya Ustadz.
Saya seorang produsen pakaian muslimah. Saat ini ditawarkan oleh beberapa vendor aplikasi reseller untuk menjadi supplier.
Semua jenis transaksi di aokikasi reseller tersebut sudah pasti dropship.
Untuk vendornya ada yang mengambil keuntungan dengan mengenakan fee transaksi entah ke penjual atau ke pembeli.
Dan ada juga vendornya yg menaikkan harga untuk ke reseller mereka.
Nanti dana saya bisa dicairkan dalam tempo misalnya sehari/seminggu ada per 2 minggu.
Dan diantara reseller mereka ada yg menerima dropshipper lagi, padahal.mereka juga sudah dropshipper. Tapi kebanyakan jual langsung ke customer.
Bolehkah saya menjadi supplier di sistem seperti ini Ustadz?
Mohon penjelasannya
Syukron
Kalau dari keterangan diatas yang panjang lebar tentang makelar, hanya ada satu perbedaan, yaitu kalau dropship tidak tahu persis barang yang dijual, dia hanya tahu model, warna dan sifat sifatnya, akan tetapi dia gak tahu kondisi barang sebenarnya. sedangkan semua jenis sistem makelar atau jual beli yang diterangkan diatas, makelar atau penjual tahu persis didepan mata barang yang dibeli oleh pembeli, meskipun sampai akad salam. Sebenarnya hanya 1 perbedaan saja yaitu barang yang dijual oleh makelar maupun pejual diketahui secara pasti didepan mata oleh mereka, sedangkan dropship tidak tahu pasti barang yang akan dijual. Itulah sebagian ulama mengharamkannya
Bismillaah. Assalamualaikum. Kaifa haalukum ustadz?
Semoga antum sekeluarga sehat tak kurang suatu apa.
Mau tanya.
Jika ana sebagai wakil dari penjual/agen/distributor, lalu ada pembeli yang ternyata dia juga membelikan buat orang lain (dropshipper)
Dia meminta saya (yang sebagai agen) mengirimkan barang ke konsumen atas namanya.
Apakah hal ini termasuk dalam menyerahkan mandat sebagai agen kepada orang lain?
Lalu bagaimna hukumnya sebagai dropshipper zman skrg. Dmna penjual hany menjadi agen penyebar iklan dmna dia tidak memiliki barang, tidak bertemu barang dn tidak tau kondisi asli barng yg diperjual belikan.
Ustadz bagaimana jika kita ingin memposting suatu barang… Pengiriman dr owner dan kita sbg perantara… Jika ada yg pesan maka langsung dikirim ke konsumen via transfer
Yang mana kita tahu barang2 ini ataupun toko ini sdh jelas amanahnya krena pernah order … Permasalahan yang krena kita gak ada modal..akhirnya kita menjualnya secara dropship..apakah boleh..???
Jikapun boleh apakah ada syarat???? Misal 1. Apakah harus mengambil laba sesuai kesepakatan kita sama owner
Assalamualaikum ustadz dan tim muslim.or.id
Saya sepertinya telat untuk mencari lebih jauh tentang hukum dropship ini. Ada yang masih mengganjal di hati saya tentang dropship ini, karena di beberapa marketplace dana dari customer tertahan di akun penjual dan baru bisa dicairkan setelah pembeli mengkonfirmasi barangnya diterima.
Sehingga sering kali saya sebagai penjual harus setelah menerima order dari pembeli, kemudian menggunakan dana pribadi (modal lain) untuk membeli barang ke supplier.
Apakah yang demikian sudah merupakan jual beli yang mabrur?