Menentukan awal ramadhan dilakukan dengan salah satu dari dua cara berikut:
- Melihat hilal ramadhan.
- Menggenapkan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.
Melihat Hilal Ramadhan
Dasar dari hal ini adalah firman Allah Ta’ala,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
”Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.” (QS. Al Baqarah: 185)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةً ، فَلاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ
”Apabila bulan telah masuk kedua puluh sembilan malam (dari bulan Sya’ban, pen). Maka janganlah kalian berpuasa hingga melihat hilal. Dan apabila mendung, sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.”[1]
Menurut mayoritas ulama, jika seorang yang ‘adl (sholih) dan terpercaya melihat hilal Ramadhan, beritanya diterima. Dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma,
تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلاَلَ فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنِّى رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ
“Orang-orang berusaha untuk melihat hilal, kemudian aku beritahukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa aku telah melihatnya. Kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan orang-orang agar berpuasa.”[2]
Sedangkan untuk hilal syawal mesti dengan dua orang saksi. Inilah pendapat mayoritas ulama berdasarkan hadits,
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ وَانْسُكُوا لَهَا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ فَإِنْ شَهِدَ شَاهِدَانِ فَصُومُوا وَأَفْطِرُوا
“Berpuasalah kalian karena melihatnya, berbukalah kalian karena melihatnya dan sembelihlah kurban karena melihatnya pula. Jika -hilal- itu tertutup dari pandangan kalian, sempurnakanlah menjadi tiga puluh hari, jika ada dua orang saksi, berpuasa dan berbukalah kalian.”[3] Dalam hadits ini dipersyaratkan dua orang saksi ketika melihat hilal Ramadhan dan Syawal. Namun untuk hilal Ramadhan cukup dengan satu saksi karena hadits ini dikhususkan dengan hadits Ibnu ‘Umar yang telah lewat.[4]
Menentukan Awal Ramadhan dengan Ru’yah Bukan dengan Hisab
Perlu diketahui bersama bahwasanya mengenal hilal adalah bukan dengan cara hisab. Namun yang lebih tepat dan sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengenal hilal adalah dengan ru’yah (yaitu melihat bulan langsung dengan mata telanjang). Karena Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi contoh dalam kita beragama telah bersabda,
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ ، لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسِبُ ,الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا
”Sesungguhnya kami adalah umat ummiyah. Kami tidak mengenal kitabah (tulis-menulis)[5] dan tidak pula mengenal hisab[6]. Bulan itu seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 29) dan seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 30).”[7]
Ibnu Hajar Asy Syafi’i rahimahullah menerangkan,
“Tidaklah mereka –yang hidup di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam– mengenal hisab kecuali hanya sedikit dan itu tidak teranggap. Karenanya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkan hukum puasa dan ibadah lainnya dengan ru’yah untuk menghilangkan kesulitan dalam menggunakan ilmu astronomi pada orang-orang di masa itu. Seterusnya hukum puasa pun selalu dikaitkan dengan ru’yah walaupun orang-orang setelah generasi terbaik membuat hal baru (baca: bid’ah) dalam masalah ini. Jika kita melihat konteks yang dibicarakan dalam hadits, akan nampak jelas bahwa hukum sama sekali tidak dikaitkan dengan hisab. Bahkan hal ini semakin terang dengan penjelasan dalam hadits,
فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ
“Jika mendung (sehingga kalian tidak bisa melihat hilal), maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” Di sini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan, “Tanyakanlah pada ahli hisab”. Hikmah kenapa mesti menggenapkan 30 hari adalah supaya tidak ada peselisihihan di tengah-tengah mereka.
Sebagian kelompok memang ada yang sering merujuk pada ahli astronom dalam berpatokan pada ilmu hisab yaitu kaum Rofidhoh. Sebagian ahli fiqh pun ada yang satu pendapat dengan mereka. Namun Al Baaji mengatakan, “Cukup kesepakatan (ijma’) ulama salaf (yang berpedoman dengan ru’yah, bukan hisab, -pen) sebagai sanggahan untuk meruntuhkan pendapat mereka.” Ibnu Bazizah pun mengatakan, “Madzhab (yang berpegang pada hisab, pen) adalah madzhab batil. Sunguh syariat Islam elah melarang seseorang untuk terjun dalam ilmu nujum. Karena ilmu ini hanya sekedar perkiraan (dzon) dan bukanlah ilmu yang pasti (qoth’i) bahkan bukan sangkaan kuat. Seandainya suatu perkara dikaitkan dengan ilmu hisab, sungguh akan mempersempit karena tidak ada yang menguasai ilmu ini kecuali sedikit”.[8]
Apabila pada Malam Ketigapuluh Sya’ban Tidak Terlihat Hilal
Apabila pada malam ketigapuluh Sya’ban belum juga terlihat hilal karena terhalangi oleh awan atau mendung maka bulan Sya’ban disempurnakan menjadi 30 hari.
Salah seorang ulama Syafi’i, Al Mawardi rahimahullah mengatakan, “Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk berpuasa ketika diketahui telah masuk awal bulan. Untuk mengetahuinya adalah dengan salah satu dari dua perkara. Boleh jadi dengan ru’yah hilal untuk menunjukkan masuknya awal Ramadhan. Atau boleh jadi pula dengan menggenapkan bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Karena Allah Ta’ala menetapkan bulan tidak pernah lebih dari 30 hari dan tidak pernah kurang dari 29 hari. Jika terjadi keragu-raguan pada hari keduapuluh sembilan, maka berpeganglah dengan yang yakin yaitu hari ketigapuluh dan buang jauh-jauh keraguan yang ada.”[9]
Puasa dan Hari Raya Bersama Pemimpin dan Mayoritas Manusia
Jika salah seorang atau satu organisasi melihat hilal Ramadhan atau Syawal, lalu persaksiannya ditolak oleh penguasa apakah yang melihat tersebut mesti puasa atau mesti berbuka? Dalam masalah ini ada perselisihan pendapat di antara para ulama.
Salah satu pendapat menyatakan bahwa ia mesti puasa jika ia melihat hilal Ramadhan dan ia mesti berbuka jika ia melihat hilal Syawal. Namun keduanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi[10] agar tidak menyelisi mayoritas masyarakat di negeri tersebut. Inilah pendapat yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i, salah satu pendapat dari Imam Ahmad dan pendapat Ibnu Hazm. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
”Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.” (QS. Al Baqarah: 185)
Pendapat lainnya menyatakan bahwa hendaklah orang yang melihat hilal sendiri hendaklah berpuasa berdasarkan hilal yang ia lihat. Namun hendaklah ia berhari raya bersama masyarakat yang ada di negerinya. Inilah pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad.
Sedangkan pendapat yang terakhir menyatakan bahwa orang tersebut tidak boleh mengamalkan hasil ru’yah, ia harus berpuasa dan berhari raya bersama masyarakat yang ada di negerinya.Dalil dari pendapat terakhir ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, idul fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul fithri, dan idul adha ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul adha.”[11] Ketika menyebutkan hadits tersebut, Abu Isa At Tirmidzi rahimahullah menyatakan, ”Sebagian ulama menafsirkan hadits ini dengan mengatakan, “Puasa dan hari raya hendaknya dilakukan bersama jama’ah (yaitu pemerintah kaum muslimin) dan mayoritas manusia (masyarakat)”. ”
Pendapat terakhir ini menjadi pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan juga merupakan salah satu pendapat dari Imam Ahmad.[12] Pendapat inilah pendapat yang kami nilai lebih kuat. Penjelasannya sebagai berikut.
Perlu diketahui bahwa hilal bukanlah sekedar fenomena alam yang terlihat di langit. Namun hilal adalah sesuatu yang telah masyhur di tengah-tengah manusia, artinya semua orang mengetahuinya.
Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Hilal asalnya bermakna kata zuhur (artinya: nampak) dan rof’ush shout (meninggikan suara). [Artinya yang namanya hilal adalah sesuatu yang tersebar dan diketahui oleh orang banyak, -pen]. Jika hilal hanyalah nampak di langit saja dan tidak nampak di muka bumi (artinya, diketahui orang banyak, -pen), maka semacam itu tidak dikenai hukum sama sekali baik secara lahir maupun batin. Akar kata dari hilal sendiri adalah dari perbuatan manusia. Tidak disebut hilal kecuali jika ditampakkan. Sehingga jika hanya satu atau dua orang saja yang mengetahuinya lantas mereka tidak mengabarkan pada yang lainnya, maka tidak disebut hilal. Karenanya, tidak ada hukum ketika itu sampai orang yang melihat hilal tersebut memberitahukan pada orang banyak. Berita keduanya yang menyebar luas yang nantinya disebut hilal karena hilal berarti mengeraskan suara dengan menyebarkan berita kepada orang banyak.”[13]
Beliau rahimahullah mengatakan pula, “Allah menjadikan hilal sebagai waktu bagi manusia dan sebagai tanda waktu berhaji. Ini tentu saja jika hilal tersebut benar-benar nampak bagi kebanyakan manusia dan masuknya bulan begitu jelas. Jika tidak demikian, maka bukanlah disebut hilal dan syahr (masuknya awal bulan). Dasar dari permasalahan ini, bahwa Allah subhanahu wa ta’ala mengaitkan hukum syar’i -semacam puasa, Idul Fithri dan Idul Adha- dengan istilah hilal dan syahr (masuknya awal bulan). Allah Ta’ala berfirman,
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
“Mereka bertanya kepadamu tentang hilal (bulan sabit). Katakanlah: “Hilal (bulan sabit) itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji” (QS. Al Baqarah: 189)[14]
Ibnu Taimiyah kembali menjelaskan, “Syarat dikatakan hilal dan syahr (masuknya awal bulan) apabila benar-benar diketahui oleh kebanyakan orang dan nampak bagi mereka. Misalnya saja ada 10 orang yang melihat hilal namun persaksiannya tertolak. Lalu hilal ini tidak nampak bagi kebanyakan orang di negeri tersebut karena mereka tidak memperhatikannya, maka 10 orang tadi sama dengan kaum muslimin lainnya. Sebagaimana 10 orang tadi tidak melakukan wukuf, tidak melakukan penyembelihan (Idul Adha), dan tidak shalat ‘ied kecuali bersama kaum muslimin lainnya, maka begitu pula dengan puasa, mereka pun seharusnya bersama kaum muslimin lainnya. Karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, idul fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul fithri, dan idul adha ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul adha”
Imam Ahmad –dalam salah satu pendapatnya- berkata,
يَصُومُ مَعَ الْإِمَامِ وَجَمَاعَةِ الْمُسْلِمِينَ فِي الصَّحْوِ وَالْغَيْمِ
“Berpuasalah bersama pemimpin kalian dan bersama kaum muslimin lainnya (di negeri kalian) baik ketika melihat hilal dalam keadaan cuaca cerah atau mendung.”
Imam Ahmad juga mengatakan,
يَدُ اللَّهِ عَلَى الْجَمَاعَةِ
“Allah akan senantiasa bersama para jama’ah kaum muslimin”.[15]
Jika Satu Negeri Melihat Hilal, Apakah Berlaku Bagi Negeri Lainnya?
Misalnya ketika di Saudi sudah melihat hilal, apakah mesti di Indonesia juga berlaku hilal yang sama? Ataukah masing-masing negeri berlaku hilal sendiri-sendiri?
Berikut kami nukilkan keterangan dari para ulama yang duduk di Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (Komisi Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia).
Pertanyaan: “Bagaimana menurut Islam mengenai perbedaan kaum muslimin dalam berhari raya Idul Fithri dan Idul Adha? Mengingat jika salah dalam menentukan hal ini, kita akan berpuasa pada hari yang terlarang (yaitu hari ‘ied) atau akan berhari raya pada hari yang sebenarnya wajib untuk berpuasa. Kami mengharapkan jawaban yang memuaskan mengenai masalah yang krusial ini sehingga bisa jadi hujah (argumen) bagi kami di hadapan Allah. Apabila dalam penentuan hari raya atau puasa ini terdapat perselisihan, ini bisa terjadi ada perbedaan dua sampai tiga hari. Jika agama Islam ini ingin menyelesaikan perselisihan ini, apa jalan keluar yang tepat untuk menyatukan hari raya kaum muslimin?
Jawab: Para ulama telah sepakat bahwa terbitnya hilal di setiap tempat itu bisa berbeda-beda dan hal ini terbukti secara inderawi dan logika. Akan tetapi, para ulama berselisih pendapat mengenai teranggapnya atau tidak hilal di tempat lain dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan. Dalam masalah ini ada dua pendapat. Pendapat pertama adalah yang menyatakan teranggapnya hilal di tempat lain dalam penentuan awal dan akhir Ramadhan walaupun berbeda matholi’ (wilayah terbitnya hilal). Pendapat kedua adalah yang menyatakan tidak teranggapnya hilal di tempat lain. Masing-masing dari dua kubu ini memiliki dalil dari Al Kitab, As Sunnah dan qiyas. Terkadang dalil yang digunakan oleh kedua kubu adalah dalil yang sama. Sebagaimana mereka sama-sama berdalil dengan firman Allah,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan bulan (di negeri tempat tinggalnya), maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.” (QS. Al Baqarah: 185)
Begitu juga firman Allah,
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ
“Mereka bertanya kepadamu tentang hilal (bulan sabit). Katakanlah: “Hilal (bulan sabit) itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji.” (QS. Al Baqarah: 189)
Mereka juga sama-sama berdalil dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ
“Berpuasalah karena melihat hilal, begitu pula berhari rayalah karena melihatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Perbedaan pendapat menjadi dua kubu semacam ini sebenarnya terjadi karena adanya perbedaan dalam memahami dalil. Kesimpulannya bahwa dalam masalah ini masih ada ruang untuk berijtihad. Oleh karena itu, para pakar fikih terus berselisih pendapat dalam masalah ini dari dahulu hingga saat ini.
Tidak mengapa jika penduduk suatu negeri yang tidak melihat hilal pada malam ke-30, mereka mengambil ru’yah negeri yang berbeda matholi’ (beda wilayah terbitnya hilal). Namun, jika di negeri tersebut terjadi perselisihan pendapat, maka hendaklah dikembalikan pada keputusan penguasa muslim di negeri tersebut. Jika penguasa tersebut memilih suatu pendapat, hilanglah perselisihan yang ada dan setiap muslim di negeri tersebut wajib mengikuti pendapatnya. Namun, jika penguasa di negeri tersebut bukanlah muslim, hendaklah dia mengambil pendapat majelis ulama di negeri tersebut. Hal ini semua dilakukan dalam rangka menyatukan kaum muslimin dalam berpuasa Ramadhan dan melaksanakan shalat ‘ied.
Hanya Allah yang memberi taufik. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.[16]
Semoga sajian kali ini bermanfaat.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
[1] HR. Bukhari no. 1907 dan Muslim no. 1080, dari ‘Abdullah bin ‘Umar.
[2] HR. Abu Daud no. 2342. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[3] HR. An Nasai no. 2116. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih
[4] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/ 92.
[5] Maksudnya, dulu kitabah (tulis-menulis) amatlah jarang ditemukan. (Lihat Fathul Bari, 4/127)
[6] Yang dimaksud hisab di sini adalah hisab dalam ilmu nujum (perbintangan) dan ilmu tas-yir (astronomi). (Lihat Fathul Bari, 4/127)
[7] HR. Bukhari no. 1913 dan Muslim no. 1080, dari ‘Abdullah bin ‘Umar.
[8] Fathul Bari, 4/127.
[9] Al Hawi Al Kabir, 3/877.
[10] Bukan terang-terangan sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang atau sebagian organisasi Islam di negeri ini ketika mereka telah menyaksikan adanya hilal namun berbeda dengan pemerintah.
[11] HR. Tirmidzi no. 697. Beliau mengatakan hadits ini hasan ghorib. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[12] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/ 92 dan Majmu’ Al Fatawa, 25/114-115.
[13] Majmu’ Al Fatawa, 25/109-110.
[14] Majmu’ Al Fatawa, 25/115-116.
[15] Majmu’ Al Fatawa, 25/117.
[16] Fatawa Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyah wal Ifta’no. 388, 10/101-103. Yang menandatangani fatwa ini: Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi selaku wakil ketua; Syaikh Abdullah bin Mani’ dan Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayan selaku anggota.
Assalamu’alaikum,
Tapi mengapa di negara kita, awal Romadhon dan Idul Fitri tidak pernah meleset dari hitungan kalender (yang dibuat dengan metode hisab)?
Bukankah ilmu hisab sekarang sudah begitu pesat hingga insya Alloh bisa tepat memperhitungkan komet halley yang mendekati bumi setiap 76 tahun sekali.
Mohon tanggapannya rekan sekalian.
assalamu’alaikum wr.wb.
alhamdulillah.sholawat serta salam selalu tercurah kpd nabi muhammad.
– melihat hilal adalah perintah rosul sedangkan dengan hisab adalah mengikuti akal pikiran.
– agama islam adalah agama syariat yang mudah, jadi cukup melihat hilal saja (atau menggenapkan bulan sya’ban 30 hari).
– betapa banyak umat muslim yang hidup jauh dari alat komunikasi & tidak mengetahui ilmu falaq??
– apa yang didapat manusia setelah berhasil mengitung peredaran comet halley?
– kenapa rosululloh memakai perhitungan waktu dengan peredaran bulan?tidak dengan peredaran matahari?
assalamu’alaikum wr.wb
Mengapa di negara kita awal Ramadhan dan Idul Fitri tidak pernah meleset dari hitungan kalender?
Memperhitungkan Komet Halley yang mendekati bumi 76 tahun sekali?
Mohon JawabanNya
Yang mendukung metode hisab apakah bisa mempercayai 100% bahwa perhitungan orang-orang yang melakukan hisab telah benar? Kalau memang setuju metode hisab, harusnya mengenal sendiri metode hisab itu seperti apa, bagaimana cara menghitungnya dst. baru setelah itu (mungkin) boleh mempercayai ahli hisab. Menurut saya memang sebaiknya kembalikan kepada penguasa/pemerintah yang memiliki otoritas untuk mengambil keputusan.
saya awam tentang itu… tapi, kenapa seolah anti dengan perkembangan ilmu pengetahuan (metode hisab yang sahih)… bahkan sampe2 semua referensi/mazhab/kajian2nya dibatilkan… apakah ilmu pengetahuan tentang hisab bertentangan dengan Al Quran… gak mungkin juga hadits bertentangan dengan Al Quran kan… wallahu’alam… kasi pencerahan dong…
akh Machroen,
Jika kita mengaku sebagai pengikut Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sudah sepatutnya kita berpegang teguh pada apa yang beliau ajarkan kepada kita. Dan itu adalah merupakan konsekuensi syahadat kaum Muslimin, “asyhadu anna muhammadan Rasulullah”, yang merupakan rukun Islam yang pertama. Kita bisa melihat dan mencontoh bagaimana para sahabat begitu kuatnya memegang ajaran/sunnah beliau. Kita lihat sahabat Ibnu Umar bin Al Khaththab radhiyallahu’anhuma begitu bersemangatnya dalam mengikuti semua apa yang diucapkan dan dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan dalam safar (bepergian jauh) sekalipun, sahabat Ibnu Umar berhenti/singgah di tempat yang pernah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam singgahi. Ini dilakukan karena rasa cintanya yang tinggi kepada Nabi yang mulia ‘alaihish sholatu was salam.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya, “Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya” (QS. Al-Mujadilah [58] : 13).
Dalam penjelasan mengenai penentuan awal Ramadhan dan hari raya Idul Fitri dalam artikel ini dan artikel yang lainnya dalam website ini, bisa antum kroscek hadits-haditsnya dan penjelasan para ulama melalui kitab-kitab yang tercantum di dalam artikel tersebut. Jika hadits-haditsnya shahih atau hasan maka tentu bisa diterima sebagai hujjah. Dan insyaAllah melihat hilal adalah disyariatkan dalam Islam, dan lebih mendekati kebenaran.
Maka janganlah kita menempatkan ilmu pengetahuan yang berkembang lebih utama dibandingkan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Hadits-hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam yang shahih, apalagi dalam menetapkan suatu hukum dalam perkara agama. Akan tetapi kita bisa menggunakan dan memanfaatkan ilmu pengetahuan yang ada sebagai wasilah/sarana saja untuk mempermudah kita dalam menjalankan syariat Islam, di dalam menambah ketakwaan kita di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.
Sesungguhnya penetapan hisab utk penentuan puasa dan hari raya bertyentangan dgn dalil syar’i. Dan apabila ada mengqiyaskan dgn shalat di mana utk mengetahui waktunya hanya melihat data hisab sungguh bertentangan dgn dalil dan akal sehat, bagaimana bisa disamakan yg shalat pakai matahari dan puasa pakai hilal. Bukankah Rasulullah memgatakan jangan puasa sampai terlihat hilal dan apabila terhalalang genapkan Syaban menjadi 30 hari, sedangkan shalat contohnya Shubuh apabila saat fajar terhalang misalnya mendung apakah shalat shubuh harus ditunda sampai 24 jam kemudian,sedangkan puasa boleh ditunda krn tak terlihat hilalnya dan Syaban digenapkan 30hari
ada sedikit tambahan…..sebenarnya yang sering mempersoalkan perbedaan-perbedaan dan sering membesarkan masalah yang ada disekitar kita adalah MEDIA MASA, seharusnya MEDIA MASA sebagai penyambung informasi dapat mencari jalan terbaik untuk memberikan informasi yang jelas kepada masyarakat. sehingga tidak terjadi kesimpang siuran berita, dan tidak memancing masalah-masalah baru.
untuk penentuan 1 syawal masyarakat harus tau bahwa, dua cara tersebut adalah benar, dan mempunyai dasar-dasar yang kuat.
terimakasih
melihat …akan artinya luas,. tdk hanya mata telanjang,… kalau zaman sdh canggih.. dengan alat dan perhitungan…. termasuk waktu shalat sekarang.. kan juga dengan perhitungan…., jadi masalah teknologi…, sesuaikan dengan kemajuan… jaman..Islam berkembang bial ummatnya tdk jumud
kenapa kita engan bersatu,perintah perintah puasa bersipat global,hai orang yang beriman,tanpa embel-embel arab mesir irak indonesia dsb,mestinya bila diantara yang beriman telah menyasikan hilal maka wajib berpuasa/berbuka tanpa dibatasi oleh bataaaaas teritorial buatan manusia.
bismillah, ana izin copas filenya. syukron
Assalamualaikum..
Kalo penentuan hari raya qurban menggunakan metode apa? Kok bisa seragam seluruh dunia? Makasih
Wa’alaikumus salam.
@ Wawan,
Tidak seragama kok seluruh dunia, coba perhatikan saja apa yg terjadi beberapa tahun yg lalu.
Kalo idul adha ikut negara Arab karena didasari ibadah haji saat wukuf di Arafah.
Assalamualaikum. mf apakah negara kita, Indonesia termasuk penguasa Islam smentara banyak hukum2 mereka yg tdk Islam? Sukron
#nisa
Wa’alaikumussalam. Indonesia negeri Islam. Pembahasan mengenai hal ini silakan simak:
http://abuyahyabadrusalam.com/index.php?option=com_content&view=article&id=57:apakah-negara-yang-tidak-berhukum-dengan-hukum-islam-disebut-negara-kafir-&catid=11:manhaj&Itemid=23
Assalamu`alaikum
Ana mau tanya bagaimana hukum berpuasa dan berhari raya di negeri kafir misalnya di Australia apakah kita wajib mengikuti mayoritas masyarakat(beragama Islam) di sana walaupun menggunakan metode hisab(berdasarkan sebuah organisasi ulama di Australia) atau mengikuti negeri islam terdekat dan apakah boleh mengikuti keputusan Pemerintah Kafir misalnya negara Suriname(ada keturunan jawa di sana) berdasarkan kesepakatan ormas Islam di sana dengan metode hisab pula(Pertanyaan ini timbul dari teman kerja kakak saya warga Suriname keturunan Jawa)? Mohon penjelasan muslim.or.id. Jazakallah
#Fahrul
Wa’alaikumussalam. Hendaknya mengikuti organisasi muslim setempat.
kalo menolak ilmu hisab,ngapain sholat pake jam?ngapain kita sekarang belajar baca tulis?ingat pada saat itu umat Nabi tdk dapat baca tulis,berati kondisi saat itu memeng demikian itulah adanya.hisab tidak bertentangan dengan sunnah Nabi,justru hisab telah di isyaratkan oleh beliau.coba pikir kalo jaman sekarang masih menolak hisab bgmana anda mendudukan dg qs al alaq 1 bacalah.Dalm Quran tersbut menyuruh kita belajar,otomatis hisab bagian dari padanya…..coba anda pikir anda berangkat dri Pekalongan jam 7.oo pagi dg speda motor dg kecpatan 20 km per jam.jarak antara Pekalongan – Tegal 40 km.jam berapa anda sampai Tegal….jawbnya pasti dpt di ketahui.Apalagi predaran bulan dan matahari yg tdk berhenti kecuali kiamat…dan sunnatullah yg demikian ini tetap…tetap dalam peredaranya….sungguh sangat ironis jika menolak ilmu hisab…..
#Vdistenley
Mohon baca kembali artikel di atas dengan tenang dan pikiran jernih. Artikel di atas bukan menolak ilmu hisab, namun menentukan awal Ramadhan dengan hisab adalah hal yang tidak sesuai dengan ajaran Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.
hmmmm…
gini2..
kalau harus melihat hilal..
-berarti ramadhan hanya bisa diketahui 1malam sebelom bulan ramadhan???..
-tapi kenapa pemerintah bisa menentukan 1 minggu seblom ramadhan bahwa bulan puasa dimulai tgl sekian
#Arendy65
– Ya, benar.
– Pemerintah Indonesia menentukan 1 Ramadhan dengan ru’yah pada satu hari sebelum Ramadhan.
Assalamualaikum Wr.Wb
Mohon penjelasan ayat berikut , saya menemukan ada dua hasil penterjemahan yaitu :
1. 79:30. And the earth, moreover, hath He extended (to a wide expanse);
Yusuf Ali’s Quran Translation
2. “And the earth, moreover, Hath He made egg shaped.” 2 [Al-Qur’aan
79:30]
#Deli
Wa’alaikumussalam,
Yang lebih tepat adalah penerjemahan pertama, دَحَاهَا artinya dihamparkan. Wallahu’alam.
Assalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh,
apakah ada ketentuan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Hilal yang dipakai untuk menentukan bulan hijriyah harus minimal memiliki ketinggian 2 derajat / ukuran tertentu…karena penyebab yang menjadi perbedaan/perselisihan di dalam umat Islam adalah salah satunya ketentuan tersebut.
Terima Kasih
#delta
Wa’alaikumussalam Warrahmatullahi Wabarakatuh, yang jadi patokan adalah apakah hilal terlihat oleh mata atau tidak.
Izin Copy Artikelnya Ustadz.jazakallah
Bismillah. Ditambahkan khairan, Ya, supaya lengkap artinya doanya.
pertanyaan saya apakah di zaman rosulullah pernaha ada perbedaan penentuan 1 romadhon? apakah di zaman sahabat juga ada perbedaan penentuan waktu romadhon? sejak kapan adanya perbedaan penentuan 1 romadhon?
#hijas
Ya, di zaman sahabat juga ada perbedaan dalam melihat hilal, namun mereka ikut kepada keputusan pemerintah.
Subhanallah….. ana tambah yakin setelah baca artikel ini. Ana jadi makin ngerti ….. Makasih Ustadz dan ijin copas…
Assalamu ‘alaikum, mohon saya jelaskan rujukan dari pernyataan akh yulian purnama
“Ya, di zaman sahabat juga ada perbedaan dalam melihat hilal, namun mereka ikut kepada keputusan pemerintah”.
Dari artikel Menentukan Awal Ramadhan Dengan Hilal dan Hisab — Muslim.Or.Id by null
karena yang saya tahu dibeda tempat yaitu di syam dan madinah (maaf saya agak lupa tempatnya).
jazakumulloh khoir.
#sri murdjanto
Wa’alaikumussalam, ya benar ketika itu ada perbedaan dalam melihat hilal antara Syam dan Madinah. Para sahabat mengikuti pemerintah di masing-masing daerah tersebut. Hadits-nya sudah dibahas di artikel:
https://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/menyoal-metode-hisab.html
Assalamualaikum.
Maaf mas Admin mau tanya:
Kalo Dalam Al-Qur’an surat Yunus (10) ayat 5 dikatakan bahwa Allah memang sengaja menjadikan Matahari dan bulan sebagai alat menghitung tahun dan perhitungan lainnya. Juga dalam Surat Ar-Rahman (55) ayat 5 disebutkan bahwa Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan.
itu gimana yah. dan By the way bukannya menentukan awal Ramadhan, lebaran dan ‘waktu masuk sholat’ pada saat jaman Rosul dulu juga menggunakan Rukyat? kenapa sekarang hanya awl bulannya saja?
kenapa ngga konsisten memakai rukyat?
Kenapa waktu masuk sholat banyak yang pakai Hisab tapi awal bulan pakai Rukyat? Ngga konsisten dong. Mohon jawabanya. terima kasih.
Wassalamualaikum
#Siardhi
Wa’alaikumussalam, pertanyaan anda sudah terjawab dalam artikel ini:
https://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/menyoal-metode-hisab.html
kalau dilogikakan, hisab itu kan perhitungan,
nah perhitungan itu termasuk teori, maka dgn melihat hilal lah kita bisa menentukan pergantian bulan..
masa’ semua pada gak sadar kalo perhitungan tahun menurut islam yaitu disebut “tahun qomariyah” yg artinya bulan..
logika nya apa..??
perhitungan kita berdasarkan munculnya bulan baru, bukan dengan menghitung..
suatu perhitungan harus dibuktikan kan..??
kita diperintahkan berpuasa ketika melihat hilal,,tapi apa memang ada standarnya harus 2 derajat? bagaimana kalau hilalnya terlihat tetapi g pake standar 2 derajat? mohon penjelasannya,,syukran
@ Rui
Kata Bapak dari NU: Wujud hilal saja tapi tidak terlihat, itu dianggap seperti tidak ada. Karena yang diperintahkan, “Shumuu liru’yatihi” berpuasalah karena melihat hilal. Dan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan “Shumuu liwujudihi” berpuasalah karena adanya hilal.
Jadi ini sedikit kritikan untuk metode penentuan sebagian ormas yang hanya berpegang pada hisab (wujudul hilal) namun enggan menjadikan ru’yatul hilal sebagai patokan. Moga Allah beri hidayah pada mereka.
menurut saya
Rosululloh mempunyai pandangan yang jauh kedepan..
dengan metode perhitungan apapun itu metodenya pasti hasilnya tidak sama satu dengan yang lainnya….
dan untuk membuktikan dan menyatukan semua metode itu … ya dengan cara dibuktikan…
bagaimana membuktikannya ya harus dengan melihat… agar orang awam pun bisa membuktikannya juga kebenarannya….
semoga kita yang awam ini mengerti dan memahami hal ini dan tidak terjadi perpecahan antar umat islam itu sendiri…
Assalamualaikum.
Bagaimana jika ke depan, Karena pergantian pemimpin,Pemerintah Indonesia menggunakan metode Hisab?
#Agung H
Wa’alaikumussalam, silakan simak:
https://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/puasa-dan-berhari-raya-bersama-pemerintah.html
“Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan” (QS 55:5).
Assalaamu’alaikum wr.wb.
Yth. Bapak Yulian Purnama, setelah saya membaca beberapa komentar, sepertinya saya belum menemukan jawaban/komentar dari Bapak atas komentar temen” di atas, yang bertanya “mengapa jadwal/waktu sholat kita setiap hari, bahkan bertahun-tahun memakai hisab/hitung (yang ada di kalender)?” saya yakin bahwa semua muadzin yg ada di Indonesia, sebelum mengumandangkan adzan pasti mereka harus melihat jadwal/waktu yang ada di kalender, dan sepertinya tidak melihat bulan dulu terus mengumandangkan adzan, demikian, mudah”an saya yang salah, trims, mohon pencerahan,,,
#Orang Pinggiran
Wa’alaikumussalam, sudah dibahas di artikel berikut:
https://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/menyoal-metode-hisab.html
https://muslim.or.id/ramadhan/syubhat-syubhat-ahlul-hisab-dalam-penentuan-bulan-qamariyah.html
assalamulaikum,,,apakah pada jaman rosulullah tidak mengenal hisab??? kalau memang tidak mengenal hisab,bagaimana tetnag hadits ini
Dari Abu Dzar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padanya,
يَا أَبَا ذَرٍّ إِذَا صُمْتَ مِنَ الشَّهْرِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ فَصُمْ ثَلاَثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ
“Jika engkau ingin berpuasa tiga hari setiap bulannya, maka berpuasalah pada tanggal 13, 14, dan 15 (dari bulan Hijriyah).” (HR. Tirmidzi no. 761 dan An Nasai no. 2424. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)
hadits ini menerangkan untuk berpuasa tiga hari dalam satu bulan yang ditentukan tanggalny.dan tanggal itu ditentukan melalui hisab
#adnan kusuma
wa’alaikumussalam, di zaman Rasulullah sudah dikenal ilmu hisab, namun beliau tidak menggunakannya untuk penentuan awal/akhir Ramadhan
Menurut saya, Penggunaan Surat Al Baqarah ayat 185 tentang dasar penentuan hilal sesungguhnya kurang tepat Mas, bukan hadirnya bulan yang dimaksud dalam ayat ini, tetapi kehadiran (keberadaan) kita sebagai manusia di suatu negeri (Bukan sebagai Musafir atau sakit)
As salamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuh. Barakallahu fikum. Para saudara dan saudariku sekalian, rahimanii wa rahimakumullaah. Kami memohon izin untuk memberikan masukan kepada kita sekalian terkait permasalahan hisab dan ru’yah. Agama kita merupakan agama yang segala sesuatunya dibangun di atas dasar ilmu, oleh karena itulah, tidak halal bagi kita untuk meyakini, mengamalkan, mendakwahkan, apalagi sampai memfatwakan apa pun atas nama Islam tanpa ilmu yang bersumber dari wahyu Al Qur’an dan As Sunnah di mana untuk memahami keduanya kita diwajibkan untuk mengikuti pemahaman Salafunash Shalih. Benarlah apa yang yang dituturkan oleh Al Imam Al Bukhari di dalam Shahihnya “Bab Ilmu sebelum Berkata dan Beramal”. Demi menambah referensi keilmuan kita agar lebih apik guna merespon masalah yang nampaknya sangat sensitif seperti ini, sebaiknya kita pun membaca beberapa sumber berikut ini: 1. Bid’ahkah Ilmu Hisab, karya Ust. Ahmad Sabiq hafizhahullah. 2. Pilih Ru’yah atau Hisab, karya Ust. Abu Yusuf hafizhahullah. 3. Saya Kembali ke Ru’yah (hasil wawancara bersama Buya Hamka), dan 4. Silakan telaah HPT (Himpunan Putusan Tarjih) milik Perserikatan Muhammadiyah, tepatnya di Kitab Shiyam. Wallahu a’lam. Innii uhibbukum fillaah.