[lwptoc]
Hukum Mencintai Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Pada suatu hari Umar bin Khattab berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali dari diriku sendiri.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab, “Tidak, demi Allah, hingga aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.” Maka berkatalah Umar, “Demi Allah, sekarang engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri!” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [XI/523] no: 6632)
Di lain kesempatan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, “Demi Allah, salah seorang dari kalian tidak akan dianggap beriman hingga diriku lebih dia cintai dari pada orang tua, anaknya dan seluruh manusia.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [I/58] no: 15, dan Muslim dalam Shahih-nya [I/67 no: 69])
Banyak sekali hadits-hadits yang senada dengan dua hadits di atas, yang menekankan wajibnya mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena hal itu merupakan salah satu inti agama, hingga keimanan seseorang tidak dianggap sempurna hingga dia merealisasikan cinta tersebut. Bahkan seorang muslim tidak mencukupkan diri dengan hanya memiliki rasa cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, akan tetapi dia dituntut untuk mengedepankan kecintaannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam -tentunya setelah kecintaan kepada Allah- atas kecintaan dia kepada dirinya sendiri, orang tua, anak dan seluruh manusia.
Potret Kecintaan Para Sahabat Kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Bicara masalah cinta Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa diragukan lagi adalah orang terdepan dalam perealisasian kecintaan mereka kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengapa? Sebab cinta dan kasih sayang merupakan buah dari perkenalan, dan para sahabat merupakan orang yang paling mengenal dan paling mengetahui kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak mengherankan jika cinta mereka kepada Beliau jauh lebih besar dan lebih dalam dibandingkan kecintaan orang-orang yang datang sesudah mereka.
Di antara bukti perkataan di atas, adalah suatu kejadian yang terekam dalam sejarah yaitu: Perbincangan yang terjadi antara Abu Sufyan bin Harb -sebelum ia masuk Islam- dengan sahabat Zaid bin ad-Datsinah rodhiallahu ‘anhu ketika beliau tertawan oleh kaum musyrikin lantas dikeluarkan oleh penduduk Mekkah dari tanah haram untuk dibunuh. Abu Sufyan berkata, “Ya Zaid, maukah posisi kamu sekarang digantikan oleh Muhammad dan kami penggal lehernya, kemudian engkau kami bebaskan kembali ke keluargamu?” Serta merta Zaid menimpali, “Demi Allah, aku sama sekali tidak rela jika Muhammad sekarang berada di rumahnya tertusuk sebuah duri, dalam keadaan aku berada di rumahku bersama keluargaku!!!” Maka Abu Sufyan pun berkata, “Tidak pernah aku mendapatkan seseorang mencintai orang lain seperti cintanya para sahabat Muhammad kepada Muhammad!” (Al-Bidayah wa an-Nihayah, karya Ibnu Katsir [V/505], dan kisah ini diriwayatkan pula oleh al-Baihaqy dalam Dalail an-Nubuwwah [III/326]).
Kisah lain diceritakan oleh sahabat Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, “Di tengah-tengah berkecamuknya peperangan Uhud, tersebar desas-desus di antara penduduk Madinah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terbunuh, hingga terdengarlah isakan tangisan di penjuru kota Madinah. Maka keluarlah seorang wanita dari kalangan kaum Anshar dari rumahnya, di tengah-tengah jalan dia diberitahu bahwa bapaknya, anaknya, suaminya dan saudara kandungnya telah tewas terbunuh di medan perang. Ketika dia memasuki sisa-sisa kancah peperangan, dia melewati beberapa jasad yang bergelimpangan, “Siapakah ini?”, tanya perempuan itu. “Bapakmu, saudaramu, suamimu dan anakmu!”, jawab orang-orang yang ada di situ. Perempuan itu segera menyahut, “Apa yang terjadi dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?!” Mereka menjawab, “Itu ada di depanmu.” Maka perempuan itu bergegas menuju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menarik bajunya seraya berkata, “Demi Allah wahai Rasulullah, aku tidak akan mempedulikan (apapun yang menimpa diriku) selama engkau selamat!” (Disebutkan oleh al-Haitsami dalam Majma’ az-Zawaid [VI/115], dan dia berkata, “Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Ausath dari syaikhnya Muhammad bin Su’aib dan aku tidak mengenalnya, sedangkan perawi yang lain adalah terpercaya.” Diriwayatkan pula oleh Abu Nu’aim dalam al-Hilyah [II/72, 332]).
Demikianlah sebagian dari potret kepatriotan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengungkapkan rasa cinta mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pahala Bagi Orang yang Mencintai Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Tentunya cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan suatu ibadah yang amat besar pahalanya. Banyak ayat-ayat Al Quran maupun hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan ganjaran yang akan diperoleh seorang hamba dari kecintaan dia kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara dalil-dalil tersebut:
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu mengisahkan, “Ada seseorang yang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hari kiamat, “Kapankah kiamat datang?” Nabi pun shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Apa yang telah engkau persiapkan untuk menghadapinya?” Orang itu menjawab, “Wahai Rasulullah, aku belum mempersiapkan shalat dan puasa yang banyak, hanya saja aku mencintai Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Maka Rasulullah pun shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seseorang (di hari kiamat) akan bersama orang yang dicintainya, dan engkau akan bersama yang engkau cintai.” Anas pun berkata, “Kami tidak lebih bahagia daripada mendengarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Engkau akan bersama orang yang engkau cintai.'” Anas kembali berkata, “Aku mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar, maka aku berharap akan bisa bersama mereka (di hari kiamat), dengan cintaku ini kepada mereka, meskipun aku sendiri belum (bisa) beramal sebanyak amalan mereka.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [X/557 no: 6171] dan at-Tirmidzi dalam Sunan-nya [2385])
Adakah keberuntungan yang lebih besar dari tinggal bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya di surga kelak??
Hakikat Cinta Pada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan Ragam Manusia di Dalamnya
Setelah kita sedikit membahas tentang hukum mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beberapa potret cinta para sahabat kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta ganjaran yang akan diraih oleh orang yang mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada perkara yang amat penting untuk kita ketahui berkenaan dengan masalah ini, yaitu: bagaimanakah sebenarnya hakikat cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?, bagaimanakah seorang muslim mengungkapkan rasa cintanya kepada al-Habib al-Mushthafa shallallahu ‘alaihi wa sallam? Apa saja yang harus direalisasikan oleh seorang muslim agar dia dikatakan telah mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Masalah ini perlu kita angkat, karena di zaman ini banyak orang yang menisbatkan diri mereka ke agama Islam mengaku bahwa mereka telah mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan telah mengagungkannya. Akan tetapi apakah setiap orang yang mengaku telah merealisasikan sesuatu, dapat diterima pengakuannya? Ataukah kita harus melihat dan menuntut darinya bukti-bukti bagi pengakuannya? Tentunya alternatif yang kedua-lah yang seyogyanya kita ambil.
Manusia telah terbagi menjadi tiga golongan dalam memahami makna cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
- Golongan yang berlebih-lebihan.
- Golongan yang meremehkan.
- Golongan tengah.
Kita mulai dari golongan tengah, yakni yang benar dalam memahami makna cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Golongan ini senantiasa menjadikan Al Quran dan As Sunnah sebagai landasan mereka dalam mengungkapkan rasa cinta mereka kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka pun meneladani para generasi awal umat ini (baca: salafush shalih) dalam mengungkapkan rasa cinta kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena salafush shalih adalah generasi terbaik umat ini, sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu hadits yang diriwayatkan Al Bukhari dan Muslim, “Sebaik-baik manusia adalah generasiku (para sahabat), kemudian generasi sesudah mereka (para tabi’in), kemudian generasi sesudah mereka (para tabi’it tabi’in).” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [V/258-259, no: 2651], dan Muslim dalam Shahih-nya [IV/1962, no: 2533])
Di antara bukti kecintaan mereka yang hakiki kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, antara lain:
a. Meyakini bahwa Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar utusan Allah subhanahu wa ta’ala, dan Beliau adalah Rasul yang jujur dan terpercaya, tidak berdusta maupun didustakan. Juga beriman bahwasanya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Nabi yang paling akhir, penutup para nabi. Setiap ada yang mengaku-aku sebagai nabi sesudah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pengakuannya adalah dusta, palsu dan batil. (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin hal: 137, Ad-Durar as-Saniyyah bi Fawaid al-Arba’in an-Nawawiyah, hal 38, Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syeikh Shalih Alu Syaikh, hal 56).
b. Menaati perintah dan menjauhi larangannya. Allah menegaskan,
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا
“Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr: 7)
c. Membenarkan berita-berita yang beliau sampaikan, baik itu berupa berita-berita yang telah terjadi maupun yang belum terjadi, karena berita-berita itu adalah wahyu yang datang dari Allah subhanahu wa ta’ala.
وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu, menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm: 3-4)
d. Beribadah kepada Allah dengan tata-cara yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa ditambah-tambah ataupun dikurangi. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.” (QS. Al-Ahzab: 21)
Juga Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan, “Barang siapa yang melakukan suatu amalan yang tidak sesuai dengan petunjukku, maka amalan itu akan ditolak.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya (III/1344 no 1718).
e. Meyakini bahwa syariat yang berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setingkat dengan syari’at yang datang dari Allah subhanahu wa ta’ala dari segi keharusan untuk mengamalkannya, karena apa yang disebutkan di dalam As Sunnah, serupa dengan apa yang disebutkan di dalam Al Quran (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin hal: 138). Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya):
مَّنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللّهَ
“Barang siapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah.” (QS. An-Nisa: 80)
f. Membela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala Beliau masih hidup, dan membela ajarannya setelah beliau wafat. Dengan cara menghafal, memahami dan mengamalkan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Juga menghidupkan sunnahnya dan menyebarkannya di masyarakat.
g. Mendahulukan cinta kepadanya dari cinta kepada selainnya. Sebagaimana kisah yang dialami oleh Umar di atas, akan tetapi jangan sampai dipahami bahwa cinta kita kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan membawa kita untuk bersikap ghuluw (berlebih-lebihan), sehingga mengangkat kedudukan beliau melebihi kedudukan yang Allah subhanahu wa ta’ala karuniakan kepada Nabi-Nya. Sebagaimana halnya perbuatan sebagian orang yang membersembahkan ibadah-ibadah yang seharusnya dipersembahkan hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dia persembahkan untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Contohnya: ber-istighatsah (meminta pertolongan) dan memohon kepadanya, meyakini bahwa beliau mengetahui semua perkara-perkara yang ghaib, dan lain sebagainya. Jauh-jauh hari Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan umatnya agar tidak terjerumus ke dalam sikap ekstrem ini, “Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku sebagaimana orang-orang Nashrani berlebih-lebihan dalam memuji (Isa) bin Maryam, sesungguhnya aku hanyalah hamba-Nya, maka ucapkanlah (bahwa aku): hamba Allah dan rasul-Nya.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [VI/478 no: 3445])
h. Termasuk tanda mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah mencintai orang-orang yang dicintainya. Mereka antara lain: keluarga dan keturunannya (ahlul bait), para sahabatnya (Asy-Syifa bi Ta’rifi Huquq al-Mushthafa, karya al-Qadli ‘Iyadl [II/573], Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah [III/407], untuk pembahasan lebih luas silahkan lihat: Huquq an-Nabi ‘Ala Ummatihi fi Dhaui al-Kitab wa as-Sunnah, karya Prof. Dr. Muhammad bin Khalifah at-Tamimi [I/344-358]), serta setiap orang yang mencintai beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Juga masih dalam kerangka mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah kewajiban untuk memusuhi setiap orang yang memusuhinya serta menjauhi orang yang menyelisihi sunnahnya dan berbuat bid’ah. (Asy-Syifa bi Ta’rifi Huquq al-Mushthafa, [2/575], untuk pembahasan lebih lanjut silahkan lihat: Huquq an-Nabi ‘Ala Ummatihi [I/359-361]).
Adapun golongan yang meremehkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah orang-orang yang lalai dalam merealisasikan kecintaan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka tidak memperhatikan hak-hak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah disebutkan di atas.
Di antara potret peremehan mereka adalah: Sangkaan mereka bahwa hanya dengan meyakini kerasulan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah cukup untuk merealisasikan cinta kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa harus “capek-capek” mengikuti tuntunannya dalam kehidupan sehari-hari.
Bahkan di antara mereka ada yang belum bisa menerima dengan hati legowo tentang ke-ma’shum-an (dilindunginya) Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kesalahan-kesalahan dalam menyampaikan wahyu, sehingga perlu untuk dikritisi. Sebagaimana yang digembar-gemborkan oleh koordinator JIL, Ulil Abshar Abdalla, “Menurut saya: Rasul Muhammad Saw adalah tokoh historis yang harus dikaji dengan kritis, (sehingga tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi saja, tanpa memandang aspek-aspek beliau sebagai manusia yang juga banyak kekurangannya), sekaligus panutan yang harus diikuti (qudwah hasanah).” (Islam Liberal & Fundamental, Sebuah Pertarungan Wacana, Ulil Abshar Abdalla dkk, hal 9-10).
Ada juga yang merasa berat untuk meyakini bahwa tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa diterapkan di segala zaman, sehingga harus “bergotong royong” untuk menyusun fikih gaya baru, yang digelari Fikih Lintas Agama. Dengan alasan “fiqih klasik tidak mampu lagi menampung perkembangan kebutuhan manusia modern, termasuk soal dimensi hubungan agama-agama.” (Fiqih Lintas Agama, Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, Nurcholis Madjid dkk, hal: ix).
Di antara bentuk peremehan terhadap Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ulah Koran Denmark “Jyllands-Posten”, pada hari Sabtu, 26 Sya’ban 1426/30 September 2005, dengan memuat karikatur penghinaan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akhzahumullah wa qatha’a aidiyahum, amien.
Dan masih banyak contoh-contoh nyata lainnya yang menggambarkan beraneka ragamnya kekurangan banyak orang yang menisbatkan diri mereka kepada agama Islam dalam merealisasikan cinta mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang itu semua bermuara pada penyakit tidak dijadikannya Al Quran dan As Sunnah dan pemahaman salaf sebagai barometer dalam mengukur kecintaan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Golongan ketiga adalah orang-orang yang ghuluw, yaitu mereka yang berlebih-lebihan dalam mengungkapkan cinta mereka kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, hingga mereka mengada-adakan amalan-amalan yang sama sekali tidak disyari’atkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak pernah dilakukan oleh salafush shalih yang mana mereka adalah orang-orang yang paling tinggi kecintaannya kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Golongan ketiga ini mengira bahwa amalan-amalan tersebut merupakan bukti kecintaan mereka kepada Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Di antara sikap ekstrem yang mereka tampakkan; berlebihan dalam mengagung-agungkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hingga menyifatinya dengan sifat-sifat yang merupakan hak prerogatif Allah subhanahu wa ta’ala. Di antara bukti sikap ini adalah apa yang ada dalam “Qashidah al-Burdah” yang sering disenandungkan dalam acara peringatan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
يَا أَكْرَمَ الْخَلْقِ مَا لِي مَنْ أَلُوْذُ بِهِ سِوَاكَ عِنْدَ حُلُوْلِ الْحَادِثِ العَمِمِ …
فَإِنَّ مِنْ جُوْدِكَ الدُّنْيَا وَضَرَّتَهَا وَمِنْ عُلُوْمِكَ عِلْمُ اللَّوْحِ وَالْقَلَمِ
“Wahai insan yang paling mulia (Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam)!
Tiada seseorang yang dapat kujadikan perlindungan selain dirimu, ketika datang musibah yang besar…
Karena kebaikan dunia dan akhirat adalah sebagian kedermawananmu,
dan sebagian dari ilmumu adalah ilmu lauh (mahfudz) dan qalam”
(Tabrid al-Buldah fi Tarjamati Matn al-Burdah, M. Atiq Nur Rabbani, hal: 56).
La haula wa la quwwata illa billah… Bukankah kita diperintahkan untuk memohon perlindungan hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala ketika tertimpa musibah?? (Lihat: QS. Al An’am: 17 dan At Taghabun: 11). Bukankah kebaikan dunia dan akhirat bersumber dari Allah semata?! Kalau bukan kenapa kita selalu berdo’a: “Rabbana atina fid dun-ya hasanah wa fil akhirati hasanah…” ?? Terus kalau ilmu lauh mahfudz dan ilmu qalam adalah sebagian dari ilmu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas apa yang tersisa untuk Robb kita Allah subhanahu wa ta’ala??!! Inaa lillahi wa inna ilaihi raji’un…
Di antara amalan yang sering dipergunakan sebagai sarana untuk mengungkapkan rasa cinta mereka kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah merayakan peringatan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sampai-sampai sudah menjadi budaya, hingga timbul semacam ketakutan moral diasingkan dari arena sosial jika tidak mengikutinya. Bahkan ada yang merasa berdosa jika tidak turut menyukseskannya.
Pernahkah terbetik pertanyaan dalam benak mereka: Apakah perayaan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini pernah diperintahkan oleh Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam? Apakah para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengerjakannya? Atau mungkin salah seorang dari generasi Tabi’in atau Tabi’it Tabi’in pernah merayakannya? Kenapa pertanyaan-pertanyaan ini perlu untuk diajukan? Karena merekalah generasi yang telah dipuji oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai generasi terbaik umat ini, dan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam telah kabarkan bahwa perpecahan serta bid’ah akan menjamur setelah masa mereka berlalu. Ditambah lagi merekalah orang-orang yang paling sempurna dalam merealisasikan kecintaan kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Merujuk kepada literatur sejarah, kita akan dapatkan bahwa acara maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah sekalipun dirayakan pada masa tiga generasi awal umat ini, banyak sekali para ulama kita yang menegaskan hal ini.
Di antara para ulama yang menjelaskan bahwa Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah dikerjakan pada masa-masa itu:
- Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalany, sebagaimana yang dinukil oleh as-Suyuthi dalam Husn al-Maqshid fi ‘Amal al-Maulid lihat al-Hawi lil Fatawa (I/302).
- Al-Hafidz Abul Khair as-Sakhawy, sebagaimana yang dinukil oleh Muhammad bin Yusuf ash-Shalihy dalam Subul al-Huda wa ar-Rasyad fi Sirati Khairi al-‘Ibad (I/439).
- Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dalam Iqtidha ash-Shirath al-Mustaqim (I/123).
- Ibnul Qayyim, dalam kitabnya I’lam al-Muwaqqi’in (II/390-391).
- Al-Imam Tajuddin Umar bin Lakhmi al-Fakihani, di dalam risalahnya: Al-Maurid fi al-Kalami ‘ala al-Maulid, hal: 8.
- Al-Imam Abu Zur’ah al-Waqi, sebagaimana yang dinukil oleh Ahmad bin Muhammad bin ash-Shiddiq dalam kitabnya Tasynif al-Adzan, hal: 136.
- Ibnu al-Haj, dalam kitabnya al-Madkhal (II/11-12, IV/278).
- Abu Abdillah Muhammad al-Hafar, sebagaimana yang dinukil oleh Ahmad bin Yahya al-Wansyarisi dalam kitabnya al-Mi’yar al-Mu’rib wa al-Jami’ al-Mughrib ‘an Fatawa Ulama Ifriqiyah wa al-Andalus wa al-Maghrib (VII/99-100).
- Muhammad Abdussalam asy-Syuqairi, dalam kitabnya as-Sunan wa al-Mubtada’at al-Muta’alliqah bi al-Adzkar wa ash-Shalawat, hal: 139.
- Ali Fikri, dalam kitabnya al-Muhadharat al-Fikriyah, hal: 128.
Lantas siapakah dan kapankah maulid pertama kali diadakan? Maulid pertama kali dirayakan pada abad ke empat hijriah (kurang lebih empat ratus tahun sesudah wafatnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) oleh seorang yang bernama al-Mu’iz lidinillah al-‘Ubaidi, salah seorang raja Kerajaan al-Ubaidiyah al-Fathimiyah yang mengikuti paham sekte sesat Bathiniyah (Lihat kesesatan-kesesatan mereka dalam kitab Fadhaih al-Bathiniyah, karya Abu Hamid al-Ghazali, dan Kasyful Asrar wa Hatkul Asrar, karya al-Qadhi Abu Bakr al-Baqillani). Sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama.
Di antara para ulama yang mengungkapkan fakta ini:
- Al-Imam al-Muarrikh Ahmad bin Ali al-Maqrizi asy-Syafi’i (w 766 H), dalam kitabnya al-Mawa’idz wa al-I’tibar fi Dzikri al-Khuthathi wa al-Atsar (I/490).
- Al-Imam Tajuddin Umar bin Lakhmi al-Fakihani, di dalam risalahnya: Al-Maurid fi al-Kalami ‘ala al-Maulid, hal: 8.
- Ahmad bin Ali Al-Qalqasyandi asy-Syafi’i (w 821), dalam kitabnya Shubh al-A’sya fi Shiyaghat al-Insya’ (3/502).
- Hasan As-Sandubi dalam kitabnya Tarikh al-Ihtifal bi al-Maulid an-Nabawi, hal: 69.
- Muhammad Bakhit al-Muthi’i (mufti Mesir di zamannya) dalam kitabnya Ahsan al-Kalam fima Yata’allaqu bi as-Sunnah wa al-Bid’ah min al-Ahkam, hal: 59.
- Ismail bin Muhammad al-Anshari, dalam kitabnya al-Qaul al-Fashl fi Hukm al-Ihtifal bi Maulid Khair ar-Rusul shallallahu ‘alaihi wa sallam, hal: 64.
- Ali Mahfudz, dalam kitabnya al-Ibda’ fi Madhar al-Ibtida’, hal: 126.
- Ali Fikri, dalam kitabnya al-Muhadharat al-Fikriyah, hal: 128.
- Ali al-Jundi, dalam kitabnya Nafh al-Azhar fi Maulid al-Mukhtar, hal: 185-186.
Apa yang melatarbelakanginya untuk mengadakan perayaan ini? Berhubung mereka telah melakukan pemberontakan terhadap Khilafah Abbasiyah, dan mendirikan negara sendiri di Mesir dan Syam yang mereka namai Al Fathimiyah, maka kaum muslimin di Mesir dan Syam tidak suka melihat tingkah laku mereka, serta cara mereka dalam menjalankan tali pemerintahan, hingga pemerintah kerajaan itu (Bani Ubaid) merasa khawatir akan digulingkan oleh rakyatnya. Maka dalam rangka mengambil hati rakyatnya, al-Mu’iz lidinillah al-‘Ubaidi mengadakan acara maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ditambah dengan maulid-maulid lain seperti maulid Fatimah, maulid Ali, maulid Hasan, maulid Husain dan maulid-maulid lainnya. Termasuk perayaan Isra Mi’raj dan perayaan tahun Hijriah. Hingga para ulama zaman itu berjibaku untuk mengingkari bid’ah-bid’ah itu, begitu pula para ulama abad kelima dan abad keenam. Pada awal abad ketujuh kebiasaan buruk itu mulai menular ke Irak, lewat tangan seorang sufi yang dijuluki al-Mula Umar bin Muhamad, kemudian kebiasaan itu mulai menyebar ke penjuru dunia, akibat kejahilan terhadap agama dan taqlid buta.
Jadi, sebenarnya tujuan utama pengadaan maulid-maulid itu adalah rekayasa politis untuk melanggengkan kekuasaan bani Ubaid, dan bukan sama sekali dalam rangka merealisasikan kecintaan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ataupun kepada ahlul bait!! (Al-Ihtifal bi al-Maulid an-Nabawi, Nasy’atuhu-Tarikhuh-Haqiqatuh-Man Ahdatsuh, Ibrahim bin Muhammad al-Huqail, hal: 5).
Hal lain yang perlu kita ketahui adalah hakikat akidah orang-orang yang pertama kali mengadakan perayaan maulid ini. Dan itu bisa kita ketahui dengan mempelajari hakikat kerajaan Bani Ubaid. Bani Ubaid adalah keturunan Abdullah bin Maimun al-Qaddah yang telah terkenal di mata para ulama dengan kekufuran, kemunafikan, kesesatan dan kebenciannya kepada kaum mukminin. Lebih dari itu dia kerap membantu musuh-musuh Islam untuk membantai kaum muslimin, banyak di antara para ulama muslimin dari kalangan ahli hadits, ahli fikih maupun orang-orang shalih yang ia bunuh. Hingga keturunannya pun tumbuh berkembang dengan membawa pemikirannya, di mana ada kesempatan mereka akan menampakkan permusuhan itu, jika tidak memungkinkan maka mereka akan menyembunyikan hakikat kepercayaannya (Lihat: Ar-Raudhatain fi Akhbar ad-Daulatain, Abu Syamah asy-Syafi’i, (I/198), Mukhtashar al-Fatawa lil Ba’li, hal: 488).
Adapun hakikat orang yang pertama kali mengadakan maulid yaitu al-Mu’iz lidinillah al-‘Ubaidi, maka dia adalah orang yang gemar merangkul orang-orang Yahudi dan Nasrani, kebalikannya kaum muslimin dia kucilkan, dialah yang mengubah lafadz azan menjadi “Hayya ‘ala khairil ‘amal”. Yang lebih parah lagi, dia turut merangkul paranormal dan memakai ramalan-ramalan mereka (Lihat: Tarikh al-Islam karya adz-Dzahabi XXVI/350, an-Nujum az-Zahirah fi Muluk al-Mishr wa al-Qahirah karya Ibnu Taghribardi IV/75). Inilah hakikat asal sejarah maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dan perlu diketahui, bahwa kecintaan kita kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidaklah diukur dengan merayakan hari kelahiran beliau atau tidak merayakannya. Bukankah kita juga mencintai Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan puluhan ribu sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya? Apakah kita juga harus merayakan hari kelahiran mereka semua, untuk membuktikan kecintaan kita kepada mereka? Kalau begitu berapa miliar dana yang harus dikeluarkan? Bukankah lebih baik dana itu untuk membangun masjid, madrasah, shadaqah fakir miskin dan maslahat-maslahat agama lainnya?
Saking berlebihannya sebagian orang dalam masalah ini, sampai-sampai orang yang senantiasa berusaha menegakkan akidah yang benar, rajin sholat lima waktu di masjid, dan terus berusaha untuk mengamalkan tuntunan-tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya, tidak dikatakan mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hanya karena dia tidak mau ikut maulid. Sebaliknya setiap orang yang mau ikut maulid, entah dia sholatnya hanya setahun dua kali (idul adha dan idul fitri), atau dia masih gemar maksiat, dikatakan cinta kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bukankah ini salah satu bentuk ketidakadilan dalam bersikap?
Semoga kita semua termasuk orang-orang yang merealisasikan kecintaan yang hakiki kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mohon maaf atas segala kekurangan.
Wallahu ta’ala a’lam, wa shallallahu ‘ala nabiyyyina muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.
***
Penulis: Ustadz Abdullah Zaen, Lc.
Artikel www.muslim.or.id
Cinta nabi kok mau Maulid sih…
Isinya Maulid itu apa Coi…
Ada ceramah agama.
Menanyantuni anak yatim.
Khitanan masal.
Bakti sosial, dll
mana yang jelek n mana yang salah….
berpikirlah yang positif.
klo Maulid M Abdul Wahab.
pasti Ente setuju ya..
ha.ha.ha
AKhi Udin, semoga Allah senantiasa menjaga antum dalam kebaikan…
Andaikan Muhammad Bin Abdul Wahhab rahimahullah merayakan Maulid Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam, maka kita katakan beliau telah melakukan perbuatan bid’ah..
Andaikan Muhammad Bin Abdul Wahhab rahimahullah menyembah kuburan, maka kita katakan beliau melakukan perbuatan kesyirikan..
Andaikan si fulan merayakan maulid Muhammad Bin Abdul Wahhab, maka kita katakan si fulan telah berbuat bid’ah..
Taqlid buta bukan manhaj ahlussunnah.
Walhamdulillah, sejarah mengatakan sebaliknya, bahwa beliau rahimahullah adalah orang yang sangat membenci kesyirikan dan bid’ah.
Akhi, justru kami mengajak antum untuk berpikir positif tanpa kebencian. Kami setuju diperbanyaknya ceramah agama, Islam pun membenarkan sikap santun kepada anak yatim dan membantu orang yang kesulitan, Islam pun membenarkan kita untuk memperbanyak shalawat, tapi menyatukan semua itu dalam satu waktu dan acara khusus? Mengapa Rasulullah tidak melakukannya?
Akhi, coba kita renungkan kembali, Allah dan Rasul-Nya mengabarkan kepad akita keutamaan shalat berjamaah:
“Shalat berjamah lebih utama daripada shalat sendirian dengan tujuh puluh derajat” [Muttafaqun ‘alaihi]
Dan Rasulullah pun mensyariatkan shalat tahiyyatul masjid sebelum duduk di masjid:
“Apabila salah seorang di antara kalian masuk masjid, maka janganlah duduk terlebih dahulu sampai dia melakukan salat (Tahiyyatul Masjid) dua rakaat.” [Muttafaq Alaihi]
Nah, lalu bagaimana jika ada orang yang berinisiatif untuk menggabungkan keduanya kemudian berkata “Mari kita shalat tahiyyatul masjid secara berjama’ah, bukankah ini baik?”. Kaifa hadza?
Engkau tentu akan berkata “Ini tidak boleh. Karena tidak ada dalilnya”.
Wallahu’alam.
perayaan maulid yang banyak diisi dengan ceramah dll yang sesuai dengan syariat islam dipermasalahkan, sedangkan perayaan tahun baru masehi yang penuh dengan hura-hura jalan terus. cape deh .wassalam
Mas Yusuf, komentar yang terlalu panjang (misal: copy paste dari artikel-artikel yang panjang), dan ditambah komentar tersebut dipaste secara simultan maka otomatis akan masuk ke kategori Spam oleh software anti Spam Akismet (salah satu plugin WordPress).
kok ga di show comment saya? trus ga ada jawaban?
re:
fachrul
pertama..
“perayaan maulid yang banyak diisi dengan ceramah dll YANG SESUAI DENGAN SYARIAT ISLAM dipermasalahkan”
jawab:
yang sesuai dengan syariat islam???..syariat silam yang mana?..kapan Rosulullah salallahu alaihi wa sallam merayakan maulid?..kapan sahabat ridwanullah alaihim ajma’in merayakan maulid? padahal mereka adalah sebaik baik generasi…
ikhlaskan hati dan renungkanlah…
kedua:
“sedangkan perayaan tahun baru masehi yang penuh dengan hura-hura jalan terus.”
jawab: Ahlu sunnah tidak pernah mengajarkan untuk tasyabbuh dengan orang-orang kafir..bahkan ahlu sunnah selalu mengingkari dan memperingatkan umat akan larangan meniru tradisi orang-orang kafir..mohon pelajari lagi…
Didalam al Quran kita diwajibkan memurnikan ketaatan dalam beribadah kepadaNYa ,
Bukankah termasuk artinya tidak menambah nambahi ritual ibadah yang telah diajari nabi kita ?
Dan dalam kenyataannya , pada saat maulid yang dilakukan sebagian masyarakat kita, ada ritual ritual aneh yang tidak diajarkan oleh rasul kita…, seperti berdiri dan bersalawat dengan anggapan Rasul menghadiri perayaan tersebut , walahuallam…
@fachrul
agama islam udah sempurna coy,,yg nmanya sempurna gk blh d tmbah or d kurangi,,jd ngpain repot2 bkin acra2 yg gk da tuntunannya dri Rosululloh,(bid’ah)
wlaupun sbgian bsar orang brdalih dgn niat untk kebaikan,,tidakkah akhi renungkan perkataan sahabat
Ibnu Mas’ud berkata;
“Berapa banyak orang yg niatnya untuk kebaikan,tapi tidak mendapatkan kebaikan itu”.
Assalammu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh…
Ana mau tanya, tentang maulid nabi.. apabla di sekolah ana diadakan maulid nabi yang jelas2 bahwa maulid nabi ini termasuk perbuatan bid’ah dan setiap siswa/i wajib menghadiri acara tsb dikarnakn peraturan dari sekolah ( ROHIS )..
Bagaimana ya …? Apa yang harus ana lakukan?
Jazakallah khoir ats jawabannya.
Assalamualauikum mas Aswad
Mungkin nanti kalou orang bersandar pada perbuatan yang di anggap baik dan tdk bersandar pada ajaran NABI mungkin orang tawaf sambil berlari atau scout jam itu kan baik untuk kesehatan dan menurunkan berat badan dan munkin orang towaf mungkin lebih dari 7 kali atau sampai 100 kali itu kan baik untuk tambahan pahala. klo semuanya begitu bisa ampuradul ibadah kita
ana ga habis pikir sama antum – antum masalah yang kebaikannya masih ada ketimbang keburukannya dipermaslahkan. kita jgn berbicara dalil dulu logika aja dulu. masa kegiatan yang didalamnya ada kebaikan dianggap bid’ah. kalo semua hal yang tidak ada dari rasulnya dpermaslahkan buat apa pergi haji naik kapal, makan pake piring, minum pake gelas, pergi naik mobil kan itu semua ga ada jaman rasul. oke antum bicar maslah ibadah. emang tata cara shalat lengkap ada keterangannya dialqur’an itu semua kan hasil ijma ulama bersumber pada hadits – hadits. ulama yang mengarang berpuluh – puluh kitab aja suka maulid. elu bisa apa baca doang …. katanya dan katanya. cape deh
Tentang sholat itu di terangkan secara garis besar di alqu’an dan untuk tata cara yang lenkap itu di ajarkan oleh Nabi Muhammad SAW dan kita wajib mencontoh sholatnya. ternyata antum tdk tahu betul tentang BID’AH sampai antum logicakan ke piring, mobil, cangkir,gelas,becak,bemo,He He He!!! oh ya ternyata kita berselisih bagaimana kalou kita berselisih dalam alqur’an ya marilah kita balik ke Alqur’an sunnah nabi jadi apa2 yang tdk ada anjurannya jangan kita kerjakan kalou ana anti ama inovasi ibadah yang tdk ada anjurannya wong yang di anjurkan aja jarang di kerjakan e malah nyari ibadah baru yang tdk ada tuntunannya dan belajarlah apa itu BID’AH, sehingga antum tdk melogikakan dengan Mobil,Cangkir,Piring,Mungkin becak, Bemo,Unta,Kuda,Kapal terbang DLL
Assalamu’alaikum
Kepada akhi Ade Kurnia, ana rasa titik tolak kesalahan antum adalah perkataan antum :”kita jgn berbicara dalil dulu logika aja dulu”. Ini bukan manhaj para ulama kita mas. Justru semua mereka, dari sahabat, tabi’in, tabiut tabi’in, imam yang 4, bukhari, muslim dst sepakat, “JIKA DATANG DALIL, GUGURLAH SEMUA PENDAPAT/LOGIKA”. Maka kalau antum tidak merubah pola fikir antum, dari mendahulukan logika thd nash menjadi mendahulukan nash dibanding logika, ana rasa selamanya antum tidak akan bisa memahami tulisan di web ini. Karena memang berbeda titik tolak pemahamannya.
Disini saya nukilkan sedikit perkataan ulama’ kita tentang wajibnya mendahulukan nash dibanding akal/logika:
Abu Hanifah/Imam Hanafi:
Apabila aku mengemukakan suatu pendapat yang bertentangn dengan kitab Alloh dan khabar
dari Rasulullah SAW, hendaknya kalian meninggalkan pendapatku.
Imam Malik:
Sesungguhnya aku adalah manusia yang terkadang salah dan terkadang benar, maka lihatlah
pendapatku. Apabila sesuai dengan Al-Qur’an dan sunnah maka ambillah. Setiap yang tidak
sesuai dengan Al-Qur’an dan sunnah, tinggalkan.
Imam Syafi’i:
Jika kalian mendapati dalam kitabku yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah SAW maka
ambillah sunnah Rasulullah SAW dan tinggalkanlah pendapatku. Dalam sebuah riwayat
dikatakan ’Maka ikutilah dan janganlah kalian mengikuti pendapat siapapun’
Imam Ahmad:
Al-Auza’i berpendapat, Malik berpendapat, dan Abu Hanifah berpendapat. Menurutku
semuanya adalah ra’yu, sedangkan yang dapat dijadikan hujjah dalam masalah-masalah agama
adala atsar (hadits).
Nah, jika antum telah meyakini bahwa dalil harus didahulukan dari akal/logika, bahwa dalil pasti benar, logika bisa salah, insya Allah antum akan bisa memahami artikel2 di web ini, karena kita telah berangkat dari tempat yang sama.
Wallahu A’lam
Wassalamu’alaikum
mengenai pemberian garis sebagai tanda shof2 yg ada di masjid itu juga bid’ah ya? kan itu termasuk berlebih2an dalam ibadah dan tidak ada riwayat yg menyatakan bahwa Rosululloh ataupun sahabat memakai garis sebagai pelurus shof2 ketika sholat berjamaah.
Mas Abu Faisal
Terima kasih banyak tentang tanbahan ilmunya sehingga saya tahu betul dengan apa itu LOGIKA dan apa itu DALIL. Mas AMIN yang saya hormati orang sholat terkadang mengukur keberadannya dengan sejadah mereka sehingga lurus dan rapi terkadang di suatu masjid memberikan tanda garis sehingga shofnya lurus dan rapi dan tak ada space yang sia-sia itu bukan BID’AH itu usah untuk meluruskan kalou solatnya membentuk lingkaran atau roka’at sholat shubuh di tambah menjadi 4 roka
at itu bid’ah,kaloupun tdk ada garisnya toh kita bisa sholat juga. dulu alqur’an tak ada harokatnya sekarang ada harokatnya itu bukan bid’ah itu cara mempermudah orang yang tdk bisa bhs arab biar bisa membacanya, kalou alqur’annya di tambah2 ayatnya itu BID”AH,kalou kita fasih berbahasa arab tanpa harokat kita bisa membacanya.Pertanyaan mas Amin ini sama dengan mas ade kurnia yang mementingkan LOGIKA dr pada DALIL sehingga dia melogikakan BID”AH dengan CANGKIR,PIRING,MOBIL,mungkin lagi UNTA,KAPAL,KERETA API dan GARIS SHAF di masjid
MENURUT PANDANGAN ISLAM APAKAH BOLEH PACARAN ATAU TIDAK DAN PANDANGAN ISLAM APA ARTI DARI CINTA SEJATI YG SESUNGGUHNYA?
#Hamba Allah
Tolong baca artikel berikut:
http://rumaysho.com/belajar-islam/muslimah/1622-cinta-bukanlah-disalurkan-lewat-pacaran-.html
bener kata akhi abu faisal. jangan sekali-kali mengedepankan logika karena logika belum tentu benar & salah, mari kita sama-sama mendalami/pelajari lagi agama allah.
biar gak salah menafsirkan, semoga kita mendapatkan petunjuk dari allah….. Amin…….
Kalo bukan dari maulid, dari mane ane mengenal rasulullah, kalo bukan dari maulid dari mane, ane bisa cinta rasulullah, kalo bukan dari maulid, dari mane ane bisa siar islam, kalo bukan dari maulid, dari mane ane bisa berjumpa dengan rasulullah saw. kalo ente bilang maulid bidah, kenapa naik kendaraan bukan bidah, kan jaman sahabat gha ada yang pake kendaraan mesin, ente belajar dulu deh, pelajari ilmu agama yg lebih dalam, jangan cuma logika, tapi dengan hati…….. wassalam.
@ Zainuddin
Kami saja bisa mengenal Rasul tanpa lewat Maulid, kenalilah dg mempelajari kitab aqidah dan berbagai kitab shiroh, janganlah menjadikan maulid sbg satu2nya jalan untuk mengenal rasul.
Saudara jika sangat keliru dalam memahami bid’ah. Bid’ah itu bukan spt yg saudara maksudkan, silakan baca berbagai penjelasan bid’ah di website muslim ini. Semoga Allah beri taufik
@Zainudin: Subhanalloh…semoga antum diberikan hidayah..ISLAM ini agama yg sudah sempurna jgn ditambah2 apalagi dikurang2i..dan agama ISLAM ini harus berlandaskan Al Quran dan As Sunnah bukan apa kata HATI…ikutilah kajian2 ilmu ya akhi..supaya antum tidak tersesat dalam beragama..
izin share , semoga bermanfaat
mas2,, mbok ya yang jelas2 bid’ah yang dibahas,, itu orang2 yang tidak menutup aurotnya diperangi..
#muhtar
Membuka aurat itu maksiat, bukan bid’ah dalam ibadah, mohon dipahami dulu apa itu bid’ah.
Mengenai hal tidak menutup aurat sudah banyak kami bahas, silakan cari di:
https://muslim.or.id/arsip-artikel
#Mas Muhtar yang dimuliakan Allah,
kata diperangi itu bisa dengan menyampaikan ilmu, ini ada artikel yang Insya Allah bermanfaat. Kalau ada waktu bolehlah klik http://nurussunnah.com/?p=193 (Jilbab,pakaian wanita …). sambil dengerin kajian sabtu pagi jam 8. (Hadist Arbain).
Subhanallah saya baru tahu asalnya maulid nabi, sykron..izin share ya ustazd.
bagaimana kita bisa berlaku seperti sahabat mencintai nabi kalo nabi sudah gak ada, trus apakah sama nabi dan rasul yg tertulis di ayat di atas itu rasul bukan nabi
#abdoel
– Cara mencintai Nabi adalah dengan mengikuti ajaran beliau
– Setiap Rasul itu Nabi
Ass. Ww
setelah saya membaca tentang artikel tentang peringatan Nabi muhammad..serta sejarah… saya sangat meyakini hal tersebut bahwa Nabi Muhammad tidak pernah menyuruhnya, untuk berbuat semacam itu dan diatas diterangkan ada tiga divinisi CINTA, di terangkan secara jelas oleh pak Ustadz Abdullah Zaen, Lc.
mohon maaf sebelumnya kami hidup dilingkungan seperti yang tertulis di atas, mohon saya dituntun, selalu bertentangan tentang hal tersebut diatas. sekali lagi mohon bimbingan kami kami masih awam dalam pemahaman islam, sedangkan usia mengijak tua, minimalnya saya bisa membimbing anak anakku dan semua orang yang sependapat dalam kebenarani ini. (saya lahir oleh keluarga muslim dan umur 3 tahun sudah ditinggal bapak dan kami keluarga yang kurang mampu apalagi untuk mendidik untuk membesarkannya serba kekuarang hanya seorang ibu yang tak ada penghasilan tetap)sedikit info/kronologi,sehingga kami hidup mandiri sampai dalam perkawinan yang saya lakukan semuanya sendiri, pak ustadz tentang agama islam saya sungguh ingin mempelajarinya, saat ini saya baru saja ikut program starta 1 jurusan syariah yang mana dalam sekolah yang di bahas ummum, yang mana saya sudah mengantongi pasca sarjana dari ekonomi manajemen dan kembali masuk sekolah syariah karena ingin mempelajari agama islam secara benar. dengan adanya fonemena tersebut diatas saya perlu banyak referensi untuk menghadapi lingkungan. ini ku tulis dengan jujur.
Was. Ww
Tolong informasikan pada pak ustadz (081270052241)sms dulu untuk kenal
Buat Afwan yang selalu mengedepankan logika,tolong jelaskan ini :
1.Kenapa ketika antum maaf “kentut” tidak bersihkan dubur saja kenapa harus berwudhu lagi,kan yang membatalkan wudhu “kentut” bukan mulut,muka, tangan dan kaki?
2.Kenapa antum shalat shubuh hanya 2 rakaat,kenapa tidak 4 atau 6 atau 8 rakaat kan logikanya lebih banyak pahalanya dari pada hanya 2 rakaat?
3.Kenapa ketika shalat antum tidak ganti doa iftitah dengan surat yasin atau surat2 yang lain kan doa iftitah tidak ada dalam al qur’an,dengan surat yasin atau surat2 yang lain kan pahalanya lebih banyak ?
Cukup 3 saja mudah2an yang selalu mengedepankan logika,akal,ra’yu,hawa nafsu mendapat HIDAYAH dari Allah,bahwa agama kita yang sudah sempurna itu (al maidah ayat 3)tidak perlu ditambah dan dikurangi dan tidak bisa dipahami dengan LOGIKA saja tetapi dengan dalil Qur’an dan Hadits yang Shahih sesuai pemahaman salafus shalih.Aamiin.
Assalamu’alaikum Warohmah Wabarokah..
Bagi admin sebaiknya menjelaskan langsung secara singkat disini bgmn arti dan pembagian Bid’ah agar saudara2 kita lebih mudah memahami apa itu bid’ah yg sebenenarnya,sehingga bisa membedakan makna bid’ah secara bahasa atau bid’ah yg berhubungan dengan ibadah..
Perbuatan bid’ah itu ada dua bagian :
[1] Perbuatan bid’ah dalam adat istiadat (kebiasaan) ; seperti adanya penemuan-penemuan baru dibidang IPTEK (juga termasuk didalamnya penyingkapan-penyingkapan ilmu dengan berbagai macam-macamnya). Ini adalah mubah (diperbolehkan) ; karena asal dari semua adat istiadat (kebiasaan) adalah mubah.Dan penemuan-penemuan baru ini sifatnya tidak merusak agama,tidak ada hubungannya dengan ibadah.Ini yg perlu digaris bawahi,atau harus dipahami betul.
[2] Perbuatan bid’ah di dalam Ad-Dien (Islam) hukumnya haram, karena yang ada dalam dien itu adalah tauqifi (tidak bisa dirubah-rubah) ; Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Artinya : Barangsiapa yang mengadakan hal yang baru (berbuat yang baru) di dalam urusan kami ini yang bukan dari urusan tersebut, maka perbuatannya di tolak (tidak diterima)”. Dan di dalam riwayat lain disebutkan : “Artinya : Barangsiapa yang berbuat suatu amalan yang bukan didasarkan urusan kami, maka perbuatannya di tolak”.
Nah,kalau penemuan-penemuan baru dalam hal ibadah inilah yg dilarang,inilah yg kami dan admin maksud.
Maaf buat saudara-saudaraku seiman yang belum memahami makna bid’ah maka tolong dibaca Link dibawah ini,Jazakallahu khoir :)
http://cahayasunnah.wordpress.com/2006/04/11/pengertian-bidah-macam-macam-bidah-dan-hukum-hukumnya/
ijin untuk share…, syukron
Pertanyaan untuk pendukung Mauludan.. 1.Kita ini disuruh beribadah apa disuruh membuat Ibadah. 2.Kita ini disuruh menjalankan Syari’at atau didsuruh membuat Syari’at? 3.Tugasnya Ustadz/Ulama menyampaikan syari’at atau membuat Syari’at ? 4.Mauludan itu syari’at siapa ?. Prinsip mencari Islam yg benar Taatilah Allah dan taatilah Rosul, mendengar dan taat (kaji dan resapilahlah QS.An Nisaa ayat 59). Ikuti Orang karena kebenaran dan jangan ikuti kebenaran karena orang..!
1 pertanyaan lagi untuk pendukung mauludan, kalau Mauludan itu hanya suatu tradisi yg ternyata tidak dalil, terus yang benar itu Al Qur’an dan Hadits/Sunnah yang mengikuti tradisi atau tradisi yang harus kembali kepada Al Qur’an dan Hadits/Sunnah?
Saudaraku sesama moslem..semoga kita semua termasuk orang-orang yg dikehendaki baik oleh Allah SWT akan mendapatkan keselamatan didunia dan akan mendapatkan kebahagiaan di Akherat, Prinsip…cari dalil dulu baru berbuat dan bukan sebaliknya berbuat dulu baru cari dalil…