[lwptoc]
Sikap wara’ dalam mencari rezeki dan kehidupan sudah jarang disebut dan diperhatikan kaum muslimin. Kita lihat kaum muslimin sangat menggampangkan masalah ini sehingga terjerumus dalam perbuatan tercela dalam memenuhi kebutuhannya. Riba, dusta, menipu dan perbuatan haram lainnya di lakukan tanpa merasa berdosa hanya untuk dalih memenuhi kebutuhan hidup.
Apa hakikat Wara’?
Para ulama memberikan definisi wara’ dengan beberapa ungkapan, diantaranya:
- Wara’ adalah meninggalkan semua yang meragukan dirimu dan menghilangkan semua yang membuat jelek dirimu dan mengambil yang lebih baik.
- Wara’ adalah ibarat dari tidak tergesa-gesa dalam mengambil barang-barang keduniaan atau meninggalkan yang diperbolehkan karena khawatir terjerumus dalam perkara yang dilarang.
Sedangkan Syaikhul Islam ibnu Taimiyah menggambarkan sikap wara’ ini dengan ungkapan: “sikap hati-hati dari terjerumus dalam perkara yang berakibat bahaya yaitu yang jelas haramnya atau yang masih diragukan keharamannya. Dalam meninggalkan perkara tersebut tidak ada mafsadat yang kebih besar dari mengerjakannya” (Majmu’ Fatawa, 10/511). Hal ini disimpulkan secara ringkas oleh murid beliau imam Ibnu al-Qayim dengan ungkapan: “Wara’ adalah meninggalkan semua yang dikhawatirkan merugikan akhiratnya” (Al-Fawaaid hlm 118).
Jelaslah sikap wara’ adalah sikap meninggalkan semua yang meragukan dirimu dan menghilangkan semua yang membuat jelek dirimu. Hal ini dengan meninggalkan perkara syubuhat dan berhati-hati berjaga dari semua larangan Allah. Seorang tidak dikatakan memiliki wara’ sampai menjauhi perkara syubuhat (samar hukumnya) karena takut terjerumus dalam keharaman dan meninggalkan semua yang dikhawatirkan merugikan akhiratnya. Sebagaimana dijelaskan dalam sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam :
الْحَلَالُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشَبَّهَاتٌ لَا يَعْلَمُهَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ فَمَنْ اتَّقَى الْمُشَبَّهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ كَرَاعٍ يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يُوَاقِعَهُ أَلَا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلَا إِنَّ حِمَى اللَّهِ فِي أَرْضِهِ مَحَارِمُهُ
“Perkara halal sudah jelas dan yang harampun sudah jelas. Diantara keduanya (halal dan haram ini) ada perkara syubuhat (samar hukumnya) yang banyak orang tidak mengetahuinya. Siapa yang menjauhi perkara syubuhat ini maka ia telah menjaga agamanya dan kehormatannya. Siapa yang terjerumus dalam perkara syubuhat ini seperti seorang gembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar tanah larangan yang hampir menjerumuskannya. Ketahuilah setiap raja memiliki tanah larangan dan tanah larangan Allah di bumi ini adalah perkara-perkara yang diharamkanNya“. (Muttafaqun ‘Alaihi).
Jenis dan tingkatan Wara’
Imam Ar-Raaghib Al-Ashfahani membaginya dalam tiga tingkatan:
- Wajib, yaitu menjauhi larangan Allah dan ini wajib untuk semua orang.
- Sunnah, yaitu berhenti pada perkara syubuhat. Ini untuk orang yang pertengahan
- Fadhilah (keutamaan), yaitu menahan diri dari banyak perkara yang mubah dan mencukupkan dengan mengambil sedikit darinya untul sekedar memenuhi kebutuhan primernya saja. Ini untuk para nabi, shiddiqin, syuhada dan sholihin. (lihat kitab Adz-Dzari’ah Ila Makaarim al-Syari’at hal. 323).
Faedah dan manfaat sikap wara’
Sikap wara’ memiliki banyak sekali faedah, diantaranya adalah:
- Wara’ termasuk martabat tertinggi dari iman dan terutama dalam martabat ihsaan.
- Memberikan kepada seorang mukmin perasaan lega dan ketenangan jiwa.
- Masyarakat yang memiliki sikap wara’ akan menjadi masyarakat yang baik dan bersih.
- Allah mencintai orang yang bersikap wara’ dan juga para makhlukpun demikian.
- Sikap wara’ bisa menjadi sebab ijabah do’a.
Semoga Allah memberikan kepada kita sikap wara’ yang benar dan tepat dalam menghadapi gelombang fitnah dunia yang demikian besarnya ini.
Mari berusaha menanamkannya dalam diri kita agar kita menjadi hambaNya yang beruntung!
Baca Juga: Belajar Hidup Zuhud
—
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Artikel Muslim.or.id
afwan,minta izin di copy ya…..
Syaikh Abu Yazid Al-Bistami dikenal sebagai orang yang menjaga
dirinya dengan sikap wara’. Sesuai riwayat Al-Bazzar dari Hudzaifah bin
Al-Yaman, Rasulullah SAW bersabda, “Keutamaan ilmu itu lebih baik dari
keutamaan ibadah dan cara terbaik untuk menjaga agamamu adalah bersikap
wara’.”
Sikap wara‘ salah satunya dicontohkan oleh Rasulullah SAW dalam hadist yang diriwayatkan oleh Anas RA, “Aku
pergi kepada keluargaku, lalu mendapatkan sebiji buah yang terbuang di
atas ranjangku, maka aku mengambilnya untuk memakannya, kemudian aku
khawatir kalau dia berasal dari buah yang disedekahkan maka akupun
membuangnya.”
Dalam kitab Shahih Bukhari dari Aisyah RA diriwayatkan pula bahwa Abu
Bakar pernah memuntahkan makanan yang diberikan oleh pembantunya. Hal
tersebut beliau lakukan setelah pembantunya memberitahu bahwa makanan
tersebut berasal dari upah yang didapatkannya dari hasil meramal
seseorang ketika jaman jahiliyah. Padahal pembantunya bukanlah peramal
yang baik. Hanya saja ia berhasil menipunya.
Sikap wara’ seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan
Abu Bakar RA diatas mempunyai banyak keutamaan. Karena itu, Rasululah
SAW dalam hadis yang diriwayatkan Imam al-Tirmidzi memerintahkan kepada
Abu Hurayrah untuk bersikap wara’, sebab wara’ akan menjadikannya
sebagai orang yang paling ahli dalam beribadah.