Sebagai hamba Allah, dalam kehidupan di dunia manusia tidak akan luput dari berbagai cobaan, baik kesusahan maupun kesenangan, sebagai sunnatullah yang berlaku bagi setiap insan, yang beriman maupun kafir. Allah Ta’ala berfirman,
وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (Qs Al Anbiya’: 35)
Ibnu Katsir –semoga Allah Ta’ala merahmatinya– berkata, “Makna ayat ini yaitu: Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang beputus asa.” (Tafsir Ibnu Katsir, 5/342, Cet Daru Thayyibah)
Kebahagiaan hidup dengan bertakwa kepada Allah
Allah Ta’ala dengan ilmu-Nya yang Maha Tinggi dan Hikmah-Nya yang Maha Sempurna menurunkan syariat-Nya kepada manusia untuk kebaikan dan kemaslahatan hidup mereka. Oleh karena itu, hanya dengan berpegang teguh kepada agama-Nyalah seseorang bisa merasakan kebahagiaan hidup yang hakiki di dunia dan akhirat. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ
“Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul-Nya yang mengajak kamu kepada suatu yang memberi (kemaslahatan) hidup bagimu.” (Qs al-Anfaal: 24)
Ibnul Qayyim -semoga Allah Ta’ala merahmatinya- berkata, “Ayat ini menunjukkan bahwa kehidupan yang bermanfaat hanyalah didapatkan dengan memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka barangsiapa yang tidak memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya, maka dia tidak akan merasakan kehidupan (yang baik). Meskipun dia memiliki kehidupan (seperti) hewan yang juga dimiliki oleh binatang yang paling hina (sekalipun). Maka kehidupan baik yang hakiki adalah kehidupan seorang yang memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya secara lahir maupun batin.” (Kitab Al Fawa-id, hal. 121, Cet. Muassasatu Ummil Qura’)
Inilah yang ditegaskan oleh Allah Ta’ala dalam banyak ayat al-Qur’an, di antaranya firman-Nya,
مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (di dunia), dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka (di akhirat) dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (Qs ِAn Nahl: 97)
Dalam ayat lain, Allah Ta’ala berfirman,
وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُمْ مَتَاعاً حَسَناً إِلَى أَجَلٍ مُسَمّىً وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ
“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Rabbmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik kepadamu (di dunia) sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya (di akhirat nanti)” (Qs Huud: 3)
Dalam mengomentari ayat-ayat di atas, Ibnul Qayyim mengatakan, “Dalam ayat-ayat ini Allah Ta’ala menyebutkan bahwa Dia akan memberikan balasan kebaikan bagi orang yang berbuat kebaikan dengan dua balasan: balasan (kebaikan) di dunia dan balasan (kebaikan) di akhirat.” (Al Waabilush Shayyib, hal. 67, Cet. Darul Kitaabil ‘Arabi)
Oleh karena itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan ibadah shalat, yang dirasakan sangat berat oleh orang-orang munafik, sebagai sumber kesejukan dan kesenangan hati, dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وجعلت قرة عيني في الصلاة
“Dan Allah menjadikan qurratul ‘ain bagiku pada (waktu aku melaksanakan) shalat.” (HR. Ahmad 3/128, An Nasa’i 7/61 dan imam-imam lainnya, dari Anas bin Malik, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jaami’ish Shagiir, hal. 544)
Makna qurratul ‘ain adalah sesuatu yang menyejukkan dan menyenangkan hati. (Lihat Fatul Qadiir, Asy Syaukaani, 4/129)
Sikap seorang mukmin dalam menghadapi masalah
Dikarenakan seorang mukmin dengan ketakwaannya kepada Allah Ta’ala, memiliki kebahagiaan yang hakiki dalam hatinya, maka masalah apapun yang dihadapinya di dunia ini tidak membuatnya mengeluh atau stres, apalagi berputus asa. Hal ini disebabkan karena keimanannya yang kuat kepada Allah Ta’ala sehingga membuat dia yakin bahwa apapun ketetapan yang Allah Ta’ala berlakukan untuk dirinya maka itulah yang terbaik baginya. Dengan keyakinannya ini Allah Ta’ala akan memberikan balasan kebaikan baginya berupa ketenangan dan ketabahan dalam jiwanya. Inilah yang dinyatakan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya,
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa (seseorang) kecuali denga izin Allah; Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk ke (dalam) hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Qs At Taghaabun: 11)
Ibnu Katsir mengatakan, “Makna ayat ini: seseorang yang ditimpa musibah dan dia meyakini bahwa musibah tersebut merupakan ketentuan dan takdir Allah, sehingga dia bersabar dan mengharapkan (balasan pahala dari Allah Ta’ala), disertai (perasaan) tunduk berserah diri kepada ketentuan Allah tersebut, maka Allah akan memberikan petunjuk ke (dalam) hatinya dan menggantikan musibah dunia yang menimpanya dengan petunjuk dan keyakinan yang benar dalam hatinya, bahkan bisa jadi Dia akan menggantikan apa yang hilang darinya dengan yang lebih baik baginya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 8/137)
Inilah sikap seorang mukmin dalam menghadapi musibah yang menimpanya. Meskipun Allah Ta’ala dengan hikmah-Nya yang maha sempurna telah menetapkan bahwa musibah itu akan menimpa semua manusia, baik orang yang beriman maupun orang kafir, akan tetapi orang yang beriman memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh orang kafir, yaitu ketabahan dan pengharapan pahala dari Allah Ta’ala dalam mengahadapi musibah tersebut. Tentu saja semua ini akan semakin meringankan beratnya musibah tersebut bagi seorang mukmin.
Dalam menjelaskan hikmah yang agung ini, Ibnul Qayyim mengatakan, “Sesungguhnya semua (musibah) yang menimpa orang-orang yang beriman dalam (menjalankan agama) Allah senantiasa disertai dengan sikap ridha dan ihtisab (mengharapkan pahala dari-Nya). Kalaupun sikap ridha tidak mereka miliki maka pegangan mereka adalah sikap sabar dan ihtisab (mengharapkan pahala dari-Nya). Ini (semua) akan meringankan beratnya beban musibah tersebut. Karena setiap kali mereka menyaksikan (mengingat) balasan (kebaikan) tersebut, akan terasa ringan bagi mereka menghadapi kesusahan dan musibah tersebut. Adapun orang-orang kafir, maka mereka tidak memiliki sikap ridha dan tidak pula ihtisab (mengharapkan pahala dari-Nya). Kalaupun mereka bersabar (menahan diri), maka (tidak lebih) seperti kesabaran hewan-hewan (ketika mengalami kesusahan). Sungguh Allah telah mengingatkan hal ini dalam firman-Nya,
وَلا تَهِنُوا فِي ابْتِغَاءِ الْقَوْمِ إِنْ تَكُونُوا تَأْلَمُونَ فَإِنَّهُمْ يَأْلَمُونَ كَمَا تَأْلَمُونَ وَتَرْجُونَ مِنَ اللَّهِ مَا لا يَرْجُونَ
“Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya merekapun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari Allah apa yang tidak mereka harapkan.” (Qs An Nisaa’: 104)
Oleh karena itu, orang-orang mukmin maupun kafir sama-sama menderita kesakitan. Akan tetapi, orang-orang mukmin teristimewakan dengan pengharapan pahala dan kedekatan dengan Allah Ta’ala.” (Ighaatsatul Lahfan, hal. 421-422, Mawaaridul Amaan)
Hikmah cobaan
Di samping sebab-sebab yang kami sebutkan di atas, ada faktor lain yang tak kalah pentingnya dalam meringankan semua kesusahan yang dialami seorang mukmin dalam kehidupan di dunia, yaitu dengan dia merenungkan dan menghayati hikmah-hikmah agung yang Allah Ta’ala jadikan dalam setiap ketentuan yang diberlakukan-Nya bagi hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertakwa. Karena dengan merenungkan hikmah-hikmah tersebut dengan seksama, seorang mukmin akan mengetahui dengan yakin bahwa semua cobaan yang menimpanya pada hakikatnya adalah justru untuk kebaikan bagi dirinya, dalam rangka menyempurnakan keimanannya dan semakin mendekatkan diri-Nya kepada Allah Ta’ala.
Semua ini di samping akan semakin menguatkan kesabarannya, juga akan membuatnya selalu bersikap husnuzh zhann (berbaik sangka) kepada Allah Ta’ala dalam semua musibah dan cobaan yang menimpanya. Dengan sikap ini Allah Ta’ala akan semakin melipatgandakan balasan kebaikan baginya, karena Allah akan memperlakukan seorang hamba sesuai dengan persangkaan hamba tersebut kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam sebuah hadits qudsi:
أنا عند ظنّ عبدي بي
“Aku (akan memperlakukan hamba-Ku) sesuai dengan persangkaannya kepadaku.” (HSR al-Bukhari no. 7066 dan Muslim no. 2675)
Makna hadits ini: Allah akan memperlakukan seorang hamba sesuai dengan persangkaan hamba tersebut kepada-Nya, dan Dia akan berbuat pada hamba-Nya sesuai dengan harapan baik atau buruk dari hamba tersebut, maka hendaknya hamba tersebut selalu menjadikan baik persangkaan dan harapannya kepada Allah Ta’ala. (Lihat kitab Faidhul Qadiir, 2/312 dan Tuhfatul Ahwadzi, 7/53)
Di antara hikmah-hikmah yang agung tersebut adalah:
[Pertama]
Allah Ta’ala menjadikan musibah dan cobaan tersebut sebagai obat pembersih untuk mengeluarkan semua kotoran dan penyakit hati yang ada pada hamba-Nya, yang kalau seandainya kotoran dan penyakit tersebut tidak dibersihkan maka dia akan celaka (karena dosa-dosanya), atau minimal berkurang pahala dan derajatnya di sisi Allah Ta’ala. Oleh karena itu, musibah dan cobaanlah yang membersihkan penyakit-penyakit itu, sehingga hamba tersebut akan meraih pahala yang sempurna dan kedudukan yang tinggi di sisi Allah Ta’ala (Lihat keterangan Ibnul Qayyim dalam Ighaatsatul Lahfan hal. 422, Mawaaridul Amaan). Inilah makna sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Orang yang paling banyak mendapatkan ujian/cobaan (di jalan Allah Ta’ala) adalah para Nabi, kemudian orang-orang yang (kedudukannya) setelah mereka (dalam keimanan) dan orang-orang yang (kedudukannya) setelah mereka (dalam keimanan), (setiap) orang akan diuji sesuai dengan (kuat/lemahnya) agama (iman)nya, kalau agamanya kuat maka ujiannya pun akan (makin) besar, kalau agamanya lemah maka dia akan diuji sesuai dengan (kelemahan) agamanya, dan akan terus-menerus ujian itu (Allah Ta’ala) timpakan kepada seorang hamba sampai (akhirnya) hamba tersebut berjalan di muka bumi dalam keadaan tidak punya dosa (sedikitpun)” (HR At Tirmidzi no. 2398, Ibnu Majah no. 4023, Ibnu Hibban 7/160, Al Hakim 1/99 dan lain-lain, dishahihkan oleh At Tirmidzi, Ibnu Hibban, Al Hakim, Adz Dzahabi dan Syaikh Al Albani dalam Silsilatul Ahaadits Ash Shahihah, no. 143)
[Kedua]
Allah Ta’ala menjadikan musibah dan cobaan tersebut sebagai sebab untuk menyempurnakan penghambaan diri dan ketundukan seorang mukmin kepada-Nya, karena Allah Ta’ala mencintai hamba-Nya yang selalu taat beribadah kepada-Nya dalam semua keadaan, susah maupun senang (Lihat keterangan Ibnul Qayyim dalam Ighaatsatul Lahfan, hal. 424, Mawaaridul amaan) Inilah makna sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Alangkah mengagumkan keadaan seorang mukmin, karena semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya), dan ini hanya ada pada seorang mukmin; jika dia mendapatkan kesenangan dia akan bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya, dan jika dia ditimpa kesusahan dia akan bersabar, maka itu adalah kebaikan baginya.” (HSR Muslim no. 2999)
[Ketiga]
Allah Ta’ala menjadikan musibah dan cobaan di dunia sebagai sebab untuk menyempurnakan keimanan seorang hamba terhadap kenikmatan sempurna yang Allah Ta’ala sediakan bagi hamba-Nya yang bertakwa di surga kelak. Inilah keistimewaan surga yang menjadikannya sangat jauh berbeda dengan keadaan dunia, karena Allah menjadikan surga-Nya sebagai negeri yang penuh kenikmatan yang kekal abadi, serta tidak ada kesusahan dan penderitaan padanya selamanya. Sehingga kalau seandainya seorang hamba terus-menerus merasakan kesenangan di dunia, maka tidak ada artinya keistimewaan surga tersebut, dan dikhawatirkan hamba tersebut hatinya akan terikat kepada dunia, sehingga lupa untuk mempersiapkan diri menghadapi kehidupan yang kekal abadi di akhirat nanti (Lihat keterangan Ibnul Qayyim dalam Ighaatsatul Lahfan, hal. 423, Mawaaridul Amaan dan Ibnu Rajab dalam Jaami’ul ‘Uluumi wal Hikam, hal. 461, Cet. Dar Ibni Hazm). Inilah di antara makna yang diisyaratkan dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
كن في الدنيا كأنك غريب أو عابر سبيل
“Jadilah kamu di dunia seperti orang asing atau orang yang sedang melakukan perjalanan.” (HSR Al Bukhari no. 6053)
Penutup
Sebagai penutup, kami akan membawakan sebuah kisah yang disampaikan oleh Ibnul Qayyim tentang gambaran kehidupan guru beliau, Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah di zamannya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –semoga Allah merahmatinya–. Kisah ini memberikan pelajaran berharga kepada kita tentang bagaimana seharusnya seorang mukmin menghadapi cobaan dan kesusahan yang Allah Ta’ala takdirkan bagi dirinya.
Ibnul Qayyim bercerita, “Allah Ta’ala yang Maha Mengetahui bahwa aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih bahagia hidupnya daripada gurunya, Ibnu Taimiyyah. Padahal kondisi kehidupan beliau sangat susah, jauh dari kemewahan dan kesenangan duniawi, bahkan sangat memprihatinkan. Ditambah lagi dengan (siksaan dan penderitaan yang beliau alami di jalan Allah Ta’ala), yang berupa (siksaan dalam) penjara, ancaman dan penindasan (dari musuh-musuh beliau). Tapi bersamaan dengan itu semua, aku mendapati beliau adalah termasuk orang yang paling bahagia hidupnya, paling lapang dadanya, paling tegar hatinya serta paling tenang jiwanya. Terpancar pada wajah beliau sinar keindahan dan kenikmatan hidup (yang beliau rasakan). Kami (murid-murid Ibnu Taimiyyah), jika kami ditimpa perasaan takut yang berlebihan, atau timbul (dalam diri kami) prasangka-prasangka buruk, atau (ketika kami merasakan) kesempitan hidup, kami (segera) mendatangi beliau (untuk meminta nasehat), maka dengan hanya memandang (wajah) beliau dan mendengarkan ucapan (nasehat) beliau, serta merta hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan berganti dengan perasaan lapang, tegar, yakin dan tenang.” (Al Waabilush Shayyib, hal. 67, Cet. Darul Kitaabil ‘Arabi)
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 15 Rabi’ul awwal 1430 H
***
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim Al Buthoni, Lc.
Artikel www.muslim.or.id
Pas sekali dgn keadaan saya skrg….
kadang pengen bisa menahan diri dan bersabar dari segala kesulitan…
kadang2 saya bisa merasa santai menghadapi kesulitan (sekolah, usaha, keluarga)…. dan mencoba bersikap seolah2 nggak ada apa2..
tapi, tiba2 saya futur bahkan patah semangat, ditambah hati jadi gelisah dan gundah, diiringi ketakutan akan masa depan, setelah orang tua saya (yg masih awwam) memanas-manasi saya dan menakut2i saya akan masa depan suram, dan mereka juga khawatir berlebih2an
padahal saya lagi semangat2nya komitmen di jalan syariat dan sunnah, tiba2 futur akibat orang tua yg kurang bisa bersabar.
terkadang saya berfikir…… semakin mendalam mengkaji agama, semakin terbebani karena lebih mengetahui perkara2 haram dibandingkan orang awwam.
saya pun kalau gundah bersegera mendatangi majelis2 lalu bertanya kpd ustadz, dan mengharapkan jawaban yg mententramkan hati.. seperti yg dilakukan murid2 Ibnu Taimiyah
@abang,
memang…semakin mendalam seseorg mengkaji agama, maka cobaan yg diterimanya jg akan makin besar. Saya jg punya pengalaman yg sama, bahkan istri dan ibu sayapun kadang memandang aneh pada saya hanya karena saya berbeda pendapat dgn kebanyakan org2 spt misalnya dalam hal pensyari’atan membayar zakat fitrah dengan makanan pokok bukan dgn uang spt yg dilakukan oleh org2 skrg ini. Yg penting kita doakan saja agar hati mereka terbuka dan tetap kita beri pengertian bahwa sunnah Rasulullah harus selalu diutamakan dibanding perkataan org2.
“Alangkah mengagumkan keadaan seorang mukmin, karena semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya), dan ini hanya ada pada seorang mukmin; jika dia mendapatkan kesenangan dia akan bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya, dan jika dia ditimpa kesusahan dia akan bersabar, maka itu adalah kebaikan baginya”….hadits yg benar2 membuat kita tersadar akan beruntungnya menjadi seorang muslim. Alhamdulillah. Semoga kita semua diberi kesabaran oleh Allah Ta’ala dalam menghadapi segala cobaan. Amin
Orang Beriman kalau masih ada stress, ya dipertanyakan kwalitas keimanannya. Saya sangat percaya kalau segala sisi kehidupan kita pakai dengan dasar islam tiada kata putus asa, stress, depresi, bahkan gila.
Assallamu ‘allaikum..
dosa anna terlalu besar dari kecil sampai sekarang selalu bergelimnpang dosa..
setiap anna berdoa hati ini tenang akan tetapi kenapa hati ini cepat sekali lalai kepadaNya..
kenapa ana cepat sekali bermaksiat ya allah…
mohon.. beri saran
sofyan..
ana jg kadang seperti..tapi ana yakin itu godaan dr syetan yg terkutuk.. inshaAllah kita semua mukmin@mukninat muslimin&muslimat terlindung dr godaan syetan yg membuat kita tergoda n lalai dr perintah Allah SWT… aaaamiin Ya Rabb..Allahumma aaamin..
sangat cocok buat ana,
Jazakallahu Khairan
Barakallahu fiikum
alhamdulillah tulisannya bgs. tp ana cm mau komentr soal jdlnya ”seorang muslim tdk akan kena stres” mnrt ana ini krg tpt. soalnya stiap manusia pst akan mngalami strss atw tekanan hdp. trmsk msbh atw ujian jg sbg stressor. klw mnrt ana kt yg plg tpt adalh frustasi, sbg implikasi dr stress yg dialami akbat ketidakmampuan seseorg dlm memanajemen strss yg dialaminya.
Selamat atas tampilan yang baru dan mudah-mudahan artikel-artikelnya juga lebih pas untuk para ikhwan sehingga dapat menambah ketaqwaan kepada Allah Swt.Amin ya robbal ‘alamin
subhanallah.menyejukkan hati sekali..
jazakumullah katsiran…
kaGett juga..liat tampilan muslim.or.id sekarang..jauhh lebihh bagus tampilannya….
alhamdulillah..maju teruss!!!
Masya Allah, tulisan yang menjadi inspirasi buat ana. Jazakumullah ahsanal jaza.
sebenarnya stres yang terjadi pada diri manusia
disebabkan tidak mau menerima, tidak mau menerima penyebabnya adalh tidak mau pasrah dan tidak ikhlas…
Alhamdulilah, sudah banyak website yang bernuansa islami dan berdasar kepada dalil Al-Qur’an dan Sunnah, khusunya di website muslim ini, sehingga lebih menambah wawasan dan pendalaman keyakinan yang selama ini masih awam.
Banyak kejadian di jaman modern sekarang orang yang sangat khawatir berlebihan, seakan hidup ini dia atau orang lain yang mengatur, sehingga tidak ada ketenangan dalam menghadapi suatu permasalahan.
Tapi kalau kita bandingkan dengan beratnya peneritaan yang dialami Ibnu Taimiyah, kita belum seujung jarinya, tapi stressnya melebihi dari pada beliau, itu semua karena hati kita, tauhid kita yang belum mantap dan mapan.
Alhamdulillah saya sedanga belajar untuk senantiasa bertuhid semata kepada Allah, sehingga bila saya ditimpa masalah, saya serahkan kepada-Nya, minta petunjuk kepada-Nya dan tetap berteguh hati dalam keimanan.
Kardi
Rabu, 24 Juni 2009
Assalamu’alaikum Warahmatullah, akh pas sekali artikel yang dipasang karena lagi ana cari.
Barakallahu…
@abu salamah
ya mungkin judul memang kurang tepat seharusnya “tidak kena depresi” karena kita sebagai manusia akan selalu terkena stress (tekanan). Dan sekarang tinggal kita bisa tahan dan memanage dengan baik tidak dengan tekanan itu, kalau tidak tahan ya terus jadi depresi. Ya seperti kursi akan selalu menerima beban orang duduk di atasnya, kursi yang kuat akan tetap bertahan sedang yang lemah akan roboh. Saya kira semua hanya masalah bahasa, karena stess adalah bahasa inggris kita kembalikan ke makna asal dari bahasa inggrisnya.
#Abu Salamah, Agus
Menurut saya, tidak salah, sebagaimana hadits:
لا يزني الزاني حين يزني وهو مؤمن ولا يسرق السارق حين يسرق وهو مؤمن ولا يشرب الخمر حين يشربها وهو مؤمن
“Seorang pezina, tidak dikatakan mu’min ketika ia sedang berzina. Seorang pencuri tidak dikatakan mu’min ketika sedang mencuri. Seorang pemabuk tidak dikatakan mu’min saat ia sedang mabuk” [HR. Muslim]
Hadits ini tidak menafikan iman dari pelaku maksiat, namun juga menafikan iman yg sempurna pada saat seseorang melakukan maksiat. Artinya saat ia melakukan maksiat, masih mungkin dalam dirinya ada iman, namun tidak dikatakan mu’min karena imamnya sedang tidak sempurna.
Begitu juga bisa kita katakan, seorang yang stress tidak dikatakan mu’min ketika sedang stress. Sehingga, orang mu’min tidak pernah stress.
@aswad, afwn akhi antm slh phm dgn pernyataan ana. cb antm bc lg komentr ana, dan ana rasa antm krg tepat dlm menggunakan hdst tsb, krn illah dr hdst tsb unt plaku maksiat bkn org yg tdk mmp menghdpi stress kehidupan, krn hal ini bukanlah maksiat, wlpn mmg org yg frustasi trkdng krg keimanannya nmn bs jd bkn krn maksiat, tp kr krgnya ilmu/pemahaman agamanya & ketawakalannya pd ALLAH SWT. ALLAHU’ALAM BISSHOWAB
jazakallah khayr ustadz atas tulisannya yang penuh dengan manfaat.
sering-sering buat artikel untuk penyejukan hati dan untuk mengingatkan kita semua seperti ini.tadinya ana lagi banyak masalah dan suntuk banget tapi setelah baca artikel ini ana jadi bangkit kembali.alloh huakbar……….ayo semangat saudara ku, karena hidup di dunia adalah perjuangan, janganlah menyerah, ujian kita belum seberapa dibandingkan dengan ujian para rasul dan sahabat.SEMANGAT…………
jazakallah khairan katsiran telah menulis artikel di atas, benar2 memberi manfaat unt sy.
boleh tdk kalau ana minta dikirimi artikel2, terutama artikel2 terbaru dr muslim.or.id ini.
Ass…
Ane trsntuh skali ats artikel ni,wahai sodaraq lanjutkn dhwah ini,q slalu mendukung
menyejukkan !!
Kalau kekurangan finansial yo setres
Artikel yang bermanfaat,semoga allah memberikan rahmat dan hidayahnya kepada kita semua….
Dengan membaca artikel ini saya sadar kalau saya sering mementingkan dunia daripada akhirat…………….
alhamdulilah, hati jadi tenang dg baca artikel ini
kl yg ana rasakan, ana stress kl lg krg dzikir
sabar,…. ya kata yang mudah di ingat namun sulit di lakukan jika itu tidak timbul dari hati yang terdalam dan keinginan yang besar,,untuk melakukannya.
islam mengajarkan sabar. setidaknya banyak hal yang mampu mengajarkan saya bahwa hidup ini kalo tak sabar mungkin tidak ada lagi yang namanya kebahagian, soalnya semua inginnya buru2 dalam bertindak cepat selesai namun tak berkualitas. cobaan adalh bagian hidup jadi kenapa kita harus terburu2 mengerjakan cobaan itu namun cukup satu kata “SABAR”
aslm,
masyallah……….. jazakumullah khairan jaza wa katsira………. alhamdulillah jd semakin semangat tuk bersabar hadapi ujian……. walaupun berat tapi…… masyallah.. semoga Allah SWT selalu meridhoi kita……… tetep semangat jangan pantang menyerah…….. ALLAHU AKBAR !!!
waslm.
Subhanallah.. artikel yg sangat bermanfaat.. terima kasih..
Sebenarnya apapun yang terjadi dalam kehidupan kita bersifat netral, kitalah yang memberikan makna atau persepsi bahwa kondisi tertentu buat diri kita sebagai dalam keadaan baik, menyenangkan, bahagia dan sementara dalam keadaan lain sebagai buruk, menyusahkan, duka dan seterusnya. Kita kerap menempatkan hawa nafsu sebagai standar dalam mengatur persepsi tentang keadaan dunia di luar diri kita, bukan tauhid. Contoh: apa yang menimpa Ibnu Taimiyyah, dalam persepsi kita kehidupan yang dialami oleh beliau merupakan kehidupan yang teramat sulit, dipenjarakan, dianiaya diasingkan dan kehidupan yang jika dipandang secara materialistik sangat berkekurangan. Tapi apa komentar beliau sendiri tentang kehidupan beliau ? Sungguh menakjubkan, bagi beliau pengasingan tak ubahnya sebagai tamasya dan penjara sebagai tempat beristirahat dst. Bisa terlihat kan dua persepsi yang muncul secara bertolak belakang ? Ini menunjukkan bahwa kita bisa menentukan sendiri sikap apa yang akan kita ambil ketika berhadapan dengan berbagai peristiwa dlm kehidupan kita. Kitalah bertanggung jawab dalam memutuskan apakah akan bersikap sabar atau putus asa atau bersikap syukur atau malah ingkar. Kalau iman kita sudah benar (saya berharap kepada Allah agar kita semua bisa memilikinya), semua peristiwa – baik dan buruk menurut persepsi kita – pada akhirnya akan membuat kita akan sangat bersyukur pada Allah, karena tidak ada satupun yang menimpa diri kita – apapun bentuknya – melainkan akan terus meningkatkan kualitas kehidupan pribadi kita tidak saja di akhirat nanti tapi juga di dunia ini.
O ya satu lagi, bila hidup terasa berat, ada amal – amal tertentu yang berasal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bisa meringankan perasaan berat tersebut dan menumbuhkan optimisme di dalam diri yang sedang di landa masalah. Seperti zikir, doa, dan shadaqoh. Kitab-kitab yang berisi doa dan zikir yang didukung oleh dalil yang shahih dapat dijadikan rujukan (seperti Hisnul Muslim-nya Said bin Wahf Al-Qahthoni)
Subhaanalloh.. artikel yg sangat bagus & bermanfaat. Memang seharusnya orang mukmin tidak pernah stress..
Namun, ada sebuah pertanyaan yg membingungkan ana. Yakni bila sebuah masalah yg hadir karena kelalaian atau keteledoran ana sendiri. Kadang ana merasa sangat bersalah sendiri sampai berusaha lari dari masalah itu & tidak memperdulikannya.. Pertanyaanya adalah:
1. Apakah masalah yg diakibatkan oleh kita sendiri merupakan ketetapan Alloh??
2. Apakah salah jika ana berfikir demikian??
syukran atas ilmunya maju terus dunia ISLAM
assalamualaikum.
subhanallah.. pas banget dihati saya.
trima kasih.
boleh share ke teman lain ttg pelajaran ini?
mereka boleh hancurkan ragaku tp tidak untuk akidah dan agamaku… ALLAHU AKBAR
Assalamu’alaykum warahmatullahi wabarakatuh,
Ustadz…saya ijin share ya…jazakillah khair
Assalamu’alaykum warahmatullahi wabarakatuh,
Alhamdulillah, yang terpenting dari pokok SABAR adalah SABAR dalam menjalankan Syariatnya Alloh Ta’ala
semoga kita semua diberi keistiqomahan dalam bersabar….izin copy ustadz,semoga banyak memberi manfaat.
Segala puji bagi ALLAH SWT .Trimakasih saya ucapkan pada penulis dan juga Muslim.or.id untuk ilmunya .semoga mendapat Rahmat dari ALLAH SWT.
Aamiin