Artikel yang berjudul Sifat Istiwa Allah di Atas Arsy ini adalah merupakan penjelasan terhadap pertanyaan saudara Maharinjaya yang menanyakan perihal “Allah bersemayam di atas ‘Arsy”. Berikut ini adalah pertanyaan saudara Maharinjaya tersebut,
[su_note note_color=”#deeeff”]
Assalamu’alaikum
Kepada Administrator yth, ana tertarik dengan dialog semacam ini. Sebagai mualaf ana terus mencari karena ana ingin menemukan sesuatu, seperti disabdakan Isa As dalam Markus: “Bagi siapa saja yang mencari niscaya ia akan menemukan…”
Mohon jawaban selekasnya baik melalui laman siteweb ini maupun melalui email ana iaitu mengenai ayat yang menyebutkan bahwa “…Allah bersemayam di Arsy…”, apakah maksud dari ayat ini karena ana jua berkehendak dapatlah kiranya menjawab soal dari ana punya sahabat yang masih belum berislam.
Terimakasih.[/su_note]
Alhamdulillah pertanyaan tersebut telah dijawab oleh ustadz Anas Burhanuddin (dan sekaligus ada tambahan dari Al-Akh Abu Mushlih pada bagian akhir artikel ini). Mudah-mudahan penjelasan yang ringkas ini dapat memberi manfaat yang besar, khususnya kepada saudara Maharinjaya dengan semakin memperkokoh keislaman beliau di atas islam, sehingga merasa cukup dengan semua yang diajarkan oleh Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam dan tidak butuh kepada yang selain itu.
[lwptoc]
Dalil Sifat Istiwa’
Sifat istiwa’ adalah salah satu sifat Allah yang telah Allah Ta’ala tetapkan untuk diriNya dalam tujuh ayat Al-Quran, yaitu Surat Al-A’raf: 54, Yunus: 3, Ar-Ra’d: 2, Al-Furqan: 59, As-Sajdah: 4 dan Al-Hadid: 4, semuanya dengan lafazh:
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
Artinya:
“Kemudian Dia berada di atas ‘Arsy (singgasana).”
Dan dalam Surat Thaha: 5 dengan lafazh:
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
Artinya:
“Yang Maha Penyayang di atas ‘Arsy (singgasana) berada.”
Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam juga telah menetapkan sifat ini untuk Allah dalam beberapa hadits, diantaranya:
1. Hadits Abu Hurairah rodiallahu’anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah bersabda:
لَمَّا قَضَى اللَّهُ الْخَلْقَ كَتَبَ فِي كِتَابِهِ -فَهُوَ عِنْدَهُ فَوْقَ الْعَرْشِ- إِنَّ رَحْمَتِي غَلَبَتْ غَضَبِي
“Ketika Allah menciptakan makhluk (maksudnya menciptakan jenis makhluk), Dia menuliskan di kitab-Nya (Al-Lauh Al-Mahfuzh) – dan kitab itu bersama-Nya di atas ‘Arsy (singgasana) – : “Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan kemarahan-Ku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
2. Hadits Abu Hurairah rodiallahu’anhu bahwa Nabi shollallahu’alaihiwasallam memegang tangannya (Abu Hurairah) dan berkata:
يَا أَبَا هُرَيْرَةَ، إِنَّ اللهَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرَضِيْنَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ، ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
“Wahai Abu Hurairah, sesungguhnya Allah menciptakan langit dan bumi serta apa-apa yang ada diantara keduanya dalam enam hari, kemudian Dia berada di atas ‘Arsy (singgasana).” (HR. An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubra, dishahihkan Al-Albani dalam Mukhtasharul ‘Uluw)
3. Hadits Qatadah bin An-Nu’man rodiallahu’anhu bahwa ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda:
لَمَّا فَرَغَ اللهُ مِنْ خَلْقِهِ اسْتَوَى عَلَى عَرْشِهِ.
“Ketika Allah selesai mencipta, Dia berada di atas ‘Arsy singgasana-Nya.” (Diriwayatkan oleh Al-Khallal dalam As-Sunnah, dishahihkan oleh Ibnul Qayyim dan Adz-Dzahabi berkata: Para perawinya tsiqah)
Arti Istiwa’
Lafazh istawa ‘ala (اِسْتَوَى عَلَى) dalam bahasa Arab – yang dengannya Allah menurunkan wahyu – berarti (عَلاَ وَارْتَفَعَ), yaitu berada di atas (tinggi/di ketinggian). Hal ini adalah kesepakatan salaf dan ahli bahasa. Tidak ada yang memahaminya dengan arti lain di kalangan salaf dan ahli bahasa.
Adapun ‘Arsy, secara bahasa artinya Singgasana kekuasaan. ‘Arsy adalah makhluk tertinggi. Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda:
فَإِذَا سَأَلْتُمُ اللَّهَ فَاسْأَلُوهُ الْفِرْدَوْسَ فَإِنَّهُ أَوْسَطُ الْجَنَّةِ وَأَعْلَى الْجَنَّةِ وَفَوْقَهُ عَرْشُ الرَّحْمَنِ وَمِنْهُ تَفَجَّرُ أَنْهَارُ الْجَنَّةِ
“Maka jika kalian meminta kepada Allah, mintalah Al-Firdaus, karena sungguh ia adalah surga yang paling tengah dan paling tinggi. Di atasnya singgasana Sang Maha Pengasih, dan darinya sungai-sungai surga mengalir.” (HR. Al-Bukhari)
‘Arsy juga termasuk makhluk paling besar. Allah menyifatinya dengan ‘adhim (besar) dalam Surat An-Nahl: 26. Ibnu Abbas rodiallahu’anhu berkata:
الْكُرْسِيُّ مَوْضِعُ الْقَدَمَيْنِ ، وَالْعَرْشُ لاَ يَقْدِرُ قَدْرَهُ إِلاَّ اللهُ تعالى
“Kursi adalah tempat kedua kaki (Allah), dan ‘Arsy (singgasana) tidak ada yang mengetahui ukurannya selain Allah Ta’ala.” (Hadits mauquf riwayat Al-Hakim dan dishahihkan Adz-Dzahabi dan Al-Albani)
Allah juga menyifatinya dengan Karim (mulia) dalam Surat Al-Mukminun: 116 dan Majid (agung) dalam Surat Al-Buruj: 15.
Dalam suatu hadits shahih riwayat Al-Bukhari dan Muslim dijelaskan bahwa ‘Arsy memiliki kaki, dan dalam surat Ghafir: 7 dan Al-Haaqqah: 17 disebutkan bahwa ‘Arsy dibawa oleh malaikat-malaikat Allah.
Ayat dan hadits yang menjelaskan tentang istiwa’ di atas ‘Arsy menunjukkan hal-hal berikut:
- Penetapan sifat istiwa di atas ‘Arsy bagi Allah, sesuai dengan keagungan dan kemuliaan-Nya.
- Bahwa Dzat Allah berada di atas.
Beberapa Peringatan Penting
Pertama:
Istiwa’ adalah hakikat dan bukan majas. Kita bisa memahaminya dengan bahasa Arab yang dengannya wahyu diturunkan. Yang tidak kita ketahui adalah kaifiyyah (cara/bentuk) istiwa’ Allah, karena Dia tidak menjelaskannya. Ketika ditanya tentang ayat 5 Surat Thaha (الرحمن على العرش استوى), Rabi’ah bin Abdurrahman dan Malik bin Anas mengatakan:
الاِسْتِوَاءُ مَعْلُوْمٌ، وَاْلكَيْفُ مَجْهُوْلٌ، وَالإِيمَانُ بِهِ وَاجِبٌ
“Istiwa’ itu diketahui, kaifiyyahnya tidak diketahui, dan mengimaninya wajib.” (Al-Iqtishad fil I’tiqad, Al-Ghazali)
Kedua:
Wajib mengimani dan menetapkan sifat istiwa’ tanpa merubah (ta’wil/tahrif) pengertiannya, juga tanpa menyerupakan (tasybih/tamtsil) sifat ini dengan sifat istiwa’ makhluk.
Ketiga:
Menafsirkan istawa (اِسْتَوَى) dengan istawla (اِسْتَوْلَى) yang artinya menguasai adalah salah satu bentuk ta’wil yang bathil. Penafsiran ini tidak dikenal di kalangan generasi awal umat Islam, tidak juga di kalangan ahli bahasa Arab. Abul Hasan Al-Asy’ari menyebutkan bahwa penafsiran ini pertama kali dimunculkan oleh orang-orang Jahmiyyah dan Mu’tazilah. Mereka ingin menafikan sifat keberadaan Allah di atas langit dengan penafsiran ini. Kita tidak menafikan sifat kekuasaan bagi Allah, tapi bukan itu arti istiwa’.
Keempat:
Penerjemahan kata istawa (اِسْتَوَى) dengan “bersemayam” perlu di tinjau ulang, karena dalam kamus bahasa Indonesia disebutkan bahwa bersemayam berarti duduk, tinggal, berkediaman. Padahal arti istawa bukanlah ini, sebagaimana telah dijelaskan.
Kelima:
Istiwa’ Allah di atas ‘Arsy tidak berarti bahwa Allah membutuhkannya, tapi justru ‘arsy yang membutuhkan Allah seperti makhluk-makhluk yang lain. Dengan hikmah-Nya Allah menciptakan ‘Arsy untuk istiwa’ diatasnya, dan Allah Maha Kaya dan tidak membutuhkan apapun. Wallahu a’lam.
Faedah Mempelajari Asma dan Sifat Allah
Semoga Allah merahmati Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi yang berkata: “……Ilmu ushuluddin (pokok-pokok agama) adalah ilmu paling mulia, karena kemulian suatu ilmu tergantung pada apa yang dipelajarinya. Ia adalah Fiqih Akbar dibandingkan dengan Ilmu Fiqih furu’ (cabang-cabang agama). Karenanya Imam Abu Hanifah menamakan apa yang telah beliau ucapkan dan beliau kumpulkan dalam lembaran-lembaran berisi pokok-pokok agama sebagai “Al-Fiqhul Akbar“. Kebutuhan para hamba kepadanya melebihi semua kebutuhan, dan keterdesakan mereka kepadanya di atas semua keterdesakan, karena tiada kehidupan untuk hati, juga tidak ada kesenangan dan ketenangan, kecuali dengan mengenal Rabbnya, Sesembahan dan Penciptanya, dengan Asma’, Sifat dan Af’al (perbuatan)-Nya, dan seiring dengan itu mencintaiNya lebih dari yang lain, dan berusaha mendekatkan diri kepadaNya tanpa yang lain……”
Baca Juga: Ta’wil Terhadap Ayat Tentang Sifat Allah
***
Referensi:
- Al-Mausu’ah Asy-Syamilah, dikeluarkan oleh Divisi Rekaman Masjid Nabawi.
- Syarah ‘Aqidah Thahawiyyah, Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi.
- Mudzakkirah Tauhid, Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaili.
Tambahan dari Al-Akh Abu Mushlih:
Allah Ta’ala bersemayam di atas Arsy. Di dalam ayat disebutkan Ar-Rahmaanu ‘alal ‘arsyistawaa. Secara bahasa istiwa’ itu memiliki empat makna yaitu:
- ‘ala (tinggi)
- Irtafa’a (terangkat)
- Sho’uda (naik)
- Istaqarra (menetap)
Sehingga makna Allah istiwa’ di atas ‘Arsy ialah menetap tinggi di atas ‘Arsy.
Sedangkan makna ‘Arsy secara bahasa ialah: Singgasana Raja. Adapun ‘Arsy yang dimaksud oleh ayat ialah sebuah singgasana khusus milik Allah yang memiliki pilar-pilar yang dipikul oleh para malaikat. Sebagaimana disebutkan di dalam ayat yang artinya, “Dan pada hari itu delapan malaikat memikul arsy.” Dan Allah sama sekali tidak membutuhkan ‘Arsy, tidak sebagaimana halnya seorang raja yang membutuhkan singgasananya sebagai tempat duduk.
Demikianlah yang diterangkan oleh para ulama. Satu hal yang perlu diingat pula bahwa bersemayamnya Allah tidak sama dengan bersemayamnya makhluk. Sebab Allah berfirman yang artinya, “Tidak ada sesuatupun yang serupa persis dengan Allah, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura: 11). Oleh sebab itu, tidak sama bersemayamnya seorang raja di atas singgasananya dengan bersemayamnya Allah di atas arsy-Nya. Inilah keyakinan yang senantiasa dipegang oleh para ulama terdahulu yang shalih serta para pengikut mereka yang setia hingga hari kiamat. Wallahu a’lam bish showaab (silakan baca kitab-kitab Syarah Aqidah Wasithiyah dan kitab-kitab aqidah lainnya).
***
Penulis: Ustadz Abu Bakr Anas Burhanuddin, Lc.
Artikel muslim.or.id
Ustadz apakah boleh seseorang bertanya Dimana Allah sebelum diciptakanya Arsy…??
Syukron atas penjelasanya
Assalamualaikum Ustaz:-
Soalan Saya: Pada bulan ramadhan umat islam mengerjakan solat terawih , tidaklah dikira berapa rakaatnya yang dipertikaikan oleh sebahagian umat islam dalam hal tersebut. soalannya selepas mengerjakan solat terawih mereka berihat atau tidur dahulu, kemudian pada tengah malam mereka bangun daripada tidur dan mengerjakan solat tahjud,solat hajat dan sebagainya, selepas itu barulah mereka megerjakan solat witir. Apakah terdapat mana-mana keterangan dan dalil agama yang sah/benar dicontohi oleh Nabi S.A.W.,pinta dalil AlQuaran atau Hadith yang sahih.
Assalamualaikum Ustaz:-
Soalan saya: Pada hari raya puasa atau raya haji umat islam akan kemasjid untuk menuaikan solat hari raya, setibanya dimasjid kebanyakkan orang mengerjakan solat tahyatul masjid terlebih dahulu sebelum mereka duduk,apa yang saya muskhilkan adakah zaman Nabi S.A.W atau contoh Nabi S.A.W. melakukan solat tahyatul masjid ini dan jika ada dikerjakan oleh Nabi S.A.W ,saya pinta ustaz ajukan dalil Al Quaran atau Hadith yang sohih untuk saya buat pegangan dan amalan juga bagi faedah seluruh umat islam.
https://muslim.or.id/18829-shalat-tahiyatul-masjid.html
Assalamualaikum Ustaz:-
Soalan saya: Pada bulan Ramadhan ada diceritakan tentang lailatul qadar, Soalan:-1) Adakah lailatul qadar itu berlaku setiap tahun?
2) Adakah lailatul qadar itu hanya pada bulan
Ramadhan sahaja dan tidak pada bualan lain.
3) Adakah malam lailatul qadar itu hanya pada malam
yang ganjil pada akhir ramadhan sahaja,
apakah malam-malam sebelumnya ramadhan itu
tiada lailatul qadar.
Pinta penjelasan dengan dalil AlQuaran atau Hadith sahih.
Ass.Istiwa Allah diatas Arasy menurut pandangan saya tidak terbatas dengan ruang, waktu dan tempat, karna dia Alllah Maha Besar, besar dari Sidratul Muntaha, besar dari Arasnya, besar dari alam Akhirat,Alam barzah,alam Masyar, alam ghaib,alam surga,alamneraka,danbesar dari semua ciptannya yang ghaib maupun yang nyata karna dialah Raja di Raja karna dialah Maha Tinggi, karna Dialah Maha dari segala Maha, Ya Allah tanamkanlah rasa cinta hamba kepada Engkau, jadikanlah hamba salah satu kekasihMu diantara kekasih-kekasihMu, Ya Allah tanamkanlah di hati ini untuk selalu rindu ingin bertemu RasulMu, Nabi Muhammad SAW. Ya Allah jadikanlah Lisan ini selalu mentauhidkanMu, MengaungkanMu, mensucikanMU Karna hanyalah Engkau yang pantas untuk dipuji, Ya Allah Ampunlah Dosa HambaMU, Amin.
Itu pandangan Anda bagaimana pandangan yg lain.Jika masing2 berpandangan sendiri?mau berapa milyar jumlah pandangan nanti jika dikalkulasi dgn jmlh penduduk dunia?…silahkan sj tp kebenaran tetap terukur dgn Alqur’an&hadist…Sbagaimana Seseorg batal dr wudhu tp yg dibasuh area tangan muka kepala kaki bukan subur…Itulah pentingnya Iman.Jika Alloh dan rosul sdh menetapkan!Sami’na wa atho’na…
kalo dokatakan allah diatas berarti allah bertempat, bertempat tidak layak bagi allah karena allah tidak membutuhkan sesuatu, dan bertempat adalah sifat mahluk padahal allah tentu tidak seperti makhluk, kalau begitu pemahaman anda yang salah. adapun istiwa dalam bahasa arab mempunyai arti lebih dai 25. tidak ada ulama yang mengartikan jalasa (bertempat/duduk)
#Abu-Abu
Imam Ath Thahawi mengatakan:
والعرش والكرسي حق, وهو مستغن عن العرش وما دونه
“Arsy dan Kursiy itu benar adanya, namun Allah tidak merasa butuh terhadap ‘Arsy atau terhadap yang di bawahnya”
Allah ber-istiwa’ di atas ‘Arsy bukan karena Allah butuh ber-istiwa, namun karena Allah menginginkannya.
Allah ber-istiwa’ di atas ‘Arsy bukan karena Allah butuh thd ‘Arsy, namun ‘Arsy yang butuh kepada Allah.
Artikel di atas sama sekali tidak menyetujui istiwa dimaknai duduk. Kami berharap anda membaca lagi artikel di atas dengan hati dan pikiran yang jernih.
Apakah cukup besar arysh untuk manampung Allah, sedangkan allah maha besar.
Tidak ada yang mengatakan bahwa Arsy menampung Allah. Tidak perlu mendeskripsikan bagaimana Arsy dan bagaimana istiwa dengan sesuai yang ada dalam pikiran anda.
“kalo dikatakan Allah di atas berarti Allah bertempat….” mencukupkan saja dengan “Allah di atas” dan tanpa menggunakan “berarti” karena “makna bahasa arabnya seperti itu”, kita tidak perlu mencari “arti sesungguhnya dari kalimat itu” karena Allah berbeda dgn makhluk
terbaik dan tepat
Afwan ustadz, saya kok malah bingung, di poin nomer 4, istawa diartikan semayam perlu di tinjau ulang, karena semayam itu artinya duduk.
Tetapi kenapa di poin tambahan bawahnya,. Malah di katakan “semayam nya Allah berbeda dengan semayam nya makhluk”. Kan katanya penerjemahan kata semayan harus di hindari, kok masih di pakai?
Wajib mengimani dan menetapkan sifat istiwa’ tanpa merubah (ta’wil/tahrif) pengertiannya, juga tanpa menyerupakan (tasybih/tamtsil) sifat ini dengan sifat istiwa’ makhluk.
Ana ingat pernah membaca perkataan ulama yhd orang yg berkata Alloh itu tidak di atas tidak di bawah tidak di kiri tidak di kanan tidak bertempat karena Alloh jk dikatakan bertempat mk dia serupa dengan makhluq : wahai manusia berakal bedakan antara ucapan kalian dengan ucapan orang yg mengatakan tuhan itu tidak ada…
Ana jadi ingat dg perkataan Ustadz (afwan kalau keliru) Abdul Hakim bhw orang yg berkata jika engkau sholat mengapa menghadap qiblat? Jika keyakinanmu seperti di atas (Alloh tidak berada disuatu tempat maupun Alloh ada di mana2) Seharusnya kalian sholat jangan menghadap qiblat tetapi kemana saja bhk menghadap bumi sekalipun boleh. .
Beliau jg berkata ttg orang yg mengatakan bhw jika ALloh disebutkan di mana atau bertempat/bersemayam di atas Arsy berarti Alloh membutuhkan tempat spt manusia : katakan kepadaNya kalau begitu Allohpun tidak boleh disifati dg ilmu karena jk disifati dg ilmu berarti sama dengan manusia yg juga mempunyai ilmu. . jika kalian berkata ilmu Alloh berbeda dg manusia mk jawaban kalian itulah sebagai bantahan atas argumen kalian tsb….
Anehnya kalian kata ustadz, kalian mengambil perkataan manusia tetapi membuang Firman Alloh azza wa jalla dan Sabda Nabi sho;llollohu ‘alaihi wa sallam di belakang punggung2 kalian bhw Alloh itu istiwa (bersemayam) di atas Arsy dg dalih kalau Alloh bersemayam atau bertempat berarti Alloh itu sama dg manusia. . sesunguhnya kalianlah yg menyerupan (tasybih) ALloh dg manusia. .
Alangkah indahnya perkataan Imam Malik sebagaimana dinukil oleh imam ash-Shabuni dalam kitabnya Aqidatus Salaf wa ashhabul Hadits. Imam Malik ketika didatangi oleh seseorang di majlisnya, kemudian bertanya: “Ar-Rahman ‘alal ‘Arsy istawa, bagaimana istiwa’-Nya?” Beliau رحمه الله tertunduk dan marah. Dan tidaklah beliau pernah marah seperti marahnya ketika mendengarkan pertanyaan tersebut. Beliau pun meneteskan butiran-butiran keringat dari dahinya; sementara para hadirin pun terdiam dan tertunduk, semuanya menunggu apa yang akan terjadi dan apa yang akan dikatakan oleh Imam Malik. Beberapa saat kemudian beliau رحمه الله pun tersadar dan mengangkat kepalanya, seraya berkata:
الْكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُوْلٍ، وَاْلأِسْتِوَاءُ غَيْرُ مَجْهُولٍ، وَاْلإِيْمَانُ بِِهِ وَاجِبٌ، وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ، وَإنِّي َلأَخَافُ أَنْ تَكُوْنَ ضَالاًّ.
“Tentang bagaimananya tidak bisa diketahui dengan akal, tentang makna istiwa’ sudah diketahui; beriman dengannya adalah wajib, dan bertanya tentangnya (tentang kaifiyah) adalah bid’ah. Dan sungguh aku khawatir bahwa engkau adalah orang yang sesat.”
Maka orang itupun diperintahkan untuk diusir dari majlisnya. (Aqidatus Salaf Ashabul Hadits, tahqiq Abul Yamin al-Manshuri, hal. 45)
.
Perkataan sdr Abu-Abu ; kalo dokatakan allah diatas berarti allah bertempat, bertempat tidak layak bagi allah karena allah tidak membutuhkan sesuatu, dan bertempat adalah sifat mahluk padahal allah tentu tidak seperti makhluk, kalau begitu pemahaman anda yang salah. adapun istiwa dalam bahasa arab mempunyai arti lebih dai 25. tidak ada ulama yang mengartikan jalasa (bertempat/duduk). . serupa dengan perkataan Quraisy Syihab dalam bukunya “Membumikan Al-Qur’an” hal. 371-372 cet. Al-Mizan[2], Bandung pada judul “Selamat Natal[3] Menurut Al-Qur’an!!!”:: “Karena ia menimbulkan kesan keberadaan tuhan pada satu tempat, hal yang mustahil bagi-Nya dan mustahil pula diucapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam …”.
Kita jawab :
Jawaban:
Apabila yang maksud “tempat” adalah yang tersirat dalam benak fikiran kita yaitu setiap yang meliputi dan membatasi seperti langit, bumi, kursi, arsy dan sebagainya maka benar hal itu mustahil bagi Allah karena Allah tidak mungkin dibatasi dan diliputi oleh makhluk, bahkan Dia lebih besar dan agung, bahkan kursi-Nya saja meliputi langit dan bumi. Allah f berfirman:
وَمَاقَدَرُوا اللهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَاْلأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّمَاوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ
Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan. (QS. Az-Zumar: 67).
Dan telah shahih dalam Bukhari (6519) dan Muslim (7050) dari Nabi bahwa beliau bersabda:
يَقْبِضُ اللهُ بِالأَرْضِ وَيَطْوِيْ السَّمَاوَاتِ بِيَمِيْنِهِ ثُمَّ يَقُوْلُ : أَنَا الْمَلِكُ أَيْنَ مُلُوْكُ الأَرْضِ؟
Allah menggenggam bumi dan melipat langit dengan tangan kanan-Nya kemudian berfirman: “Saya adalah Raja, manakah raja-raja bumi?”
Adapun apabila maksud “tempat” adalah sesuatu yang tidak meliputi yakni diluar alam semesta, maka Allah di luar alam semesta sebagaimana keberadaan-Nya sebelum menciptakan makhluk.
Jadi, Allah di tempat yang bermakna kedua ini bukan makna pertama[Muqaddimah Mukhtasar Al-‘Uluw hal. 70-71 oleh Al-Albani.].
Kemudian, khabarkanlah padaku: Apabila tuan mengingkari ketinggian Allah, lantas saya bertanya kepada tuan tentang keyakinan tuan: “Dimanakah Allah?”. Saya sangat yakin bahwa jawaban tuan tidak keluar dari dua hal:
Pertama: Allah ada dimana-mana
Faham yang satu ini banyak dianut oleh mayoritas kaum muslimin sekarang ini. Padahal tahukah mereka pemahaman siapakah ini sebenarnya?! Faham ini dicetuskan oleh kaum Jahmiyyah dan Mu’tazilah. Imam Ahmad bin Hanbal telah menepis dan membongkar kerusakan faham ini dalam kitabnya “Ar-Rad ‘ala Al-Jahmiyyah” hal. 53, beliau mengatakan: “Apabila engkau ingin mengetahui kedustaan kaum Jahmiyyah tatkala mengatakan bahwa Allah dimana-mana dan tidak berada di satu tempat, maka katakanlah padanya: “Bukankah dahulu hanya Allah saja dan tidak ada sesuatu lainnya?” Dia akan menjawab: “Benar” Lalu katakanlah padanya lagi: “Tatkala Allah menciptakan sesuatu, apakah Dia menciptakannya pada diri-Nya ataukah diluar dari diri-Nya?” Jawaban dia tidak akan keluar dari tiga hal:
1. Apabila dia menyangka bahwa Allah menciptakan makhluk pada diri-Nya, maka ini merupakan kekufuran karena dia telah menganggap bahwa Jin, manusia, syetan dan iblis pada diri Allah!
2. Apabila dia mengatakan: Allah menciptakan mereka di luar diri-Nya kemudian Allah masuk pada mereka, maka ini juga kekufuran karena dia menganggap bahwa Allah berada di setiap tempat yang menjijikkan dan kotor!
3. Apabila dia mengatakan: Allah menciptakan mereka di luar dari diri-Nya kemudian Allah tidak masuk pada mereka, maka ini adalah pendapat Ahlus Sunnah wal Jama’ah”. [40]
Konsekuansi faham sesat “Allah dimana-mana” ini sangatlah batil sekali yaitu Allah berada di tempat-tempat yang kotor dan membatasi Allah pada makhluk sebagaimana diceritakan dari Bisyr Al-Mirrisyi tatkala dia mengatakan: “Allah berada di segala sesuatu”, lalu ditanyakan padanya: Apakah Allah berada di kopyahmu ini?! Jawabnya: Ya, ditanyakan lagi padanya: Apakah Allah ada dalam keledai?! Jawabnya: Ya!!!
Perkataan ini sangatlah hina dan keji sekali terhadap Allah!!! Oleh karena itulah sebagian ulama’ salaf mengatakan: “Kita masih mampu menceritakan perkataan Yahudi dan Nasrhani tetapi kita tak mampu menceritakan perkataan Jahmiyyah!
Kedua: Allah tidak di atas, tidak di bawah, tidak di kanan, tidak dikiri, tidak di depan, tidak di belakang, tidak di dalam, tidak di luar, tidak bersambung, tidak berpisah sebagaimana keyakinan ahli kalam (filsafat).
Ucapan di atas jelas-jelas menunjukkan bahwa Allah tidak ada. Inilah ta’thil (peniadaan) yang amat nyata. Maha suci Allah dari apa yang mereka ucapkan. Alangkah indahnya perkataan Mahmud bin Subaktukin terhadap orang yang mensifati Allah dengan seperti itu: “Bedakanlah antara Allah yang engkau tetapkan dengan sesuatu yang tidak ada![41]. Oleh karena itulah, sebagian ulama’ salaf juga mengatakan:
الْمُجَسِّمُ يَعْبُدُ صَنَمًا وَالْمُعَطِّلُ يَعْبُدُ عَدَمًا
Al-Mujassim itu menyembah patung dan Al-Mua’tthil menyembah sesuatu yang tidak ada
Walhasil, kedua jawaban diatas merupakan kebatilan yang tidak samar lagi bagi orang yang beri hidayah oleh Allah. Semoga Allah merahmati Al-Allamah Ibnu Qayyim tatkala mengatakan dalam qasidahnya “An-Nuniyyah” (2/446-447 -Taudhihul Maqasid cet. Mkt Islami):
Allah Maha besar, tidak ada satu makhlukpun di atas-Nya
Allah Maha besar, arsy-Nya meliputi langit dan bumi demikian pula kursi-Nya
Allah di atas arsy dan kursi, tak bisa dijangkau oleh fikiran manusia
Janganlah engkau membatasinya pada satu tempat dengan ucapan kalian: “Allah ada di setiap tempat”
Dengan modal kejahilan, kalian mensucikan Allah dari arsy-Nya padahal kalian membatasinya pada satu tempat
Janganlah kalian tiadakan Allah dengan ucapan kalian: “Allah tidak di dalam dan tidak pula di luar alam”
Allah Maha besar, Dia telah membongkar tirai kalian dan nampak bagi orang yang punya dua mata
Allah Maha besar, Dia suci dari penyerupaan dan peniadaan, kedua sumber kekufuran.
.
(dari : http://abiubaidah.com/tahukah-anda-di-mana-allah.html/)
HATI INI GEMETAR,GELISAH,
HATI INI SEPERTI DIIRIS IRIS,
ASTAGHFIRULLAH HAL ADZHIM…
INNALLAHA GHOFURUR RHOHIM…
LAA ILAHA ILLALLAH…
MUHAMMADUR RASULULLLAH…
PERBAIKILAH KEIMANAN HAMBA YA ALLAH,
JIKA SAAT MEMBACA URAIAN DI ATAS,
ADA GORESAN-GORESAN HATI
YG BISA MELENYAPKAN KEIMANAN HAMBA YANG LEMAH,HINA,TIDAK BERDAYA INI..
YANG DALAM SURAH AL KAHFI DISEBUTKAN BAHWASANYA,
“MANUSIA DICIPTAKAN DARI SETITIK MANI(AIR YANG HINA)DAN AKHIRNYA MENJADI PEMBANTA YANG NYATA..
aku nggak tau apa yang di maksud dari arsy……aku baca di buku katanya arsy tu tempat kursi allah….dan juga ada yang mengatakan arsy tuh mahkluk tuhan….jadi aku bingung yang mana yang betul ya……
#roger
Semua yang selain Allah tentu adalah makhluk Allah, termasuk Arsy. Arsy dan kursi Allah itu berbeda. Arsy ataupun kursi Allah bukanlah seperti kursi atau tempat duduk sebagaimana milik manusia. Lebih jelasnya simak:
http://ustadzkholid.com/aqidah/aqidah-ahlussunnah-terhadap-al-arsy/
memang kalo kita membicarakan perihal ALLAH rasanya mrinding,krn bahasa kita terlalu sempit untk membicarakan Nya, namun pikiran ini selalu menggelitik ingin tahu,untk itu saya cenderung memakai teori ‘kalimatnya bisa kita fahami,namun bagai mananya tidak kita ketahui’.atau memakai pertolongan pertama yaitu ‘audzu biLLAHI minassyaitonirrojim, amantu biLLAHI wa ROSULIH’. dan ini ada suatu unkapan barang kali bisa membantu menenangkan pikiran yg selalu menggelitik,’sby menduduki singgasana kepersidenan,dan singgasana itu dipikul oleh empat puluh kementrian’ unkapan ini bisa saya fahami,namun bagaimana mikulnya saya tidak mengetahui. sekian. ma af ya…
assalamualaikum,mengenai topik diatas saya jadi kepengen minta pendapat juga apakah manusia bisa mencapai arsy???dalam hal ini ketika dia telah meninggalkan dunia yg fana ini….mhn penjelasanny?thx
@ Riani
Wa’alaikumus salam.
Itu butuh dalil.
saya hanya meyakini ALLAH itu ada..
tp saya tidak bisa meyakini ALLAH itu seperti kita duduk d’atas singgah sana.. SUKRON
#bary
– Allah di atas ‘Arsy bukan duduk namun istiwa’, dan istiwa’ Allah berbeda dengan istiwa’ makhluk, jadi anda tidak peelu membayangkan bagaimana Allah beristiwa’, yg pasti bukan seperti kita duduk.
– Yang mengatakan bahwa Allah di atas adalah Allah sendiri. Anda meyakini Allah ada namun tidak percaya pada Kalam Allah apa gunanya?
saya stuju bnget ma komentar yulian purnama, simple tapi pasti
Ass.Wr.Wb. Yg saya tau Arsy itu langit yg memiliki 7 lapis dan Sidratilmuntaha adalah tempat paling atas di lapis langit yang ke 7 sebagai mana dijelaskan dalam surat An-najm(53), ayat 14 dan 16.
#adi
Tentang ‘Arsy silakan simak:
http://ustadzkholid.com/aqidah/aqidah-ahlussunnah-terhadap-al-arsy/
terimakasih ustadz pencerahannya…
BAGUS SKALIIII kunjungi jg alamat blog saya di ahmaddimyati.blogspot.com
itulah pikiran manusia hanya terbatas..ibarat kan melihat air di lautan luas, air yg paling ujung seperti ada air terjun di bawahnya..dan sperti kita melihat gunung, menurut kita gunung itu sepertinya diam ditempat, pdahal gunung itu berjalan layaknya awan..
pikiran manusia itu hnya terbatas..
wallahu a’lam..
semuanya pengetahuan itu hanya ada pada Allah swt,,
kita sebagai makhluk ciptaanya seharusnya harus bersyukur akan nikmatnya..tdk memperdebatkan dimana itu tuhan..sebagai muslim kita sudah diberi petunjuk pada al qur’an..
toh, kita akan kembali kepada sang pencipta, Allah swt..
Para Sahabat yg mulia tidak pernah membantah dan bertanya lagi ketika disampaikan oleh Rasul penjelasan tentang Allah Subhanahuwata’ala…
Mereka hanya diam, mengikuti, dan mengimani sampai akhir hayat apa yang telah disampaikan oleh Rasulullah…
assalamualaikum,,,
ane mau bertanya
apa sebenar ny arti arsy itu
#adi rahman
Simak: http://ustadzkholid.com/aqidah-ahlussunnah-terhadap-al-arsy/
Terimakasih untuk penjelasannya.
Jazakallah khoir.
Izin share yaaa… Untuk di status facebook saya.
Memang Istiwa’ bagi Allah Swt adalah hal yang ghoib yang harus diimani.Jika memakai akal,ya sulit nyambungnya.Masalah yang ghoib tidak usah dibicarakan secara mendalam,lagian pakai akal bisa bahaya.Imani saja.Yang jelas Allah Swt beda/tidak sama dengan manusia.Jangan disamakan.Terlalu mendalam,akhirnya ragu dan ingkar.Tidak jadi mengamalkan ajaran Islam.Lakukan yang ada dalilnya saja.Tentu yang shahih.
Walaupun kata “bersemayam” memang tidak bisa mewakili makna istiwa dengan baik, namun masih bisa ditoleransi untuk terjemahan sederhana.
Bissmillah
Assalamu’alaikum
Ustadz,,, tanpa mengurangi rasa hormat dan tawadu’, saya ingin bertanya :
1. Apakah sebelum Allah menciptakan Ars, Allah bereksistensi tanpa menetap pada sesuatu atau menetap pada sesuatu selain Ars ?
2. Merujuk pada hadis bahwa Allah ada pada azal(tanpa permulaan) yang belum ada segala sesuatu selain Allah, kemudian Allah menciptakan Ars dan Allah menetap pada Ars ? apakah dzat Allah berubah ?
sekian ustadz, untuk pencerahanya,
Jaazakumullah khairan.
Wa’alaikumussalam,
1. sebelum ada ‘Arsy maka kita tidak tahu, karena Allah tidak memberitahu. Sedangkan setelah Allah menciptakan ‘Arsy, Allah memberi tahu bahwa Ia ber-istiwa di atas Arsy. Cukup imani demikian sekadar yang diberitahu oleh Allah.
2. Sifat Allah ada dua: sifat dzatiyyah dan sifat fi’liyyah.
Sifat dzatiyyah tetap, semisal Allah Maha Tinggi.
Sifat fi’liyah berubah, semisal Allah memberi nikmat setelah itu memberi adzab, Allah mengabulkan doa, Allah memberi hukuman lalu mengampuni, dll.
Demikian juga sifat istiwa’ adalah sifat fi’liyyah. Sebelumnya Allah tidak istiwa di atas Arsy, lalu Allah istiwa di atas ‘Arsy.
Allah swt ada tanpa tempat.. Karena allah swt bukan makhluq.. Allah swt bgitu dekat dgn org yg sujud menyembahNya.. Wallahu a’lam
Jika yang dimaksud ‘tempat’ adalah sebagaimana tempatnya makhluk maka perkataan anda benar.
Namun jika ‘tempat’ yang dimaksud adalah Arsy dan kita imani bukan sebagaimana sifat makhluk, maka di Al Qur’an banyak disebutkan Allah di atas Arsy dan tidak mungkin kita menolak Al Qur’an.
Allah subhanallah wa ta’alla ada tanpa tempat dan arah , tidak membutuhkan tempat dan tidak membutuhkan arah, karena itu allah maha tinggi di atas segala galanya , maha tinggi di atas makhluk ciptaanya yaitu arsy makhluk yg paling tinggi, arsy yg memiliki tempat dan arah karena arsy merupakan makhluk allah ta’alla dan allah ta’alla maha tinggi di atas arsy , sehingga allah ta’alla tidak di liputi oleh makhluk nya dan tidak menyerupai makhluknya dan tidak membutuhkan makhluk makhluknya. “arsy merupakan makhluk tertinggi sehingga tempat tertinggi adalah arsy ” sedangkan allah ta’alla maha tinggi di atas arsy nya.
Allah berkuasa dan memiliki atas arasy berdasarkan AlQuran Surat At-Taubah :129 (Huwa Robbul arasyil azhim), QS Al-Buruj (Dzul arsyil Majid). Seluruhnya ada 6 ayat yang mengatakan Robbul arasy, dan 4 ayat yang mengatakan Dzul arasy.
Siapa yang menolaknya, dia menolak AlQuran.
Mengapa tidak membahas ayat Muhakamat ini, dan menyerahkan Ayat Mutasyabihat (istawa ala arsy) kepada Allah?
Semoga Allah menjaga kita dari kesalahan keyakinan.
1. Seorang yang benar-benar mengaku sebagai Ahlus Sunnah wal Jana’ah yang mengikuti Salaf Shaleh dengan baik tidak akan menolak Alquran Al-Karim walaupun satu ayatpun.
2. Seorang yang benar-benar mengaku sebagai Ahlus Sunnah wal Jana’ah yang mengikuti Salaf Shaleh dengan baik dan tahu ucapan-ucapan Salaf Sholeh dalam tafsir-tafsir mereka, tidak akan mengucapkan” Kami menyerahkan Ayat Mutasyabihat (istawa alal ‘arsy) kepada Allah”.
3. Sanggupkah Anda membuktikan bahwa santri-santri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tokoh Salaf Shaleh, yaitu para Sahabat radhiyallahu ‘anhum pernah mengucapkan ucapan tersebut?
4. ASWAJA yang sejati adalah orang yang memuliakan para Sahabat radhiyallahu ‘anhum dan sangat takut jika keyakinan dan ucapannya bertentangan dengan keyakinan dan ucapan para Sahabat radhiyyallahu ‘anhum, karena pemahaman, keyakinan dan cara beragamanya para Sahabat radhiyallahu ‘anhum sudah mendapatkan pujian dalam Alquran dan As-Sunnah.
Na’udzubillahi min dzalik, ya Allah selamatkanlah aqidah kami dari golongan yang tersesat yang menyifati engkau dengan sifat butuh kpd makhluk seperti penjelasan di atas.
Apapun bentuknya baik hakikat atau dhohiri, Engkau maha suci dan maha perkasa yg tak pernah butuh pada makhluknya.
Apakah allah punya mulut