HANYA ALLAH SAJA SESEMBAHAN YANG BENAR
Pembahasan kedua adalah bagaimana jika ‘laa ilaha illallah’ ditafsirkan dengan pengertian Tuhan yang kedua yaitu sesembahan, maka makna ‘laa ilaha illallah’ menjadi ‘tidak ada sesembahan selain Allah’.
Sebenarnya pengertian ilah pada tafsiran kedua sudah benar karena kata ‘ilah‘ secara bahasa berarti sesembahan (ma’bud atau ma’luh). Dan para ulama juga menafsirkan kata ilah juga dengan sesembahan. Lihat sedikit penjelasan berikut ini.
Bukti bahwa ilah bermakna sesembahan (sesuatu yang diibadahi)
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, beliau radhiyallahu ‘anhuma memiliki qiro’ah tersendiri pada ayat,
وَقَالَ الْمَلَأُ مِنْ قَوْمِ فِرْعَوْنَ أَتَذَرُ مُوسَى وَقَوْمَهُ لِيُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَيَذَرَكَ وَآَلِهَتَكَ قَالَ سَنُقَتِّلُ أَبْنَاءَهُمْ وَنَسْتَحْيِي نِسَاءَهُمْ وَإِنَّا فَوْقَهُمْ قَاهِرُونَ
“Berkatalah pembesar-pembesar dari kaum Fir’aun (kepada Fir’aun): “Apakah kamu membiarkan Musa dan kaumnya untuk membuat kerusakan di negeri ini (Mesir) dan meninggalkan kamu dan ilah-ilahmu?”. Fir’aun menjawab: “Akan kita bunuh anak-anak lelaki mereka dan kita biarkan hidup perempuan-perempuan mereka. dan sesungguhnya kita berkuasa penuh di atas mereka.” (QS. Al A’raaf [7] : 127)
Ibnu Abbas sendiri membacanya (وَيَذَرَكَ وَإِلَاهَتَكَ) dengan mengasroh hamzah, menfathahkan lam, dan sesudahnya huruf alif. Alasannya, Fir’aun sendiri disembah oleh kaumnya, namun dia tidak menyembah berhala. Maka qiro’ah yang benar adalah (وَيَذَرَكَ وَإِلَاهَتَكَ) sebagaimana yang dibaca oleh Ibnu Abbas.
Ibnul Ambariy mengatakan bahwa para ahli bahasa mengatakan: al ilahah (الإِلاهة) bermakna al ‘ibadah (العبادة) yaitu peribadahan. Sehingga maksud ayat ‘meninggalkanmu, wahai Fir’aun dan peribadahan manusia kepadamu’.
Kesimpulannya: Karena ilahah (الإِلاهة) bermakna ibadah maka ilah bermakna ma’bud (yang diibadahi/sesembahan).
(Lihat penjelasan Ibnul Jauziy dalam Zadul Masir, tafsir basmalah dan Al A’raf ayat 127, begitu pula penjelasan Syaikh Sholih Alu Syaikh dalam At Tamhid hal. 74-75). Sebagai tambahan penjelasan, makna ilah ini, dapat dilihat pula pada penjelasan ulama tafsir di pembahasan selanjutnya.
Kita lanjutkan pembahasan di atas. Namun, jika kalimat ‘laa ilaha illallah’ diartikan dengan ‘tidak ada sesembahan selain Allah’ masih ada kekeliruan karena dapat dianggap bahwa setiap sesembahan yang ada adalah Allah. Maka Isa putra Maryam adalah Allah karena merupakan sesembahan kaum Nashrani. Patung-patung kaum musyrikin yaitu Lata, Uzza dan Manat adalah Allah karena merupakan sesembahan mereka sebagai perantara kepada Allah. Para wali yang dijadikan perantara dalam berdo’a juga Allah karena merupakan sesembahan para penyembah kubur. Ini berarti seluruh sesembahan yang ada adalah Allah. Maka tafsiran yang kedua ini jelas-jelas merupakan tafsiran yang bathil dan keliru.
Penjelasan di atas bukan kami rekayasa. Sebagai bukti, pembaca dapat melihat apa yang dikatakan Al Hafizh Al Hakami berikut.
“Jika ada yang mengatakan bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang ada kecuali Allah, maka hal ini mengonsekuensikan seluruh sesembahan yang benar dan bathil (salah dan keliru) adalah Allah. Maka jadilah segala yang disembah kaum musyrik baik matahari, rembulan, bintang, pohon, batu, malaikat, para nabi, orang-orang sholih dan selainnya adalah Allah. Dan bisa jadi dengan menyembahnya dikatakan telah bertauhid. Dan ini –wal’iyadzu billah (kita berlindung kepada Allah dari keyakinan semacam ini)- adalah kekufuran yang paling besar dan paling jelek secara mutlak. Keyakinan semacam ini berarti telah membatalkan risalah (wahyu) yang dibawa oleh seluruh rasul, berarti telah kufur (mengingkari) seluruh kitab dan menentang/ mendustakan seluruh syari’at. Ini juga berarti telah merekomendasi seluruh orang kafir karena segala makhluk yang mereka sembah adalah Allah. Maka tidak ada lagi pada embel-embel syirik tetapi sebaliknya mereka bisa disebut muwahhid (orang yang bertauhid). Maha Tinggi Allah atas apa yang dikatakan oleh orang-orang zholim dan orang-orang yang menentang ini.
Jika kita sudah memahami demikian, maka tidak boleh kita katakan ‘tidak ada sesembahan yang ada kecuali Allah.”Kecuali kita menambahkan kalimat ‘dengan benar’ pada tafsiran tersebut maka ini tidaklah mengapa. Jadi tafsiran laa ilaha illallah (yang tepat) menjadi ‘tidak ada sesembahan yang disembah dengan benar kecuali Allah’.” -Demikian yang dikatakan Al Hafizh Al Hakami dengan sedikit perubahan redaksi- (Lihat Ma’arijul Qobul, I/325). (Di samping itu, pemaknaan di atas adalah keliru karena tidak sesuai dengan kenyataan. Realita menunjukkan terdapat banyak sesembahan selain Allah. Maka bagaimana mungkin kita katakan tidak ada sesembahan melainkan Allah?! Sungguh ini adalah kebohongan yang sangat-sangat nyata, ed)
Sebagaimana telah diisyaratkan oleh Al Hafizh di atas, makna laa ilaha illallah yang tepat adalah ‘tidak ada sesembahan yang disembah dengan benar kecuali Allah’. Kenapa perlu ditambahkan kalimat ‘yang disembah dengan benar’?
Jawabnya, karena kenyatannya banyak sesembahan selain Allah di muka bumi ini. Akan tetapi, sesembahan-sesembahan itu tidak ada yang berhak untuk disembah melainkan hanya Allah semata.
Bukti harus ditambahkan kalimat ‘yang disembah dengan benar’ dapat dilihat pada firman Allah ta’ala,
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ الْبَاطِلُ
“Yang demikian itu dikarenakan Allah adalah (sesembahan) yang Haq (benar), adapun segala sesuatu yang mereka sembah selain-Nya adalah (sesembahan) yang Bathil.” (QS. Luqman [31]: 30)
Ayat ini menunjukkan bahwa sesembahan selain Allah adalah sesembahan yang batil, sesembahan yang tidak berhak untuk diibadahi dan Allah-lah sesembahan yang benar. Maka tafsiran ‘laa ilaha illallah’ yang benar adalah ‘laa ma’buda haqqun illallah’ [tidak ada sesembahan yang berhak disembah/diibadahi kecuali Allah].
TAFSIRAN KALIMAT ‘laa ilaha illallah’ MENURUT PARA ULAMA
Untuk mendukung pendapat di atas, selanjutnya kami akan membawakan perkataan para pakar tafsir mengenai tafsiran ‘laa ilaha illallah’ ini, agar kami tidak dianggap membuat-buat tafsiran tersebut.
Ath Thobary dalam Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an tatkala menafsirkan firman Allah ta’ala,
اتَّبِعْ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ
“Ikutilah apa yang telah diwahyukan kepadamu dari Tuhanmu; tidak ada ilah selain Dia; dan berpalinglah dari orang-orang musyrik.” (QS. Al An’am [6]: 106)
Pada kalimat tidak ada ilah selain Dia beliau mengatakan,
لا معبود يستحق عليك إخلاص العبادة له إلا الله
‘Tidak ada sesembahan yang berhak bagimu untuk mengikhlaskan ibadah kecuali Allah’.
Begitu juga pada firman Allah ta’ala,
وَهُوَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ إِلَهٌ وَفِي الْأَرْضِ إِلَهٌ وَهُوَ الْحَكِيمُ الْعَلِيمُ
“Dan Dialah ilah di langit dan ilah di bumi.” (QS. Az Zukhruf [43]: 84)
Beliau mengatakan,
والله الذي له الألوهة في السماء معبود، وفي الأرض معبود كما هو في السماء معبود، لا شيء سواه تصلح عبادته;
“Allah-lah yang memiliki keberhakan uluhiyyah, Dia-lah satu-satunya sesembahan di langit. Dia-lah pula satu-satunya sesembahan di bumi sebagaimana Dia adalah satu-satunya sesembahan di langit. Tidak ada satu pun selain Allah yang boleh disembah.”
Juga dapat pula dilihat tafsiran beliau pada firman Allah,
وَأَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ
“Bahwasanya tidak ada ilah selain Dia, … “ (QS. Hud [11]: 14)
Beliau mengatakan,
أن لا معبود يستحق الألوهة على الخلق إلا الله
“Tidak ada sesembahan yang berhak mendapatkan uluhiyyah (disembah oleh makhluk) kecuali Allah.”
Ibnu Katsir dalam Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim mengatakan tentang tafsir firman Allah:
وَهُوَ اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ
“Dan Dialah Allah, tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) melainkan Dia.” (QS. Qashash [28]: 70)
هو المنفرد بالإلهية، فلا معبود سواه، كما لا رب يخلق ويختار سواه
“Maksudnya adalah Allah bersendirian dalam uluhiyyah, tidak ada sesembahan selain Dia, sebagaimana tidak ada pencipta selain Dia.”
Asy Syaukani dalam Fathul Qodhir mengatakan tentang firman Allah pada awal ayat kursi,
{ لاَ إله إِلاَّ هُوَ } أي : لا معبود بحق إلا هو
“Laa ilaha illa huw’ bermakna ‘laa ma’buda bihaqqin illa huw’ [tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah].
Begitu juga pada firman Allah,
وَهُوَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ إِلَهٌ وَفِي الْأَرْضِ إِلَهٌ وَهُوَ الْحَكِيمُ الْعَلِيمُ
“Dan Dialah ilah di langit dan ilah di bumi.” (QS. Az Zukhruf [43]: 84)
Beliau menafsirkan ilah adalah,
معبود ، أو مستحق للعبادة
“Ma’bud (sesembahan) atau yang berhak diibadahi.”
Fakhruddin Ar Rozi -yang merupakan ulama Syafi’iyyah-, dalam Mafatihul Ghoib mengatakan tentang tafsir ayat,
ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ فَاعْبُدُوهُ
“(Yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah Rabb kamu; tidak ada ilah selain Dia; Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia.” (QS. Al An’am [6]: 102), di mana tidak ada ilah selain Dia adalah,
لا يستحق العبادة إلا هو ، وقوله : { فاعبدوه } أي لا تعبدوا غيره
“Tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah, sedangkan yang dimaksudkan oleh ayat ‘maka sembahlah Dia’ adalah jangan menyembah kepada selain-Nya.”
As Suyuthi dalam Tafsir Al Jalalain ketika menafsirkan surat Al Baqarah ayat 255,
اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ
“Allah, tidak ada ilah melainkan Dia.”
Beliau langsung menafsirkannya dengan berkata,
لا معبود بحق في الوجود
“Tidak ada sesembahan yang berhak disembah di alam semesta ini selain Allah.”
Itulah tafsiran para ulama yang sangat mendalam ilmunya. Tafsiran mereka terhadap kalimat yang mulia ini walaupun dengan berbagai lafadz, namun kembali pada satu makna. Kesimpulannya, makna ‘laa ilaha illallah’ adalah tidak ada sesembahan yang disembah dengan benar kecuali Allah.
ORANG-ORANG MUSYRIK LEBIH PAHAM MAKNA LAA ILAHA ILLALLAH
Setelah kita melihat tafsiran yang tepat dari kalimat laa ilaha illallah. Kita dapat melihat bahwasanya orang-orang musyrik dahulu sebenarnya lebih paham tentang laa ilaha illallah daripada umat Islam saat ini khusunya para da’inya.
Pernyataan ini dapat dilihat dalam perkataan Syaikh Muhammad At Tamimi dalam kitab beliau Kasyfu Syubuhat. Beliau rahimahullah berkata,”Orang kafir jahiliyyah mengetahui bahwa yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maksudkan dengan kalimat (laa ilaha illallah, pen) adalah mengesakan Allah dengan menyandarkan hati kepada-Nya dan kufur (mengingkari) serta berlepas diri dari sesembahan selain-Nya.”
Apa yang membuktikan bahwa orang-orang kafir memahami kalimat laa ilaha illallah?
Beliau rahimahullah melanjutkan perkataan di atas, “Yaitu ketika dikatakan kepada mereka, ‘Katakanlah laa ilaha illallah.’ Mereka menjawab,
أَجَعَلَ الْآَلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ
“Mengapa ia menjadikan sesembahan-sesembahan itu menjadi ilah (sesembahan) yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.” (QS. Shaad [38]: 5)”
Lihatlah orang-orang musyrik sudah memahami bahwa laa ilaha illallah adalah laa ma’buda bihaqqin illallah [tidak ada sesembahan yang disembah dengan benar kecuali Allah] dan mereka mengingkari yang demikian, namun mereka sama sekali tidak mengingkari bahwa Allah adalah pencipta dan pemberi rizki.
Syaikh Muhammad At Tamimi melanjutkan lagi, “Jika kamu sudah mengetahui bahwa orang musyrik mengetahui yang demikian (bahwa laa ilaha illallah bermakna tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah, pen); maka sungguh sangat mengherankan di mana para da’i yang mendakwahkan islam tidak mengetahui tafsiran kalimat laa ilaha illallah sebagaimana yang diketahui oleh orang kafir jahiliyyah. Bahkan orang-orang tersebut mengira bahwa laa ilaha illallah cukup diucapkan saja tanpa meyakini maknanya. Dan pakar ahli (orang-orang pintar dari ahli kalam dan ahli bid’ah, pen) di antara mereka pun menyangka bahwa makna laa ilaha illallah adalah tidak ada pencipta, pemberi rizki, pengatur alam semesta kecuali Allah. Maka tidak ada satu pun kebaikan pada seseorang di mana orang kafir jahiliyyah lebih mengetahui dari dirinya mengenai makna laa ilaha illallah.” (Lihat Syarh Kasyfi Syubuhaat Al ‘Utsaimin, hal. 27-28 dan Ad Dalail wal Isyarot, hal. 48-51).
Demikianlah sangat disayangkan sekali, para cendekiawan muslim dan para da’i yang mengajari umat tentang islam banyak yang tidak memahami laa ilaha illallah sebagaimana yang dipahami oleh orang-orang musyrik. Dan kebanyakan pakar Islam sendiri -yang kebanyakan adalah ahli kalam serta tertular virus Asya’iroh dan Mathuridiyyah- hanya memaknai kalimat laa ilaha illallah dengan ‘tidak ada pencipta selain Allah’, atau ‘tidak ada pengatur alam semesta selain Allah’, atau ‘tidak ada pemberi rizki selain Allah’ di mana tafsiran tersebut hanya terbatas pada sifat rububiyyah Allah saja. Lalu apa kelebihan mereka dari orang-orang musyrik dahulu?! Renungkanlah hal ini!!
-bersambung insya Allah-
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id
Assalamualaikum wr wb
Terima kasih atas kesempatan berkomentar di rubrik ini. Rubrik ini masih sebagai rujukan saya dalam belajar Islam, karena banyak ilmu yang saya pelajari di sini.
Sebagai orang awam yang masih harus banyak belajar dan menggali ilmu agama Islam mohon maaf kalo saya boleh mengomentari risalah ini. Kalau tidak salah risalah tentang kalimat ‘Laa Ilaha Illallah’ sudah pernah di bahas tahun lalu, dan saya sempat berkomentar karena saya menjadi bingung setelah membacanya.
Bukankah kalimat ‘Laa Ilaha Illallah’ adalah kalimat yang dipilih dan digunakan Allah. Kalimat yang begitu ringkas, padat, tepat, mudah diintepretasikan oleh semua kalangan (baik yg berpendidikan, maupun tidak, baik yg berilmu tinggi tentang agama maupun yg awam). Dan tampaknya tdk ada makna lain atau misunderstanding dalam memahami kalimat ini oleh semua orang terutama umat muslim, karena memang sudah diciptakan dan dipilih Allah Yang Mahatahu. Kalimat ini sangat mulia dan sangat special. Akan menjadi tidak fair kalau kalimat pokok (syahadat) ini sulit dipahami, tidak bisa diterjemahkan dg mudah, dan harus dipikirkan dg pemikiran falsafah yang agak berat.
Bukankah makna ‘Laa Ilaha Illallah’ adalah sudah mencakup Illah yg kompleks sebagaimana Allah adalah Yang Mahasegalanya, seperti yang penulis tuliskan dalam bagian 1 risalah ini:
Jika kalimat ‘laa ilaha illallah’ diartikan dengan ‘Tiada Tuhan selain Allah’, maka ilah pada kalimat tersebut berarti Tuhan. Namun jika kita perhatikan kata Tuhan dalam penggunaan keseharian bisa memiliki dua makna.
Makna pertama, kata Tuhan berarti pencipta, pengatur, pemberi rizki, yang menghidupkan dan mematikan (yang merupakan sifat-sifat rububiyyah Allah).
Makna kedua, kata Tuhan berarti sesembahan (Sucikan Iman Anda, hal. 17).
Apakah benar orang musyrik lebih paham akan makna ‘Laa Ilaha Illallah’?
Bukankah orang musyrik yang dimaksud dalam Quran adalah orang musyrik secara umum, yg juga diramalkan Quran untuk jaman sekarang (termasuk orang tak beragama, orang Cina, Jepang yang mempunyai banyak dewa, dll).
Orang-orang musyrik tahu/mengakui bahwa ada sesuatu yang mencipta, memelihara, memberi rezki, dll, dan mereka menyebut Tuhan, The Creator, God, Dewa, dll. Tetapi mengapa mereka tidak mengikuti jalanNya, mereka tidak bertaqwa, dan tidak mengikuti perintah-perintahNya. Ini membuktikan bahwa orang musyrik tidak paham makna ‘Laa Ilaha Illallah’, kalau mereka paham pastilah mereka sudah menjadi Islam.
Kalaupun orang musryik menerjemahkan/mengartikan ‘Laa Ilaha Illallah’ dengan tiada Tuhan selain Allah, bukan berarti kita tidak boleh menerjemahkan/mengartikan dengan kalimat yang sama dg mereka. Karena ternyata mereka tidak paham dg makna tersebut.
Dulu saya selalu memahami bahwa pencipta, pemelihara, penguasa, dan yang patut disembah adalah Allah (dalam konteks trinitas). Tapi sekarang saya meyakini bahwa tidak ada tuhan selain Allah (baik sebagai pencipta, pemelihara, pemberi rejeki, yang layak disembah), karena saya tidak menyaksikan adanya tuhan lain (saingan yang layak disetarakan dg Allah) di alam raya ini.
Saya pernah membaca pula tentang makna ‘Laa Ilaha Illallah’ tanpa menyalahkan terjemahan tiada tuhan selain Allah dan menurut saya lebih mudah dipahami, dimana summary-nya sbb:
LaaKhaalika illallah —|
|
LaaRaazika illallah —-|
|
LaaMaalika illallah —-|
|
LaaMulka illallah ——|
|———-Laailaha illallah
LaaWaaliya illallah —-|
|
LaaHaakima illallah —-|
|
LaaMa’buda illallah —-|
|
LaaGhoyatu illallah —-|
Kalau boleh saya menyimpulkan pemahaman saya dari 2 risalah (yang terdahulu dan yg sekarang dlm 4 bagian) tentang kalimat syahadat dalam website ini mungkin dapat saya tarik kesimpulan bahwa tuhan itu banyak dan Tuhanku satu. Hal ini sama dengan pemahaman saya dahulu ketika saya masih Kristen. Tetapi berbeda dengan pemahaman saya yang sekarang (setelah menganut Islam, sebelum saya membaca risalah ini) yaitu tuhan itu satu dan Tuhanku satu.
Terima kasih, maaf atas keterbatasan ilmu saya. Maaf atas komentar saya, karena ini hal yang sangat penting dalam hidup, tapi saya sangat terusik dan bingung ketika membaca risalah ini maupun risalah terdahulu yang saya pernah berkomentar juga.
Waalaikumsalam wr wb.
bu erlina, yang semoga dirahmati Allah.
Al-qur’an ketika menyebut tentang orang musyrik, maka yang dimaksud itu tergantung konteksnya. bisa seluruh kaum musyrikin dari awal hinga akhir zaman atau hanya terbatas pada kaum musyrikin di zaman nabi.
sedankan ketika penulis menatakan “orang musyrik lebih paham akan makna ‘Laa Ilaha Illallah’” maka yang dimaksud adalah kaum musyrikin di masa nabi shalallahu ‘alaihi wasallam.
Ibu erlina mengatakan kalimat ‘Laa Ilaha Illallah’ mudah difahami oleh setiap muslim akan tetapi pada kenyataannya tidak. Jika mereka memahami hal tersebut, maka mereka tidak akan melakukan peribadatan kepada selain Allah.
Banyak orang yang mengaku muslim berkurban kepada setan penguasa pantai selatan (nyi roro kidul) yang mereka namakan dengan sedekah laut. Jika mereka paham makana kalimat ‘Laa Ilaha Illallah’ tentunya mereka faham bahwa peribadatan (baik berupa do’a, nazar, kurban dan lainnya) akan melangar syahadat yang merupakan benteng pembatas antara keimanan dan kekafiran. Jika mereka paham tentunya mereka tidak akan beribadah kepada selain Allah.
Nyatanya mereka tetap mengaku islam, karena mereka menganggap pengakuan bahwa Allah adalah pencipta dan pengatur alam semesta, sedangkan peribadatan kepada selain Allah tidak mengeluarkan dari status keislaman mereka.
Gambaran keyakinan sebagian kaum yang mengaku muslimin sekarang, amat serupa dengan gambaran kaum musyrikin di zaman Rasulullah sebagaimana yang digambarkan pada ayat berikut:
“Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bahagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka: “Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami”. Maka saji-sajian yang diperuntukkan bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah; dan saji-sajian yang diperuntukkan bagi Allah, maka sajian itu sampai kepada berhala-berhala mereka. Amat buruklah ketetapan mereka itu.” (Al-An’am:136)
Sebagaimana yang Ibu sampaikan, tuhan dalam bahasa kita mengacu pada 2 makna; pencipta dan sesembahan. Nah, tuhan (ilah) dengan makna yang benar di dalam syahadat adalah bermakna sesembahan. Saya kira ini jelas.
Kemudian, kalau diterjemahkan secara leterlek maka maknanya ‘Tidak ada tuhan/sesembahan selain Allah’. Nah, sampai di sini saya kira juga jelas.
Nah terjemahan leterlek ini tidak benar karena dalam bahasa Arab makna la ilaha illallah menyimpan kata yang terhapus la ilaha …. illallah. Nah, titik-titik itulah yang disebutkan secara jelas di dalam tafsirannya yaitu la ilaha haqqun illallah; tidak ada sesembahan yang benar selain Allah. Inilah tafsiran yang benar. Dan ini mudah dipahami oleh siapapun.
Yang menyebabkan tafsiran ini sulit dipahami adalah karena banyak bertebaran tafsiran lain yang menyimpang di tengah-tengah masyarakat kita seperti tidak ada pencipta selain Allah, dsb. Semoga bisa dipahami.
Bismillah,
Bu Erlina,
Tuhan jika diartikan sebagai pencipta,pengatur,pemberi rizki (arti rububiyah) maka hal itu disepakati orang Islam maupun orang musyrik (jaman dulu dan sekarang). Seperti Pada ayat berikut:
“Katakan (olehmu hai Muhammad): Siapakah Rabb(Tuhan) yg mempunya langit yang tujuh dan mempunyai Arsy (Throne) yang agung? mereka akan menjawab: Allah,
Katakan,Maka apakah kamu tidak bertaqwa…”(QS Mukminun 86-87)
Klo kita tanya orang Budha,Kong Hu Chu ato Hindhu, mereka pun akan senada dg itu,dimana mereka akan menyetujui bahwa ada SATU TUHAN yg mencipta,mengatur,memberi rizki.Makanya agama2 di Indonesia semuanya tidak menentang pancasila sila pertama.Sebab bagi mereka,mereka setuju bahwa memang hanya ada satu Tuhan(Pencipta) yg esa.Tak ada yg bilang, Tuhan Pencipta Pengatur dan Pemberi rizki berbilang (banyak)
Namun jika kita artikan Tuhan sebagai Sesembahan, maka bagi kita, seperti telah dipaparkan di atas, maka hanya ada satu sesembahan yg berhak kita sembah dengan benar,penuh ketundukan dan keikhlasan,yakni Allah.Sementara kenyataan di lapangan, orang2 musyrik jaman dulu maupun sekarang, mereka mengingkari hal ini.Yakni mereka menyembah Tuhan-Tuhan lain selain Allah,walopun mereka tau hanya satu Tuhan Pencipta.Kesimpulannya,Tuhan klo diartikan sesembahan, maka tuhan ada banyak: Berhala2,matahari,bulan ,pohon keramat,dsb.Namun Syahadat yg kita ucapkan membatalkan itu semua dan hanya menunggalkan satu Tuhan yg berhak diibadahi. saya rasa ini jelas.
Orang musyrik jaman dulu paham betul makna “Laa Ilaaha Illalah” yakni, mereka paham konsekuensi dari ucapan ini bahwa mereka harus berlepas diri dari Tuhan-Tuhan mereka,patung-patung mereka yg senangtiasa mereka beribadah kepada mereka.Namun mereka ingkar dan memilih utk tetap berpegang pada ajaran nenek moyang mereka.
-Wallahu a’lam-
Assalamualaikum wr wb
Alhamdulillah. Terimakasih saudara Agus, Ari Wahyudi dan Romzy atas tanggapan terhadap komentar saya dan atas penjelasannya. Mohon maaf kalau saya masih ingin mengirim komentar lagi karena rasa penasaran dan rasa ingin tahu akan kebenaran makna kalimat syahadat, karena pembahasan yg seperti ini baru kali ini saya temui. Alhamdulillah saya jadi belajar banyak tentang kalimat syahadat ini, membaca dan source dari Al Quran.
Kalau boleh saya simpulkan perbedaan antara kita adalah:
1. Saya percaya ilah= rububiyah dan uluhiyah; anda percaya ilah hanya uluhiyah,
jadi saya percaya ada hanya satu tuhan ; anda percaya ada banyak tuhan-tuhan maka menurut saya terjemahan tiada tuhan selain Allah adalah benar sedangkan menurut anda harus tiada sesembahan yang haq kecuali Allah
2. Menurut saya orang musyrik hanya memahami sedikit saja rububiyah dan mereka belum bertauhid rububiyah; menurut anda orang musyrik lebih paham rububiyah dari orang islam dan mereka telah bertauhid rububiyah
Pertanyaan 1:
Saudara Ari Wahyudi, terimakasih atas informasi dan penjelasannya. Saya baru tahu kalau makna Laa ilaha illallah menyimpan kata yang terhapus. Saya belum pernah mendengarnya dan membacanya (maaf atas keterbatasan ilmu saya). Kalau boleh mohon diberikan hadits yang menyatakan tentang terhapusnya kata haqqun dari kalimat ini dengan jelas, sehingga saya lebih mantap atas agama ini.
Bagaimana QS Yusuf:39 apakah tuhan-tuhan ini (menggunakan rob) dalam arti penyembahan atau tuhan-tuhan yang mencipta.
Pertanyaan 2:
Mengapa orang musryik menyembah Nyi roro kidul? Mereka pasti punya alasan mengapa sampai memutuskan untuk menyembahnya. Bukankah karena percaya bahwa Nyi Roro Kidul bisa memberi keamanan, memberi rejeki, sebagai pemelihara di laut (mempunyai kekuatan rububiyah). Demikian juga dengan adanya dewa padi, dewa hujan, dewa rejeki/pemberi. Bukankah ini menyatakan mereka percaya ada rob lain. Berarti mereka masih bermasalah/tidak paham dalam pemahaman rububiyah.
Jadi kalau orang musyrik hanya percaya satu rob dan mereka lebih paham dari da’i Islam kelihatannya perlu DIKAJI ULANG.
Dahulu ketika saya Kristen ternyata saya belum paham akan pemahaman rububiyah (walau saat itu saya merasa sudah paham, dan tetap mengatakan bahwa Sang pencipta adalah Allah). Buktinya saya dan umat Kristiani kalau ditanya mengapa Yesus sebagai Tuhan perlu turun ke bumi untuk menebus dosa manusia? Akan menjawab karena Yesus sbg Tuhan mau merendahkan diri sebagai manusia dan untuk merasakan/memahami sebagai manusia (hal ini yang selalu diajarkan para pendeta dan theolog yg saya kenal kepada saya).
Hal ini membuktikan ketidakpahaman akan pemahaman rububiyah. Padahal Allah/Tuhan adalah pencipta manusia, sudah pasti sang pencipta itu akan lebih paham akan sesuatu yg diciptakan. Bukankah rasa sedih, bahagia, sakit, bingung, takut adalah diciptakan oleh Allah tidak datang dg sendirinya. Seluruh mekanisme tubuh, sel, hormon, sampai sistem molekuler dalam tubuh adalah diciptakan, diatur dan dipelihara oleh Allah. Sehingga mustahil kalau Tuhan harus merasakan/memahami sbg manusia, ini akan sangat mengecilkan kekuatan, kekuasaan, keagungan Sang Pencipta, Pengatur dan Pemelihara.
Sedangkan di dalam Islam, jelas-jelas diperintahkan dalam:
Ali Imran 190-191
bahwa kaum muslim harus selalu mengingat Allah dan memikirkan penciptaan langit dan bumi disetiap keadaan (berdiri, duduk, berbaring).
Karena ini akan memperkuat pemahaman rububiyah kita sebab di dalamnya terdapat tanda2 kekuasaan Allah sehingga akan menundukkan kita untuk menyembah Allah. Dengan demikian pemahaman uluhiyah kita dan keputusan kita untuk menyembah Allah mempunyai alasan yg sangat kuat, bukan karena ikut2an saja.
Pertanyaan 3:
Berarti kepercayaan bahwa tuhan (sesembahan) itu satu adalah kepercayaan yang salah, karena sesungguhnya tuhan itu ternyata banyak. Kita terpaksa harus ikut pemahaman orang musryik (karena mereka lebih paham dari para da’i) bahwa sesembahan itu banyak dan hanya Allah yang benar untuk disembah. Kita jadi terpaksa ikut menyaksikan bahwa tuhan-tuhan itu banyak, sehingga secara tidak sadar kita menyetujui dan mengakui adanya saingan2 Allah untuk disembah, mengakui sesembahan orang musryik sebagai tuhan-tuhan lain, tetapi kita memilih hanya menyembah Allah. Bukankah ini justru membahayakan pemahaman kita dan bisa membuka pintu kesyirikan karena kita ikut mengakui dan menyaksikan adanya tuhan-tuhan lain walaupun kita tidak menyembahnya dan hanya menyembah Allah.
Lalu bagaimana pertanggungjawaban kita dengan surat Al Anam 19 , bahwa tidak ada tuhan-tuhan lain, tuhan itu esa yaitu hanya Allah.
Mohon maaf kalau banyak pertanyaan dan maaf atas keterbatasan ilmu saya. Semoga Allah selalu memberi petunjuk kepada kita.
Wassalamualaikum wr wb
Assalaamu’alaikum.
Saya yakin nantinya akan ada jawaban yang lebih detil terkait pertanyaan Bu Erlina, namun, perkenankan saya memberikan sedikit pencerahan sehingga memudahkan pemahaman Ibu.
Yang pertama, Makna Ilah…
Ilah, dari asal katanya, aliha-ya”lahu-ilaahan; yang artinya sesembahan. Saya pikir makna penyembahan sudah sangat jelas, sehingga tidak perlu diulas lagi.
Jadi ilaah, adalah sesuatu yang menjadi objek yang disembah. Jenisnya banyak sekali, sesuai dengan realita yang terdapat di masyarakat kita. Orang Kristen menyembah Ruhul Qudus, Tuhan Bapak, Tuhan Anak; Orang Hindu menyembah dewa-dewa; Orang Islam menyembah Alloh, dan ada juga sebagian manusia yang menyembah jin, pohon-pohon, malaikat, batu, tempat keramat, kuburan, dan lain-lain…
Dari sini dapat kita lihat, ilaah (sesembahan) jumlahnya sangat banyak sekali. Nah, manakah ilaah yang benar dan tepat, serta paling berhak untuk disembah?… Tentu tidak lain dan tidak bukan ilaah yang memiliki sifat-sifat kesempurnaan dalam rububiyah (sifat mencipta, memberi rizki, mengatur alam semesta, menghidupkan, mematikan, dlll). Hanya ada satu saja yang memiliki kesempurnaan sifat-sifat rububiyah tersebut, yakni hanya Alloh semata.
Maka dari itu, sering diistilahkan tauhid rububiyah akan melazimkan (memberikan konsekuensi) akan tauhid uluhiyyah, artinya jika kita meyakini hanya Alloh saja yang memiliki kesempurnaan dalam rububiyyah, tentunya hanya Alloh saja lah yang paling berhak untuk disembah (dijadikan ilaah).
Dari penjelasan di atas, tidak bisa tidak, makna kalimat laa ilaaha illallooh, harus diartikan: tidak ada sesembahan yang paling berhak untuk disembah kecuali hanya Alloh.
Jika kita artikan, tidak ada sesembahan kecuali Alloh; terjemahan ini memiliki pengertian yang kurang tepat ditinjau dari 2 sisi:
1. dari tinjauan realita yang ada; sesembahan itu jenis dan jumlahnya banyak sekali, mengapa dikatakan tidak ada sesembahan kecuali Alloh. Ada kan sesembahan selain Alloh? Tentunya, sesembahan yang selain Alloh itu keliru dan tidak benar…
2. Jika terjemahan tersebut kita terima, hal ini akan melazimkan bahwa setiap sesembahan yang disembah oleh manusia adalah Alloh. Jadi, kalo ada yang menyembah pohon, berarti pohon itu adalah Alloh; menyembah batu, berarti batu itu adalah Alloh, dst… Karena tidak ada sesembahan kecuali Alloh.
Nah, dari sini, mengapa makna kalimat tauhid, tidak bisa tidak harus tidak ada sesembahan yang benar kecuali hanya Alloh.
Yang kedua, keadaan orang musyrik yang lebih paham tentang makna ilaah dibandingkan orang muslim…
Orang musyrik yang dimaksud adalah orang musyrik zaman dahulu di masa Rosul,
adapun orang musyrik zaman sekarang pemahamannya tidak lebih baik dibandingkan orang muslim yang masih terjatuh dalam kesyirikan… Jadai paparan Ibu Erlina memang benar, karena hal tersebut adalah pemahaman orang musyrik zaman sekarang.
Untuk tanggapan terhadap komentar Saudari Erlina, silakan merujuk artikel Menyoal Pemaknaan Syahadat di website ini. Sebelum memberikan komentar, kami mengharapkan untuk membaca artikel tersebut terlebih dahulu.
Ana mau minta dikirimkan artikel-artikel dan informasi kegiatan. Syukron
Assalamualaikum ustadz ana iziz mengcopy semua artike