Suatu ketika penulis membaca sebuah kitab fikih syafi’i bertajuk Nihayatuz Zain fi Irsyadil Mubtadi’in syarh Qurratil ‘Ain bi Muhimmatid Din lil Malibari. Ketika membaca muqaddimah pensyarah, penulis dikejutkan dengan sebuah pernyataan yang mengganjil di hati. Pernyataan itu adalah sebagai berikut:
أَمَّا بَعْدُ، فَيَقُوْلُ العَبْدُ الْفَقِيْرُ الْرَّاجِي مِنْ رَبِّهِ الْخَبِيْرُ غَفَرَ الْذُّنُوْبَ وَ الْتَّقْصِيْرَ، مُحَمَّدُ نَوَوِيُّ ابْنُ عُمَرَ الْتَّنَارْيُّ بَلَداً، اَلْأَشْعَرِيَّ إِعْتِقَاداً، اَلْشَّافِعِيَّ مَذْهَباً…
“Adapun selanjutnya, berkata hamba yang membutuhkan lagi mengharapkan dari Robb-nya agar Dia mengampuni dosa-dosa serta kecerobohannya, Muhammad Nawawi bin ‘Umar At Tanari negerinya, Al Asy’ari akidahnya, dan Asy Syafi’i madzhab fikihnya…” (Nihayatuz Zain, hal. 5)
Di halaman ke-10, pensyarah mengatakan, “Dan wajib bagi siapa saja yang tidak memiliki keahlian (dalam agama) untuk bertaklid dalam masalah ushul, yaitu akidah, kepada Abul Hasan Al Asy’ari atau Abu Manshur Al Maturidi.” “Dan juga wajib kepada orang yang disebut di atas (yaitu orang yang tidak memiliki keahlian) untuk bertaklid kepada salah satu imam dari imam-imam tasawuf, seperti Al Junaid. Dia adalah Imam Sa’id bin Muhammad Abul Qasim Al Junaid, seorang penghulu para shufi; baik secara ilmu maupun amal. Semoga Allah meridhainya.”
Ternyata penulis juga mendapatkan hal yang sama di beberapa kitab ulama-ulama yang berakidah Asy’ari. Ini senada dengan pernyataan banyak kaum muslimin –terutama di Tanah Air-, “Madzhab saya adalah syafi’i dan akidah saya Ahlussunnah wal Jama’ah Asy’ariyyah (!?).” Sebagaimana juga yang sering dijumpai dalam buku-buku tulisan KH Siradjuddin ‘Abbas –salah satu ulama kenamaan dan pemerang utama tauhid di Indonesia- , seperti bukunya yang ma’ruf, I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah dan lainnya. Setelah membaca pernyataan semacam di atas, terbetik dalam hati, “Apa mereka menyangka bahwa Imam Syafi’i tidak memiliki akidah, sehingga beliau hanya layak diikuti dalam masalah fikih saja?! Bukankah Imam Syafi’i adalah mujaddid di zamannya?”
Oleh karena itu, dalam artikel ringkas ini penulis akan mencoba menyingkap beberapa kerancuan-kerancuan pernyataan semacam ini.
Imam Syafi’i Tidak Mempunyai Akidah?
Sesunguhnya para ulama di sepanjang zaman bersepakat bahwa Imam Syafi’i rahimahullah adalah mujaddid di zamanya. [Al Khazain As Saniyyah (hal. 108) karya ‘Abdul Qadir Al Mandili] Karena keilmuan dan perjuangan beliau yang begitu gigih. Imam Ahmad, selaku muridnya, pernah mengatakan, “Dahulu ilmu fikih itu terkunci, sampai kemudian datang Imam Syafi’i membukanya.”
Jika seseorang yang memperhatikan madzhab Imam Asy Syafi’i dengan sebenar-benar perhatian, niscaya ia akan mendapatkan bahwa madzhab yang beliau dirikan adalah madzhab yang berasaskan ushul Ahlissunnah wal Jama’ah. Ini karena beliau melihat di zamannya banyak bermunculan kelompok-kelompok sesat yang berkembang, seperti Zindiq, Syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah, dan ahli kalam lainnya. [Al Imam Asy Syafi’i wa Madzhabaih Al Qadim wal Jadid hal. 121 karya Dr. Ahmad Nahrawi ‘Abdussalam]
Melihat kelompok-kelompok bid’ah yang semakin gencar menyebarkan idiologi-idiologi ini, Imam Asy Syafi’i pun merasa terpanggil untuk membendung dakwah sesat mereka. Maka beliau pun dengan sepenuh jiwa membela sunnah dari campur tangan kotor itu. Tidak heran, Imam Asy Syafi’i digelari Nashirus Sunnah (pembela/penolong sunnah) ketika di Iraq.
Sebagai penganut madzhab syafi’i saja, yang benar-benar bermadzhab dengannya, mengambil dasar-dasarnya dari sumber-sumbernya yang mu’tabar, dan mengetahui kepribadian pendirinya, tentu akan menjumpai bahwa Imam Asy Syafi’i tidak hanya mengenalkan fikih kepada umat, akan tetapi semua keilmuan islam telah beliau ajarkan kepada umat, terlebih akidah.
Dari sini, maka seseorang yang bermadzhab syafi’i harus cerdas dalam menilai madzhab syafi’i itu sendiri. Jika tidak, ia akan tergelincir seprti banyak penganunt syafi’i lainnya, terutama dari kalangan belakangan, yang hanya melihat madzhab dengan hanya menggunakan kacamata kuda. Sehingga hanya mengikuti madzhab fikih saja, bukan madzhab akidah yang lebih penting.
Ya. Madzhab syafi’i tidak hanya sebatas hukum amaliyyah saja, yang biasa diungkapkan dengan istilah fikih. Bahkan ia merupakan madzhab yang lengkap, yang mencakup akidah. Oleh karena itu, sebagian murid Imam Asy Syafi’i apabila ditanya tentang akidah mereka atau mengarang buku yang menjelaskan masalah-masalah akidah, mereka menyatakan bahwa apa yang mereka tetapkan adalah semata-mata akidah imam mereka. Sebagaimana perkataan Abu Hamid Al Isfirayini rahimahullah ketika menyebutkan masalah-masalah akidah:
مَذْهَبِي وَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَ جَمِيْعُ عُلَمَاءِ الْأَعْصَارِ، أَنَّ الْقُرْآنِ كَلَامُ اللهِ…إلخ
“Madzhabku, madzhab Syafi’i, dan madzhab seluruh ulama sepanjang zaman, bahwa Al Quran adalah perkataan Allah….dsb.” [Dinukil Imam Ibnul Qayyim dalam Ijtima’ul Juyusyil Islamiyyah hal. 156]
Dalam muqaddimah kitabnya yang bertajuk Ushuluddin, Imam Abu ‘Amru As Sahruardi rahimahullah mengatakan, “Ia memintaku agar aku mengumpulkan ringkasan (mukhtashar) ini dalam akidah sunnah menurut madzhab Asy Syafi’i…dsb.” [Dinukil Ibnul Qayyim dalam Ijtima’ul Juyusyil Islamiyyah hal.
Ketika Imam Al Muzani rahimahullah (w. 264) ditanya tentang pendapatnya terhadap Al Quran, beliau menjawab:
مَذْهَبِي مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ
“Madzhabku adalah sebagaimana madzhab Asy Syafi’i.” Ketika ditanya apa madzhab Syafi’i itu, beliau menjawab, “Bahwasannya Al Quran adalah firman Allah dan bukanlah makhluk.” [Syarh Ushul I’tiqad Ahlissunnah wal Jama’ah karya Imam Al Lalika’i (II/254)]
Tidak ragu lagi bahwa yang beliau maksud di sini adalah madzhabnya dalam akidah. Adapun madzhab fikih, maka beliau termasuk ulama syafi’iyyah yang banyak membantah dan mengoreksi kekeliruan gurunya, Asy Syafi’i.
Ulama-ulama syafi’iyyah sendiri mengkencap dengan keras kepada setiap orang yang hanya menisbatkan dirinya kepada madzhab syafi’i dalam masalah fikih namun malah menyelisihinya dalam masalah yang paling mendasar, yaitu akidah.
Salah seorang ulama syafi’iyyah yang paling banyak menjelaskan masalah ini adalah Syaikh Abul Hasan Al Karji Asy Syafi’irahimahullah dalam kitabnya, Al Fushul fil Ushul ‘anil Aimmatil Fuhul. Di sini beliau banyak mengkeritik orang yang menyelisi Imam Asy Syafi’i dalam akidah, hanya mengambil madzhabnya dalam fikih dan hukum. Beliau juga banyak menukil dari ulama-ulama syafi’iyyah semacam Abu Hamid Al Isfirayini yang mengkeritik dengan keras kepada pengikut-pengikut Asy Syafi’i yang malah menyelisihi akidah Asy Syafi’i.
Imam Abul Muzhaffar As Sam’ani Asy Syafi’i rahimahullah dalam kitabnya, Al Intishar li Ash-habil Hadits, setelah beliau menjelaskan sikap Imam Asy Syafi’i terhadap ilmu kalam dan ahlinya, beliau berkata, “Tidak sepantasnya bagi seseorang yang membela madzhabnya dalam furu’ (fikih) namun kemudian membenci metodenya dalam ushul (akidah).” [Dinukil As Suyuthi dalamShaunul Manthiq]
Imam Ibnu Qayyimil Jauziyyah rahimahullah dalam Ijtima’ul Juyusyil Islamiyyah (hal. 150) menukilkan perkataan Imam Abu ‘Amru As Sahrawardi dalam kitab Ushuluddin, “Imam kami dalam ushul & furu’, yaitu Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Idris Asy Syafi’i.”
Lihatlhah, bagaimana sikap ulama-ulama besar di atas terhadap madzhab Imam Asy Syafi’i dan pengikutnya. Seandainya benar mereka mengikuti madzhab Imam Asy Syafi’i dengan sebenarnya, pasti tidak hanya fikih saja yang diikuti. Karena sesungguhnya madzhab besar Syafi’i adalah madzhab dalam akidah.
Sampai di sini kiranya sudah dapat dijawab pertanyaan di atas. Ternyata Imam Asy Syafi’i juga memiliki akidah yang juga patut diikuti. Maka seyogyanga pengikut madzhab Asy Syafi’i tidak memilah-milih dan memisahkan antara madzhab fikih dan madzhab akidah. Bahkan madzhab akidah itulah yang lebih penting, karena dia merupakan fikih akbar.
Di Mana Dijumpai Akidah Imam Asy Syafi’i?
Imam Asy Syafi’i memang tidak menulis kitab akidah secara khusus, namun bukan berarti menunjukkan beliau tidak memiliki perhatian terhadap akidah. Perhatiaan seseorang terhadap sesuatu tidak harus diterjemahkan dengan menulis suatu kitab, namun bisa dengan yang lainnya. Demikian juga dengan Imam Asy Syafi’i.
Perhatian Imam Asy Syafi’i diterjemahkan dalam bentuk putusan-putusan serta fatwa-fatwanya yang diriwayatkan banyak ulama dan ‘direkam’ dalam kitab-kitab mereka. Berikut kami nukilkan dari kitab ‘Aqidatul Imam Asy Syafi’i min Nushush Kalamih wa Idhah Ash-habihi karya Dr. ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz Al ‘Anqari tentang di mana ditemui akidah Asy
Kita dapat menjumpai Imam Asy Syafi’i dalam masalah akidah dalam dua tempat,
Pertama, di dalam karangan-karangan Imam Asy Syafi’i sendiri. Jika ada seseorang yang meneliti karangan-karanagan Imam Asy Syafi’i, ia akan bisa mengeluarkan sejumlah perkara-perkara akidah. Ini adalah jalan terbaik dalam mengetahui akidah beliau. Sebagaimana dalam kitab Al Umm & Ar
Kitab Al Umm tidak hanya sebatas memuat hukum-hukum fikih saja, bahkan ia memiliki hubungan erat dengan akidah. Karena secara umum, kitab fikih juga didapati masalah-maslah akidah, yang bisa diistilahkan dengan masalah-masalah musytarakantara akidah & fikih, yang disebutkan dalam kitab-kitab fikih. Sebagaimana dalam kitab jenazah, haji, hukum murtad, dan masalah-masalah yang bertebaran dalam perkara jihad, warisan, dan
Hal serupa juga dijumpai dalam kitab Ar Risalah, sebuah kitab ushul fikih pertama yang ‘dilahirkan’ di dunia
Kedua, dalam riwayat-riwayat yang bertebaran dalam kitab-kitab akidah yang bersanad. Di antara ulama-ulama syafi’iyyah yang menukilkan darinya dalam masalah akidah:
1. Imam Al Lalika’i dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahlissunnah wal Jama’ah
2. Al Ashbahani At Taimi dalam Al Hujjah
3. Syaikhul Islam Abu ‘Utsman Ash Shabuni dalam ‘Aqidatus Salaf Ash-habul Hadits
4. Dan lain-lain.
Al Hikkari bahkan menulis sebuah juz yang diberi judul I’tiqad Asy Syafi’i yang dinukil dari Imam Asy Syafi’i dalam beberapa perkara-perkara akidah dengan bersanad.
Contoh Akidah Imam Asy Syafi’i
– Madzhab Imam Asy Syafi’i dalam Masalah Tauhid
Ketika datang seseorang kepada Imam Al Muzani yang menanyakan tentang masalah kalam, beliau menjawab, “Aku membenci yang semacam ini, bahkan aku melarang darinya, sebagaimana Imam Asy Syafi’i melarangnya. Aku telah mendengar Imam Asy Syafi’i berkata, Malik (bin Anas) ditanya tentang kalam dan tauhid, maka beliau menjawab, ‘Mustahil kita menyangka bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan umatnya (cara) beristinja akan tetapi tidak mengajari mereka tauhid. Tauhid adalah apa yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ الْنَّاسَ حَتَّى يَقُوْلَ لَا إِلهَ إِلَّا اللُه
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia ia mengatakan laa ilaaha illallah (tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah).” [HR Al Bukhari & Muslim]
Maka apa yang dapat melindungi darah dan harta, itulah hakekat tauhid.’” [Siyar A’lam An Nubala’ (X/26)]
Dan sudah diketahui bahwa yang melindungi darah dan harta adalah mengingkari thaghut & iman kepada Allah. [Manhaj Al Imam Asy Syafi’i At Tauhid fi Itsbatil ‘Aqidah hal. 241-242]
Asy Syafi’i berkata, “Allah berfirman, ‘Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk menyembah-Ku.’ [QS Adz Dzariyat: 56]” Asy Syafi’i berkata, “Allah menciptakan makhluk agar (mereka) menyembah-Nya.”
Adz Dzahabi meriwayatkan dari Al Muzani, katanya, “Apa bila ada orang yang mengeluarkan uneg-uneg yang berkaitan dalam maslah tauhid yang ada di dalam hati saya, maka orang itu adalah Asy Syafi’i.” [Siyar A’lam An Nubala’ (X/31)]
– Madzhab Imam Asy Syafi’i bahwa Iman Adalah Keyakinan, Ucapan, dan Perbuatan
Al Hakim dalam Manaqib Asy Syafi’i berkata, Abul ‘Abbas Al Ashamm bercerita kepada kami, Ar Rabi’ mengkabari kami, ia berkata, ‘Aku mendengar Asy Syafi’i berkata, ‘Iman adalah ucapan dan perbuatan, bertambah dan berkurang.’ [Fathul Bari (I/47)]
Dalam Al Hilyah [IX/115] ditambahkan, “Bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.” Lalu beliau membaca firman Allah [QS Al Muddatstsir: 31]:
وَ يَزْدَادُ الَّذِيْنَ أَمَنُوْا إِيْمَانًا
“Dan orang-orang beriman bertambah imannya.”
– Madzhab Imam Asy Syafi’i tentang Taqdir
Al Baihaqi [Manaqib Asy Syafi’i (I/412-413) dan juga disebutkan Al Lalika’i dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahlissunnah wal Jama’ah (II/702)] meriwayatkan dari Ar Rabi’ bin Sulaiman, katanya, Imam Asy Syafi’i pernah ditanya tentang taqdir, beliau menjawab dengan bait-bait syair yang terkenal:
Apa yang Engkau kehendaki terjadi
Meskipun aku tidak menghendaki
Apa yang aku kehendaki tidak terjadi
Apabila Engkau tidak menghendaki
Engkau ciptakan hamba-hamba
Sesuai apa yang Engkau ketahui
Maka dalam ilmu-Mu
Pemuda dan kakek berjalan
Yang ini Engkau karuniai
Sementara yang itu Engkau rendahkan
Yang ini Engkau beri pertolongan
Yang itu tidak Engkau tolong
Manusia ada yang celaka
Manusia juga ada yang beruntung
Manusia ada yang buruk rupa
Dan juga ada yang bagus rupawan
– Madzhab Imam Asy Syafi’i dalam Memahami Asma’ & Sifat Allah
Ibnu Qudamah dalam Lum’atul I’tiqad ( beserta syarah Al ‘Utsaimin hal. 19) berkata, “Al Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Idris Asy Syafi’i radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Aku beriman kepada Allah, dengan apa yang datang dari Allah dengan apa yang Allah inginkan. Dan aku beriman kepada Rasulullah, dengan apa yang datang dari Rasulullah, dengan apa yang diinginkan Rasulullah.”
Ibnu ‘Abdil Barr meriwayatkan dari Yunus bin ‘Abdul A’la, katanya saya mendengar Imam Asy Syafi’i berkata, “Apabila Anda mendengar ada orang yang berkata bahwa nama itu berlainan dengan apa yang diberi nama, atau sesuatu itu berbeda dengan sesuatu itu, maka ketahuilah bahwa orang itu adalah kafir zindiq.”
Dalam Ar Risalah, Imam Asy Syafi’i berkata, “Segala puji bagi Allah yang memiliki sifat-sifat sebagaimana Dia mensifati diri-Nya, dan di atas yang disifati makhluk-Nya.”
Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam An Nubala’ (XX/341) menuturkan dari Imam Asy Syafi’i, kata beliau, “Kita menetapkan sifat-sifat Allah ini sebagaimana disebutkan di dalam Al Quran dan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan kita meniadakantasybih (menyamakan Allah dengan makhluk-Nya), sebagaimana Allah meniadakan tasybih itu dalam firman-Nya:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْئٌ
“Tidak ada satu pun yang serupa dengan Dia.” [Asy Syura: 11]
Akidah-akidah Imam Asy Syafi’i ini bisa dibaca dan ditelaah lebih luas dalam beberapa kitab berikut: Juhud Asy Syafi’iyyah fi Taqrir Tauhud Al ‘Ibadah, ‘Aqidah Al Imam Asy Syafi’i min Nushush Kalamih wa Idhah Ash-habihkeduanya karya Dr. ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz Al ‘Anqari, dan penulis banyak mengambil manfaat dari dua kitab ini, Manhaj Al Imam Asy Syafi’i fi Itsbatil ‘Aqidah karya Dr. Muhammad bin ‘Abdul Wahhab Al ‘Aqil yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan Pustaka Imam Asy Syafi’i Jakarta, I’tiqad Al Aimmah Al Arba’ah karya Dr. Muhammad bin ‘Abdurrahman Al Khumais yang juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Allahua’lam. Segala puji hanya milik Allah. Semoga shalawat beserta salam tercurahkan kepada Nabi, keluarga, shahabat, dan siapa saja yang berpegang teguh kepada petunjuknya hingga hari kiamat.
Penulis: Firman Hidayat
Artikel Muslim.Or.Id
firman-Nya:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْئٌ
“Tidak ada satu pun yang serupa dengan Dia.” [Asy Syura: 95]
Dari artikel Bermadzhab Syafi’i, Berakidah Asy’ari — Muslim.Or.Id by null
* [Asy Syura : 11]
Jadi, Aqidah Imam Syafi’i itu apa ??
maaf MASIH bingung…
??
Buat saudara Abdurrahman:
Aqidah Imam Syafi’i bukan ‘aqidah Asy’ari, bukan pula Maturidi. Namun aqidah Imam Syafi’i adalah aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, yaitu aqidah yang diajarkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan diterima para shahabat radhiyallahu ‘anhum serta diikuti generasi-generasi setelahnya secara jujur. Allahua’lam.
Dimana Allah?
Aqidah Imam Syafi’i : Allah ada tanpa tempat dan arah.
Aqidah yang menyelisihi Imam Syafi’i : Allah ada di langit.
#faiz fauzan
Jangan berbicara tanpa ilmu wahai saudaraku, Imam Asy Syafi’i berkata,
القول في السنة التي أنا عليها ورأيت اصحابنا عليها اصحاب الحديث الذين رأيتهم فأخذت عنهم مثل سفيان ومالك وغيرهما الإقرار بشهادة ان لااله الا الله وان محمدا رسول الله وذكر شيئا ثم قال وان الله على عرشه في سمائه يقرب من خلقه كيف شاء وان الله تعالى ينزل الى السماء الدنيا كيف شاء وذكر سائر الاعتقاد
“Pendapat yang ada dalam As Sunnah yang diyakini olehku, pengikutku serta pakar hadits, juga diyakini oleh Sufyan, Malik dan selain mereka: “Kami mengakui bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah. Kami pun mengakui bahwa Muhammad adalah utusan Allah.” Lalu Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Dan sesungguhnya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya yang berada di atas langit-Nya, namun Ia tetap dekat dengan makhluk-Nya sesuai yang Dia kehendaki. Allah Ta’ala turun ke langit dunia sesuai dengan kehendak-Nya”. Kemudian beliau rahimahullah menyebutkan beberapa keyakinan beliau lainnya”.
(Lihat Itsbatu Shifatil ‘Uluw, hal. 123-124, dan Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal.165)
Ahlus Sunnah menetapkan sifat istiwa semata-mata karena dalil Qur’an dan Sunnah menetapkannya. Mengapa kita enggan menetapkan apa yang ditetapkan oleh Qur’an dan Sunnah?
Kemudian, bukan berarti dengan demikian kita menetapkan adanya tempat dan arah bagi Allah. Karena al makan (tempat) dan al jihhah (arah) keduanya tidak terdapat dalam dalil-dalil yang bicara mengenai sifat Allah, sehingga tidak kita tetapkan dan tidak kita nafikan. Karena menetapkan atau menafikan asma dan sifat Allah itu sesuai dengan dalil.
Jadi, apakah Allah itu bertempat dan diliputi suatu tempat? Jawabnya, tidak boleh kita sebut demikian karena tidak ada dalil yang menyebutkan al makan. Tapi, apakah Allah istiwa di atas ‘Arsy? Jawabnya ya, karena dalil mengatakan demikian. Dan istiwa Allah bukan berarti bertempat dan butuh tempat karena istiwa Allah beda dengan istiwa makhluk. Dan kita tidak tahu bagaimana kaifiyah istiwa Allah, yang jelas bukan seperti makhluk yang sedang bertempat di suatu tempat.
Lalu, apakah Allah memiliki arah (jihhah)? Jika yang dimaksud adalah jihhah bi nisbati al makhluk (arah dalam terminologi kita sebagai makhluk), maka jawabnya Allah tidak memiliki arah. Namun jika yang dimaksud arah adalah al uluw (ke-Maha Tinggi-an), maka jawabnya ya, Allah itu Maha Tinggi.
Lalu, apakah benar كان الله و هو الآن على ما عليه كان ? Jawab, sifat Allah ada yang dzatiyah dan fi’liyah.
Untuk sifat Dzatiyah, benar bahwa كان الله و هو الآن على ما عليه كان artinya tidak ada perubahan. Jika dahulu Allah Maha Mendengar, sekarang pun Maha Mendengar, dst,
Untuk sifat Fi’liyah, tentu ada perubahan. Allah mencipta, berbicara, mengabulkan doa, mengadzab, mendengar, dll. Misal, fulan berdoa kepada Allah, sebelum fulan berdoa maka Allah belum mengabulkan doa fulan. Namun setelah fulan berdoa, Allah mengabulkan doa fulan. Ada perubahan. Demikian juga sifat istiwa adalah sifat fi’liyah. Sebelum Allah menciptakan ‘Arsy, Allah tidak di atas ‘Arsy. Setelah menciptakan ‘Arsy, Allah istiwa di atas ‘Arsy.
اللَّهُ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ
“Allah melakukan apa yang Ia kehendaki”
Semoga dapat dipahami
syukran, terima kasih atas penjelasanya. mohon maaf andai kesan yg antum terima tentang ane seperti orang yang enggan menerima apa yang ditetapkan Quran dan Sunnah, padahal inti masalahnya bukan itu. ane juga muslim yang tentu saja menerima apa yang ditetapkan Qur’an dan Sunnah. inti masalahnya adalah pada kitabnya yang lain Imam syafi’i tidak mengungkapkan seperti yang atum kutipkan di atas.
#faiz fauzan
Na’am, sumber pengambilan aqidah kita tentu Al Qur’an dan As Sunnah, bukan dari perkataan fulan dan alan. Namun dengan pemahaman siapa? Bukankah keduanya bisa dipahami berbeda oleh masing-masing orang. Jawab, dengan pemahaman para sahabat Nabi dan orang-orang yang mengikuti mereka. Dan para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in mereka menetapkan asma dan sifat Allah apa adanya, sesuai yang layak bagi Allah, tanpa ta’wil, tanpa mempertanyakan kaifiyah-nya dan meyakini sifat-sifat Allah berbeda dengan makhluk.
Dan yang menjadi Imam Asy Syafi’i dalam masalah aqidah adalah yang bersesuaian dengan Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman para sahabat. Mengenai perbedaan nukilan dari Imam Asy Syafi’i tentang hal ini, insya Allah jika Allah memudahkan, tim redaksi kami akan membahasnya dalam artikel tersendiri.
Semoga Allah melimpahkan hidayah-Nya kepada kita semua. Baarakallahu fiikum.
bermanfaat bagi pembacanya
Mereka sudah sangat jauh menyelisihi ALQUR’AN dan Sunnah dalam hal Aqidah…
bahkan ulama asjawa bisa dikatakan lebih kepada dukun ketimbang ahli TAUHID
ya akhi akan lebih ilmiah lagi jika ente menyebutkan buku buku akidah asari apa yang ente baca, kemudian buku buku akidah syafii apa yang telah ente baca. kemudian dibuat tabel perbandingan beserta dengan sumber sumbernya. Setelah itu ente jelaskan kenapa hampir semua ulama empat madzhab besar berakidah asyari atau maturidi. KEmudian ente jelaskan kesesatan semua ulama tersebut. insya Allah itu lebih valid.
Jazakumullah khoiron atas masukannya.
Masukannya bagus, namun pernyataan bahwa para imam madzhab itu berakidah maturidi itu salah besar. Abu Mansur Al Maturidi itu lahir tahun 300-an ketika para imam yang empat sudah wafat semua. Jadi mana mungkin imam yang empat mengikuti akidah yang dibuat-buat oleh orang yang belum lahir?
2015-01-05 1:15 GMT+07:00 Disqus :
Hehehehe Afwan belajar lg akh, seblm imam asy’ari lahir 4 imam itu udh GK ada heheheh, ini imam yg mana yg ente maksud. Yok buka kitabnya lg. Gmn kita berakidah dengan org yg blm lahir? Hehehe yok buka kitabnya lg
Tak ada perbedaan prinsip antara aqidah Imam Syafi’i dan Imam Asy’ari.
Imam Syafi’i dan Imam Asy’ari mengajarkan aqidah yang sama persis…
Perbedaan’nya Imam Syafi’i tidak memiliki tulisan khusus tentang kitab aqidah…
Sedangkan Imam Asy’ari Memiliki Tulisan Khusus Tentang Kitab Aqidah…
Imam Asy’ary ittiba kepada Imam Asyafi’i Sampai Suatu Saat Imam Asy’ary Mujaddid Sehingga Banyaknya ulama yang mengikuti imam Asyari dalam metodologi akidah adalah karena beliau berhasil mematahkan mu’tazilah dengan tetap menyeimbangkan antara naql (teks agama) dengan aql (akal) secara adil. Kaidah tetap berpegang kepada Ahlus Sunnah yaitu “taqdiimul naql alan naql” (mendahulukan teks atas akal). Dan Beliau Mampu Menulis Berbagai Kitab2 Aqidah…
Jazakallah khair…
Tidak tepat jika mengatakan bahwa Imam Abul Hasan Al-Asyari justru berpegang kepada Imam Asy Syafii, padahal dalam kitab Imam Abul Hasan, yaitu Al Ibanah ataupun Maqalatul Islamiyyin, terdapat penetapan bahwa Allah beristiwa di atas Arsy dan beliau berpegang kepada mazhab Imam Ahmad bin Hambal di fase ketiga perpindahannya setelah dari fase Mutazilah dan Kullabiyah, dan inilah yang ma’ruf.
Dan prinsip akidah mazhab Syafii sudah ditulis oleh salah satu murid beliau yang ma’ruf tentunya di kalangan Syafiiyah, yaitu Imam Al-Muzani yang berjudul Syarh As-Sunnah. Ini justru telah membatalkan pernyataan-pernyataan akidah yang dibuat-buat oleh kalangan Syafiiyah muta’akhirin ataupun Asyariyah muta’akhirin.
Adapun jika ada yang ingin mengatakan bahwa Imam Syafi’i mengatakan bahwa tidak boleh menanyakan di mana Allah atau perkataan berupa bahwa Allah ada tanpa tempat, orang itu pasti akan menunjukkan suatu risalah yang isinya akan mencakup poin yang menunjukkan kesesatan Al-Karramiyah, sedangkan Al-Karramiyah tidak muncul di zamannya Imam Syafii, melainkan setelah beliau. Dapat disimpulkan bahwa ada pihak dari kalangan Syafi’iyah yang ingin menyusupkan akidah si penulis Syafi’iyah muta’akhirin yang akidahnya turunan dari Jahmiyah/Mu’tazilah ke dalam mazhab Syafi’i.
jazakallah khairan, dalam Al Ibanah ataupun Maqalatul Islamiyyin, Imam Abul Hasan Al-Asyari pada fase ketiga perpindahannya setelah dari fase Mutazilah dan Kullabiyah beliau sdh rujuk kepada mazhab Imam Ahmad bin Hambal
Akidah Imam Empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad)
Segala puji bagi Allah, sholawat dan salam atas Rasulullah.
Diantara ulama’ atau imam kaum muslimin yang paling menonjol adalah imam yang empat: Imam Abu Hanifa (wafat 150H), Imam Malik (179H), Imam Syafii (204H), Imam Ahmad (241H) – semoga Allah merahmati mereka semua-. Tidak ada perbedaan pendapat diantara mereka dalam masalah ushuluddin (pokok agama). Perbedaan mereka dalam masalah madzhab fiqih, tidak berarti mereka berbeda pendapat dalam masalah aqidah. Aqidah imam yang empat adalah seperti yang dituturkan oleh al Qur’an dan Sunnah, sesuai dengan apa yang menjadi pegangan para sahabat dan tabi’in. Para imam yang empat secara umum sepakat dalam masalah tauhid, masalah asma’ wa sifat, masalah qadar (taqdir) dan lainnya. Pendapat mereka tentang sahabat Rasulullah juga sama, mereka menghormati dan mengikuti para sahabat. Mereka juga sama-sama mencela ilmu kalam dan melarang banyak berdebat dalam ilmu agama.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah ditanya tentang aqidah Imam Syafi’I rahimahullah. Beliau menjawab, “Aqidah Imam Syafi’i dan aqidah para ulama salaf seperti Imam Malik, Imam ats-Tsauri, Imam al-Auza’i, Imam Ibnu al-Mubarak, Imam Ahmad bin Hambal, dan Imam Ishaq bin Rahawaih adalah seperti aqidah para imam panutan umat yang lain, seperti Imam al-Fudhail bin ‘Iyadh, Imam Abu Sulaiman ad-Darani, Sahl bin Abdullah at-Tusturi, dan lain-lain. Mereka tidak berbeda pendapat dalam Ushuluddin (masalah aqidah). Begitu pula Imam Abu Hanifah, Aqidah tetap beliau dalam masalah tauhid, qadar, dan sebagainya adalah sama dengan aqidah para imam tersebut di atas. Dan aqidah para imam itu adalah sama dengan aqidah para sahabat dan Tabi’in, yaitu sesuai dengan apa yang dituturkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah.” (Majmu’ al-Fatawa, V/256)
Pendapat imam yang empat (Abu Hanifa, Malik, Syafii, Ahmad) dan imam-imam yang lainnya dalam masalah aqidah secara umum sama. Sebagai contoh dalam masalah asma’ dan sifat-sifat Allah, mereka semua menetapkan sebagaimana Allah dan RasulNya tetapkan. Mereka tidak melakukan ta’wil (memalingkan makna), ta’thil (menolak), tasybih (menyerupakan dengan makhluq) dan tamtsil (memisalkan).
Imam Abu Hanifa mengatakan, “Kita menyifati Allah sebagaimana Allah menyifati diri-Nya sendiri. Allah adalah Esa, Dzat yang padanya-Nya para hamba memohon, tidak melahirkan dan tidak dilahirkan, dan tidak ada satu pun yang menyamai-Nya. Allah juga hidup, berkuasa, melihat, dan mengetahui.” Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka yang menyatakan janji setia kepada Rasul. Tangan Allah tidak seperti tangan makhluk-Nya. Wajah Allah tidak seperti wajah-wajah makhluknya.” (al Fiqh Al-Absath, hal. 56)
Imam Malik pernah ditanya tentang masalah bagaimana istiwa’ (bersemanyam) Allah. Mendengar pertanyaan itu, Imam Malik marah. Beliau tidak pernah marah seperti itu. Kemudian beliau melihat ke tanah sambil memegang-megang kayu di tangannya, lalu beliau mengangkat kepala beliau dan melempar kayu tersebut, lalu berkata, “Cara Allah beristiwa’ tidaklah dapat dicerna dengan akal, sedangkan istiwa’ (bersemayam) itu sendiri dapat dimaklumi maknanya. Sedangkan kita wajib mengimaninya, dan menanyakan hal itu adalah bid’ah.” Kemudian Imam Malik menyuruh orang itu agar dikeluarkan. (Lihat Al-Hilyah, VI/325-326. Ash-Shabuni, ‘Aqidah as-Salaf Ash-hab al-Hadits, hal. 17-18)
Imam Syafii berkata, “Kita menerapkan sifat-sifat Allah sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi dan kita meniadakan tasybih (menyamakan Allah dengan makhlukNya), sebagaimana Allah juga meniadakan tasybih itu dalam firman-Nya:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (QS Syuura: 11) (Lihat Siyar A’lam an Nubala’, XX/341)
Imam Ahmad bin Hambal mengatakan, “Kami mengimani bahwa Allah ada di atas ‘Arsy, bagaimana Dia berkehendak dan seperti apa yang Allah kehendaki, tanpa batasan dan sifat yang dipakai oleh seseorang untuk mensifati dan membatasi sifat itu. Sifat-sifat Allah adalah sifat-sifat yang digunakan untuk Allah, yaitu seperti Allah mensifati diri-Nya sendiri, bahwa Dia tidak dapat dilihat oleh mata.” (Dar’u Ta’arudh al-‘Aql wa an-Naql, II/30)
Imam yang empat adalah orang yang mendalam ilmunya baik masalah fikih, aqidah dan yang lainnya. Mereka adalah orang yang layak dijadikan panutan dalam masalah agama. Sungguh aneh jika ada seorang yang fanatik dengan madzhab fikih tertentu, tetapi malah menyelisihi imamnya dalam masalah aqidah. Semoga Allah merahmati seluruh imam kaum muslimin dan menjadikan kita orang yang dapat meneladani mereka. Amien.
Artikel ini disarikan dari kitab اعتقاد الأئمة الأربعة (Aqidah Imam Empat) karya Syaikh Dr Muhammad al-Khumais, yang juga telah diterjemahkan oleh Dr Ali Mustafa Ya’qub, MA.
Abu Zakariya Sutrisno. Riyadh, 13/6/1437H.
—
Jazakallah atas penjelasannya, alhamdulillah sangat mencerahkan. Kalau boleh tahu kenapa mereka berkeyakinan bahwa kalau disebut ahlu sunnah adalah assyari dan maturidi?
menyimak juga ustadz
Makin mantap mengikuti akidah ahlussunnah para imam mazhab.